Minggu, 30 Oktober 2011

Pengertian dan Realitas Jurnalistik Dakwah


          Pertemuan 3
          MK: JURNALISTIK

             Pengertian dan Realitas
     Jurnalistik Dakwah

APA yang dimaksud dengan Jurnalistik Dakwah? Bila jurnalistik memiliki arti sebagai suatu kegiatan menyampaikan pesan atau berita kepada khalayak ramai melalui saluran media, maka Jurnalistik Dakwah dapatlah diartikan sebagai suatu kegiatan menyampaikan pesan berupa dakwah kepada khalayak ramai melalui saluran media. Tekanannya tentu pada media pers, baik suratkabar, majalah maupun tabloid. Karena melalui media pers, pesan dakwah itu tentu saja disampaikan melalui karya tulisan. (Lihat Sutirman Eka Ardhana, Jurnalistik Dakwah, Pustaka Pelajar, 1995).
Jurnalistik Dakwah, bisa juga diartikan sebagai kegiatan atau aktivitas berdakwah melalui karya tulisan di media pers. Karya tulisan di media pers itu bisa berbentuk berita, feature, laporan, tajuk rencana, artikel, dan karya jurnalistik lainnya.
Sesuai dengan namanya sebagai Jurnalistik Dakwah, maka karya-karya jurnalistik tersebut haruslah berisi ajakan atau seruan mengenai pentingnya meraih keberhasilan, mencapai kemajuan, mengerjakan kebaikan dan meninggalkan kenistaan. Ajakan dan seruan itu semuanya bersumber dari aqidah Islam, tauhid dan keimanan.

Pers Sebagai Sarana Dakwah
Dalam kecamuk era-globalisasi dewasa ini, rasanya tidak ada alasan untuk tidak memanfaatkan peluang media pers yang strategis itu bagi pengembangan syiar Islam. Artinya, sudah saatnya kita memastikan sikap dan langkah menjadikan media pers sebagai sarana dakwah.
Dakwah dalam bahasa aslinya (Arab) mempunyai pengertian sebagai ajakan, panggilan, seruan atau himbauan. Menurut ulama terpandang Syekh Ali Mahfudh dalam kitab Hidayatul Mursyidin, dakwah Islam memiliki arti mendorong manusia untuk melakukan kebajikan, kebaikan serta mengikuti petunjuk, menyuruh berbuat kebaikan serta melarang melakukan perbuatan munkar, agar memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan dunia-akhirat.
Berdakwah bagi setiap Muslim merupakan tugas mulia. Artinya, setiap Muslim haruslah menjadi “Serdadu Allah” yang bertugas dan berkewajiban menjadi pengajak, penyeru atau pemanggil kepada umat manusia untuk melaksanakan amar-makruf dan nahi-munkar. Mengajak pada kebaikan dan meninggalkan kenistaan.
Tugas dan kewajiban mulia itu tertera jelas dalam firman Allah, di antaranya: “Dan hendaklah ada di antara kamu, umat yang berdakwah, yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh mengerjakan yang benar dan melarang perbuatan salah atau kemungkaran. Mereka itulah orang yang beruntung.” (QS Ali Imran: 104).
Cara berdakwah di mana pun pada dasarnya memiliki prinsip yang sama. Demikian pula pada persoalan materi dan ideologi dakwah yang diemban tidak akan pernah berbeda. Semuanya bermuara dan berpegang pada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.
Akan tetapi berdakwah melalui media pers, memiliki teori-teori atau cara tersendiri yang sangat berkaitan erat dengan metode-metode jurnalistik yang ada dalam kaidah-kaidah ilmu komunikasi massa.
Dalam visualisasinya, Jurnalistik Dakwah tentu harus mengembangkan Jurnalisme Dakwah. Jurnalisme Dakwah adalah Jurnalisme Islami, yakni jurnalisme yang mengedepankan syiar Islam dan mengutamakan amar-makruf – nahi-munkar. Jurnalisme mulia ini tidak hanya bertumpu pada keberadaan ilmu komunikasi massa semata, tetapi juga harus ditopang dengan ‘keampuhan’ beberapa ilmu lainnya, seperti psikologi, sosiologi, politik  antropologi, sejarah, bahasa, kebudayaan, agama dan lainnya.
Kondisi umat atau masyarakat yang akan dijadikan sasaran dari Jurnalistik Dakwah itu pun haruslah terlebih dulu dipahami. Umat bila digolongkan dalam tingkat pemikirannya akan terbagi dalam tiga kelompok. Pertama: umat yang berpikiran kritis. Kedua: umat yang mudah dipengaruhi. Ketiga: umat yang bertaqlid.
Dengan melihat pada kondisi umat yang ada, Jurnalistik Dakwah haruslah mampu memilih tema dan sasaran dakwah yang tepat, sehingga apa yang disampaikan akan mengena pada maksud dan tujuannya. Penulis atau pendakwah harus mampu merangsang dan membawa pembacanya pada pokok sasaran yang diinginkan, hingga pembaca akan terbawa serta terlibat dalam persoalan yang disajikan.
Berbicara tentang tema, Jurnalistik Dakwah (jurnalisme dakwah) seharusnya tidak semata-mata hanya berbicara tentang persoalan-persoalan ‘apa yang dilarang’ atau ‘apa yang dibenarkan’ oleh Islam saja. Akan tetapi, Jurnalistik Dakwah harus pula mampu melihat ke cakrawala persoalan dan wawasan yang lebih luas dan global lagi.
Banyak hal yang bisa dipilih. Misalnya, bagaimana merangsang keterlibatan umat dalam ikut menegakkan dan mengembangkan syiar Islam, menegakkan dan mengamalkan hukum. Tidak saja hukum yang ada dalam ketentuan-ketentuan agama, tapi juga hukum yang ditetapkan negara.

Bagaimana Membuatnya?
Pada dasarnya semua bentuk karya jurnalistik dapat dijadikan sarana dakwah. Seperti berita, reportase (laporan), feature, artikel, tajuk rencana, bahkan sampai ‘karya selingan’ fiksi.
Sekarang kita tinggal memilih, bentuk mana yang akan dijadikan sarana atau ajang untuk meningkatkan kualitas kehidupan serta penambahan wawasan pemikiran masyarakat Muslim, kemudian membesarkan dan membela Islam dari cercaan pers Barat, dan menyebarluaskan keyakinan bahwa Islam adalah ajaran yang  rahmatan lil alamin.
Misalnya saja kita memilih bentuk reportase atau laporan. Bila ingin membuat tulisan bernuansa dakwah atau karya jurnalistik yang Islami melalui reportase, yang kita inginkan adalah Reportase Mendalam (RM).
RM yang dalam istilah jurnalistiknya adalah depth reporting ini merupakan paduan antara investigative reporting dan interpretative reporting.
Di dalam Reportase Mendalam (RM), data dan fakta yang diperoleh dari hasil galian serta lacakan yang mendalam disajikan secara rinci, kemudian dilengkapi dengan berbagai pendapat dan pernyataan dari sejumlah narasumber. Para narasumber itu haruslah pakar atau mereka yang benar-benar mengetahui permasalahan yang akan dikemukakan di dalam RM tersebut. Pendapat atau komentar para narasumber itu kita jadikan opini yang membuat data serta fakta di dalam tulisan semakin berbobot dan mencapai sasarannya.
 Membuat RM tidaklah semudah dan seringkas membuat tulisan straight news atau berita langsung. RM dibuat setelah melalui beberapa tahapan dan proses. Tahap-tahap yang harus dilewati di antaranya, tahap perencanaan, menentukan waktu, menghimpun data, fakta serta opini dan kemudian menulisnya.
RM ini memang agak istimewa dibanding karya jurnalistik yang lain. Kepribadian dan karakter si penulis biasanya akan dapat diketahui di dalam RM  tersebut. Karena RM biasanya selalu mencerminkan bagaimana jiwa, semangat dan perilaku atau watak penulisnya. Sehabis membaca RM, pembaca yang cermat akan dapat mengetahui apakah si penulis RM itu memiliki watak keras, lunak atau biasa-biasa saja. Akan diketahui pula, apakah si penulis merupakan tipe penulis yang obyektif, subyektif, beridealisme tinggi, realistis, komersial bahkan oportunis.
Apabila rencana sudah tersusun matang, maka sejumlah langkah di bawah ini perlu diperhatikan.
Pertama, tentukan topik RM. Susun persoalan-persoalan yang sedang aktual dan menarik perhatian masyarakat secara berurutan. Kemudian dari deretan persoalan-persoalan itu kita pilih mana yang akan dijadikan topik. Ingat, dalam memilih topiknya harus pula diperhatikan faktor-faktor yang memberikan kemudahan dalam menyusunnya.
Kedua, susun atau tentukan sumber-sumber informasu atau narasumber yang akan kita datangi demi terkumpulnya data, fakta serta opini itu. Misalnya, sumber informasi dari perpustakaan, kantor instansi tertentu, lembaga maupun pakar, dan lainnya.
Ketiga, jangan sampai dilupakan, karena ini bisa dipandang sebagai bagian terpenting dari ‘program’ pembuatan RM itu, yakn menetapkan sasaran dan tujuannya. Untuk maksud apa RM itu kita tulis? Pada sasaran mana RM itu kita tujukan? Dan kemudian, kita mencoba mencari gambaran sementara seberapa jauh RM tersebut dapat berpengaruh terhadap masyarakat atau pembacanya.
Pada bagian ketiga inilah, peran dakwah bisa kita masukkan. Karena pada bagian ketiga inilah kita mulai menentukan persoalan apa yang urgen dan relevan dikemukakan dalam jurnalisme amar-makruf—nahi-munkar (jurnalisme dakwah) tersebut.
   Setelah semua data, fakta dan opini terkumpul melalui proses lerja yang memang melelahkan, misalnya mencari data di perpustakaan, melakukan wawancara dengan sejumlah narasumber, serta mengumpulkan informasi dari berbagai tempat lainnya, barulah penulisan RM bisa dimulai.
Tidak ada ketentuan secara baku, bagaimana menulis RM yang baik dan berkualitas itu. Sebab, betapapun baik atau tidaknya suatu RM itu tidak bisa lepas dari semangat dan keterampilan penulisnya.
Tapi beberapa langkah yang dikemukakan di bawah ini dapat dijadikan petunjuk sederhana.
Memilih judul – Buatlah judul yang singkat, mengena pada sasaran dan merangsang minat pembaca. Judul haruslah merupakan intisari atau promosi untuk RM tersebut. Judul yang merangsang emosi pembaca sangat besar artinya dalam menarik perhatian pembaca untuk membaca RM itu sampai selesai.
Lead atau Intro – Lead atau intro adalah sebagai pembuka sebuah RM. Buatlah lead atau intro yang menarik dan menggoda perhatian pembaca. Setelah tergoda oleh judul tulisan, pembaca akan semakin yakin tulisan yang dibacanya menarik bila menemukan hal-hal yang menarik perhatiannya di bagian-bagian awal tulisan.
Body – Body RM merupakan isi dari tulisan itu. Di dalam bagian isi inilah terdapat maksud dan tujuan dari RM. Para penulis RM, kebanyakan memilih bentul ‘piramida terbalik’ dalam menulis RM, dengan menempatkan hal-hal utama di bagian depan dan kemudian disusul dukungan data serta fakta akuran lainnya.
Kesimpulan – Ingat, tidak semua pembaca mampu menarik suatu kesimpulan dari suatu karya tulis (jurnalistik) yang dibuat. Untuk itu, bantulah pembaca menemukan suatu kesimpulan dari RM tersebut. Kesimpulan itu dapat dikemukakan pada bagian akhir atau penutup RM, atau dengan cara menyajikan data, fakta serta opini secara runtut dan jelas. Dengan penyajian secara runtut dan jelas ini, pembaca akan mampu menyimpulkannya sendiri. (SEA)
                                           ***
(Lebih jelas lihat: Sutirman Eka Ardhana, Jurnalistik Dakwah, Pustaka Pelajar, 1995).

