Sabtu, 03 Agustus 2013

Bulan di Atas Surau Oleh: Sutirman Eka Ardhana

Bulan di Atas Surau
Oleh: Sutirman Eka Ardhana



WAJAH bulan menyembul separuh di atas surau. Separuhnya lagi seperti sedang bersembunyi di balik dedaunan pohon karet. Daun-daun pohon karet yang meninggi di belakang surau itu bagai sedang saling berangkulan. Sedang di dalam surau, gema takbir berkumandang dengan merdunya. Sejak sehabis sembahyang Magrib, gema takbir itu tak henti-hentinya dikumandangkan para jemaah, tua maupun muda. Baik lelaki maupun perempuan.


Aku sedang berdiri di depan surau memandang wajah bulan yang tersembul separuh di balik dedaunan karet, seraya mendengarkan gema takbir yang berkumandang merdu dari dalam surau itu. Kucoba mengingat-ingat, kalau-kalau ada di antara para jemaah pelantun takbir itu yang kukenal suaranya. Ah, ternyata tidak. Tak ada satu pun yang kukenal. Semua terasa asing di telingaku.
Di mana Fikri, sahabat karibku semasa belajar mengaji di surau ini dulu?
Aku berharap mendengarkan suaranya di antara lantunan takbir itu. Suaranya yang merdu bertahun-tahun kurindukan. Di antara para murid atau santri yang belajar mengaji pada Pak Haji Dullah, hanya Fikri yang bersuara merdu ketika mengumandangkan takbir di setiap malam Lebaran tiba. Sepertinya kesemarakan bertakbir di malam Lebaran itu menjadi berkurang bila tak ada lantunan takbir yang merdu dari Fikri.
Juga di mana Khusnul, perempuan lembut bermata teduh yang suaranya pun sangat merdu dalam setiap kali melantunkan suara takbir itu?
Di mana, anak perempuan yang dulu didambakan Emak jadi menantunya, tapi kemudian kukecewakan? Di mana, perempuan yang setiap kali namanya kukenang, menimbulkan penyesalan di hatiku?
Di mana mereka? Ya, di mana Fikri dan Khusnul? Apakah mereka tidak ada di antara para jemaah yang sedang melantunkan takbir di dalam surau itu? Andaikan ada, kenapa aku tak mendengar suara mereka? Apakah suara mereka sudah berubah, tak semerdu dulu lagi? Bisa saja berubah. Kenapa tidak? Bukankah kemerduan suara Fikri, juga Khusnul itu ada pada dua puluh tahun lebih yang lalu? Ya, dua puluh tahun lebih sudah tak mendengarkan kemerduan suara mereka. Beruntun tanya seperti saling berdesakan dan bergebalau di hatiku.
Aku baru saja tiba di kampung. Aku pulang berserta isteri dan anak-anakku merayakan Lebaran bersama Emak. Sudah beberapa kali Lebaran aku tak pernah pulang. Karena kerinduan kepada Emak, kuputuskan tahun ini berlebaran di kampung. Sekaligus juga ingin melepas kerinduan kepada sesama kawan sepermainan atau kawan semasa belajar mengaji di surau dulu. Di antaranya yang ada dalam rinduku itu tentu saja Fikri, juga Khusnul.
Sehabis berbuka puasa dan sembahyang Magrib di rumah, kuputuskan untuk pergi ke surau. Aku tahu, seperti dulu setiap malam Lebaran, suasana di surau pasti lebih semarak dibanding malam-malam lainnya. Semarak dengan suara gema takbir yang dikumandangkan para jemaah atau santri-santri yang belajar mengaji di surau. Lantunan takbir yang memuji kebesaran Allah itu bagai menyelusup di celah-celah dedaunan pohon karet, dan daun-daun pohon senduduk yang tumbuh berjajar di sepanjang tepian parit. Lalu, suara takbir itu menyeruak lembut ke rumah-rumah penduduk. Dan, suasana seperti itu bertahun-tahun kurindukan.
"Saya mau ke surau, Mak," kataku kepada Emak.
"Mau sembahyang?" tanya Emak cepat.
"Ya, mau Isya dan bertakbiran di sana. Siapa tahu jumpa kawan-kawan lama di surau," jelasku.
"Mau jumpa....," timpal Emak, tapi kemudian kata-katanya terhenti begitu isteri dan anak-anakku datang.
Aku tahu, kata-kata Emak itu sesungguhnya akan bersambung. Tapi karena ada isteriku di dekatnya, ia pun tak melanjutkannya.
"Sudah ya Mak, saya ke surau dulu," kataku sambil berpikir tentang kata-kata Emak yang terputus itu.
"Ya, berangkatlah. Jangan pulang malam-malam. Kasihan isteri dan anak-anakkau ditinggal lama. Kau kan baru sampai, badan tentu masih penat," seru Emak.
"Baiklah, Mak," anggukku.
Emak benar. Badanku sebenarnya lumayan penat. Perjalanan dari Yogya sampai ke kampungku cukup memenatkan.
Tapi keinginan untuk menikmati suasana malam Lebaran di surau yang sudah lama kurindukan itu terlalu besar untuk dikalahkan oleh kepenatan badan.
Jemaah terus berdatangan ke surau. Aku benar-benar merasa asing, karena sepertinya tak ada seorang pun para jemaah yang berjalan di dekatku itu kukenal. Tak ada satu pun yang mengenalku, walau aku sudah mencoba tersenyum dengan beberapa yang kebetulan menoleh ke arahku. Hanya beberapa orang saja yang terlihat tersenyum dan menganggukkan kepala kepadaku. Sebagian besar mereka memang anak-anak muda, yang lahir jauh di belakangku. Kupikir wajar juga jika mereka tak mengenalku. Mereka mungkin mengira aku ini tamu yang sedang berkunjung, atau pendatang baru di kampung ini.
Aku masih berdiri di depan surau. Aku sengaja ingin masuk belakangan, dengan harapan ingin mencari atau bertemu lebih dulu dengan orang-orang yang masih kukenal. Ya, aku berharap di depan surau ini bertemu dengan kawan-kawan lamaku dulu seperti Fikri, dan juga Khusnul yang namanya masih saja terngiang di ingatanku.
Aku sedang memandang ke arah dedaunan karet yang menyembunyikan separuh wajah bulan itu, ketika di dekatku berjalan sepasang lelaki dan perempuan melangkah ke tangga surau. Lelaki itu mengenakan krak atau tongkat penyangga di tangan kanannya. Sedang yang perempuan menggandeng tangan kirinya.Mungkin isterinya.
