Jumat, 02 Desember 2011

Sekilas Riwayat Film Indonesia (1) “Terang Boelan”, Film Terlaris Pertama

Sekilas Riwayat Film Indonesia (1)
“Terang Boelan”, Film Terlaris Pertama

Oleh: Sutirman Eka Ardhana

ERA film bisu di dunia berakhir pada tahun 1927. Berakhirnya era film bisu ini ditandai dengan pembuatan film bicara (film suara) pertama di tahun 1927 yang berjudul Jazz Singer. Film bicara pertama ini diputar atau dipertontonkan pertama kali untuk umum pada 6 Oktober 1927 di New York, Amerika Serikat.
Dua tahun kemudian, tepatnya di akhir tahun 1929, panggung pertunjukan film di Hindia Belanda (Indonesia) ditandai dengan masuknya dua film bicara dari Amerika Serikat. Kedua film bicara itu berjudul Fox Follies dan Rainbow Man.
Masuknya film bicara produksi Amerika Serikat itu tentu saja mempengaruhi perusahaan film di Hindia Belanda untuk ikut memproduksi film bicara. The Teng Chun dengan perusahaan filmnya Cino Motion Pictures Corporation (CMPC) pada tahun 1931 dengan peralatan rekaman suara yang sederhana mencoba membuat film bicara berjudul Roos van Cikembang. Sebelumnya CMPC memproduksi San Pek Eng Tay. Menyusul, diproduksi pula  film Indonesia Maleise garapan Wong Bersaudara (1931) dan Terpaksa Menikah kerjasama Kruger dengan Tan Khoen Hian (Tan’s Film) diproduksi tahun 1932. 
Perkembangan berikutnya terjadi di tahun 1934, ketika seorang Indo-Belanda bernama Albert Balink yang berprofesi sebagai wartawan koran berbahasa Belanda De Locomotif membuat film berjudul Pareh di Bandung. Balink tak sendiri, ia mengajak Wong Bersaudara dan Mannus Franken seorang pembuat film dokumenter dari Belanda. Film Pareh produksi perusahaan film Java Pasific Film dibintangi Rd. Mochtar dan Soerkarsih ini merupakan film Indonesia pertama yang mendapat perhatian luas dari masyarakat pecinta film, meskipun dari segi pemasaran masih dipandang tidak terlalu berhasil.
 Cino Motion Pictures Corporation yang kemudian berganti nama The Java Industrial Film Co (JIF) tahun 1935 memroduksi film Lima Siloeman Tikoes. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat keturunan Cina.
Jika film Pareh dinyatakan sebagai film Indonesia pertama yang mendapat perhatian luas dan dipuji dari segi kualitas dan ceritanya, maka film Terang Boelan yang diproduksi tahun 1937 merupakan film pertama terlaris dan sukses secara bisnis di pasaran. Film ini mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Terlebih lagi song film dalam film ini adalah lagu “Terang Boelan” (Terang Bulan) yang di masa itu merupakan lagu sedang hits atau populer di masyarakat.
Film Terang Boelan digarap Albert Balink bersama Wong Bersaudara dan mengajak seorang wartawan pribumi, Saeroen, di bawah bendera perusahaan film Algeemene Nederlands Indische Film Syindicaat (ANIF) yang didirikan di Batavia. Film penuh nuansa romantisme, tari dan nyanyi ini dibintangi Miss Roekiah dan Rd. Mochtar. Miss Roekiah, penyanyi keroncong di panggung tonel (panggung sandiwara), sedang Rd. Mochtar bintang yang ketika itu sedang digandrungi lewat penampilan sebelumnya di film Pareh. Dan, lagu “Terang Bulan” di film ini dinyanyikan oleh Miss Roekiah, penyanyi yang di masa itu memang sedang populer.

Sukses di Malaya
Kesuksesan film Terang Boelan yang berkisah tentang kehidupan masyarakat asli di pulau-pulau Laut Selatan ini kemudian menjadi pemicu perusahaan-perusahaan film lainnya untuk memproduksi tema yang sama, dengan tujuan meraih kesuksesan dari segi pemasaran. Apalagi film Terang Boelan tidak hanya sukses di dalam negeri sendiri, tapi juga meraih sukses ketika ditayangkan di Malaya (Malaysia) dan Singapura.
Semenjak film Terang Boelan, dunia perfilman di negeri kita saat itu mengalami masa-masa menggembirakan. Masa-masa itu (1939-1942) oleh Misbach Jusa Biran disebut sebagai masa panen pertama perfilman Indonesia.
Di dalam Selintas Kilas Sejarah Film Indonesia (terbitan Badan Pelaksana FFI 1982) Misbach Jusa Biran menyatakan – Film Terang Boelan memperlihatkan bukti yang amat jelas kepada para pemilik  modal bahwa usaha pembuatan film bisa menjadi bisnis yang hebat. Maka sejak 1939 mulai bermunculan perusahaan-perusahaan film baru. Semuanya berpedoman kepada pola resep film Terang Boelan. Pasangan Roekiah-Rd. Mochtar yang namanya menjulang ke langit popularitas, juga menjadi model dalam mendapatkan bintang bagi masing-masing perusahaan. Sejak saat itu kedudukan bintang dalam film Indonesia merupakan unsur amat penting, “star system” dimulai.
Seperti juga Roekiah, maka semua bintang baru khususnya ditarik dari dunia tonel. Termasuk pemain panggung paling cemerlang saat itu, seperti Fifi Young, Tan Tjeng Bok, Rd. Ismail, Astaman dan Ratna Asmara.
Tapi masa panen pertama perfilman Indonesia itu, menurut Misbach Jusa Biran, hanya berusia singkat, karena harus mendadak terhenti pada awal tahun 1942. Hal itu terjadi setelah Jepang menduduki Indonesia dan menyingkirkan kekuasaan Belanda pada Maret 1942.
Ada cerita menarik seputar lagu “Terang Bulan” yang menjadi song film di film “Terang Bulan” tersebut. Sejak zaman Hindia Belanda hingga negeri ini merdeka dan bernama Indonesia, lagu “Terang Bulan” telah dinyanyikan atau dipopulerkan oleh sejumlah penyanyi. Bahkan beberapa penyanyinya adalah keturunan Indo-Belanda (keturunan Belanda-Indonesia), seperti Wieteke van Dort, dan Rudy van Dalm.
Terakhir, di tahun 50-an, lagu “Terang Bulan” itu dinyanyikan oleh Nien Lesmana. Akan tetapi kemudian oleh Presiden Sukarno diminta agar lagu itu tidak dinyanyikan lagi di Indonesia, karena kemudian telah djadikan lagu kebangsaan Malaya (sekarang Malaysia), “Negaraku”. Ketika menjadi lagu kebangsaan Malaya (Malaysia), hanya judul dan syair lagunya saja yang berubah, sementara lagu atau iramanya sema sekali tidak berubah.   @ SEA

           KET. GAMBAR.
           1. Salah satu adegan dalam film "Terang Boelan".

           2. Cover atau sampul piringan hitam Rudy van Dalm yang menyanyikan lagu "Terang Boelan".


Selasa, 29 November 2011

Cita-cita :Indonesia Raya” Pernah Berkumandang di Malaya (Malaysia)


Cita-cita :Indonesia Raya”
Pernah Berkumandang di Malaya (Malaysia)

Oleh: Sutirman Eka Ardhana

SAMPAI hari ini kita masih tetap meyakini bahwa Indonesia, Malaysia (dulu Malaya), Brunei dan juga Filipina adalah bangsa yang serumpun. Keyakinan sebagai bangsa serumpun, yakni rumpun Melayu sudah dimiliki jauh sebelum negara-negara yang serumpun ini memiliki kedaulatannya sendiri sebagai bangsa yang merdeka.
Orang-orang Barat dulu menamakan Kepulauan Nusantara kita ini bersama-sama dengan Semenanjung Melayu (dulu Malaya dan kini Malaysia) dan pulau-pulau di sekitarnya sebagai Malay-Archipelago atau Kepulauan Melayu.
Jauh sebelum Indonesia mencapai kemerdekaan di tahun 1945, orang-orang Melayu di Malaya (Malaysia) telah meyakini dirinya sebagai satu bangsa dengan rakyat Indonesia. Keyakinan itu semakin kuat ketika di Indonesia kemudian menggelora semangat pergerakan kebangsaan untuk mencapai Indonesia Raya.