Berita dan Tajuk Rencana

Pertemuan 2
            MK: JURNALISTIK

Berita dan Penulisannya

SEBAGAI media informasi, suratkabar dan majalah sarat dengan penyajian berita. Disamping berita masih terdapat bentuk-bentuk tulisan lainnya yang bersifat ganda, memberi informasi dan sekaligus menghibur. Misalnya, tulisan-tulisan feature  dan reportase.
Apa sesungguhnya yang disebut dengan berita?
Sejumlah ahli komunikasi telah memberikan batasan-batasan atau definisi tentang berita tersebut. William S. Maulsby misalnya. Ia menyatakan, “Berita merupakan suatu penuturan secara benar dan tidak memihak dari fakta-fakta yang mempunyai arti penting dan baru terjadi, yang dapat menarik perhatian para pembaca suratkabar yang memuat berita tersebut.”
Sementara Dja’far H. Assegaff dalam bukunya “Jurnalistik Masa Kini” menyebutkan, “Berita dalam arti jurnalistik adalah laporan tentang fakta atau ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa, entar karena pentingnya atau akibatnya, entah pula karena ia mencakup segi-segi human interest seperti humor, emosi dan ketegangan.”
Tidak setiap peristiwa atau kejadian bisa dijadikan berita jurnalistik. Suatu peristiwa bisa disebut layak berita apabila ia memenuhi persyaratan atau ukuran-ukuran tertentu. Paling utama, peristiwa itu bisa disebut layak berita apabila mengandung unsur penting dan menarik.
Secara umum unsur-unsur dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan layak berita antaralain, unsur Termasa (baru), Jarak, Penting, Keluarbiasaan, Manusiawi dan Akibat.
Termasa (baru) – artinya, peristiwa yang akan dijadikan berita itu baru saja terjadi, aktual dan hangat. Misalnya, suatu peristiwa yang terjadi hari Minggu, pada hari Senin (keesokan harinya) berita tersebut sudah harus dimuat.
Jarak – artinya, jarak jauh atau dekatnya suatu peristiwa haruslah disesuaikan dengan publik pembaca. Misalnya, suatu koran atau suratkabar lokal (daerah) yang terbit di Yogyakarta tentu harus mengutamakan untuk memilih peristiwa berita yang terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya. Berita mengenai pembangunan suatu masjid di Yogyakarta, yang dibangun secara susah-payah tentu akan lebih menarik perhatian publik pemnaca di Yogyakarta dan sekitarnya, dibanding dengan publik pembaca di Jakarta atau kota-kota lainnya.
Penting – artinya, suatu peristiwa yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat luas, khususnya para pembaca. Misalnya, peristiwa naiknya harga BBM (bahan bakar minyak), terjadinya bencana alam, jatuhnya pesawat terbang, dan sebagainya yang berkaitan dengan jiwa manusia.
Keluarbiasaan – artinya, suatu peristiwa atau kejadian yang mengandung unsur menakjubkan, aneh serta luar-biasa. Misalnya, peristiwa jatuh atau terlepasnya seorang bayi dari gendongan ibunya di atas rel kereta api, ketika pada waktu bersamaan sebuah kereta api melaju di atas rel tersebut. Bayi itu ternyata selamat dan tidak terluka sedikitpun, meski kereta api sudah melaju di atasnya. Peristiwa yang pernah terjadi di India beberapa tahun lalu ini merupakan peristiwa yang mengandung unsur keluarbiasaan itu.
Manusiawi – artinya, peristiwa yang menyentuh perasaan bagi pembaca. Misalnya, seorang isteri Bupati atau pejabat meneteskan air mata ketika menggendong seorang bayi mungil di Panti Asuhan yang dikunjunginya.
Akibat – artinya, peristiwa itu apabila diberitakan akan menarik publik pembaca, karena pembaca merasa ada akibat yang bakal dirasakan dari peristiwa tersebut. Misalnya, Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan penetapan atau perintah untuk mengosongkan daerah sepanjang tepian Kali Code di Yogyakarta, yang selama ini sudah menjadi daerah atau kawasan pemukiman penduduk. Penduduk-penduduk yang tinggal di sepanjang tepian Kali Code itu tentu akan merasa mendapatkan akibat dari penetapan atau perintah pengosongan tersebut.
Disamping unsur-unsur tersebut, masih terdapat sejumlah unsur lainnya. Seperti unsur-unsur yang berkaitan dengan persoalan seks, emosi, dan humor.
Selain itu, jika kita kaitkan dengan pengembangan dakwah Islam, maka unsur lain yang harus pula diperhatikan adalah adanya unsur dakwah dari setiap peristiwa yang akan diberitakan.

Bagaimana Menulisnya?
Secara umum selama ini, wartawan selalu berpegang pada enam pedoman dalam menulis suatu berita. Keenam pedoman itu meliputi: Apa yang terjadi; Siapa yang terlibat di dalamnya; Di mana terjadinya; Kapan peristiwa itu terjadi; Mengapa kejadian atau peristiwa itu terjadi; dan Bagaimana kejadiannya.
Keenam pedoman ini lazim disebut 5 W dan 1 H. Yakni – What, Who, Where, When, Why dan How
Kalangan pekerja jurnalistik selama ini mengenal ada tiga penggolongan berita, yakni berita langsung, berita ringan (human interest) dan berita kisah (feuture).
Sekarang kita memfokuskan saja pada bagaimana menulis berita langsung, karena berita jenis inilah yang mendominir isi suratkabar atau harian di Indonesia sekarang ini.
Dalam menulis suatu berita harus diperhatikan tentang pembagian pada berita tersebut. Ada tiga bagian di dalamnya, yaitu lead (teras atau intro), tubuh berita (detail), dan penutup.
Untuk memudahkan kerja penulisan berita, wartawan selama ini selalu berpegang pada sistem penulisan yang disebut sistem piramida terbalik. Secara mudahnya, dalam sistem ini pembuat berita harus meletakkan bagian yang menarik dan menonjol pada lead atau teras berita. Kemudian pada tubuh berita, barulah seluruh peristiwa dijelaskan secara lengkap dan berurutan dari fakta ke fakta yang ada.
Pada bagian penutup (walau tidak penting), baru disebutkan bagian-bagian yang sifatnya hanya sebagai pelengkap atau sampingan saja. Jadi, andaikata bagian atau hal-hal yang disebutkan di bagian penutup tidak disertakan, hal itu tidak akan mempengaruhi isi berita.
Sementara dalam berita ringan dan berita kisah, penulisannya tidak tergantung dengan struktur semacam itu. Berita ringan dan berita kisah menganut struktur bebas, yaitu tidak berpegang pada ketentuan “persoalan penting di bagian atas” dan “persoalan tidak penting di bagian belakang”.