Lelaki itu sudah berada sekitar tiga langkah di depanku, ketika ia menoleh ke belakang, ke arahku. Aku terkesiap. Walaupun cahaya penerangan di depan surau itu tak begitu terang, aku dapat melihat agak jelas wajahnya. Wajah itu seperti pernah kukenal. Ketika pandangan kami bertatapan, aku mencoba tersenyum. Dan, lelaki itu menghentikan langkahnya. Ia memandangku beberapa saat. Pandangannya dalam. Aku pun demikian, memandangnya dalam-dalam dengan dada berdebar.
Lelaki itu kemudian membalikkan badannya, dan berjalan ke depanku. Pandangannya masih tetap di wajahku. Serius. Aku juga memandangnya serius. Tak syak lagi! Lelaki ini sangat kukenal! Dia pasti.....
Ketika aku baru akan berteriak menyebut namanya, lelaki itu sudah terlebih dulu berseru nyaring.
"Ha.....engkau pasti Ardhan, kan?! Pasti! Pasti, tak salah lagi! Engkau Ardhan!" serunya gembira.
Beberapa jemaah di depan surau, yang terkejut mendengar suara lelaki itu langsung memandang kami.
"Dan, engkau pasti Fikri!" seruku, kerasnya.
Tanpa membuang waktu, aku langsung mendekat dan memeluknya erat-erat. Memeluk dengan penuh kerinduan. Betapa tidak. Fikri adalah sahabatku dalam suka dan duka. Sahabat sepermainan. Sahabat sepengajian.
"Beginilah aku sekarang, Ar. Kaki kananku sudah cacat. Tinggal separuh lagi. Diamputasi," katanya setelah kami saling bertanya tentang keadaan masing-masing, tentang keluarga, anak-anak, dan lain-lain.
"Kenapa bisa sampai begitu, Fik?" tanyaku.
"Beberapa tahun lalu, aku terpaksa bekerja di sebuah panglong atau perusahaan penebangan hutan. Ketika bekerja di hutan itu, aku mendapatkan musibah kecelakaan. Aku tertimpa kayu yang ditebang. Ada cabang kayu yang lumayan besar menimpa kaki kananku ini. Kakiku remuk. Karena lukanya yang parah, akhirnya ya diamputasi di rumah sakit. Dan, seperti inilah sekarang. Ke mana-mana harus pakai krak ini," urainya. Pedih hatiku mendengar kata-kata Fikri itu. Sahabat karibku, yang kemerduan suaranya ketika melantunkan adzan dan takbir sangat kukagumi, ternyata harus menjalani perjuangan hidup yang keras. Ia harus bekerja menjadi buruh penebang kayu di hutan demi menghidupi keluarga, isteri dan anak-anaknya. Pandanganku lalu beralih ke perempuan di sampingnya. Dan, wajah perempuan itu juga tak asing lagi buatku. Dia tentu saja Nurul, isterinya. Seketika aku hanyut dalam keharuan. Kalau saja cahaya separuh bulan yang tersembul di balik di dedaunan, di atas surau, sampai ke wajahku, maka akan terlihat jelas bagaimana aku menahan keharuan itu.
Baru saja aku akan berkata lagi, agar segera beralih dari keharuan itu, tiba-tiba ada suara yang mengejutkan datang dari arah belakang.
"Hei, Bang Fikri, kenapa tak masuk ke surau. Isya sebentar lagi," kata seorang lelaki di belakang aku dan Fikri. Suara itu seperti pernah kukenal.
Aku pun membalikkan badan dan memandang ke arah lelaki itu. Lelaki itu juga memandangku. Dia datang berdua dengan seorang perempuan. Perempuan di sampingnya tampak tersenyum. Ya, Tuhan! Senyum itu rasanya begitu sangat kukenal. Juga lelaki itu, wajahnya belum hilang dari ingatanku.
"Dan, ini..... kalau tak salah, pasti Bang Ardhan. Ya, ini Bang Ardhan, kan?! Bila sampai di kampung, Bang? Sudah berapa hari di sini?" beruntun tanya keluar dari mulut lelaki itu. Terus terang, aku terkesiap, sehingga tak mampu menjawab rentetan pertanyaannya itu. "Masih ingat dengan saya kan, Bang? Atau sudah lupa? Saya Hamid. Dan ini, isteri saya, Khusnul. Masih ingat kan Bang, sama Khusnul?" lagi tanyanya seraya menunjuk ke arah perempuan di sampingnya itu.
Ya Tuhan, bagaimana aku bisa melupakan keduanya. Hamid, yang keponakannya Pak Haji Dullah, guru mengajiku di surau itu, dulu juga begitu dekat denganku. Di mana ada aku dan Fikri, pasti di situ ada juga Hamid. Dan Khusnul, tak ada alasan untuk melupakannya dalam ingatanku. Dulu, dia gadis yang baik, dan teramat baik buatku. Di mataku, dia perempuan sempurna. Sangat sempurna. Terlebih lagi, dialah dulu perempuan yang didambakan Emak untuk menjadi pendamping hidupku. Emak sangat menyukainya. Sangat menginginkannya dijadikan menantu. Dan, Khusnul pun tahu akan itu, karena Emak pernah mengatakan kepadanya. Bahkan, Emak dulu sempat merencanakan akan melamarnya. Kalau saja ketika itu aku tak bilang agar Emak jangan buru-buru melamarnya, Ayah dan Emak pasti sudah melamar Khusnul. "Apa kabar, Bang? Pulang bersama keluarga? Maaf ya Bang, jangan bersalaman dulu, sudah wudlu dari rumah," kata-kata lembut Khusnul mengejutkan lamunan sesaatku.
Aku tergagap sesaat. "Minal aidzin wal faizin ya, Bang. Maaf lahir dan batin. Apalagi saya merasa dulu banyak berbuat salah dan khilaf kepada Bang Ar," sekali pun pelan dan ceria, kata-kata ini seperti menyayat di hatiku.
"Sama-sama, Nul. Abanglah mestinya yang dulu banyak salah dengan Khusnul........," kata-kataku terhenti, aku seperti kehilangan kemampuan untuk berkata lagi.
Kata-kataku terputus, karena suara muadzin melantunkan adzan sudah menggema nyaring dari dalam surau.
"Yuk kita masuk ke surau, Isya segera dimulai," kata Hamid, merangkulkan tangannya ke pundakku.
"Hamid dan Khusnul ini yang sekarang menjadi ustadz dan ustadzah di surau ini," timpal Fikri.