Warisan Masa Lalu
Sekitar tahun 1920-an cita-cita Melayu Raya pernah tumbuh di Malaya. Namun kemudian pemimpin-pemimpin muda Melayu terbakar pula semangatnya untuk mengembalikan kejayaan-kejayaan masa lalu dengan menegakkan warisan-warisan yang dimiliki Sriwijaya, Majapahit dan Melaka. Mereka merindukan bangkitnya kembali Kesatuan Nusantara yang pernah ditegakkan Sriwijaya dan Majapahit.
Semangat itu kian menggelora, setelah pemimpin-pemimpin muda Melayu itu melihat dan terpengaruh dengan semangat pergerakan kebangsaan yang bangkit di Indonesia. Semangat pergerakan untuk mencapai Indonesia Raya yang merdeka itu membakar dada segenap putera-putera Melayu di Malaya yang juga merindukan kemerdekaan.
Sejak itu cita-cita nasional “Indonesia Raya” digenggam oleh pemuda-pemuda Malaya. Bahkan pada tahun 1929, tidak sedikit pemuda-pemuda Malaya yang menggabungkan diri dan semangatnya di dalam wadah Persatuan Nasional Indonesia (PNI).

KesatuanMelayu Muda
Meskipun cita-cita nasional “Indonesia Raya” itu sudah tumbuh di tahun 1920-an, namun secara tegas baru dinyatakan pada tahun 1938 oleh Kesatuan Melayu Muda (Malay Youth Organization).
Pada tahun 1930-an, kesadaran nasional tumbuh secara meyakinkan di kalangan pemuda-pemuda Melayu, khususnya pemuda-pemuda yang progresif. Mereka lalu membangun gerakan-gerakan bawah tanah melawan Inggris.
Tahun 1938 di Malaya (Malaysia) berdiri Kesatuan Melayu Muda (KKM). Organisasi pemuda ini dalam perjuangannya tidak menyatakan setia kepada Sultan-sultan maupun Pemerintah Inggris yang berkuasa. Tetapi juga tidak menyatakan menolak kerjasama.
KMM menyatakan mereka berdiri hanya untuk membangkitkan kesadaran berbangsa bagi segenap orang-orang Melayu.
Yang tentu saja mengejutkan penguasa Inggris di masa itu, adalah sikap mereka yang menyatakan menghendaki bangkitnya kesadaran nasional secara besar, yakni “Melayu Raya”.
KMM mengartikan dan mendefinisikan “Melayu Raya” sebagai cita-cita nasional “Indonesia Raya”. Bahkan dipertegas oleh KMM, bahwa Malaya merupakan sebagian dari Indonesia yang dipisahkan oleh Belanda dan Inggris.
Penguasa Inggris yang melihat sepak-terjang KMM yang pada kenyataannya benar-benar tidak mau bekerjasama dengan Pemerintah Inggris, merasa khawatir dan menganggap KMM sebagai organisasi yang berbahaya. Bahkan pemimpin-pemimpin KMM seperti Ishak Haji Mohammad dan Ibrahim Yaacob secara terang-terangan menyatakan anti Inggris. Melihat hal itu sejumlah pemuka KMM ditahan atau ditangkap oleh Pemerintah Inggris.
Namunpun demikian KMM berkembang pesat di seluruh Malaya dan Singapura. Anggota-anggotanya pun tersebar sampai ke Riau (Indonesia) dan Brunei.

Menuntut kepada Jepang
Pada bulan April 1942, setelah balatentara Jepang mengusir Pemerintah Inggris, KMM dibubarkan oleh Pemerintah Tentara Jepang. Akan tetapi pemimpin-pemimpin dan anggota KMM melanjutkan perjuangan melawan Jepang.
Mereka bergabung di dalam gerakan-gerakan bawah tanah Malaya Peoples Anti Japanese Army (MPAJA). Sementara sejumlah pemimpin dan anggotanya lagi secara diam-diam menyelinap dan masuk menjadi pimpinan pasukan Malay Giyu Gun yang dibentuk Jepang di akhir tahun 1943.
Di masa kekuasaan Balatentara Jepang itu, semangat dan cita-cita KMM untuk mewujudkan “Indonesia Raya” tetap menggelora. Bahkan di luar dugaan Pemerintah Jepang, tokoh-tokoh KMM yang juga menjadi pemimpin Malay Giyu Gun mengajukan tuntutan kepada penguasa Jepang agar Malaya diikutsertakan di dalam kesatuan Indonesia Merdeka. Tuntutan tokoh-tokoh KMM itu diajukan pada awal tahun 1945, ketika sudah ada tanda-tanda Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Di luar dugaan pula, pada bulan Juli 1945 tuntutan Malaya disatukan ke dalam wadah Indonesia Merdeka itu dikabulkan oleh Jepang. Kesediaan Jepang itu disambut gembira oleh pemuda-pemuda Malaya, khususnya KMM. Sehingga pada tanggal 8 Agustus 1945 bendera Merah Putih dikibarkan di Singapura. Pada bulan itu juga dikibarkan pada beberapa tempat lainnya di Malaya.
Serangkaian acara pun telah disusun ketika itu dalam rangkaian mewujudkan bergabungnya Malaya ke dalam Indonesia Raya. Pertemuan-pertemuan telah diadakan antara pemimpin-pemimpin nasionalis Melayu dengan pemimpin-pemimpin pergerakan Indonesia. Di antaranya pertemuan tanggal 13 Agustus 1945 di Taiping (Malaya).
Namun karena situasi wakti itu yang belum memungkinkan, mengakibatkan ketika proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan tanggal 17 Agustus 1945, Semenanjung Melayu atau Malaya belum dapat terikut-sertakan.

Adakan Kongres
Pada saat Jepang kepada pasukan Sekutu, semangat untuk bersatu di dalam kesatuan Indonesia Merdeka semakin membara. KMM pada bulan Agustus di tahun 1945 itu, tepatnya tanggal 15, 16 dan 17 menyelenggarakan kongres di Kuala Lumpur. Salah satu keputusan dari kongres KMM itu adalah meneruskan perjuangan kemerdekaan dan bersatu dengan Indonesia.
Sebagai tindak lanjut dari langkah perjuangan itu, pemimpin-pemimpin KMM dan kaum nasionalis Melayu lainnya lalu membentuk Partai Kebangsaan Melayu KMM dan kaum nasionalis Melayu lainnya lalu membentuk Partai Kebangsaan Melayu dan Malay Nationalist Party (MNP).
Pada tahun 1946 MNP mengadakan kongres. Salah satu keputusan kongres MNP itu adalah tuntutan masuknya Malaya ke dalam Indonesia. Bersamaan dengan itu berdirilah organisasi-organisasi kebangsaan lainnya, seperti Angkatan Pemuda Insyaf (API), dan Angkatan Wanita Sedar (AWAS) serta banyak lagi.
Pada dasarnya organisasi-organisasi tersebut mempunyai tujuan yang sama, mengenyahkan penguasa Inggris dan mewujudkan kesatuan Indonesia Merdeka di mana Malaya tergabung di dalamnya.