Dari Mana Sumbernya?
Berita diperoleh wartawan tidak saja dari peristiwa yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri, tapi juga diperoleh dari banyak sumber lainnya.
Berdasarkan masalahnya, berita dapat dibagi dalam beberapa macam atau jenis berita. Antaralain berita politik, berita ekonomi, berita kejahatan (kriminal), berita olahraga, berita militer, berita pendidikan, berita pengadilan (hukun) dan berita keagamaan.
Masing-masing jenis berita itu mempunyai sumber-sumber tersendiri. Misalnya, berita-berita kejahatan (kriminal) termasuk di dalamnya berita-berita tentang kecelakaan lalulintas, sumbernya ada di kantor polisi. Berita-berita pengadilan, sumbernya tentu ada di pengadilan.
Disamping mencatat data-data yang diperoleh sendiri, berita juga diperoleh dengan kerja wawancara. Bahkan wawancara memiliki peranan sangat penting. Hampir sebagian besar isi suratkabar dan majalah atau media pers lainnya, diperoleh dari hasil kerja wawancara.
Berita sebagian besar diperoleh dari hasil wawancara pada sumber-sumber berita, terkecuali berita-berita yang diperoleh melalui release, siaran pers atau pengumuman dari suatu instansi, lembaga dan sebagainya. (SEA) ***


            Tajuk Rencana
            TAJUK RENCANA merupakan pernyataan dan tanggapan dari media pers itu sendiri mengenai fakta dan opini yang ada dan sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Di dalam buku Editorial Writing, Lyle Spencer mengemukakan, tajuk rencana adalah pernyataan mengenai fakta dan opini secara singkat, logis, menarik ditinjau dari segi penulisan dan bertujuan untuk mempengaruhi pendapat atau memberikan interpretasi terhadap suatu berita yang menonjol, sehingga bagi kebanyakan pembaca suratkabar akan menyimak pentingnya arti berita yang diajukan tadi.
Jadi, tajuk rencana pada dasarnya merupakan ‘suara hati’ dari suratkabar atau media pers bersangkutan. Karena merupakan ‘suara hati’ yang berisi pendapat dan sikap media pers itu sendiri, maka penulisnya haruslah ‘orang-orang terpercaya’ atau redaktur-redaktur berkualitas.
Biasanya penulis tajuk rencana adalah pemimpin redaksi atau wakilnya. Tetapi tidak sedikit media pers yang mempercayakan penulisan tajuk rencananya kepada redaktur-redaktur senior yang memiliki wawasan luas.
Apa fungsi atau tujuan tajuk rencana? Menurut William Pinkerton dari Harvard University, tajuk rencana atau editorial mempunyai empat fungsi utama (tujuan). Hal yang sama dikemukakan juga oleh Dja’far H Assegaf dalam bukunya Jurnalistik Masa Kini. Baik William Pinkerton maupun Dja’far H Assegaf sama-sama mengatakan, keempat fungsi utama itu meliputi: menjelaskan berita (Explaining the News), menjelaskan latar belakang (Filling in Background), meramalkan masa depan (Forecasting the Future), dan menyampaikan pertimbangan moral (Passing Moral Judgmen).
Fungsi menjelaskan berita, artinya penulis tajuk rencana bertindak sebagai seorang guru yang menjelaskan sesuatu berita atau peristiwa. Penjelasan itu dimaksudkan agar pembaca mengetahui apa sesungguhnya yang diinginkan dari isi berita tersebut.
Fungsi menjelaskan latar belakang, artinya tajuk rencana memberikan kaitan sesuatu berita dengan kenyataan-kenyataan sosial lainnya. Penulis tajuk rencana melengkapi berita tersebut dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi.
Fungsi meramalkan masa depan, artinya penulis tajuk rencana menjadi futuris dengan analisanya mencoba memberikan ramalan apa yang akan terjadi. Dengan demikian masyarakat akan dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi persoalan yang diramalkan akan muncul di masa depan.
Sedangkan fungsi menyampaikan pertimbangan moral, artinya si penulis tajuk rencana memberikan penilaian dan sikapnya atas sesuatu peristiwa. Dalam penilaian ini penulis harus mampu tampil untuk mewakili apa yang sesungguhnya ada dalam hati nurani masyarakat.

Delapan Sifat Tajuk Rencana
Tentang bentuk dan jenis tajuk rencana, Dja’far H Assegaf membaginya dalam delapan sifat.
1.                            Bersifat memberikan informasi semata. Tajuk rencana semacam ini hanya sekadar memberikan informasi tanpa menyebutkan secara jelas bagaimana sikapnya terhadap kebijakan dalam berita tersebut.
2.                            Bersifat menjelaskan. Tajuk rencana ini hampir serupa dengan interpretasi yang memberikan penjelasan kepada suatu peristiwa atau berita.
3.                            Bersifat memberikan argumentasi. Tajuk rencana seperti ini bersifat analitis dan kemudian memberikan argumentasi mengapa sampai terjadi sesuatu hal dan apa akibatnya.
4.                            Bersifat menjuruskan timbulnya aksi. Tajuk rencana ini mendorong timbulnya aksi dari masyarakat. Artinya, si penulis tajuk ingin menjuruskan suatu tindakan secara cepat dari masyarakat.
5.                            Bersifat jihad. Tajuk rencana yang bersifat jihad ini biasanya ditulis secara berturut-turut dengan melontarkan sikap atau pandangan yang tegas dan jelas terhadap sesuatu masalah. Misalnya, bagaimana mengantisipasi judi, pelacuran, kejahatan dan sebagainya.
6.                            Bersifat membujuk. Tajuk rencana ini dengan cara dan gaya yang halus berusaha membujuk masyarakat untuk mengambil tindakan atau membentuk pendapat umum.
7.                            Bersifat memuji. Tajuk rencana seperti ini menekankan pada pujian atas suatu prestasi yang terjadi di masyarakat.
8.                            Bersifat menghibur. Tajuk rencana ini lebih banyak bercerita tentang human interest story.

Sekarang apa saja yang harus dilakukan oleh penulis tajuk rencana atau editorial? Konferensi para penulis editorial tahun 1974 di Amerika Serikat menegaskan, tugas utama para penulis tajuk rencana adalah memberikan informasi dan bimbingan ke arah demokrasi yang sesungguhnya. Untuk itu para penulis tajuk rencana diharuskan senantiasa memiliki integritas diri dan integritas profesinya.
Konferensi penulis editorial itu juga merekomendasikan sejumlah langkah atau petunjuk yang harus dilakukan oleh para penulis tajuk rencana atau editorial.
Pertama, penulis editorial (tajuk rencana) harus menyajikan fakta-fakta yang jujur dan tuntas. Editorial yang tidak benar adalah tidak jujur dan tidak bernilai. Dia tidak boleh salah membimbing pembacanya,mengacaukan situasi, atau menempatkan seseorang dari sudut pandang yang salah.
Kedua, penulis editorial (tajuk rencana) harus mengambil kesimpulan obyektif dari fakta-fakta yang disajikan,berdasarkan bobot bukti dan berdasarkan konsep yang menurutnya bagus.
Ketiga, penulis editorial (tajuk rencana) tidak dibenarkan terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau memanfaatkan pengaruhnya untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Dia harus mempertahankan hal-hal di atas diri sendiri dari kemungkinan penyelewengan, apa pun sumbernya.
Keempat, penulis editorial (tajuk rencana) harus menyadari dirinya tidak sempurna. Oleh karena itu, sejauh masih di dalam kekuasaannya, dia harus menyuarakan kepada mereka yang tidak setuju dengannya di dalam kolom surat pembaca atau dengan alat-alat lainnya.
Kelima, penulis editorial (tajuk rencana) secara teratur harus mengulas kesimpulannya sendiri dalam kaitannya dengan informasi yang dapat diperolehnya. Dia harus mengoreksi kesimpulan tersebut dan menemukannya atas dasar kesalahpahaman sebelumnya.
Keenam, penulis editorial (tajuk rencana) harus punya keberanian yang teguh dan filosofi hidup demokrasi. Dia tidak boleh menulis atau menerbitkan apa pun yang bertentangan dengan hati nurani. Banyak halaman editorial merupakan produk pikiran orang banyak, tetapi pertimbangan kolektif yang bagus dapat dicapai lewat pertimbangan individual. Oleh sebab itu, opini individual yang mendalam harus dihormati.
Ketujuh, penulis editorial (tajuk rencana) harus membantu temannya dalam konteks kesetiaan terhadap integritas takaran profesionalisme yang tinggi. Reputasinya adalah reputasi mereka dan reputasi mereka adalah miliknya. (Willian L. Rivers, Bryce Mc Intyre, Alison Work, Editorial, Remaja Rosdakarya, 1994). ---------(SEA)
                                       ***                                                                 