Wajah bulan separuh itu terlihat di atas surau, ketika kami melangkah masuk menuju ke tangga surau.
* Yogyakarta, Ramadhan 1434 H
Catatan Redaksi: (Suara Karya, Sabtu, 3 Agustus 2013)
Sutirman Eka Ardhana, lahir di Bengkalis, Riau, 27 September 1952. Sejak 1972 menetap di Yogyakarta. Menulis cerpen, puisi dan novel. Karya-karyanya yang sudah terbit di antaranya novel Surau Tercinta (Navila, 2002), Dendang Penari (Gita Nagari, 2003), Gelisah Cinta (Binar Press, 2005). Kumpulan puisi Risau (Pabrik tulisan, 1976), Emas Kawin (Renas, 1979), dan puisi-puisinya terhimpun pada sejumlah antologi puisi. *** 
 
 
 

Jumat, 28 Juni 2013

KISI-KISI SOAL UAS REPORTASE MEDIA CETAK



            KISI-KISI SOAL UAS
SEMESTER GENAP TA 2012/2013
            MATA KULIAH : REPORTASE MEDIA CETAK
KPI FAK DAKWAH DAN KOMUNIKASI UIN SUNAN KALIJAGA



1.      Baca ulang dan cermati tentang hal-hal yang harus diperhatikan ketika akan menulis berita. Setidaknya ada empat hal yang harus diperhatikan ketika akan menulis suatu berita atau menginformasikan suatu peristiwa kepada publik melalui media pers.
Keempat hal itu meliputi:
I.        Apakah peristiwa atau informasi yang akan dijadikan berita itu sudah mengandung unsur 5 W dan 1 H. Unsur  5 W dan 1 H itu adalah What, Who, When, Where, Why dan How. Perlu diingat apabila kehilangan satu unsure saja dari 5 W + 1 H itu, maka berita tersebut tidak memiliki nilai informasi yang layak diinformasikan kepada khalayak.
II.     Berita harus ditulis dengan sistem atau struktur “Piramida Terbalik”. Secara mudahnya, dalam sistem Piramida Terbalik, bagian terpenting harus berada di bagian atas, sedang bagian yang tidak terlalu penting berada di bawah.
III.   Harus dilihat (untuk berita) apakah berita atau informasi itu sudah mengandung fakta mutakhir (terbaru), atau belum.
IV.  Apakah berita atau informasi berita itu memiliki unsur-unsur layak berita atau tidak. Unsur-unsur layak berita itu meliputi: termasa (baru), jarak, penting, keluarbiasaan (keanehan), manusiawi (nasib manusia), drama (dramatis), konflik, prominence (menonjol, populer), kemajuan-kemunduran dan akibat.

2.      Baca ulang pula tentang perihal anatomi berita. Sebelum mengetahui sistem Piramida Terbalik, terlebih dulu haruslah diketahui tentang anatomi berita.
Anatomi berita meliputi.
(1). Judul Berita.
(2). Dateline (baris tanggal/kota).
(3). Teras berita (lead).
(4). Tubuh berita.
(5). Penutup.
      
3.      Baca lagi lebih cermat tentang sistem “Piramida Terbalik” dalam penulisan berita. Dalam sistem “Piramida Terbalik”, bagian terpenting harus diletakkan pada bagian atas, dan bagian tidak penting berada di bagian bawah.
Bagian yang terpenting, menarik dan menonjol diletakkan pada teras atau lead berita. Kemudian pada tubuh berita, baru seluruh kelengkapan peristiwa dijelaskan secara berurutan dari fakta ke fakta. Sedang pada bagian penutup, baru dimasukkan bagian-bagian yang sifatnya pelengkap atau sampingan.

4.      Baca dan cermati tentang unsur akibat dalam unsur-unsur layak berita.
Unsur akibat artinya peristiwa itu apabila diberitakan atau diinformasikan akan menarik  publik (pembaca), karena pembaca merasa ada akibat yang akan dirasakan dari peristiwa yang diinformasikan tersebut.

