Selasa, 19 Juni 2012

KISI-KISI MK FOTOGRAFI 2012


             KISI-KISI MK FOTOGRAFI 2012

1.      Sifat-sifat foto jurnalistik.
Di dalam kerja jurnalistik dikenal ada enam sifat foto jurnalistik (foto berita). Keenam sifat yangh dimiliki foto jurnalistik itu meliputi: mudah dibuat, akurat, universal, visual, kompak dan selalu aktual.
           
2.      Visual – Bahasa foto adalah bahasa visual. Bahasa visual, bahasa yang dimengerti dan dipahami oleh siapapun. Artinya, bahasa visual yang disampaikan selembar foto akan bisa ‘dibaca’, dimengerti dan dipahami oleh orang yang bisa membaca sampai ke orang yang tidak bisa membaca sekalipun.
3.      Di dalam kerja jurnalistik selama ini dikenal ada tujuh jenis atau ragam foto jurnalistik. Ket7ujuh jenis foto jurnalistik itu meliputi: foto berita (spot news), foto human interest, foto essay, foto cerita, foto humor, foto feature dan foto olahraga.
4.      Foto human interest adalah foto yang menyajikan hal-hal yg berkaitan dengan daya tarik manusiawi, atau foto yang ber bicara tentang masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dengan kata lain, foto human interest adalah foto yang mampu menggugah emosi kemanusiaan kita yang melihatnya.
5.      Foto feature adalah foto tunggal yang tidak sekadar memiliki nilai informasi, tapi juga menyampaikan suatu gagasan berharga pada orang yang melihatnya. Sekalipun hadir tunggal, foto feature bisa menghadirkan beragam penafsiran.
6.      Komposisi adalah penempatan posisi objek pada bidang pemotretan, sehingga menjadi pusat perhatian. Dengan demikian, komposisi menuntun mata kita menuju titik perhatian yang menyatukan objek foto secara keseluruhan. Komposisi secara sederhana dapat diartikan sebagai cara menata elemen-elemen atau unsur-unsur dalam gambar. Elemen-elemen itu meliputi sudut pemotretan, sepertiga bagian, pola, garis, warna, bingkai, latar belakang, dan latar depan.
7.      Sepertiga bagian – Dalam fotografi, suatu bidang di dalam pandangan kamera dibagi menjadi sembilan bagian yang sama. Komposisi yang baik adalah bila objek ditempatkan pada duapertiga bagian bidang tersebut. Sedang sepertiga bidang lainnya dikosongkan.
8.      Garis – Dalam pemotretan di luar ruangan (alam bebas0, garis menjadi pusat perhatian objek foto. Objek pemotretan yang bisa digunakan sebagai elemen garis antaralain pagar, pohon, garis atap rumah, jalanan dan lain-lainnya.

9.      Sekalipun belum ada kode etik yang tertulis secara formal bagi para fotografer, kecuali fotografer yang bekerja di dalam kerja jurnalistik,  tapi setiap fotografer dalam kerjanya dituntut untuk senantiasa menjunjung tinggi atau menghormati norma-norma dan nilai-nilai etika yang ada di masyarakat. Hal utama yang harus diperhatikan ketika melakukan kerja profesinya adalah menghindari perbuatan-perbuatan yang melanggar hak pribadi orang lain. Hak pribadi orang lain itu dilindungi oleh hukum. Seseorang yang hak pribadinya merasa telah dilanggar oleh seorang fotografer melalui karya fotonya, berhak memperkarakan fotografer itu secara hukum. Hak pribadi itu misalnya, hak untuk berbuat apapun di dalam rumahnya sendiri, sejauh hak itu tidak bertentangan dengan hukum.