Rabu, 26 Oktober 2011

MEMAHAMI JURNALISTIK (JURNALISTIK DAN FUNGSINYA)


            Pertemuan 1
            MK: JURNALISTIK

MEMAHAMI JURNALISTIK
          (JURNALISTIK DAN FUNGSINYA)

            APA yang dimaksud dengan  jurnalistik?
Menurut Dja’far H Assegaf (1983), jurnalistik merupakan kegiatan untuk menyampaikan pesan atau berita kepada khalayak ramai (massa), melalui saluran media, baik media cetak maupun media elektronik.
Sementara di dalam kamus besar Bahasa Indonesia disebutkan, jurnalistik merupakan kegiatan untuk menyiapkan, mengedit dan menulis untuk suratkabar, majalah, atau berkala lainnya.
Pendapat lain mengatakan, jurnalistik adalah ilmu tentang kewartawanan. Dengan kata lain, jurnalistik dapat juga disebut sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang bagaimana kerja para wartawan atau jurnalis dalam menghasilkan karya-karya jurnalistiknya.
Istilah jurnalistik berasal dari kata “journal” (Perancis) yang berarti suratkabar atau majalah.
Bila aktivitas kegiatan penyampaian pesan atau berita melalui media massa (media pers) itu disebut jurnalistik, maka para pekerjanya disebut jurnalis atau lazim disebut wartawan.
Pers dan jurnalistik adalah dua kata yang sulit dipisahkan. Bahkan banyak pihak yang ‘mencampur-adukkan’ dua istilah itu menjadi satu pengertian yang sama. Hal ini  terjadi dikarenakan setiap kali berbicara tentang jurnalistik pasti tidak bias lepas dari pembicaraan tentang pers itu sendiri. Walaupun sebenarnya, membedakan pengertian antara jurnalistik dengan pers bukanlah sesuatu yang sulit.
Jurnalistik adalah bentuk kerja atau hasil kerjanya, sedangkan pers adalah media yang digunakan untuk menyampaikan ‘hasil kerja jurnalistik’ itu.
Akan tetapi mempelajari atau ‘memahami jurnalistik’ sama juga dengan upaya mempelajari maupun ‘memahami pers’ itu sendiri.


Fungsi dan Peran
Pers atau bidang kerja jurnalistik pada dasarnya mempunyai fungsi sebagai:
1.      Pemberi informasi.
2.      Pemberi hiburan.
3.      Pemberi kontrol (alat kontrol sosial)
4.      Pendidik masyarakat.

Pemberi informasi – Fungsi utama pers adalah pemberi informasi atau menyiarkan informasi kepada pembaca (publik). Informasi yang disajikan melalui karya-karya jurnalistik, seperti berita (straight news), feature, reportase dan lainnya, memang sesuatu yang sangat diharapkan publik pembaca, ketika membaca, membeli dan berlangganan media pers. Informasi yang disampaikan pun beragam jenisnya. Tidak hanya sebatas informasi yang berkaitan dengan suatu peristiwa, tetapi juga bersifat ide, gagasan-gagasan, pendapat atau pikiran-pikiran orang lain yang memang layak untuk disampaikan ke publik pembaca.

Pemberi hiburan – Media pers juga punya fungsi untuk menghibur publik pembaca. Menghibur dalam kaitan meredakan atau melemaskan ketegangan-ketegangan pikiran karena kesibukan aktivitas kehidupan. Jadi, informasi yang disajikan media pers tidak hanya berita-berita serius atau berita-berita berat (hard news), tapi juga berita-berita atau karya jurnalistik lainnya yang mampu membuat pembaca tersenyum, dan melemaskan otot-otot pikirannya. Karya-karya menghibur itu bias ditemukan dalam bentuk karya fiksi, seperti cerpen, cerita bersambung, cerita bergambar, karikatur, gambar-gambar kartun, bahkan juga tulisan-tulisan yang bersifat human interest.

Pemberi kontrol (alat kontrol sosial) – Fungsi pemberi kontrol atau sebagai alat kontrol sosial merupakan fungsi penting yang dimiliki pers. Sebagai media penyampai informasi, media pers tidak hanya sebatas menyampaikan atau memberikan informasi yang berkaitan dengan suatu peristiwa, akan tetapi berkewajiban juga menyampaikan gagasan-gagasan maupun pendapat yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas. Bila ada suatu kebijakan, baik dari pemerintah maupun lembaga-lembaga tertentu, yang dipandang tidak sesuai atau berlawanan dengan kepentingan masyarakat, media pers punya kewajiban untuk mengingatkan. Cara mengingatkannya dilakukan melalui tulisan di tajuk rencana maupun karya jurnalistik lainnya.

Pendidik masyarakat – Fungsi sebagai pendidik masyarakat ini juga merupakan fungsi penting yang disandang media pers. Dalam pengertian yang luas, pers berkewajiban mendidik masyarakat pembacanya dengan memberikan beragam pengetahuan yang bisa bermanfaat bagi peningkatan nilai kehidupan. Sajian-sajian karya jurnalistiknya haruslah mencerahkan dan memberikan tambahan pengetahuan serta wawasan yang luas, sehingga masyarakat memperoleh pemahaman atau pengertian baru tentang kehidupan yang lebih maju dibanding sebelumnya.

Dengan fungsi-fungsinya itu pers memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat. Melalui pengaruhnya, pers (media cetak dan media elektronik) dapat membawa dan menyampaikan pesan-pesan maupun gagasan-gagasan (dikemas dalam karya jurnalistik) yang membangun dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Demikian pula dalam pembangunan di bidang sosial-budaya, atau bentuk-bentuk kehidupan di dalam masyarakat, misalnya dalam mewujudkan terjadinya perubahan sosial atau peralihan masyarakat tradisional ke masyarakat modern, pers dengan pengaruhnya dapat mempercepat proses perubahan sosial maupun peralihan itu.
Pers melalui karya-karya jurnalistik yang disajikannya mempunyai fungsi dan peranan yang besar dalam menciptakan suatu sikap pembaharuan dalam perilaku dan tatanan sosial serta sikap budaya masyarakat. Khususnya dalam memperbaharui pola pikir masyarakat yang tradisional ke pola pikir modern.
Berdasar pada fungsi dan peranannya yang besar itu, Wilbur Schramm (1982), menyebut pers sebagai “Agen Pembaharu”.
Sebagai agen pembaharu, pers dapat memainkan perannya yang besar dalam proses perubahan sosial yang berlangsung dalam suatu masyarakat atau suatu bangsa. Melalui informasi-informasi sebagai hasil kerja jurnalistik yang disajikan kepada masyarakat pembaca (publik), pers dapat merangsang proses pengambilan keputusan di dalam masyarakat, serta membantu mempercepat proses peralihan masyarakaty yang semula berpikir tradisional ke alam pikiran dan sikap masyarakat modern.
 Menurut Wilbur Schramm, ada sembilan peranan pers yang sangat membantu terwujudnya proses perubahan di kalangan masyarakat. Sembilan peranan per situ meliputi:
1.      Pers dapat memperluas cakrawala pemikiran.
2.      Dapat memusatkan perhatian.
3.      Mampu menumbuhkan aspirasi.
4.      Mampu menciptakan suasana membangun.
5.      Mampu mengembangkan dialog tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah politik.
6.      Mampu mengenalkan norma-norma social.
7.      Mampu menumbuhkan selera.
8.      Mampu merubah sikap yang lemah menjadi sikap yang lebih kuat.
9.      Mampu sebagai pendidik.