5.      Baca dan simak lagi tentang hal utama yang harus diperhatikan ketika akan menulis feature.
Hal utama yang harus diperhatikan ketika akan menulis feature adalah seberapa banyak, seberapa lengkap, seberapa besar dan seberapa jelas serta seberapa rinci data informasi yang dimiliki. Hal ini penting, karena feature memiliki sifat membawa fakta lebih rinci, dan menerangkan serta memperjelas persoalan dengan tidak terburu-buru.

6.      Baca dan simak juga tentang 10 hal yang harus diketahui tentang feature. Paling tidak ada 10 hal yang harus diketahui ketika akan menulis feature.
(1). Faktual
      Feature ditulis berdasarkan fakta. Feature menceritakan kenyataan yang ada di dalam masyarakat.
(2). Menerangkan masalah.
      Feature menerangkan masalah dengan mengungkapkan jawaban unsur Why dan How, secara lebih rinci.
(3). Tidak paksakan opini.
      Penafsiran harus menyertakan fakra-fakta pendukungnya. Sedang interpretasi yang dikemukakan harus didukung argument yang jelas.
(4). Tidak terikat struktur Piramida Terbalik.
      Struktur yang digunakan bebas.
(5). Tidak selalu terikat dengan rumus 5 W + 1 H.
      Tidak semua jenis feature perlu menjawab atau menjelaskan 5 W + 1 H. Ada jenis feature yang bisa mengabaikan salah satu dari 5 W + 1 H itu. Misalnya, feature yang mengajarkan cara menanam bunga, tidak perlu menjawan unsur Who.
(6). Tidak terikat waktu.
      Kebanyakan jenis feature tidak terikat dengan waktu, kecuali news feature.
(7). Lead harus aktraktif.
      Lead atau paragraf pertama feature mengutamakan uraian yang aktraktif.
(8). Memperhatikan estetika bahasa.
Feature sangat memperhatikan estetika bahsa. Bahasa yang digunakan harus bahasa yang populer dan mudah dicerna.
(9). Menggunakan angle tunggal.
      Feature hanya memilih satu sudut pandang (angle) saja. Sudut pandang lain, untuk masalah yang sama, bisa digunakan untuk penulisan feature lainnya sja.
(10). Sempitkan lingkup persoalannya.

7.      Simak lagi tentang lead atau intro (teras) dalam penulisan laporan utama (laput) maupun laporan khusus (lapsus).
Lead (teras) laput maupun lapsus haruslah mengandung kekuatan ‘daya stroom’ atau daya tarik yang kuat bagi pembaca. Kalimat atau rangkaian kata-kata dalam lead haruslah mampu membius, mengikat, dan memukau, kemudian merangsang keingintahuan pembaca untuk mengikuti laput atau lapsus tersebut sampai selesai.

8.      Baca ulang tentang lead Laput maupun lapsus.
Lead (teras) dari laporan utama (laput) maupun laporan khusus (lapsus) bisa berbentuk tujuh hal, yakni:
1.      Gambaran suasana;
2.      Kilas balik;
3.      Mengingatkan kembali;
4.      Prediksi ke depan;
5.      Pertanyaan dari suatu permasalahan;
6.      Kumpulan fakta-fakta;
7.      Peristiwa yang menyentuh.

9.      Baca ulang tentang hal-hal yang mengharuskan dilakukannya editing.
Ada sejumlah hal yang mengharuskan dilakukannya editing terhadap suatu naskah atau tulisan jurnalistik. Tapi yang sering dilakukan adalah dikarenakan enam (6) hal utama, yakni:
1.      Karena teknik penulisan atau struktur berita yang tidak benar.
2.      Karena kalimat, bahasa dan gaya bahasa yang salah.
3.      Karena terlalu cenderung berorientasi atau berpihak kepada kepentingan sumber berita, bukan kepada pembaca (nilai obyektifitasnya rendah).
4.      Karena punya kecenderungan melanggar Kode Etik Jurnalistik atau peraturan perundang-undangan (hokum).
5.      Karena kurangnya keakuratan berita.
6.      Karena keterbatasan kolom atau space halaman.

10.  Baca ulang juga tentang sifat-sifat khusus bahasa jurnalistik.
Bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat yang khusus. Sifat-sifat khusus itu terlihat jelas pada bahasa yang digunakan sesuai dengan karakteristik cara kerja pers, yaitu: jelas, lugas, logis, singkat padat, sederhana, menarik, baik, dan benar.  (SEA)

Sabtu, 22 Juni 2013

KISI-KISI SOAL UAS HUKUM DAN ETIKA JURNALISTIK


            KISI-KISI SOAL UAS
SEMESTER GENAP TA 2012/2013
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAK DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
            MATA KULIAH : HUKUM DAN ETIKA JURNALISTIK



1.      Baca ulang pengertian tentang Delik Pers.
Pahami pengertian Delik Pers yang menyebutkan Delik Pers merupakan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman, karena pelanggaran yang berkaitan dengan penerbitan pers. Delik pers dapat juga disebut sebagai perbuatan pidana yang dilakukan dengan pengumjuman atau penyebarluasan pikiran melalui penerbitan pers.

2.      Ada tiga unsur atau kriteria yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan yang dilakukan melalui per situ dapat digolongkan sebagai Delik Pers, yaitu:
a.       Adanya pengumuman pikiran dan perasaan yang dilakukan melalui barang cetakan;
b.      Pikiran dan perasaan yang diumumkan/disebarluaskan melalui barang cetakan itu harus merupakan perbuatan yang dapat dipidana menurut hokum;
c.       Pengumuman pikiran dan perasaan yang dapat dipidana tersebut serta yang dilakukan melalui barang cetakan tadi harus dapat dibuktikan telah disiarkan kepada masyarakat umjum atau dipublikasikan.