10.  Seperti halnya di dunia senirupa, di dalam dunia seni foto atau fotografi seni pun kemudian muncul sejumlah aliran atau gaya, seperti aliran realis, surealis, straigh, minimalis, piktorial, dan lain-lain.  (SEA)

Sabtu, 02 Juni 2012

TERHENYAK Cerpen : Sutirman Eka Ardhana

    TERHENYAK
    Cerpen : Sutirman Eka Ardhana

    PERNAHKAH kau merasakan keterkejutan seperti yang kurasakan ini?  Pernahkah kau terhenyak dan gugup sedahsyat ini? Pernahkah kaualami peristiwa seperti yang  kualami? Peristiwa yang tak pernah kuduga dan tak pernah kubayangkan akan terjadi di saat usiaku sudah mulai merambat tua.
Gadis itu masih duduk di depanku. Dia cantik. Usianya sekitar 20 tahunan lebih. Matanya yang tak berhenti menatapku, bagaikan ujung sebilah belati yang tajam berkilau. Aku bagaikan seorang pesakitan, atau seorang terdakwa yang terhenyak tak berdaya di depan hakim. Di depan gadis itu, aku benar-benar kehilangan daya.
Sehari sebelumnya ia meneleponku. Tak kutahu, entah dari mana ia memperoleh nomor hp-ku. Ia mengaku sebagai seorang mahasiswi yang mengikuti mata kuliahku di kampus. Ia mengatakan keinginannya untuk bertemu denganku.
“Ya, kita bisa ketemu besok di kampus,” ini jawabku.
“Tapi, saya tidak ingin bertemu di kampus, Pak. Saya ingin bertemu di luar kampus saja,” katanya cepat menanggapi jawabanku itu.
“Koq…serius banget. Ada masalah apa? Sepertinya penting sekali?” ujarku heran.
“Ada hal sangat penting yang ingin saya sampaikan ke Bapak,” katanya lagi.
Meski dadaku dijejali beragam tanda tanya dan rasa penasaran, akhirnya kupenuhi permintaannya itu. Disepakati kami bertemu sore hari di café ini.
Aku datang lebih dulu di café. Lalu mengambil posisi di meja paling sudut, yang tak jauh dari pintu masuk.  Sembari duduk, sambil mendengarkan alunan musik lembut di café ini, pandanganku tak henti-hentinya tertuju ke arah pintu masuk, mencari tahu siapa gerangan mahasiswi yang ingin bertemu denganku itu.
Waitres yang mengantarkan segelas coklat hangat pesananku baru saja berlalu, ketika aku dikejutkan dengan kemunculan seorang gadis muda di depanku.
“Sudah lama, Pak?” tanyanya seraya tersenyum. Dan, senyum itu manis. Manis sekali. Seperti sebuah senyum yang datang dari masa lalu.
“Oh…., kamu yang ……?” tanyaku tergagap.
“Ya …., saya yang …..kemarin menelepon Bapak. Maaf…., kemarin saya mengaku sebagai ….. mahasiswi Bapak. Tapi….. itu terpaksa saya lakukan, agar bisa bertemu dengan Bapak,” entah mengapa gadis itu menjawabnya dengan agak terbata-bata, sambil menarik kursi dan duduk.
“Lho, sebenarnya kamu ini siapa?” sebenarnya tanyaku ini bisa meninggi, tapi begitu melihat wajahnya, aku terpaksa menurunkan volume atau tekanan suara.
Gadis itu  diam sesaat. Tapi pandangan matanya tetap tertuju ke arahku. Di balik pelupuk matanya seperti ada yang coba ditahannya.
“Itulah yang ingin saya katakan kepada Bapak sore ini. Saya berharap Bapak bersedia mendengarkannya,” ujarnya kemudian, dan bola matanya mulai berkaca-kaca.
Aku mengangguk pelan, sebagai tanda mempersilakannya untuk mengutarakan apa yang ingin dikatakannya.
“Apakah Bapak masih ingat dengan seorang perempuan bernama Miranti?” tanya gadis itu pelan.
Sekalipun pelan, tapi pertanyaan itu telah membuatku tergagap dan terhenyak.
“Apakah Bapak masih ingat dengannya? Dengan Miranti itu?” ulangnya lagi.
Ya, tentu saja aku ingat! Miranti, sebuah nama yang pernah mengukir cerita indah di dalam hatiku.