Melihat pada apa yang telah dikerjakan pers selama ini, dalam kaitan menyampaikan berbagai informasi serta gagasan-gagasan mengenai pembangunan kepada masyarakat, terlihat jelas bahwa fungsi dan peranan pers dalam perubahan sosial di tengah masyarakat tidak dapat diingkari.
Pers atau kerja jurnalistik telah memberikan sumbangan yang besar dan amat berharga dalam merubah sikap pandang dan perilaku masyarakat untuk tanggap serta menerima kehadiran teknologi-teknologi baru.
Melalui berbagai karya jurnalistik atau informasi-informasi yang disajikan, pers akhirnya mampu mempengaruhi, merangsang serta menggerakkan masyarakat untuk turut serta terlibat secara aktif dalam beragam gerak dan aktivitas pembangunan di segala sektor.
Pers telah mencoba menempuh berbagai cara untuk ‘masuk lebih jauh’ ke berbagai ragam persoalan kehidupan masyarakat, baik di kota maupun pedesaan. Misalnya, di bidang kesehatan, pers sudah demikian gencar menginformasikan tentang perlunya menjaga kesehatan, menjaga kebersihan dan menghindari penyakit.
Demikian pula di bidang pembangunan hukum, pers tidak pernah berhenti memberitahukan kepada masyarakat tentang bagaimana menghindari kejahatan, bagaimana menghadapi tindak kriminalitas, bagaimana tentang hak  maupun kewajiban seseorang di depan hukum, serta tentang ajakan perlunya melawan korupsi.
Bahkan, di dalam pembangunan sektor keagamaan pun, pers memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis. Pers dapat dijadikan sarana dakwah yantg efektif, demi pengembangan dan keberhasilan syiar agama, misalnya syiar agama Islam.
Jadi, pers dapat dijadikan sebagai suatu ‘kekuatan besar’ dalam mempengaruhi, merubah perilaku, dan menggerakkan masyarakat. Terutama dalam menggerakkan masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakann yang positif dan bermanfaat bagi kehidupannya. Sebaliknya juga, pers bias ‘diselewengkan’ untuk menggerakkan masyarakat melakukan tindakan-tindakan yang bersifat destruktif, negatif atau tindakan-tindakan tidak bermanfaat lainnya. (SEA)

Kamis, 13 Oktober 2011

UNSUR-UNSUR DALAM FILM


MK: SINEMATOGRAFI
Pertemuan 5

UNSUR-UNSUR DALAM FILM

            FILM merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses pembuatan film antaralain: produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera (kameramen), penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang film), dan lain-lain.
Biasanya di dalam tim kerja produksi film masing-masing unsur tersebut terbagi dalam departemen-departemen yang disiapkan. Departemen-departemen yang ada di dalam tim kerja film itu meliputi: Departemen Produksi, Departemen Penyutradaraan, Departemen Kamera, Departemen Artistik, Departemen Editing dan Departemen Suara.

Produser
Unsur paling utama (tertinggi) dalam suatu tim kerja produksi atau pembuatan film adalah produser. Karena produserlah yang menyandang atau mempersiapkan dana yang dipergunakan untuk pembiayaan produksi film.
Produser merupakan pihak yang bertanggungjawab terhadap berbagai hal yang diperlukan dalam proses pembuatan film. Selain dana, ide atau gagasan, produser juga harus menyediakan naskah yang akan difilmkan, serta sejumlah hal lainnya yang diperlukan dalam kaitan proses produksi film. Dalam kaitan penyediaan naskah, produser bisa mencarinya atau mendapatkan melalui berbagai cara. Misalnya mencari naskah cerita dari penulis, mengambil dari novel, meminta seorang penulis untuk menulisnya, dan sejumlah cara lainnya lagi.
Di dalam tim kerja produksi film, produser biasanya sekaligus memimpin Departemen Produksi.

Sutradara
Sutradara merupakan pihak atau orang yang paling bertanggungjawab terhadap proses pembuatan film di luar hal-hal yang berkaitan dengan dana dan properti lainnya. Karena itu biasanya sutradara menempati posisi sebagai ‘orang penting kedua’ di dalam suatu tim kerja produksi film.
Di dalam proses pembuatan film, sutradara bertugas mengarahkan seluruh alur dan proses pemindahan suatu cerita atau informasi dari naskah scenario ke dalam aktivitas produksi. Sutradara bertanggungjawab menggerakkan semua unsur pekerja (tim kerja) yang terlibat di dalam proses produksi film. Oleh karenanya, berhasil atau tidaknya, bagus atau tidaknya suatu karya film yang diproduksi berada di tangan sang sutradara.
Di dalam tim kerja produksi film, sutradara memimpin Departemen Penyutradaraan.

Penulis Skenario
Skenario film adalah naskah cerita film yang ditulis dengan berpegang pada standar atau aturan-aturan tertentu.
Skenario atau naskah cerita film itu ditulis dengan tekanannya lebih mengutamakan visualisasi dari sebuah situasi atau peristiwa melalui adegan demi adegan yang jelas pengungkapannya.
Jadi, penulis skenario film adalah seseorang yang menulis naskah cerita yang akan difilmkan. Naskah skenario yang ditulis penulis skenario itulah yang kemudian digarap atau diwujudkan sutradara menjadi sebuah karya film.
Di dalam menulis naskah skenario, seorang penulis skenario haruslah benar-benar memahami atau menguasai bahasa film. Bahasa film merupakan sarana-sarana yang digunakan dalam menyampaikan pesan cerita atau segala sesuatu yang ada di dalam film itu kepada publik penontonnya. Sarana-sarana yang merupakan bahasa film itu meliputi gambar, space (jangka waktu) dan sound.
Namunpun begitu, kemampuan menguasai bahasa film bukanlah satu-satunya syarat yang harus dimiliki oleh seorang penulis. Syarat penting lainnya adalah memiliki kemampuan menjadi seorang penulis cerita.
Menurut Prof. Dr. RM. Soelarko, untuk menjadi penulis cerita yang baik diperlukan delapan persyaratan pokok. Ke delapan syarat pokok itu meliputi: penguasaan bahasa; penggunaan bahasa secara efektif; penggunaan logat yang didasarkan atas asal suku bangsa, umur (anak atau orangtua), kelas masyarakat; penggunaan gaya cerita yang mengikat; lukisan tipe dari figur-figur pemerannya; lukisan watak (karakterisasi) dari figure-figur; tingkah laku dan ucapan, yang dilandasi oleh watak pribadi; uraian tentang mood dan emosi figur-figur pemeran (lihat – Eddy D. Iskandar, Panduan Praktis Menulis Skenario, PT Remaja Rosdakarya, 1999).

Penata Kamera (Kameramen)
Penata kamera atau popular juga dengan sebutan kameramen adalah seseorang yang bertanggungjawab dalam proses perekaman (pengambilan) gambar di dalam kerja pembuatan film.
Seperti halnya sutradara, kameramen juga mempunyai peran yang sangat penting dalam keberhasilan suatu film yang diproduksi.
Film adalah serentetan gambar yang bergerak dengan atau tanpa suara, baik yang terekam pada film, video tape, video disc, atau media lainnya. Sedangkan bahasa film adalah bahasa gambar.
Jadi, film menyampaikan ceritanya melalui serangkaian gambar yang bergerak, dari satu adegan ke adegan lainnya, dari satu emosi ke emosi lain, dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain.
Faktor utama dalam film adalah kemampuan gambar bercerita kepada publik penontonnya. Karena itu, seorang penata kamera atau kameramen dituntut untuk mampu menghadirkan cerita yang menarik, mempesona dan menyentuh emosi penonton melalui gambar demi gambar yang direkamnya di dalam kamera.
Di dalam tim kerja produksi film, penata kemera memimpin Departemen Kamera.

Penata Artistik
Penata artistik (art director) adalah seseorang yang bertugas untuk menampilkan cita rasa artistik pada sebuah film yang diproduksi.
Sebelum suatu cerita divisualisasikan ke dalam film, penata artistik setelah terlebih dulu mendapat penjelasan dari sutradara, segera membuat gambaran kasar adegan demi adegan di dalam sketsa, baik secara hitam putih maupun berwarna.
Tugas seorang penata artistik di antaranya menyediakan sejumlah sarana seperti lingkungan kejadian, tat arias, tata pakaian, perlengkapan-perlengkapan yang akan digunakan para pelaku (pemeran) film dan lainnya.
Tugas penting penata artistik yang tidak bisa diabaikan termasuk menggoda atau menghadirkan khayal penonton ke suatu dunia yang indah, menarik dan fantastis.
Di dalam tim kerja produksi film, penata artistik memimpin Depertemen Artistik.

Penata Musik
Film dan musik merupakan dua hal yang memang seperti tidak bisa dipisahkan. Tidak jarang, film menjadi populer atau terkenal karena illustrasinya musiknya yang menarik.
Penata musik adalah seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pengisian suara musik tersebut. Seorang penata musik dituntut tidak hanya sekadar menguasai musik, tetapi juga harus memiliki kemampuan atau kepekaan dalam mencerna cerita atau pesan yang disampaikan oleh film. Dengan kemampuannya maka ia akan mampu memilih musik yang tepat atau sesuai dengan alur cerita film.
Illustrasi musik akan membuat adegan-adegan atau dialog-dialog di dalam film semakin mampu berkomunikasi dan dihayati oleh penonton. Illustrasi musik akan semakin membuat perasaan penonton menjadi hanyut lebih dalam lagi dengan adegan-adegan film yang ditontonnya.