Ditindas
Akan tetapi cita-cita yang mulia itu gagal dan tak pernah terwujud hingga hari ini. Pemerintah Inggris lalu menindas gerakan MNP, API, AWAS, dan lain-lainnya, setelah terjadi perlawanan di tahun 1948. Tokoh-tokoh mereka ditangkap, dan organisasinya dibekukan.
Namun semangat perjuangan MNP dan sekutu-sekutunya tak pernah pudar. Meski dipatahkan di dalam negeri, mereka lalu membangun perjuangan di luar Malaya. Lalu di bulan Juni 1950, pejuang-pejuang Melayu itu mendirikan Kesatuan Malaya Merdeka (KMM) yang berkedudukan di luar Malaya. Dan, tokoh yang dipercayakan memimpin pergerakan itu itu Ibrahim Yaacob yang meneruskan perjuangan tersebut dari Indonesia.
Ibrahim Yaacob, seorang pemimpin nasional Melayu , tokoh KMM dan MNP yang sejak awal perjuangannya senantiasa membangkitkan semangat dan cita-cita “Indonesia Raya”. ***

(Dimuat Harian “Berita Nasional”, Sabtu, 3 Agustus 1985).

KET. GAMBAR: (di atas)
AWAS. Beberapa wanita Melayu yang tergabung di dalam Angkatan Wanita Sedar (AWAS) bergambar bersama sehabis pertemuan. AWAS merupakan kelanjutan dari perjuangan Kesatuan Melayu Muda. (Foto: Repro/Bernas)

Minggu, 30 Oktober 2011

Pengertian dan Realitas Jurnalistik Dakwah


          Pertemuan 3
          MK: JURNALISTIK

             Pengertian dan Realitas
     Jurnalistik Dakwah

APA yang dimaksud dengan Jurnalistik Dakwah? Bila jurnalistik memiliki arti sebagai suatu kegiatan menyampaikan pesan atau berita kepada khalayak ramai melalui saluran media, maka Jurnalistik Dakwah dapatlah diartikan sebagai suatu kegiatan menyampaikan pesan berupa dakwah kepada khalayak ramai melalui saluran media. Tekanannya tentu pada media pers, baik suratkabar, majalah maupun tabloid. Karena melalui media pers, pesan dakwah itu tentu saja disampaikan melalui karya tulisan. (Lihat Sutirman Eka Ardhana, Jurnalistik Dakwah, Pustaka Pelajar, 1995).
Jurnalistik Dakwah, bisa juga diartikan sebagai kegiatan atau aktivitas berdakwah melalui karya tulisan di media pers. Karya tulisan di media pers itu bisa berbentuk berita, feature, laporan, tajuk rencana, artikel, dan karya jurnalistik lainnya.
Sesuai dengan namanya sebagai Jurnalistik Dakwah, maka karya-karya jurnalistik tersebut haruslah berisi ajakan atau seruan mengenai pentingnya meraih keberhasilan, mencapai kemajuan, mengerjakan kebaikan dan meninggalkan kenistaan. Ajakan dan seruan itu semuanya bersumber dari aqidah Islam, tauhid dan keimanan.

Pers Sebagai Sarana Dakwah
Dalam kecamuk era-globalisasi dewasa ini, rasanya tidak ada alasan untuk tidak memanfaatkan peluang media pers yang strategis itu bagi pengembangan syiar Islam. Artinya, sudah saatnya kita memastikan sikap dan langkah menjadikan media pers sebagai sarana dakwah.
Dakwah dalam bahasa aslinya (Arab) mempunyai pengertian sebagai ajakan, panggilan, seruan atau himbauan. Menurut ulama terpandang Syekh Ali Mahfudh dalam kitab Hidayatul Mursyidin, dakwah Islam memiliki arti mendorong manusia untuk melakukan kebajikan, kebaikan serta mengikuti petunjuk, menyuruh berbuat kebaikan serta melarang melakukan perbuatan munkar, agar memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan dunia-akhirat.
Berdakwah bagi setiap Muslim merupakan tugas mulia. Artinya, setiap Muslim haruslah menjadi “Serdadu Allah” yang bertugas dan berkewajiban menjadi pengajak, penyeru atau pemanggil kepada umat manusia untuk melaksanakan amar-makruf dan nahi-munkar. Mengajak pada kebaikan dan meninggalkan kenistaan.
Tugas dan kewajiban mulia itu tertera jelas dalam firman Allah, di antaranya: “Dan hendaklah ada di antara kamu, umat yang berdakwah, yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang perbuatan salah atau kemungkaran. Mereka itulah orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104).
Cara berdakwah di mana pun pada dasarnya memiliki prinsip yang sama. Demikian pula pada persoalan materi dan ideologi dakwah yang diemban tidak akan pernah berbeda. Semuanya bermuara dan berpegang pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.
Akan tetapi berdakwah melalui media pers, memiliki teori-teori atau cara tersendiri yang sangat berkaitan erat dengan metode-metode jurnalistik yang ada dalam kaidah-kaidah ilmu komunikasi massa.
Dalam visualisasinya, Jurnalistik Dakwah tentu harus mengembangkan Jurnalisme Dakwah. Jurnalisme Dakwah adalah Jurnalisme Islami, yakni jurnalisme yang mengedepankan syiar Islam dan mengutamakan amar-makruf – nahi-munkar. Jurnalisme mulia ini tidak hanya bertumpu pada keberadaan ilmu komunikasi massa semata, tetapi juga harus ditopang dengan ‘keampuhan’ beberapa ilmu lainnya, seperti psikologi, sosiologi, politik  antropologi, sejarah, bahasa, kebudayaan, agama dan lainnya.
Kondisi umat atau masyarakat yang akan dijadikan sasaran dari Jurnalistik Dakwah itu pun haruslah terlebih dulu dipahami. Umat bila digolongkan dalam tingkat pemikirannya akan terbagi dalam tiga kelompok. Pertama: umat yang berpikiran kritis. Kedua: umat yang mudah dipengaruhi. Ketiga: umat yang bertaqlid.
Dengan melihat pada kondisi umat yang ada, Jurnalistik Dakwah haruslah mampu memilih tema dan sasaran dakwah yang tepat, sehingga apa yang disampaikan akan mengena pada maksud dan tujuannya. Penulis atau pendakwah harus mampu merangsang dan membawa pembacanya pada pokok sasaran yang diinginkan, hingga pembaca akan terbawa serta terlibat dalam persoalan yang disajikan.
Berbicara tentang tema, Jurnalistik Dakwah (jurnalisme dakwah) seharusnya tidak semata-mata hanya berbicara tentang persoalan-persoalan ‘apa yang dilarang’ atau ‘apa yang dibenarkan’ oleh Islam saja. Akan tetapi, Jurnalistik Dakwah harus pula mampu melihat ke cakrawala persoalan dan wawasan yang lebih luas dan global lagi.
Banyak hal yang bisa dipilih. Misalnya, bagaimana merangsang keterlibatan umat dalam ikut menegakkan dan mengembangkan syiar Islam, menegakkan dan mengamalkan hukum. Tidak saja hukum yang ada dalam ketentuan-ketentuan agama, tapi juga hukum yang ditetapkan negara.