3.      Ada dua unsur yang harus dipenuhi supaya seorang wartawan dapat dimintai pertanggungjawabannya dan dituntut secara hukum yaitu:
a.       Apakah wartawan yang bersangkutan mengetahui sebelumnya isi berita dan tulisan yang dimaksud;
b.      Apakah wartawan yang bersangkutan sadar sepenuhnya bahwa tulisan yang dimuatnya dapat dipidana.

4.      Baca kembali tentang pengelompokan Delik Pers.
Delik Pers dapat dibagi dalam lima kelompok.
(1)   Kejahatan terhadap ketertiban umum.
Bentuk kejahatan ini diatur dalam pasal-pasal 154, 155, 156, dan 157 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Pasal-pasal ini dikenal dengan sebutan Haatzaai Artikelen yakni pasal-pasal tentang penyebarluasan kebencian dan permusuhan di dalam masyarakat terhadap pemerintah.
(2)   Kejahatan penghinaan.
Kejahatan penghinaan ini dibagi dalam dua kelompok. Pertama, penghinaan terhadap Presiden dan wakil presiden, yakni pasal 134 dan 137 KUHP. Termasuk juga penghinaan terhadap penguasan atau badan umum, pasal 207, 208 dan 209 KUHP. Kedua, penghinaan umum, yang meliputi pasal 310 dan 315 KUHP.
(3)   Kejahatan melakukan penghasutan.
Menghasut adalah melakukan upaya atau tindakan serta mendorong, mengajak, membangkitkan, atau mempengaruhi orang lain supaya melakukan suatu perbuatan, seperti diatur dalam pasal 160 dan 161 KUHP.
(4)   Kejahatan menyiarkan kabar bohong.
Perbuatan ini diatur dalam pasal XIV dan XV UU No. 1 Th 1946 yang menggantikan pasal 171 KUHP yang 5telah dicabut.
(5)   Kejahatan kesusilaan (Delik Kesusilaan), sebagaimana diatur dalam pasal 282 dan 533 KUHP.

5.      Cermati tentang sifat Delik Pers.
Sifat Delik Pers itu ada dua jenis, yakni Delik Aduan dan Delik Biasa.
Delik Aduan adalah Delik Pers yang terjadi baru bisa diproses secara hukum setelah ada pihak yang mengadu. Dalam hal ini, pihak yang terkait dalam pemberitaan pers, atau pihak yang merasa dirugikan karena pemberitaan pers mengadu ke pihak berwajib (polisi).
Sedangkan Delik Biasa adalah Delik Pers tersebut bisa langsung diproses secara hukum oleh pihak berwajib meski tanpa ada pihak yang mengadu.

6.      Cermati juga tentang sejumlah pasal di dalam KUHP yang bisa digunakan dalam Delik Aduan, yakni pasal 310 tentang penyerangan atau pencemaran kehormatan (pencemaran nama baik), pasal 311 (fitnah), pasal 315 (penghinaan ringan), pasal 316 (penghinaan terhadap pejabat pada waktu menjalakan tugas secara sah), pasal 317 (fitnah karena pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa), pasal 321 (penghinaan atau pencemaran nama seseorang yang sudah mati),

7.      Baca ulang tentang Dewan Pers. Sebagai badan pengatur media, eksistensi Dewan Pers telah diatur secara jelas di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Di dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers telah disebutkan tentang fungsi-fungsi Dewan Pers itu. Fungsi-fungsinya meliputi:
a.       Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain;
b.      Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
c.       Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
d.      Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
e.       Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah;
f.       Memfasilitasi organisasi-organisasi pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan;
g.      Mendata perusahaan pers.

8.      Kemudian baca ulang tentang Pasal 15 ayat 3 UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang mengatur tentang keanggotaan Dewan Pers. Ayat 3 di pasal itu menyebutkan anggota Dewan Pers terdiri dari;
a.       Wartawan yang dipilih oleh organisasi wartawan;
b.      Pimpinsn perusahaan pers yang dipilih oleh organisasi perusahaan pers;
c.       Tokoh masyarakat, ahli di bidang pers dan atau komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers.

9.      Pelajari lagi tentang Fairness dalam kerja media pers atau dalam peliputan berita.
Fairness merupakan perlakuan adil dan sikap menghargai dari wartawan dan pers dalam peliputan berita, terutama terhadap semua pihak yang terkait atau menjadi bahan pemberitaan. Selain itu fairness juga merupakan sikap wartawan dan pers untuk menghargai khalayak pembaca media pers, pendengar siaran radio dan penoton siaran televisi.

10.  Baca juga kembali bahwa fairness merupakan nilai-nilai professional yang harus dimiliki oleh wartawan dan pers. Nilai-nilai professional lainnya sebagaimana yang tercantum dalam setiap kode etik jurnalistik atau etika pers adalah akurasi, objektivitas, ketidakbiasaan dan keseimbangan.  ***  (SEA)

Senin, 06 Mei 2013

Tugas Penulisan Berita tentang PROF DR FAISAL ISMAIL, MA



            Tugas Penulisan Berita:
       Khusus untuk Mhs Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah (Dakwah dan Komunikasi) UIN Sunan Kalijaga yeng mengikuti MK REPORTASE MEDIA CETAK pada semester genap 2012/2013. Rubahlah tulisan dalam bentuk wawancara (tanya-jawab) dengan tokoh Prof. DR. Faisal Ismail, MA di bawah ini menjadi berita langsung (straight news). Lokasi wawancaranya di Yogyakarta (dateline). Waktu bisa disesuaikan dengan waktu terkini.