Editor
Baik atau tidaknya sebuah film yang diproduksi akhirnya akan ditentukan pula oleh seorang editor yang bertugas mengedit gambar demi gambar dalam film tersebut.
Jadi, editor adalah seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab dalam proses pengeditan gambar. Proses pengeditan dilakukan selain untuk membuang adegan-adegan yang tidak perlu, juga untuk menyesuaikan dengan space atau jangka waktu film yang sudah ditetapkan.
Meskipun bertanggungjawab sepenuhnya terhadap proses editing, tetapi dalam melaksanakan tugasnya editor tetap harus selalu menjalin komunikasi atau berkoordinasi dengan sutradara. Karena di benak seorang sutradara sejak awal sudah ada penilaian atau pilihan tentang adegan mana yang perlu dan mana yang tidak terlalu penting. Bagian yang tidak penting itulah yang nantinya akan disingkirkan oleh editor.
Sebelum masuk ke dalam laboratorium untuk proses akhir, film yang diproduksi itu harus terlebih dulu singgah ke meja editing.
Di dalam tim kerja film, editor memimpin Departemen Editing.

Pengisi dan Penata Suara
Pengisi suara adalah seseorang yang bertugas mengisi suara pemeran atau pemain film. Jadi, tidak semua pemeran film menggunakan suaranya sendiri dalam berdialog di film.
Penata suara adalah seseorang atau pihak yang bertanggungjawab dalam menentukan baik atau tidaknya hasil suara yang terekam dalam sebuah film.
Di dalam tim kerja produksi film, penata suara memimpin Departemen Suara.

Bintang Film (Pemeran)
Bintang film atau pemeran film dan biasa juga disebut aktor dan aktris adalah mereka yang ‘membintangi’ film yang diproduksi dengan memerankan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita film tersebut.
Keberhasilan sebuah film tidak bisa lepas dari keberhasilan para aktor dan aktris dalam memerankan tokoh-tokoh yang diperankan sesuai dengan tuntutan skenario (cerita film), terutama dalam menampilkan watak dan karakter tokoh-tokohnya.  –(sea-5)

Sejarah Perfilman Indonesia (II)


MK: SINEMATOGRAFI
Pertemuan 4

Sejarah Perfilman Indonesia
(II)
SEJARAH perjalanan film di negeri kita tidak bisa dilepaskan dengan sejarah perjuangan bangsa kita dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu di bulan Agustus 1945, dan Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, pemerintah pendudukan Jepang kemudian menyerahkan Nippon Eighasha kepada Pemerintah Republik Indonesia yang ketika itu sedang dalam tahap penataan diri. Oleh Pemerintah Republik, lembaga film buatan pemerintah pendudukan Jepang itu diserahkan kepada instansi atau lembaga yang diberi nama Berita Film Indonesia (BFI) dipimpin RM. Sutarto.
Meskipun sudah menyerahkan lembaga film Nippon Eighasha, akan tetapi pemerintah pendudukan Jepang belum mau menyerahkan wewenang pemerintahan sepenuhnya kepada Pemerintah RI. Bahkan pada tanggal 10 September 1945, Panglima Bala Tentara Jepang di Jawa menyatakan akan menyerahkan wewenang pemerintahan di Indonesia kepada pihak Sekutu. Akhir September 1945 tentara Sekutu mendarat di Indonesia. Belanda yang tidak rela Indonesia merdeka memboncengkan tentaranya bersama-sama Sekutu masuk lagi ke Indonesia.
Pertempuran mempertahankan kemerdekaan melawan kedatangan tentara Sekutu yang diboncengi tentara Belanda (NICA) terjadi di berbagai kota dan daerah. Di tengah-tengah gejolak mempertahankan kemerdekaan, pada tanggal 4 Januari 1946 Pemerintah RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan kepindahan ini pusat pemerintahan atau ibukota RI juga beralih dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejak Januari 1946 itu kota Yogyakarta menjadi pusat segaka aktivitas pemerintahan. Para pekerja film atau insan-insan film juga ikut pindah ke Yogyakarta.  Di Yogyakarta sejumlah orang film menggabungkan dirinya ke dalam kekuatan perjuangan dengan menjadi tentara. Usmar Ismail misalnya, ia ikut menjadi tentara dengan pangkat Mayor,  selain dipercaya pula untuk memimpin koran perjuangan yang bernama “Patriot”.
Sejak proklamasi kemerdekaan sampai tahun 1947, produksi film di negeri kita bisa dikatakan dalam kondisi padam, karena tidak ada satu pun film yang diproduksi. Meskipun begitu upaya-upaya untuk tetap membangkitkan gairah dan semangat berkarya di dunia film tetap dilakukan. Pada tahun 1947 di Yogyakarta didirikan lembaga studi drama dan film yang diberi nama Kino Drama Atelier (KDA). Dr. Huyung (Hinatsu Heitaro), seorang mantan tentara Jepang yang menolak pulang ke negerinya dan memilih bergabung dengan para pejuang RI, dipercaya memimpin KDA. Di masa pendudukan Jepang, Huyung yang memang sarjana sastra lulusan Universitas Waseda di Tokyo itu memang dipercaya sebagai tentara yang bertugas menangani bidang seni teater, terutama dalam menggalakkan propaganda Jepang melalui seni tetar atau drama.
Pada tanggal 8 Desember 1947 diadakan Perundingan Renville antara Pemerintah RI dan Belanda yang berlangsung di atas Kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Usmar Ismail dalam kapasitasnya sebagai pemimpin redaksi koran “Patriot” ikut berangkat ke Jakarta untuk meliput jalannya perundingan. Tapi malang, ia ditangkap dan ditahan oleh tentara Belanda. Penangkapan itu dilakukan setelah Belanda mengetahui bahwa Usmar Ismail juga seorang tentara republik yang berpangkat Mayor.
Di tengah-tengah masa penuh gejolak seperti itu, pihak Belanda dengan bantuan Sekutu telah menguasai kembali Jakarta dan sejumlah kota lainnya itu mulai melirik lagi ke film. Mereka berpendapat, film bisa digunakan sebagai media berkomunikasi dan mempengaruhi kejiwaan masyarakat untuk beramai-ramai kembali ke kota-kota dari pengungsiannya di daerah-daerah pedalaman yang dikuasai Pemerintah RI. Dengan film, masyarakat juga akan diyakinkan bahwa kondisi di kota-kota sudah aman dan nyaman, serta Belanda sudah menciptakan kestabilan dan kenyamanan di mana-mana.
Ketika Belanda kembali menguasai Jakarta, maka mereka mengambil alih pula Berita Film Indonesia (BFI) dan menghidupkan kembali perusahaan film mereka yang ada sebelum masa pendudukan Jepang, NV Multi Film (ex ANIF). Karena sejak awal NV Multi Film memang bertugas memproduksi film-film non-features seperti film dokumenter, maka pada tahun 1948 NV Multi Film membentuk devisi usaha yang khusus untuk memproduksi film-film features atau film-film cerita. Devisi usaha dari NV Multi Film itu diberi nama  South Pasific Film Corp. (SPFC).
Anjar Asmara, seseorang yang punya pengalaman dalam soal film karena pernah membuat satu film produksi Java Industrial Film (JIF) sebelum pendudukan Jepang dipercaya oleh SPFC untuk menyutradarai dua judul film. Demikian pula halnya dengan Usmar Ismail yang ketika itu menjadi tahanan pihak Belanda di Jakarta, ia pun dikeluarkan dari tahanan dan dipercaya untuk mendampingi Anjar Asmara, dengan menjadi asisten sutradara.
Dua judul film produksi SPFC di tahun 1948 yang disutradarai Anjar Asmara dengan asisten sutradara Usmar Ismail itu Jauh Dimata dan Gadis Desa. Setelah menyutradarai kedua film itu, Anjar Asmara lalu meninggalkan SPFC. Posisinya sebagai sutradara kemudian digantikan oleh Usmar Ismail.
Dalam posisinya sebagai sutradara, tahun 1949 Usmar Ismail melalui produksi SPFC menggarap dua judul film, Citra (Tjitra) dan Harta Karun. Film Citra merupakan film garapan pertama Usmar Ismail, yang diangkat dari naskah sandiwaranya yang pernah dipanggungkan semasa pendudukan Jepang. Sedangkan Harta Karun merupakan cerita saduran dari “L’Avare” karya pengarang Perancis, Molier.
Sepanjang 1948 dan 1949 orang-orang film lainnya pun mulai menggeliat. Wong Bersaudara bekerjasama dengan Tan Koen Hian mendirikan “Tan & Wong Brothers” yang kemudian memproduksi film Air Mata Mengalir di Tjitarum. Kemudian disusul The Teng Chun bekerjasama dengan Fred Young mendirikan perusahaan film “Bintang Surabaya” dan memproduksi film Sapu Tangan.
Di masa-masa itu, Kino Drama Atelier (KDA) juga ikut menggeliat di Yogyakarta. Dalam serba keterbatasan, KDA sempat memproduksi dua judul film yang disutradarai Dr. Huyung. Dua film produksi KDA itu, Antara Bumi dan Langit serta Bunga Rumah Makan (lihat Eddy D. Iskandar, Mengenal Perfilman Nasional, 1987).
Pada tanggal 28 Desember 1949 pusat pemerintahan dan ibukota RI kembali beralih ke Jakarta setelah sehari sebelumnya Pemerintah Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dengan beralihnya kembali ibukota RI dari Yogyakarta ke Jakarta, maka semua aktivitas kembali berpusat di Jakarta. Termasuk aktivitas di bidang perfilman. Bahkan Usmar Ismail yang sebelumnya sempat terlibat dalam ketentaraan dengan pangkat Mayor, menyatakan keluar dari kemiliteran dan kembali ke kehidupan sipil, karena ingin sepenuhnya bergelut di dunia seni film.