Bagaimana Membuatnya?
Pada dasarnya semua bentuk karya jurnalistik dapat dijadikan sarana dakwah. Seperti berita, reportase (laporan), feature, artikel, tajuk rencana, bahkan sampai ‘karya selingan’ fiksi.
Sekarang kita tinggal memilih, bentuk mana yang akan dijadikan sarana atau ajang untuk meningkatkan kualitas kehidupan serta penambahan wawasan pemikiran masyarakat Muslim, kemudian membesarkan dan membela Islam dari cercaan pers Barat, dan menyebarluaskan keyakinan bahwa Islam adalah ajaran yang  rahmatan lil alamin.
Misalnya saja kita memilih bentuk reportase atau laporan. Bila ingin membuat tulisan bernuansa dakwah atau karya jurnalistik yang Islami melalui reportase, yang kita inginkan adalah Reportase Mendalam (RM).
RM yang dalam istilah jurnalistiknya adalah depth reporting ini merupakan paduan antara investigative reporting dan interpretative reporting.
Di dalam Reportase Mendalam (RM), data dan fakta yang diperoleh dari hasil galian serta lacakan yang mendalam disajikan secara rinci, kemudian dilengkapi dengan berbagai pendapat dan pernyataan dari sejumlah narasumber. Para narasumber itu haruslah pakar atau mereka yang benar-benar mengetahui permasalahan yang akan dikemukakan di dalam RM tersebut. Pendapat atau komentar para narasumber itu kita jadikan opini yang membuat data serta fakta di dalam tulisan semakin berbobot dan mencapai sasarannya.
 Membuat RM tidaklah semudah dan seringkas membuat tulisan straight news atau berita langsung. RM dibuat setelah melalui beberapa tahapan dan proses. Tahap-tahap yang harus dilewati di antaranya, tahap perencanaan, menentukan waktu, menghimpun data, fakta serta opini dan kemudian menulisnya.
RM ini memang agak istimewa dibanding karya jurnalistik yang lain. Kepribadian dan karakter si penulis biasanya akan dapat diketahui di dalam RM  tersebut. Karena RM biasanya selalu mencerminkan bagaimana jiwa, semangat dan perilaku atau watak penulisnya. Sehabis membaca RM, pembaca yang cermat akan dapat mengetahui apakah si penulis RM itu memiliki watak keras, lunak atau biasa-biasa saja. Akan diketahui pula, apakah si penulis merupakan tipe penulis yang obyektif, subyektif, beridealisme tinggi, realistis, komersial bahkan oportunis.
Apabila rencana sudah tersusun matang, maka sejumlah langkah di bawah ini perlu diperhatikan.
Pertama, tentukan topik RM. Susun persoalan-persoalan yang sedang aktual dan menarik perhatian masyarakat secara berurutan. Kemudian dari deretan persoalan-persoalan itu kita pilih mana yang akan dijadikan topik. Ingat, dalam memilih topiknya harus pula diperhatikan faktor-faktor yang memberikan kemudahan dalam menyusunnya.
Kedua, susun atau tentukan sumber-sumber informasu atau narasumber yang akan kita datangi demi terkumpulnya data, fakta serta opini itu. Misalnya, sumber informasi dari perpustakaan, kantor instansi tertentu, lembaga maupun pakar, dan lainnya.
Ketiga, jangan sampai dilupakan, karena ini bisa dipandang sebagai bagian terpenting dari ‘program’ pembuatan RM itu, yakn menetapkan sasaran dan tujuannya. Untuk maksud apa RM itu kita tulis? Pada sasaran mana RM itu kita tujukan? Dan kemudian, kita mencoba mencari gambaran sementara seberapa jauh RM tersebut dapat berpengaruh terhadap masyarakat atau pembacanya.
Pada bagian ketiga inilah, peran dakwah bisa kita masukkan. Karena pada bagian ketiga inilah kita mulai menentukan persoalan apa yang urgen dan relevan dikemukakan dalam jurnalisme amar-makruf—nahi-munkar (jurnalisme dakwah) tersebut.
   Setelah semua data, fakta dan opini terkumpul melalui proses lerja yang memang melelahkan, misalnya mencari data di perpustakaan, melakukan wawancara dengan sejumlah narasumber, serta mengumpulkan informasi dari berbagai tempat lainnya, barulah penulisan RM bisa dimulai.
Tidak ada ketentuan secara baku, bagaimana menulis RM yang baik dan berkualitas itu. Sebab, betapapun baik atau tidaknya suatu RM itu tidak bisa lepas dari semangat dan keterampilan penulisnya.
Tapi beberapa langkah yang dikemukakan di bawah ini dapat dijadikan petunjuk sederhana.
Memilih judul – Buatlah judul yang singkat, mengena pada sasaran dan merangsang minat pembaca. Judul haruslah merupakan intisari atau promosi untuk RM tersebut. Judul yang merangsang emosi pembaca sangat besar artinya dalam menarik perhatian pembaca untuk membaca RM itu sampai selesai.
Lead atau Intro – Lead atau intro adalah sebagai pembuka sebuah RM. Buatlah lead atau intro yang menarik dan menggoda perhatian pembaca. Setelah tergoda oleh judul tulisan, pembaca akan semakin yakin tulisan yang dibacanya menarik bila menemukan hal-hal yang menarik perhatiannya di bagian-bagian awal tulisan.
Body – Body RM merupakan isi dari tulisan itu. Di dalam bagian isi inilah terdapat maksud dan tujuan dari RM. Para penulis RM, kebanyakan memilih bentul ‘piramida terbalik’ dalam menulis RM, dengan menempatkan hal-hal utama di bagian depan dan kemudian disusul dukungan data serta fakta akuran lainnya.
Kesimpulan – Ingat, tidak semua pembaca mampu menarik suatu kesimpulan dari suatu karya tulis (jurnalistik) yang dibuat. Untuk itu, bantulah pembaca menemukan suatu kesimpulan dari RM tersebut. Kesimpulan itu dapat dikemukakan pada bagian akhir atau penutup RM, atau dengan cara menyajikan data, fakta serta opini secara runtut dan jelas. Dengan penyajian secara runtut dan jelas ini, pembaca akan mampu menyimpulkannya sendiri. (SEA)
                                           ***
(Lebih jelas lihat: Sutirman Eka Ardhana, Jurnalistik Dakwah, Pustaka Pelajar, 1995).

Berita dan Tajuk Rencana

Pertemuan 2
            MK: JURNALISTIK

Berita dan Penulisannya

SEBAGAI media informasi, suratkabar dan majalah sarat dengan penyajian berita. Disamping berita masih terdapat bentuk-bentuk tulisan lainnya yang bersifat ganda, memberi informasi dan sekaligus menghibur. Misalnya, tulisan-tulisan feature  dan reportase.
Apa sesungguhnya yang disebut dengan berita?
Sejumlah ahli komunikasi telah memberikan batasan-batasan atau definisi tentang berita tersebut. William S. Maulsby misalnya. Ia menyatakan, “Berita merupakan suatu penuturan secara benar dan tidak memihak dari fakta-fakta yang mempunyai arti penting dan baru terjadi, yang dapat menarik perhatian para pembaca suratkabar yang memuat berita tersebut.”
Sementara Dja’far H. Assegaff dalam bukunya “Jurnalistik Masa Kini” menyebutkan, “Berita dalam arti jurnalistik adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa, entar karena pentingnya atau akibatnya, entah pula karena ia mencakup segi-segi human interest seperti humor, emosi dan ketegangan.”
Tidak setiap peristiwa atau kejadian bisa dijadikan berita jurnalistik. Suatu peristiwa bisa disebut layak berita apabila ia memenuhi persyaratan atau ukuran-ukuran tertentu. Paling utama, peristiwa itu bisa disebut layak berita apabila mengandung unsur penting dan menarik.
Secara umum unsur-unsur dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan layak berita antaralain, unsur Termasa (baru), Jarak, Penting, Keluarbiasaan, Manusiawi dan Akibat.
Termasa (baru) – artinya, peristiwa yang akan dijadikan berita itu baru saja terjadi, aktual dan hangat. Misalnya, suatu peristiwa yang terjadi hari Minggu, pada hari Senin (keesokan harinya) berita tersebut sudah harus dimuat.
Jarak – artinya, jarak jauh atau dekatnya suatu peristiwa haruslah disesuaikan dengan publik pembaca. Misalnya, suatu koran atau suratkabar lokal (daerah) yang terbit di Yogyakarta tentu harus mengutamakan untuk memilih peristiwa berita yang terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya. Berita mengenai pembangunan suatu masjid di Yogyakarta, yang dibangun secara susah-payah tentu akan lebih menarik perhatian publik pemnaca di Yogyakarta dan sekitarnya, dibanding dengan publik pembaca di Jakarta atau kota-kota lainnya.
Penting – artinya, suatu peristiwa yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat luas, khususnya para pembaca. Misalnya, peristiwa naiknya harga BBM (bahan bakar minyak), terjadinya bencana alam, jatuhnya pesawat terbang, dan sebagainya yang berkaitan dengan jiwa manusia.
Keluarbiasaan – artinya, suatu peristiwa atau kejadian yang mengandung unsur menakjubkan, aneh serta luar-biasa. Misalnya, peristiwa jatuh atau terlepasnya seorang bayi dari gendongan ibunya di atas rel kereta api, ketika pada waktu bersamaan sebuah kereta api melaju di atas rel tersebut. Bayi itu ternyata selamat dan tidak terluka sedikitpun, meski kereta api sudah melaju di atasnya. Peristiwa yang pernah terjadi di India beberapa tahun lalu ini merupakan peristiwa yang mengandung unsur keluarbiasaan itu.
Manusiawi – artinya, peristiwa yang menyentuh perasaan bagi pembaca. Misalnya, seorang isteri Bupati atau pejabat meneteskan air mata ketika menggendong seorang bayi mungil di Panti Asuhan yang dikunjunginya.
Akibat – artinya, peristiwa itu apabila diberitakan akan menarik publik pembaca, karena pembaca merasa ada akibat yang bakal dirasakan dari peristiwa tersebut. Misalnya, Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan penetapan atau perintah untuk mengosongkan daerah sepanjang tepian Kali Code di Yogyakarta, yang selama ini sudah menjadi daerah atau kawasan pemukiman penduduk. Penduduk-penduduk yang tinggal di sepanjang tepian Kali Code itu tentu akan merasa mendapatkan akibat dari penetapan atau perintah pengosongan tersebut.
Disamping unsur-unsur tersebut, masih terdapat sejumlah unsur lainnya. Seperti unsur-unsur yang berkaitan dengan persoalan seks, emosi, dan humor.
Selain itu, jika kita kaitkan dengan pengembangan dakwah Islam, maka unsur lain yang harus pula diperhatikan adalah adanya unsur dakwah dari setiap peristiwa yang akan diberitakan.