“Bagaimana, Pak? Ingat?” kejarnya.
“Ya….,” jawabku lirih, nyaris tak terdengar.
“Syukurlah, kalau Bapak masih mengingatnya. Dan, satu hal yang perlu Bapak ketahui, saya adalah anaknya. Anak perempuan yang diakui oleh lelaki lain yang baik hati sebagai anaknya, sekali pun sesungguhnya lelaki yang seharusnya menjadi ayah kandungnya itu bernama  Ardhian Suherman,” pelupuk mata gadis itu terlihat jelas tak mampu membendung luapan air mata ketika mengatakan hal ini.
Rentetan kata-kata gadis itu bagaikan sambaran petir yang menggelegar dahsyat di telingaku. Betapa tidak. Nama Ardhian Suherman yang disebutnya itu adalah namaku. Jadi??!! Kalau begitu dia….??!! Beribu tanya saling bergebalau di hatiku. Dadaku sesak.
 “Lelaki yang baik hati itu bernama Sumarwan. Dialah yang menjadi suami ibu saya, Miranti. Dan, dia jugalah yang telah membesarkan dan mengakui saya sebagai anaknya sendiri. Tapi setahun lalu lelaki yang sangat saya hormati dan sayangi itu telah berpulang. Setengah tahun kemudian, ibu saya, Miranti, menyusulnya berpulang ke sisi Allah. Seminggu sebelum meninggal, ibu menceritakannya semua kepada saya. Menceritakan siapa saya sesungguhnya. Menceritakan siapa sesungguhnya ayah kandung saya. Ibu bercerita, ketika saat kehamilannya diketahui, ia berharap lelaki bernama Ardhian Suherman itu datang. Tetapi setelah ditunggu sekian lama, lelaki itu tetap tak pernah datang. Sehingga kemudian datanglah, lelaki bernama Sumarwan, yang katanya merupakan sahabat dekat Ardhian Suherman, dan menyatakan kesediaannya untuk menikahi. Ibu juga sempat berpesan, agar saya mencari lelaki bernama Ardhian Suherman itu, dan menyampaikan semua kisah ini,” gadis itu menarik napasnya dalam-dalam sambil menyeka air mata di pipinya.
Aku terhenyak dahsyat. Bahkan juga terhempas sangat dahsyat. Terhempas dari ketinggian yang tak terkira. Terhempas dan terpuruk ke lubang bumi yang dalam dan penuh bebatuan tajam. Bebatuan tajam dan keras itu bagai menghimpit tubuhku. Rongga dadaku seperti remuk. Aku seperti sulit bernapas. Dan, aku benar-benar seperti kehilangan daya untuk memandang dalam-dalam wajah gadis yang mengaku anakku itu. .
Aku tak bisa mengingkari semua itu. Miranti benar. Setelah malam penuh cinta dan nafsu itu, aku memang tak pernah datang lagi menemuinya. Ketika itu begitu cepat semuanya berubah. Dan, Sumarwan, sahabat karibku, ternyata dialah yang telah menyelamatkan Miranti.
“Sudah ya, Pak. Saya lega, sudah bisa melaksanakan pesan dari ibu saya untuk menemui Bapak dan menceritakan semuanya. Maaf, saya tidak bermaksud mengganggu kehidupan Bapak, saya hanya sekadar ingin melaksanakan pesan ibu saya. Itu saja. Tapi, kalau Bapak ingin mengatakan sesuatu, mungkin ingin membantah atau menyanggah cerita itu, Bapak bisa menghubungi saya. Ini alamat rumah, dan nomor hp saya,” kata gadis itu, seraya berdiri, kemudian meletakkan sehelai kartu nama di atas meja, dan kemudian melangkah pergi.
Aku terpana. Tak tahu harus berbuat apa-apa. Aku benar-benar kehilangan daya.
“Ya Allah, beri aku jalan keluar. Atau beri aku hukuman yang setimpal untuk itu semua,” hanya ini yang terucap dari mulutku setelah adzan mahgrib terdengar mengejutkan keterpakuanku.                                      
                                                                         Yogya, Mei 2012

(Dimuat: Harian "MERAPI" - Yogyakarta, edisi Minggu, 3 Juni 2012)