Masa Kebangkitan dan Kehancuran
Tahun 1950 merupakan tahun kebangkitan film nasional di era kemerdekaan. Tapi era 1950 sampai 1957, oleh Misbach Jusa Biran, disebut sebagai masa “bangkit dan hancurnya” perfilman nasional. Karena setelah bangkit di tahun 1950 dan sempat menikmati masa-masa cemerlang, mulai tahun 1956 hingga 1957 dunia perfilman nasional mengalami masa-masa kritis, penuh hambatan, bahkan disebut juga sebagai masa kehancuran.
Kebangkitan film nasional di tahun 1950 itu ditandai dengan perusahaan film nasional Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) yang didirikan oleh Usmar Ismail. Film produksi perdana Perfini, Darah dan Doa (The Long March of Siliwangi), yang langsung disutradarai sendiri oleh Usmar Ismail, sedangkan skenarionya ditulis penyair Sitor Situmorang.

Sejak masa perletakan landasan-landasan itu hingga hari ini dunia perfilman Indonesia terus mengalami masa-masa yang menarik untuk disimak dan dikaji. Pada masa-masa ini dunia perfilman Indonesia mengalami pasang surut dan naik-turun baik dari segi produksi, kuantitas dan kualitas. Sejumlah bintang dan sineas terpandang muncul di masa-masa ini. Dan, setelah era reformasi, dunia perfilman Indonesia diwarnai pula dengan munculnya sejumlah sineas dan bintang muda yang mengusung suara-suara kebebasan dalam berkarya. (SEA)***

Kamis, 06 Oktober 2011

SEJARAH PERFILMAN INDONESIA (I)


MK: SINEMATOGRAFI
Pertemuan 3

SEJARAH PERFILMAN INDONESIA
(I)

            PERJALANAN dan perkembangan dunia perfilman di tanah air kita menarik untuk disimak. Sesungguhnya sejarah pengenalan seni hiburan yang populer disebut film ini di Indonesia tidak berjarak terlalu jauh dengan yang berlangsung di Barat (Eropa dan Amerika). Bahkan bangsa Indonesia (Hindia Belanda) lebih dulu mengenal dunia pertunjukan film dibandingkan dengan Italia.
Kemunculan atau kelahiran bioskop pertama di dunia terjadi pada 28 Desember 1895 di Paris. Ketika itu tempat yang dijadikan bioskop untuk memutar film tersebut adalah sebuah kafe di salah satu ruang bawah tanah. Budaya menonton film dengan membeli karcis atau tiket masuk diperkenalkan pada waktu yang sama. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya di tahun 1905, tempat pemutaran film (bioskop) bermunculan dan berkembang di Amerika Serikat. Kala itu tempat pemutaran film tersebut dikenal dengan sebutan nickelodeon.
 Lantas, kapan negeri kita mulai mengenal pertunjukan hiburan yang kemudian dikenal dengan nama film tersebut?
Di dalam surat kabar Bintang Betawi terbitan hari Rebo tanggal 5 Desember 1900 terdapat iklan yang menginformasikan tentang adanya “pertoenjoekan besar jang pertama”. Sebagian dari isi iklan yang dipasang De Nederlandsche Bioscope Maatschappij itu menyatakan:
“Ini malem 5 Desember PERTOENJOEKAN BESAR JANG PERTAMA dan
 teroes saban malem di dalem satoe roemah di Tanah Abang  Kebondjae
 (MANAGE) moelain poekoel TOEDJOE malem.”

Pertunjukan besar yang dimaksudkan dalam iklan pada surat kabar Bintang Betawi itu adalah ‘tontonan gambar-gambar idoep’. Iklan pada surat kabar tersebut edisi Jumat 30 November 1900 antara lain menyatakan akan adanya ‘tontonan amat bagoes jaitoe gambar-gambar idoep’. ‘Tontonan gambar-gambar idoep’ itulah yang kini populer dengan sebutan film.
Melihat pada apa yang diinformasikan surat kabar Bintang Betawi edisi 5 Desember 1900 lewat iklan tersebut jelaslah jika tontonan film di negeri kita sudah dimulai pada tanggal 5 Desember 1900. Jadi, rentang waktu keberadaan tontonan film di negeri kita dengan keberadaan bioskop pertama di dunia tahun 1895, hanya berjarak lima tahun saja.
Tempat pemutaran film (bioskop) di Amerika Serikat muncul dan berkembang mulai tahun 1905. Sedang di negeri kita tempat pemutaran film di sebuah bangunan rumah (bioskop) itu sudah ada sejak tahun 1900. Melihat dari data ini, jelaslah Batavia (sekarang Jakarta) telah lebih dulu memperkenalkan tempat pertunjukan film dibandingkan kota-kota di Amerika Serikat.

Pembuatan Film
Sejarah pembuatan film di negeri kita sudah diawali sejak tahun 1910. Tapi film-film yang diproduksi saat itu adalah film-film non-features. Pemerintah Hindia Belanda di masa itu mendatangkan sejumlah ahli dan pekerja pembuat film dari Negeri Belanda untuk membuat film dokumenter tentang apa dan bagaimana Hindia Belanda. Film-film non-features yang dibuat dimaksudkan untuk mengenalkan keberadaan Hindia Belanda kepada masyarakat di Negeri Belanda.
Enambelas tahun kemudian, tepatnya di tahun 1926, film feature atau film cerita baru diproduksi di Hindia Belanda. Sejarah perjalanan pembuatan film cerita di Hindia Belanda diawali dengan diproduksinya sebuah film berjudul “Loetoeng Kasaroeng”. Jika sejarah kelahiran bioskop diawali di Batavia, maka sejarah kelahiran film cerita di negeri kita diawali di kota Bandung pada tahun 1926. Film cerita bisu pertama produksi Java Film Company yang mengangkat tentang legenda di bumi Priangan itu merupakan karya bersama seorang Belanda bernama L. Heuveldorp dan seorang Jerman bernama G. Kruger.
Di tahun 1927, Kruger membuat perusahaan film sendiri bernama Krugers Filmbedriff. Film-film yang diproduksinya antara lain Eulis Acih, Karnadi Tangkap Bangkong dan Atma de Visser.
Bandung memang merupakan kota kelahiran film-film cerita. Setelah film  Loetoeng Kasaroeng, F.Carli yang tinggal di Bandung juga tergerak untuk ikut membuat film dengan mendirikan Cosmos Film yang kemudian berubah menjadi Kinowerk Carli. Film yang dibuat Carli itu berjudul Karina’s Zelfop-offering (Pengorbanan Karina). Film garapan Carli ini berkisah tentang kisah cinta antara seorang opsir Belanda (asing) dengan seorang gadis keturunan bangsawan di Jawa. Dan, yang menarik sebagian besar syuting film ini berlokasi di Yogyakarta. Film garapan Carli lainnya adalah De Stem des Bloeds (Panggilan Darah).
Berbeda dengan Heuveldorp dan Kruger yang di dalam film Loetoeng Kasaroeng lebih mengutamakan pemain-pemain pribumi, maka film garapan Carli ini menggunakan pemain hampir seluruhnya orang asing atau Indo-Belanda (peranakan Belanda). Salah seorang di antaranya isteri Carli sendiri, Annie Krohn, yang berperan sebagai pemeran utamanya.
Bandung kembali membuat catatan dalam sejarah perkembangan film dengan datangnya Wong Bersaudara dari Shanghai, China, ke kota tersebut pada tahun 1928. Ketika berada di Shanghai, Wong Bersaudara yang terdiri dari Nelson, Joshua dan Othnil memang sudah bergerak di dalam usaha produksi film. Salah satu film yang diproduksi Wong Bersaudara dengan perusahaan filmnya Halimun Film di tahun 1928 itu berjudul Lily van Java. Film yang bercerita tentang kehidupan salah satu keluarga Cina peranakan.
Kedatangan Wong Bersaudara ke Bandung, ternyata telah menggugah minat dua warga Cina perantauan (peranakan), yakni Tan Koen Hian dan The Teng Chun untuk terlibat dalam usaha produksi film. Keduanya lalu membuat perusahaan film di Batavia (sekarang Jakarta). Tan Koen Hian tahun 1929 mendirikan perusahaan film Tan’s Film. Di tahun 1929 itu Tan’s Film memproduksi film berjudul Njai Dasima. Sedangkan The Teng Chun tahun 1931 mendirikan Cino Motion Pictures Corporation.