Bagaimana Menulisnya?
Secara umum selama ini, wartawan selalu berpegang pada enam pedoman dalam menulis suatu berita. Keenam pedoman itu meliputi: Apa yang terjadi; Siapa yang terlibat di dalamnya; Di mana terjadinya; Kapan peristiwa itu terjadi; Mengapa kejadian atau peristiwa itu terjadi; dan Bagaimana kejadiannya.
Keenam pedoman ini lazim disebut 5 W dan 1 H. Yakni – What, Who, Where, When, Why dan How
Kalangan pekerja jurnalistik selama ini mengenal ada tiga penggolongan berita, yakni berita langsung, berita ringan (human interest) dan berita kisah (feuture).
Sekarang kita memfokuskan saja pada bagaimana menulis berita langsung, karena berita jenis inilah yang mendominir isi suratkabar atau harian di Indonesia sekarang ini.
Dalam menulis suatu berita harus diperhatikan tentang pembagian pada berita tersebut. Ada tiga bagian di dalamnya, yaitu lead (teras atau intro), tubuh berita (detail), dan penutup.
Untuk memudahkan kerja penulisan berita, wartawan selama ini selalu berpegang pada sistem penulisan yang disebut sistem piramida terbalik. Secara mudahnya, dalam sistem ini pembuat berita harus meletakkan bagian yang menarik dan menonjol pada lead atau teras berita. Kemudian pada tubuh berita, barulah seluruh peristiwa dijelaskan secara lengkap dan berurutan dari fakta ke fakta yang ada.
Pada bagian penutup (walau tidak penting), baru disebutkan bagian-bagian yang sifatnya hanya sebagai pelengkap atau sampingan saja. Jadi, andaikata bagian atau hal-hal yang disebutkan di bagian penutup tidak disertakan, hal itu tidak akan mempengaruhi isi berita.
Sementara dalam berita ringan dan berita kisah, penulisannya tidak tergantung dengan struktur semacam itu. Berita ringan dan berita kisah menganut struktur bebas, yaitu tidak berpegang pada ketentuan “persoalan penting di bagian atas” dan “persoalan tidak penting di bagian belakang”.

Dari Mana Sumbernya?
Berita diperoleh wartawan tidak saja dari peristiwa yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri, tapi juga diperoleh dari banyak sumber lainnya.
Berdasarkan masalahnya, berita dapat dibagi dalam beberapa macam atau jenis berita. Antaralain berita politik, berita ekonomi, berita kejahatan (kriminal), berita olahraga, berita militer, berita pendidikan, berita pengadilan (hukun) dan berita keagamaan.
Masing-masing jenis berita itu mempunyai sumber-sumber tersendiri. Misalnya, berita-berita kejahatan (kriminal) termasuk di dalamnya berita-berita tentang kecelakaan lalulintas, sumbernya ada di kantor polisi. Berita-berita pengadilan, sumbernya tentu ada di pengadilan.
Disamping mencatat data-data yang diperoleh sendiri, berita juga diperoleh dengan kerja wawancara. Bahkan wawancara memiliki peranan sangat penting. Hampir sebagian besar isi suratkabar dan majalah atau media pers lainnya, diperoleh dari hasil kerja wawancara.
Berita sebagian besar diperoleh dari hasil wawancara pada sumber-sumber berita, terkecuali berita-berita yang diperoleh melalui release, siaran pers atau pengumuman dari suatu instansi, lembaga dan sebagainya. (SEA) ***


            Tajuk Rencana
            TAJUK RENCANA merupakan pernyataan dan tanggapan dari media pers itu sendiri mengenai fakta dan opini yang ada dan sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Di dalam buku Editorial Writing, Lyle Spencer mengemukakan, tajuk rencana adalah pernyataan mengenai fakta dan opini secara singkat, logis, menarik ditinjau dari segi penulisan dan bertujuan untuk mempengaruhi pendapat atau memberikan interpretasi terhadap suatu berita yang menonjol, sehingga bagi kebanyakan pembaca suratkabar akan menyimak pentingnya arti berita yang diajukan tadi.
Jadi, tajuk rencana pada dasarnya merupakan ‘suara hati’ dari suratkabar atau media pers bersangkutan. Karena merupakan ‘suara hati’ yang berisi pendapat dan sikap media pers itu sendiri, maka penulisnya haruslah ‘orang-orang terpercaya’ atau redaktur-redaktur berkualitas.
Biasanya penulis tajuk rencana adalah pemimpin redaksi atau wakilnya. Tetapi tidak sedikit media pers yang mempercayakan penulisan tajuk rencananya kepada redaktur-redaktur senior yang memiliki wawasan luas.
Apa fungsi atau tujuan tajuk rencana? Menurut William Pinkerton dari Harvard University, tajuk rencana atau editorial mempunyai empat fungsi utama (tujuan). Hal yang sama dikemukakan juga oleh Dja’far H Assegaf dalam bukunya Jurnalistik Masa Kini. Baik William Pinkerton maupun Dja’far H Assegaf sama-sama mengatakan, keempat fungsi utama itu meliputi: menjelaskan berita (Explaining the News), menjelaskan latar belakang (Filling in Background), meramalkan masa depan (Forecasting the Future), dan menyampaikan pertimbangan moral (Passing Moral Judgmen).
Fungsi menjelaskan berita, artinya penulis tajuk rencana bertindak sebagai seorang guru yang menjelaskan sesuatu berita atau peristiwa. Penjelasan itu dimaksudkan agar pembaca mengetahui apa sesungguhnya yang diinginkan dari isi berita tersebut.
Fungsi menjelaskan latar belakang, artinya tajuk rencana memberikan kaitan sesuatu berita dengan kenyataan-kenyataan sosial lainnya. Penulis tajuk rencana melengkapi berita tersebut dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi.
Fungsi meramalkan masa depan, artinya penulis tajuk rencana menjadi futuris dengan analisanya mencoba memberikan ramalan apa yang akan terjadi. Dengan demikian masyarakat akan dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi persoalan yang diramalkan akan muncul di masa depan.
Sedangkan fungsi menyampaikan pertimbangan moral, artinya si penulis tajuk rencana memberikan penilaian dan sikapnya atas sesuatu peristiwa. Dalam penilaian ini penulis harus mampu tampil untuk mewakili apa yang sesungguhnya ada dalam hati nurani masyarakat.