            PROF DR FAISAL ISMAIL, MA

            Zakat di Kuwait, Lintas Negara

            PROF DR Faisal Ismail, MA, guru besar pada Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, sepanjang September 2006 hingga Juni 2010 telah dipercaya pemerintah menjadi Duta Besar RI untuk Kuwait merangkap Kerajaan Bahrain.
Selama menjadi Dubes di kawasan Timur Tengah itu, Prof Faisal yang kelahiran Sumenep, Madura, 14 Mei 1947, dan menyelesaikan sarjana S-1 Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1973, S-2 di Department of Middle East Languages and Cultures, Columbia University, AS, serta menyelesaikan S-3 di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, tahun 1995 ini mengalami tiga kali Ramadhan dan Idul Fitri di Kuwait.
Bagaimana pengalaman dan kesan Prof Faisal Ismail yang sebelum menjadi Dubes sempat menjabat Sekjen Departemen Agama RI tersebut tentang Ramadhan di Kuwait? Sesemarak apakah Ramadhan di Kuwait bila dibandingkan dengan Indonesia? Berikut dialog TeRAS dengannya Senin (25/7) di lantai dua Gedung Rektorat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
***
            Kawasan Timur Tengah selalu identik dengan Islam, termasuk Keemiran Kuwait yang hampir seratus persen warganya beragama Islam. Sesemarak apakah Ramadhan di sana bila dibandingkan dengan suasana Ramadhan di Indonesia yang mayoritas penduduknya juga muslim?

            Kuwait itu negara kecil. Penduduknya hanya sekitar 700 ribu jiwa. Tapi warganegara asing atau pendatangnya mencapai dua kali lipat jumlahnya, yakni sekitar1,4 juta jiwa. Seratus persen penduduknya memang muslim, yang terbagi dalam dua golongan, Sunni dan Syiah. Penganut Islam Sunni mencapai 70 persen dari jumlah penduduknya, sedang sisanya yang 30 persen penganut Islam Syiah.
Karena penduduknya yang sedikit, maka suasana Ramadhan di Kuwait, terutama di ibukotanya Kuwait City, tidak seramai atau sesemarak Ramadhan di Indonesia. Di negeri kita suasana Ramadhan jauh lebih semarak. Bahkan menjelang Ramadhan tiba saja, suasana kesemarakan itu sudah terlihat. Tapi di Kuwait, suasana menjelang Ramadhan biasa-biasa saja. Apalagi masjid-masjid di Kuwait juga kalah besar dengan masjid-masjid di Indonesia. Di Kuwait tidak ada masjid yang sebesar dan semegah Masjid Istiqal di Jakarta. Akan tetapi kalau mall atau pusat-pusat perbelanjaan, jangan tanya. Di sana besar-besar dan megah.

Sebagai Negara Islam, apakah Pemerintah Kuwait menerapkan ketentuan-ketentuan hukum yang ketat seputar pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan? Misalnya, apakah ada larangan makan dan minum di sembarang tempat saat siang hari? Dan juga apakah restoran-restoran atau rumah-rumah makan dilarang buka pada siang hari?
Ya, sebagai Negara Islam, ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan puasa di bulan Ramadhan cukup ketat. Ada peraturan pemerintah yang melarang orang makan dan minum di sembarang tempat ketika saat ibadah puasa sedang berlangsung. Bila ketahuan makan dan minum, maka orang tersebut akan ditangkap dan diberi sanksi. Tapi setahu saya, sanksi yang diberikan masih tetap bersifat edukatif.
Karena seratus persen warganegaranya beragama Islam, maka restoran-restoran atau rumah-rumah makan dilarang buka pada siang hari. Namun bagi yang non-muslim, tetap disediakan restoran atau rumah makan yang khusus melayani keperluan mereka pada siang hari. Restoran itu tidak dibuka secara mencolok. Dan, pengawasannya pun sangat ketat. Artinya, restoran itu dilarang melayani yang muslim. Kalau ketahuan ada sanksinya. Mereka yang non-muslim di Kuwait adalah para pekerja asing.

Meski suasana Ramadhan di Kuwait tidak sesemarak Indonesia, apakah tidak ada kesan yang mungkin agak lebih istimewa bila dibandingkan dengan di Tanah Air? Atau apakah tidak ada kesan yang lebih spesifik bila dibandingkan warna-warni aktivitas Ramadhan di negeri kita, terutama di Yogyakarta?

Saya terkesan dengan suasana malam-malam menyambut Lailatul Qadar atau malam-malam mulai tanggal 21 Ramadhan sampai akhir Ramadhan. Di Indonesia, terutama di Jawa termasuk Yogyakarta, malam 21 Ramadhan juga disambut dengan sebutan malam selikuran. Mulai malam selikur sampai malam terakhir Ramadhan, banyak yang meningkatkan ibadah di masjid dengan harapan akan mendapatkan Lailatul Qadar. Masjid-masjid akan dipenuhi orang-orang yang beribadah malam sampai pagi.
Tetapi di Kuwait suasana malam-malam Lailatul Qadar, atau malam-malam mulai tanggal 21 Ramadhan terasa jauh lebih spesifik dan istimewa lagi. Suasana kekhusukan Ramadhan di Kuwait baru terasa sekali setelah tanggal 21 Ramadhan itu. Pemerintah Kuwait juga memberikan perhatian yang khusus, dengan memberikan instruksi kepada rakyatnya untuk menyemarakkan suasana malam-malam Lailatul Qadar tersebut. Pemerintah membuat edaran yang disebarkan ke seluruh penjuru negeri. Bahkan Kedubes-kedubes negara Islam lainnya yang ada di Kuwait juga diberi edaran untuk ikut berpartisipasi menyemarakkannya. Setelah tanggal 21 Ramadhan itu, masjid-masjid sepanjang malam dipenuhi jemaah yang bertadarus dan berzikir.

Dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan, setiap muslim juga diwajibkan melaksanakan ibadah zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mall. Bagaimanakah pelaksanaan zakat di Kuwait yang warganya relatif kaya-kaya?

Perhatian rakyat Kuwait terhadap pelaksanaan zakat di bulan Ramadhan sangat luar biasa. Karena penduduknya dalam keadaan makmur atau hidup berkecukupan, maka perhatian mereka terhadap berzakat atau bersedekah sangat tinggi. Di bulan Ramadhan, semangat dan aktivitas orang-orang Kuwait dalam berzakat atau bersedekah cukup menakjubkan. Mereka tidak ragu-ragu mengeluarkan zakat maupun bersedekah dalam jumlah besar kepada orang-orang yang dipandang memang pantas menerimanya.
Para TKI atau TKW Indonesia yang berada di sana banyak yang menikmati kedermawanan orang Kuwait di bulan Ramadhan tersebut. Tidak sedikit pula sedekah yang diterima para TKI atau TKW itu berupa tiket pulang-pergi ke Tanah Air. Para TKI atau TKW bermasalah yang ditampung di KBRI, juga ikut menikmati zakat dan sedekah itu. Bahkan, kedermawanan orang Kuwait dalam soal berzakat dan bersedekah itu tidak hanya dilakukan di dalam negerinya sendiri, tetapi juga sampai lintas negara. Orang Kuwait banyak yang mengirimkan zakat dan sedekahnya ke negara-negara muslim yang miskin di antaranya seperti Bangladesh.

Bagaimana suasana Hari Raya Idul Fitri di Kuwait? Apakah sama atau berbeda bila dibandingkan dengan yang berlangsung di Indonesia?

Suasana Lebaran atau Idul Fitri di Kuwait dengan di Indonesia memang sangat jauh berbeda. Bila di Indonesia, suasana Idul Fitri terasa begitu semarak dan meriah. Kegembiraan dan kebahagiaan terlihat di mana-mana. Misalnya, di malam Lebaran saja kemeriahan sudah terlihat. Kemudian di hari lebarannya, sehabis sholat Idul Fitri, diramaikan dengan acara silaturahmi atau saling kunjung-mengunjungi antara satu sama lain, untuk bermaaf-maafan. Di rumah-rumah warga terdapat kesibukan menyiapkan beragam makanan dan minuman untuk menyambut para tamu. Para pemimpin atau pejabat, dari tingkat nasional atau pusat, provinsi sampai kabupaten dan kota membuka acara yang disebut Open House. Memberi kesempatan kepada warganya untuk datang bersilaturahim. Misalnya, Presiden membuka open house, Gubernur dan juga Bupati serta Walikota melakukan hal yang sama. Pendek kata, Lebaran di negeri kita benar-benar meriah.
Berbeda dengan di Kuwait. Di sana pada saat Idul Fitri, sehabis sholat Ied, ya warga akan pulang ke rumahnya masing-masing, atau sibuk berlibur dengan anggota keluarganya. Di sana tidak ada tradisi silaturahim atau kunjung-mengunjungi antara satu sama lain di saat Lebaran itu. Tidak ada pejabat atau pemimpin yang membuka acara open house. Akan tetapi berbeda dengan Idul Adha. Di Kuwait, seperti negara-negara Timur Tengah lainnya, suasana Idul Adha jauh lebih meriah dan semarak dibanding Idul Fitri.

Walau suasana Ramadhan dan Idul Fitri di Kuwait tidak sesemarak atau semeriah di Indonesia, tapi adakah nilai-nilai positif yang bisa diambil dari bagaimana cara masyarakat Kuwait melaksanakan ibadah puasanya di bulan Ramadhan?

Ou, pasti ada. Salah satu nilai positif yang nyata adalah meningkatnya semangat kedermawanan warga Kuwait di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan benar-benar mereka yakini sebagai bulan untuk beribadah dan beramal. Karena itu selain beribadah, mereka melipatgandakan sedekah atau menaikkan sikap kedermawanan mereka untuk memberi atau membantu kepada sesama.
Sifat kedermawanan masyarakatnya yang sangat tinggi itu tentunya pantas dicontoh oleh masyarakat di Indonesia, terutama mereka yang tergolong mampu atau berkecukupan. Apalagi di negeri kita ini masih banyak sekali masyarakat yang hidup serba kekurangan, hidup di bawah garis kemiskinan dan terkebelakang. Andai itu terjadi di masyarakat kita, maka di bulan Ramadhan akan banyak sekali masyarakat yang kurang mampu ikut merasakan kebahagiaan dan kegembiraan saat Lebaran tiba.
                                                                     SUTIRMAN EKA ARDHANA