Film Bicara
Era film bisu di dunia berakhir pada tahun 1927. Berakhirnya era film bisu ini ditandai dengan pembuatan film bicara (film suara) pertama di tahun 1927 yang berjudul Jazz Singer. Film bicara pertama ini diputar atau dipertontonkan pertama kali untuk umum pada 6 Oktober 1927 di New York, Amerika Serikat.
Dua tahun kemudian, tepatnya di akhir tahun 1929, panggung pertunjukan film di Hindia Belanda ditandai dengan masuknya dua film bicara dari Amerika Serikat. Kedua film bicara itu berjudul Fox Follies dan Rainbow Man.
Masuknya film bicara produksi Amerika Serikat itu tentu saja mempengaruhi perusahaan film di Hindia Belanda untuk ikut memproduksi film bicara. The Teng Chun dengan perusahaan filmnya Cino Motion Pictures Corporation (CMPC) pada tahun 1931 dengan peralatan rekaman suara yang sederhana mencoba membuat film bicara berjudul Roos van Cikembang. Sebelumnya CMPC memproduksi San Pek Eng Tay.
Setelah itu diproduksi pula sejumlah film lainnya seperti film Indonesia Maleise garapan Wong Bersaudara (1931) dan film Terpaksa Menikah kerjasama Kruger dengan Tan Khoen Hian (Tan’s Film) yang diproduksi tahun 1932. 
Perkembangan berikutnya terjadi di tahun 1934, ketika seorang Indo-Belanda bernama Albert Balink yang berprofesi sebagai wartawan koran berbahasa Belanda De Locomotif membuat film berjudul Pareh di Bandung. Balink tidak sendirian, tapi mengajak Wong Bersaudara dan Mannus Franken seorang pembuat film dokumenter dari Belanda. Film Pareh yang diproduksi perusahaan film Java Pasific Film dan dibintangi Rd. Mochtar dan Soerkarsih ini merupakan film Indonesia pertama yang mendapat perhatian luas dari masyarakat pecinta film, meskipun dari segi pemasaran masih dipandang tidak terlalu berhasil.
 Cino Motion Pictures Corporation kemudian berganti nama The Java Industrial Film Co (JIF) dan pada tahun  1935 memroduksi film berjudul Lima Siloeman Tikoes. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat keturunan Cina di Batavia.
Jika film Pareh dinyatakan sebagai film Indonesia pertama yang mendapat perhatian luas dan dipuji dari segi kualitas dan ceritanya, maka film Terang Boelan yang diproduksi tahun 1937 merupakan film pertama yang terlaris dan sukses secara bisnis di pasaran. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat pecinta hiburan film ketika itu.
Film Terang Boelan digarap oleh Albert Balink bersama Wong Bersaudara dan mengajak pula seorang wartawan pribumi, Saeroen, di bawah bendera perusahaan film Algeemene Nederlands Indische Film Syindicaat (ANIF) yang didirikan di Batavia. Film yang penuh dengan nuansa romantisme, tari dan nyanyi ini dibintangi Miss Roekiah dan Rd. Mochtar. Miss Roekiah sebelumnya adalah seorang penyanyi keroncong di panggung tonel (panggung sandiwara), sedangkan Rd. Mochtar adalah bintang yang ketika itu sedang digandrungi lewat penampilan sebelumnya di film Pareh.
Kesuksesan film Terang Boelan yang berkisah tentang kehidupan masyarakat asli di pulau-pulau Laut Selatan ini kemudian menjadi pemicu perusahaan-perusahaan film yang ada di saat itu untuk memproduksi tema yang sama, dengan tujuan meraih kesuksesan dari segi pemasaran. Apalagi film Terang Bulan tidak hanya sukses di dalam negeri sendiri, tapi juga meraih sukses ketika ditayangkan di Malaya (Malaysia) dan Singapura.
Setelah film Terang Boelan, dunia perfilman di negeri kita ketika itu mengalami masa-masa menggembirakan. Masa-masa itu (1939-1942) oleh Misbach Jusa Biran disebut sebagai masa panen pertama perfilman Indonesia.
Di dalam Selintas Kilas Sejarah Film Indonesia (terbitan Badan Pelaksana FFI 1982) Misbach Jusa Biran menyatakan – Film Terang Boelan memperlihatkan bukti yang amat jelas kepada para pemilik  modal bahwa usaha pembuatan film bisa menjadi bisnis yang hebat. Maka sejak tahun 1939 mulai bermunculan perusahaan-perusahaan film baru. Semuanya berpedoman kepada pola resep yang dipakai oleh film Terang Boelan. Pasangan Roekiah-Rd. Mochtar yang namanya menjulang ke langit popularitas, juga menjadi modal dalam mendapatkan bintang bagi masing-masing perusahaan. Sejak saat ini kedudukan bintang dalam film Indonesia merupakan unsur yang amat penting, “star system” dimulai. Seperti juga Roekiah, maka semua bintang baru khususnya ditarik dari dunia tonel. Termasuk pemain panggung yang paling cemerlang saat itu, seperti Fifi Young, Tan Tjeng Bok, Rd. Ismail, Astaman dan Ratna Asmara. Bahkan kemudian semua orang panggung diangkut pula ke dunia film untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja dari produksi yang mendadak meningkat.
Tapi masa panen pertama perfilman Indonesia itu, menurut Misbach Jusa Biran, hanya berusia singkat, karena harus mendadak terhenti pada awal tahun 1942. Hal itu terjadi setelah Jepang menduduki Indonesia dan menyingkirkan kekuasaan Belanda pada Maret 1942, pemerintah pendudukan Jepang kemudian menutup semua perusahaan film.

Masa Pendudukan Jepang
Menurut Ryadi Gunawan, sejak pemerintah pendudukan Jepang berkuasa di negeri ini, kehidupan sejarah perfilman kita mengalami suasana yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Semua perusahaan film yang ada, yang sebagian besar merupakan milik orang-orang Cina, disita dan ditutup oleh pemerintah pendudukan Jepang melalui Jawa Eiga Kosha (Java Motion Picture Corporation) yang dibentuk pada bulan Oktober 1942. (Lihat – Sejarah Perfilman Indonesia, Prisma 4, 1990).
Masih menurut Ryadi Gunawan, setelah kejadian itu, untuk melaksanakan kebijaksanaan perfilman oleh pemerintah pendudukan Jepang, dibentuk dua lembaga yang berbeda fungsinya untuk menangani perfilman. Kedua lembaga itu adalah Nichi’ei/Nippon Eigasha (Japan Motion Picture Company) yang bertugas memproduksi film, dan Eihai/Eiga Haikyusha (Motion Picture Distributing Company) yang bertugas memasarkan film. Setelah terbentuknya kedua lembaga itu pada bulan April 1943, maka Jawa Eiga Kosha dibubarkan dan segala tugasnya diambil alih oleh kedua lembaga itu.
Di dalam perjalananya, Nichi’ei/Nippon Eigasha ternyata hanya memproduksi beberapa film pendek yang berisi propaganda Jepang, seperti Berdjoeang, Keseberang, dan Amat Heiho. Sedangkan Eiga Haikyusha hanya memasarkan film-film propaganda yang datang dari Jepang sendiri.  

Masa Kemerdekaan
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dunia perfilman kita memasuki babak baru, di mana semangat kemerdekaan dan rasa nasionalisme yang tinggi sangat mewarnai cerita-cerita film. Pada masa-masa inilah muncul sejumlah tokoh perfilman nasional, di antaranya dua nama terkemuka Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik.
Perkembangan dunia perfilman di tanah air kita setelah masa kemerdekaan itu oleh Misbach Jusa Biran dibagi dalam beberapa masa. Pertama, masa perang (1942-1949). Misbach memasukkan tahun 1942 karena menurutnya sejak 1942 sampai 1945 merupakan masa pendudukan Jepang, sedang 1945 sampai 1949 disebutnya sebagai masa Revolusi Fisik atau Perang Kemerdekaan. Kemudian kedua, masa bangkit dan hancur (1950-1957). Ketiga, masa penyemaian konsep ideologi (1957-1966). Dan keempat, masa perletakan landasan-landasan (sejak 1967).
Sejak masa perletakan landasan-landasan itu hingga hari ini dunia perfilman Indonesia terus mengalami masa-masa yang menarik untuk disimak dan dikaji. Pada masa-masa ini dunia perfilman Indonesia mengalami pasang surut dan naik-turun baik dari segi produksi, kuantitas dan kualitas. Sejumlah bintang dan sineas terpandang muncul di masa-masa ini. Dan, setelah era reformasi, dunia perfilman Indonesia diwarnai pula dengan munculnya sejumlah sineas dan bintang muda yang mengusung suara-suara kebebasan dalam berkarya. – (sea-3)