Delapan Sifat Tajuk Rencana
Tentang bentuk dan jenis tajuk rencana, Dja’far H Assegaf membaginya dalam delapan sifat.
1.                            Bersifat memberikan informasi semata. Tajuk rencana semacam ini hanya sekadar memberikan informasi tanpa menyebutkan secara jelas bagaimana sikapnya terhadap kebijakan dalam berita tersebut.
2.                            Bersifat menjelaskan. Tajuk rencana ini hampir serupa dengan interpretasi yang memberikan penjelasan kepada suatu peristiwa atau berita.
3.                            Bersifat memberikan argumentasi. Tajuk rencana seperti ini bersifat analitis dan kemudian memberikan argumentasi mengapa sampai terjadi sesuatu hal dan apa akibatnya.
4.                            Bersifat menjuruskan timbulnya aksi. Tajuk rencana ini mendorong timbulnya aksi dari masyarakat. Artinya, si penulis tajuk ingin menjuruskan suatu tindakan secara cepat dari masyarakat.
5.                            Bersifat jihad. Tajuk rencana yang bersifat jihad ini biasanya ditulis secara berturut-turut dengan melontarkan sikap atau pandangan yang tegas dan jelas terhadap sesuatu masalah. Misalnya, bagaimana mengantisipasi judi, pelacuran, kejahatan dan sebagainya.
6.                            Bersifat membujuk. Tajuk rencana ini dengan cara dan gaya yang halus berusaha membujuk masyarakat untuk mengambil tindakan atau membentuk pendapat umum.
7.                            Bersifat memuji. Tajuk rencana seperti ini menekankan pada pujian atas suatu prestasi yang terjadi di masyarakat.
8.                            Bersifat menghibur. Tajuk rencana ini lebih banyak bercerita tentang human interest story.

Sekarang apa saja yang harus dilakukan oleh penulis tajuk rencana atau editorial? Konferensi para penulis editorial tahun 1974 di Amerika Serikat menegaskan, tugas utama para penulis tajuk rencana adalah memberikan informasi dan bimbingan ke arah demokrasi yang sesungguhnya. Untuk itu para penulis tajuk rencana diharuskan senantiasa memiliki integritas diri dan integritas profesinya.
Konferensi penulis editorial itu juga merekomendasikan sejumlah langkah atau petunjuk yang harus dilakukan oleh para penulis tajuk rencana atau editorial.
Pertama, penulis editorial (tajuk rencana) harus menyajikan fakta-fakta yang jujur dan tuntas. Editorial yang tidak benar adalah tidak jujur dan tidak bernilai. Dia tidak boleh salah membimbing pembacanya,mengacaukan situasi, atau menempatkan seseorang dari sudut pandang yang salah.
Kedua, penulis editorial (tajuk rencana) harus mengambil kesimpulan obyektif dari fakta-fakta yang disajikan,berdasarkan bobot bukti dan berdasarkan konsep yang menurutnya bagus.
Ketiga, penulis editorial (tajuk rencana) tidak dibenarkan terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau memanfaatkan pengaruhnya untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Dia harus mempertahankan hal-hal di atas diri sendiri dari kemungkinan penyelewengan, apa pun sumbernya.
Keempat, penulis editorial (tajuk rencana) harus menyadari dirinya tidak sempurna. Oleh karena itu, sejauh masih di dalam kekuasaannya, dia harus menyuarakan kepada mereka yang tidak setuju dengannya di dalam kolom surat pembaca atau dengan alat-alat lainnya.
Kelima, penulis editorial (tajuk rencana) secara teratur harus mengulas kesimpulannya sendiri dalam kaitannya dengan informasi yang dapat diperolehnya. Dia harus mengoreksi kesimpulan tersebut dan menemukannya atas dasar kesalahpahaman sebelumnya.
Keenam, penulis editorial (tajuk rencana) harus punya keberanian yang teguh dan filosofi hidup demokrasi. Dia tidak boleh menulis atau menerbitkan apa pun yang bertentangan dengan hati nurani. Banyak halaman editorial merupakan produk pikiran orang banyak, tetapi pertimbangan kolektif yang bagus dapat dicapai lewat pertimbangan individual. Oleh sebab itu, opini individual yang mendalam harus dihormati.
Ketujuh, penulis editorial (tajuk rencana) harus membantu temannya dalam konteks kesetiaan terhadap integritas takaran profesionalisme yang tinggi. Reputasinya adalah reputasi mereka dan reputasi mereka adalah miliknya. (Willian L. Rivers, Bryce Mc Intyre, Alison Work, Editorial, Remaja Rosdakarya, 1994). ---------(SEA)
                                       ***                                                                 

Rabu, 26 Oktober 2011

MEMAHAMI JURNALISTIK (JURNALISTIK DAN FUNGSINYA)


            Pertemuan 1
            MK: JURNALISTIK

MEMAHAMI JURNALISTIK
          (JURNALISTIK DAN FUNGSINYA)

            APA yang dimaksud dengan  jurnalistik?
Menurut Dja’far H Assegaf (1983), jurnalistik merupakan kegiatan untuk menyampaikan pesan atau berita kepada khalayak ramai (massa), melalui saluran media, baik media cetak maupun media elektronik.
Sementara di dalam kamus besar Bahasa Indonesia disebutkan, jurnalistik merupakan kegiatan untuk menyiapkan, mengedit dan menulis untuk suratkabar, majalah, atau berkala lainnya.
Pendapat lain mengatakan, jurnalistik adalah ilmu tentang kewartawanan. Dengan kata lain, jurnalistik dapat juga disebut sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang bagaimana kerja para wartawan atau jurnalis dalam menghasilkan karya-karya jurnalistiknya.
Istilah jurnalistik berasal dari kata “journal” (Perancis) yang berarti suratkabar atau majalah.
Bila aktivitas kegiatan penyampaian pesan atau berita melalui media massa (media pers) itu disebut jurnalistik, maka para pekerjanya disebut jurnalis atau lazim disebut wartawan.
Pers dan jurnalistik adalah dua kata yang sulit dipisahkan. Bahkan banyak pihak yang ‘mencampur-adukkan’ dua istilah itu menjadi satu pengertian yang sama. Hal ini  terjadi dikarenakan setiap kali berbicara tentang jurnalistik pasti tidak bias lepas dari pembicaraan tentang pers itu sendiri. Walaupun sebenarnya, membedakan pengertian antara jurnalistik dengan pers bukanlah sesuatu yang sulit.
Jurnalistik adalah bentuk kerja atau hasil kerjanya, sedangkan pers adalah media yang digunakan untuk menyampaikan ‘hasil kerja jurnalistik’ itu.
Akan tetapi mempelajari atau ‘memahami jurnalistik’ sama juga dengan upaya mempelajari maupun ‘memahami pers’ itu sendiri.


Fungsi dan Peran
Pers atau bidang kerja jurnalistik pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai:
1.      Pemberi informasi.
2.      Pemberi hiburan.
3.      Pemberi kontrol (alat kontrol sosial)
4.      Pendidik masyarakat.

Pemberi informasi – Fungsi utama pers adalah pemberi informasi atau menyiarkan informasi kepada pembaca (publik). Informasi yang disajikan melalui karya-karya jurnalistik, seperti berita (straight news), feature, reportase dan lainnya, memang sesuatu yang sangat diharapkan publik pembaca, ketika membaca, membeli dan berlangganan media pers. Informasi yang disampaikan pun beragam jenisnya. Tidak hanya sebatas informasi yang berkaitan dengan suatu peristiwa, tetapi juga bersifat ide, gagasan-gagasan, pendapat atau pikiran-pikiran orang lain yang memang layak untuk disampaikan ke publik pembaca.