Kamis, 11 April 2013

KISI-KISI UTS-13 MK: HUKUM DAN ETIKA JURNALISTIK KPI FAK DAKWAH UIN YOGYAKARTA



KISI-KISI UTS-13
            MK: HUKUM DAN ETIKA JURNALISTIK
            KPI FAK DAKWAH UIN YOGYAKARTA

1. Baca ulang dan simak seputar pengertian Hukum dan Etika Jurnalistik. Pada pertemuan pertama disebutkan bahwa Hukum dan Etika Jurnalistik adalah suatu tatanan peraturan yang mengatur dan mengawasi perilaku kerja jurnalistik.
Pelanggaran terhadap hukum dan etika (kode etik) dapat berakibat pada munculnya sanksi. Pelanggaran terhadap hukum bisa berakibat munculnya sanksi secara pidana atau perdata. Sedangkan pelanggaran terhadap kode etik (etika) memunculkan sanksi secara moral, maupun sanksi administratif. Sanksi moral itu bisa bersifat sikap, penilaian dan pandangan yang diberikan masyarakat terhadap kualitas profesi yang dimiliki oleh pekerja jurnalistik (wartawan), sementara sanksi administratif diberikan oleh institusi atau lembaga pers bersangkutan.
2. Baca ulang seputar fungsi-fungsi pers. Simak bagian yang menyebutkan : Dengan fungsi-fungsinya itu sangatlah jelas bahwa pers memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap masyarakat. Bahkan, pengaruh pers itu tidak saja bersifat positif bagi masyarakat, tetapi bisa pula sebaliknya bersifat negatif. Pengaruh negatif itu misalnya bisa berbentuk adu domba antar satu kelompok dengan kelompok lainnya, menyudutkan suatu kelompok masyarakat atau keyakinan tertentu, menghina atau mencemarkan nama baik perorangan, maupun kelompok yang tanpa disertai alasan bukti nyata, menyebarluaskan paham yang menyesatkan, menyebarluaskan pornografi, dan lain sebagainya.
Untuk menghindari terjadinya hal-hal seperti itu, maka diperlukan suatu tatanan hukum dan kode etik yang mengatur dan mengawasi perilaku kerja jurnalistik atau perilaku pers, termasuk para pekerjanya atau wartawan.
3. Coba baca dan simak seputar sistem Pers Liberal yang sempat ada di Indonesia pada tahun 1950-an. Pada pertemuan ke-2 diantaranya disebutkan bahwa: Setelah kembali menjadi negara kesatuan, pers Indonesia memasuki suatu masa baru yang sebelumnya tidak pernah dialami, yakni masa berlangsungnya sistem Pers Liberal. Sejak tahun 1950 itulah pers Indonesia memasuki masa-masa atau suatu keadaan yang oleh banyak pihak serta tokoh-tokoh pers ketika itu bahkan juga sekarang ini disebut sebagai saat-saat ‘bebas dan leluasa’.
Sistem Pers Liberal yang berkembang di masa-masa itu tidak bisa melepaskan diri dari iklim dan kondisi politik yang sedang berlangsung, terutama seputar persaingan di antara sesama partai politik dalam berebut menanamkan pengaruhnya di masyarakat, maupun demi mencapai tujuan menguasai kekuasaan di dalam pemerintahan.
4. Baca dan simak lagi seputar kemerdekaan atau kebebasan pers. Pada pertemuan ke-3 disebutkan bahwa – Kebebasan pers dalam terminologi pers diartikan sebagai kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat secara lisan maupun tulisan serta melalui sarana-sarana komunikasi massa (Kurniawan Junaedhie, 1991).
Kebebasan pers selalu juga diartikan sebagai kemerdekaan pers. Dalam pengertian, media pers memiliki kemerdekaan untuk menyampaikan beragam informasi kepada masyarakat (publik pembaca), sejauh informasi yang disampaikan itu merupakan perwujudan dari fungsi-fungsi yang dimiliki pers, yaitu sebagai pemberi informasi, mendidik, menghibur dan alat kontrol sosial.
5. Baca dan simak juga kembali tentang apa dan bagaimana bentuk kebebasan atau kemerdekaan pers di Indonesia. Dalam materi ini disebut bahwa - Apa dan bagaimana bentuk kebebasan pers atau kemerdekaan pers di Indonesia sekarang ini sudah disebut secara jelas di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pasal 2 UU tersebut menegaskan: Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Ketentuan mengenai kebebasan pers atau kemerdekaan pers itu semakin jelas dan tegas tertera di dalam pasal 4 UU No. 40 Tahun 1999.
 Pasal 4 ini menyatakan:
1.      Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara.
2.      Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
3.      Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
4.      Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hokum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

 6.Baca ulang dan simak seputar materi “Hak Hukum dan Kewajiban Pers. Di dalam materi ini disebutkan bahwa – dalam melakukan aktivitas kerja jurnalistik atau melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan alat kontrol sosial pers memiliki hak-hak hokum dan kewajiban secara hukum.
 Hak-hak hukum adalah hak-hak yang dimiliki pers dalam menegaskan serta memperkokoh posisi dan eksistensinya sebagai lembaga social dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik.
7. Baca ulang juga tentang hak-hak hukum yang dimiliki pers. Dalam pertemuan disebutkan bahwa hak-hak hukum yang dimiliki per situ meliputi:
            1. Hak mendapatkan kebebasan atau kemerdekaan pers sebagai bagian
                dari Hak Asasi Manusia.
            2. Hak untuk tidak disensor, dibredel atau dilarang menyiarkan.
            3. Hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan
                informasi.
4.      Hak Tolak.
8. Baca ulang seputar Hak Jawab. Dalam materi antaralain disebutkan bahwa Hak Jawab adalah hak yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap p0emberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
9. Baca ulang seputar Kode Etik Jurnalistik. Coba simak lagi Pasal 1 dari KEJ yang menyebutkan: Wartawan Indonesia bersikap independent, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikat buruk.
Penafsiran:
a.                           Independen berarti pemberitaan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b.                           Akurat berarti dipercaya benar sesuai dengan keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c.                           Berimbang berarti semua pihak mendapatkan kesempatan setara.
d.                           Tidak beritikat buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

10. Masih di Kode Etik Jurnalistik. Cob abaca dan simak Pasal 3 KEJ tersebut yang menyebutkan: Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran:
a.       Menguji informasi berarti check and recheck tentang kebenaran informasi.
b.      Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c.       Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretative, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d.      Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Selamat belajar, semoga UTS-nya sukses! Salam. SEA