Pemberi hiburan – Media pers juga punya fungsi untuk menghibur publik pembaca. Menghibur dalam kaitan meredakan atau melemaskan ketegangan-ketegangan pikiran karena kesibukan aktivitas kehidupan. Jadi, informasi yang disajikan media pers tidak hanya berita-berita serius atau berita-berita berat (hard news), tapi juga berita-berita atau karya jurnalistik lainnya yang mampu membuat pembaca tersenyum, dan melemaskan otot-otot pikirannya. Karya-karya menghibur itu bias ditemukan dalam bentuk karya fiksi, seperti cerpen, cerita bersambung, cerita bergambar, karikatur, gambar-gambar kartun, bahkan juga tulisan-tulisan yang bersifat human interest.

Pemberi kontrol (alat kontrol sosial) – Fungsi pemberi kontrol atau sebagai alat kontrol sosial merupakan fungsi penting yang dimiliki pers. Sebagai media penyampai informasi, media pers tidak hanya sebatas menyampaikan atau memberikan informasi yang berkaitan dengan suatu peristiwa, akan tetapi berkewajiban juga menyampaikan gagasan-gagasan maupun pendapat yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas. Bila ada suatu kebijakan, baik dari pemerintah maupun lembaga-lembaga tertentu, yang dipandang tidak sesuai atau berlawanan dengan kepentingan masyarakat, media pers punya kewajiban untuk mengingatkan. Cara mengingatkannya dilakukan melalui tulisan di tajuk rencana maupun karya jurnalistik lainnya.

Pendidik masyarakat – Fungsi sebagai pendidik masyarakat ini juga merupakan fungsi penting yang disandang media pers. Dalam pengertian yang luas, pers berkewajiban mendidik masyarakat pembacanya dengan memberikan beragam pengetahuan yang bisa bermanfaat bagi peningkatan nilai kehidupan. Sajian-sajian karya jurnalistiknya haruslah mencerahkan dan memberikan tambahan pengetahuan serta wawasan yang luas, sehingga masyarakat memperoleh pemahaman atau pengertian baru tentang kehidupan yang lebih maju dibanding sebelumnya.

Dengan fungsi-fungsinya itu pers memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat. Melalui pengaruhnya, pers (media cetak dan media elektronik) dapat membawa dan menyampaikan pesan-pesan maupun gagasan-gagasan (dikemas dalam karya jurnalistik) yang membangun dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Demikian pula dalam pembangunan di bidang sosial-budaya, atau bentuk-bentuk kehidupan di dalam masyarakat, misalnya dalam mewujudkan terjadinya perubahan sosial atau peralihan masyarakat tradisional ke masyarakat modern, pers dengan pengaruhnya dapat mempercepat proses perubahan sosial maupun peralihan itu.
Pers melalui karya-karya jurnalistik yang disajikannya mempunyai fungsi dan peranan yang besar dalam menciptakan suatu sikap pembaharuan dalam perilaku dan tatanan sosial serta sikap budaya masyarakat. Khususnya dalam memperbaharui pola pikir masyarakat yang tradisional ke pola pikir modern.
Berdasar pada fungsi dan peranannya yang besar itu, Wilbur Schramm (1982), menyebut pers sebagai “Agen Pembaharu”.
Sebagai agen pembaharu, pers dapat memainkan perannya yang besar dalam proses perubahan sosial yang berlangsung dalam suatu masyarakat atau suatu bangsa. Melalui informasi-informasi sebagai hasil kerja jurnalistik yang disajikan kepada masyarakat pembaca (publik), pers dapat merangsang proses pengambilan keputusan di dalam masyarakat, serta membantu mempercepat proses peralihan masyarakaty yang semula berpikir tradisional ke alam pikiran dan sikap masyarakat modern.
 Menurut Wilbur Schramm, ada sembilan peranan pers yang sangat membantu terwujudnya proses perubahan di kalangan masyarakat. Sembilan peranan per situ meliputi:
1.      Pers dapat memperluas cakrawala pemikiran.
2.      Dapat memusatkan perhatian.
3.      Mampu menumbuhkan aspirasi.
4.      Mampu menciptakan suasana membangun.
5.      Mampu mengembangkan dialog tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah politik.
6.      Mampu mengenalkan norma-norma social.
7.      Mampu menumbuhkan selera.
8.      Mampu merubah sikap yang lemah menjadi sikap yang lebih kuat.
9.      Mampu sebagai pendidik.

Melihat pada apa yang telah dikerjakan pers selama ini, dalam kaitan menyampaikan berbagai informasi serta gagasan-gagasan mengenai pembangunan kepada masyarakat, terlihat jelas bahwa fungsi dan peranan pers dalam perubahan sosial di tengah masyarakat tidak dapat diingkari.
Pers atau kerja jurnalistik telah memberikan sumbangan yang besar dan amat berharga dalam merubah sikap pandang dan perilaku masyarakat untuk tanggap serta menerima kehadiran teknologi-teknologi baru.
Melalui berbagai karya jurnalistik atau informasi-informasi yang disajikan, pers akhirnya mampu mempengaruhi, merangsang serta menggerakkan masyarakat untuk turut serta terlibat secara aktif dalam beragam gerak dan aktivitas pembangunan di segala sektor.
Pers telah mencoba menempuh berbagai cara untuk ‘masuk lebih jauh’ ke berbagai ragam persoalan kehidupan masyarakat, baik di kota maupun pedesaan. Misalnya, di bidang kesehatan, pers sudah demikian gencar menginformasikan tentang perlunya menjaga kesehatan, menjaga kebersihan dan menghindari penyakit.
Demikian pula di bidang pembangunan hukum, pers tidak pernah berhenti memberitahukan kepada masyarakat tentang bagaimana menghindari kejahatan, bagaimana menghadapi tindak kriminalitas, bagaimana tentang hak  maupun kewajiban seseorang di depan hukum, serta tentang ajakan perlunya melawan korupsi.
Bahkan, di dalam pembangunan sektor keagamaan pun, pers memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis. Pers dapat dijadikan sarana dakwah yantg efektif, demi pengembangan dan keberhasilan syiar agama, misalnya syiar agama Islam.
Jadi, pers dapat dijadikan sebagai suatu ‘kekuatan besar’ dalam mempengaruhi, merubah perilaku, dan menggerakkan masyarakat. Terutama dalam menggerakkan masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakann yang positif dan bermanfaat bagi kehidupannya. Sebaliknya juga, pers bias ‘diselewengkan’ untuk menggerakkan masyarakat melakukan tindakan-tindakan yang bersifat destruktif, negatif atau tindakan-tindakan tidak bermanfaat lainnya. (SEA)

Kamis, 13 Oktober 2011

UNSUR-UNSUR DALAM FILM


MK: SINEMATOGRAFI
Pertemuan 5

UNSUR-UNSUR DALAM FILM

            FILM merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses pembuatan film antaralain: produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera (kameramen), penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang film), dan lain-lain.
Biasanya di dalam tim kerja produksi film masing-masing unsur tersebut terbagi dalam departemen-departemen yang disiapkan. Departemen-departemen yang ada di dalam tim kerja film itu meliputi: Departemen Produksi, Departemen Penyutradaraan, Departemen Kamera, Departemen Artistik, Departemen Editing dan Departemen Suara.

Produser
Unsur paling utama (tertinggi) dalam suatu tim kerja produksi atau pembuatan film adalah produser. Karena produserlah yang menyandang atau mempersiapkan dana yang dipergunakan untuk pembiayaan produksi film.
Produser merupakan pihak yang bertanggungjawab terhadap berbagai hal yang diperlukan dalam proses pembuatan film. Selain dana, ide atau gagasan, produser juga harus menyediakan naskah yang akan difilmkan, serta sejumlah hal lainnya yang diperlukan dalam kaitan proses produksi film. Dalam kaitan penyediaan naskah, produser bisa mencarinya atau mendapatkan melalui berbagai cara. Misalnya mencari naskah cerita dari penulis, mengambil dari novel, meminta seorang penulis untuk menulisnya, dan sejumlah cara lainnya lagi.
Di dalam tim kerja produksi film, produser biasanya sekaligus memimpin Departemen Produksi.

Sutradara
Sutradara merupakan pihak atau orang yang paling bertanggungjawab terhadap proses pembuatan film di luar hal-hal yang berkaitan dengan dana dan properti lainnya. Karena itu biasanya sutradara menempati posisi sebagai ‘orang penting kedua’ di dalam suatu tim kerja produksi film.
Di dalam proses pembuatan film, sutradara bertugas mengarahkan seluruh alur dan proses pemindahan suatu cerita atau informasi dari naskah scenario ke dalam aktivitas produksi. Sutradara bertanggungjawab menggerakkan semua unsur pekerja (tim kerja) yang terlibat di dalam proses produksi film. Oleh karenanya, berhasil atau tidaknya, bagus atau tidaknya suatu karya film yang diproduksi berada di tangan sang sutradara.
Di dalam tim kerja produksi film, sutradara memimpin Departemen Penyutradaraan.

Penulis Skenario
Skenario film adalah naskah cerita film yang ditulis dengan berpegang pada standar atau aturan-aturan tertentu.
Skenario atau naskah cerita film itu ditulis dengan tekanannya lebih mengutamakan visualisasi dari sebuah situasi atau peristiwa melalui adegan demi adegan yang jelas pengungkapannya.
Jadi, penulis skenario film adalah seseorang yang menulis naskah cerita yang akan difilmkan. Naskah skenario yang ditulis penulis skenario itulah yang kemudian digarap atau diwujudkan sutradara menjadi sebuah karya film.
Di dalam menulis naskah skenario, seorang penulis skenario haruslah benar-benar memahami atau menguasai bahasa film. Bahasa film merupakan sarana-sarana yang digunakan dalam menyampaikan pesan cerita atau segala sesuatu yang ada di dalam film itu kepada publik penontonnya. Sarana-sarana yang merupakan bahasa film itu meliputi gambar, space (jangka waktu) dan sound.
Namunpun begitu, kemampuan menguasai bahasa film bukanlah satu-satunya syarat yang harus dimiliki oleh seorang penulis. Syarat penting lainnya adalah memiliki kemampuan menjadi seorang penulis cerita.
Menurut Prof. Dr. RM. Soelarko, untuk menjadi penulis cerita yang baik diperlukan delapan persyaratan pokok. Ke delapan syarat pokok itu meliputi: penguasaan bahasa; penggunaan bahasa secara efektif; penggunaan logat yang didasarkan atas asal suku bangsa, umur (anak atau orangtua), kelas masyarakat; penggunaan gaya cerita yang mengikat; lukisan tipe dari figur-figur pemerannya; lukisan watak (karakterisasi) dari figure-figur; tingkah laku dan ucapan, yang dilandasi oleh watak pribadi; uraian tentang mood dan emosi figur-figur pemeran (lihat – Eddy D. Iskandar, Panduan Praktis Menulis Skenario, PT Remaja Rosdakarya, 1999).

Penata Kamera (Kameramen)
Penata kamera atau popular juga dengan sebutan kameramen adalah seseorang yang bertanggungjawab dalam proses perekaman (pengambilan) gambar di dalam kerja pembuatan film.
Seperti halnya sutradara, kameramen juga mempunyai peran yang sangat penting dalam keberhasilan suatu film yang diproduksi.
Film adalah serentetan gambar yang bergerak dengan atau tanpa suara, baik yang terekam pada film, video tape, video disc, atau media lainnya. Sedangkan bahasa film adalah bahasa gambar.
Jadi, film menyampaikan ceritanya melalui serangkaian gambar yang bergerak, dari satu adegan ke adegan lainnya, dari satu emosi ke emosi lain, dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain.
Faktor utama dalam film adalah kemampuan gambar bercerita kepada publik penontonnya. Karena itu, seorang penata kamera atau kameramen dituntut untuk mampu menghadirkan cerita yang menarik, mempesona dan menyentuh emosi penonton melalui gambar demi gambar yang direkamnya di dalam kamera.
Di dalam tim kerja produksi film, penata kemera memimpin Departemen Kamera.

Penata Artistik
Penata artistik (art director) adalah seseorang yang bertugas untuk menampilkan cita rasa artistik pada sebuah film yang diproduksi.
Sebelum suatu cerita divisualisasikan ke dalam film, penata artistik setelah terlebih dulu mendapat penjelasan dari sutradara, segera membuat gambaran kasar adegan demi adegan di dalam sketsa, baik secara hitam putih maupun berwarna.
Tugas seorang penata artistik di antaranya menyediakan sejumlah sarana seperti lingkungan kejadian, tat arias, tata pakaian, perlengkapan-perlengkapan yang akan digunakan para pelaku (pemeran) film dan lainnya.
Tugas penting penata artistik yang tidak bisa diabaikan termasuk menggoda atau menghadirkan khayal penonton ke suatu dunia yang indah, menarik dan fantastis.
Di dalam tim kerja produksi film, penata artistik memimpin Depertemen Artistik.

Penata Musik
Film dan musik merupakan dua hal yang memang seperti tidak bisa dipisahkan. Tidak jarang, film menjadi populer atau terkenal karena illustrasinya musiknya yang menarik.
Penata musik adalah seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pengisian suara musik tersebut. Seorang penata musik dituntut tidak hanya sekadar menguasai musik, tetapi juga harus memiliki kemampuan atau kepekaan dalam mencerna cerita atau pesan yang disampaikan oleh film. Dengan kemampuannya maka ia akan mampu memilih musik yang tepat atau sesuai dengan alur cerita film.
Illustrasi musik akan membuat adegan-adegan atau dialog-dialog di dalam film semakin mampu berkomunikasi dan dihayati oleh penonton. Illustrasi musik akan semakin membuat perasaan penonton menjadi hanyut lebih dalam lagi dengan adegan-adegan film yang ditontonnya.

Editor
Baik atau tidaknya sebuah film yang diproduksi akhirnya akan ditentukan pula oleh seorang editor yang bertugas mengedit gambar demi gambar dalam film tersebut.
Jadi, editor adalah seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab dalam proses pengeditan gambar. Proses pengeditan dilakukan selain untuk membuang adegan-adegan yang tidak perlu, juga untuk menyesuaikan dengan space atau jangka waktu film yang sudah ditetapkan.
Meskipun bertanggungjawab sepenuhnya terhadap proses editing, tetapi dalam melaksanakan tugasnya editor tetap harus selalu menjalin komunikasi atau berkoordinasi dengan sutradara. Karena di benak seorang sutradara sejak awal sudah ada penilaian atau pilihan tentang adegan mana yang perlu dan mana yang tidak terlalu penting. Bagian yang tidak penting itulah yang nantinya akan disingkirkan oleh editor.
Sebelum masuk ke dalam laboratorium untuk proses akhir, film yang diproduksi itu harus terlebih dulu singgah ke meja editing.
Di dalam tim kerja film, editor memimpin Departemen Editing.

Pengisi dan Penata Suara
Pengisi suara adalah seseorang yang bertugas mengisi suara pemeran atau pemain film. Jadi, tidak semua pemeran film menggunakan suaranya sendiri dalam berdialog di film.
Penata suara adalah seseorang atau pihak yang bertanggungjawab dalam menentukan baik atau tidaknya hasil suara yang terekam dalam sebuah film.
Di dalam tim kerja produksi film, penata suara memimpin Departemen Suara.

Bintang Film (Pemeran)
Bintang film atau pemeran film dan biasa juga disebut aktor dan aktris adalah mereka yang ‘membintangi’ film yang diproduksi dengan memerankan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita film tersebut.
Keberhasilan sebuah film tidak bisa lepas dari keberhasilan para aktor dan aktris dalam memerankan tokoh-tokoh yang diperankan sesuai dengan tuntutan skenario (cerita film), terutama dalam menampilkan watak dan karakter tokoh-tokohnya.  –(sea-5)