Senin, 06 Mei 2013

Tugas Penulisan Berita tentang PROF DR FAISAL ISMAIL, MA



            Tugas Penulisan Berita:
       Khusus untuk Mhs Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah (Dakwah dan Komunikasi) UIN Sunan Kalijaga yeng mengikuti MK REPORTASE MEDIA CETAK pada semester genap 2012/2013. Rubahlah tulisan dalam bentuk wawancara (tanya-jawab) dengan tokoh Prof. DR. Faisal Ismail, MA di bawah ini menjadi berita langsung (straight news). Lokasi wawancaranya di Yogyakarta (dateline). Waktu bisa disesuaikan dengan waktu terkini.

            PROF DR FAISAL ISMAIL, MA

            Zakat di Kuwait, Lintas Negara

            PROF DR Faisal Ismail, MA, guru besar pada Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, sepanjang September 2006 hingga Juni 2010 telah dipercaya pemerintah menjadi Duta Besar RI untuk Kuwait merangkap Kerajaan Bahrain.
Selama menjadi Dubes di kawasan Timur Tengah itu, Prof Faisal yang kelahiran Sumenep, Madura, 14 Mei 1947, dan menyelesaikan sarjana S-1 Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1973, S-2 di Department of Middle East Languages and Cultures, Columbia University, AS, serta menyelesaikan S-3 di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada, tahun 1995 ini mengalami tiga kali Ramadhan dan Idul Fitri di Kuwait.
Bagaimana pengalaman dan kesan Prof Faisal Ismail yang sebelum menjadi Dubes sempat menjabat Sekjen Departemen Agama RI tersebut tentang Ramadhan di Kuwait? Sesemarak apakah Ramadhan di Kuwait bila dibandingkan dengan Indonesia? Berikut dialog TeRAS dengannya Senin (25/7) di lantai dua Gedung Rektorat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
***
            Kawasan Timur Tengah selalu identik dengan Islam, termasuk Keemiran Kuwait yang hampir seratus persen warganya beragama Islam. Sesemarak apakah Ramadhan di sana bila dibandingkan dengan suasana Ramadhan di Indonesia yang mayoritas penduduknya juga muslim?

            Kuwait itu negara kecil. Penduduknya hanya sekitar 700 ribu jiwa. Tapi warganegara asing atau pendatangnya mencapai dua kali lipat jumlahnya, yakni sekitar1,4 juta jiwa. Seratus persen penduduknya memang muslim, yang terbagi dalam dua golongan, Sunni dan Syiah. Penganut Islam Sunni mencapai 70 persen dari jumlah penduduknya, sedang sisanya yang 30 persen penganut Islam Syiah.
Karena penduduknya yang sedikit, maka suasana Ramadhan di Kuwait, terutama di ibukotanya Kuwait City, tidak seramai atau sesemarak Ramadhan di Indonesia. Di negeri kita suasana Ramadhan jauh lebih semarak. Bahkan menjelang Ramadhan tiba saja, suasana kesemarakan itu sudah terlihat. Tapi di Kuwait, suasana menjelang Ramadhan biasa-biasa saja. Apalagi masjid-masjid di Kuwait juga kalah besar dengan masjid-masjid di Indonesia. Di Kuwait tidak ada masjid yang sebesar dan semegah Masjid Istiqal di Jakarta. Akan tetapi kalau mall atau pusat-pusat perbelanjaan, jangan tanya. Di sana besar-besar dan megah.

Sebagai Negara Islam, apakah Pemerintah Kuwait menerapkan ketentuan-ketentuan hukum yang ketat seputar pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan? Misalnya, apakah ada larangan makan dan minum di sembarang tempat saat siang hari? Dan juga apakah restoran-restoran atau rumah-rumah makan dilarang buka pada siang hari?
Ya, sebagai Negara Islam, ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan puasa di bulan Ramadhan cukup ketat. Ada peraturan pemerintah yang melarang orang makan dan minum di sembarang tempat ketika saat ibadah puasa sedang berlangsung. Bila ketahuan makan dan minum, maka orang tersebut akan ditangkap dan diberi sanksi. Tapi setahu saya, sanksi yang diberikan masih tetap bersifat edukatif.
Karena seratus persen warganegaranya beragama Islam, maka restoran-restoran atau rumah-rumah makan dilarang buka pada siang hari. Namun bagi yang non-muslim, tetap disediakan restoran atau rumah makan yang khusus melayani keperluan mereka pada siang hari. Restoran itu tidak dibuka secara mencolok. Dan, pengawasannya pun sangat ketat. Artinya, restoran itu dilarang melayani yang muslim. Kalau ketahuan ada sanksinya. Mereka yang non-muslim di Kuwait adalah para pekerja asing.

Meski suasana Ramadhan di Kuwait tidak sesemarak Indonesia, apakah tidak ada kesan yang mungkin agak lebih istimewa bila dibandingkan dengan di Tanah Air? Atau apakah tidak ada kesan yang lebih spesifik bila dibandingkan warna-warni aktivitas Ramadhan di negeri kita, terutama di Yogyakarta?

Saya terkesan dengan suasana malam-malam menyambut Lailatul Qadar atau malam-malam mulai tanggal 21 Ramadhan sampai akhir Ramadhan. Di Indonesia, terutama di Jawa termasuk Yogyakarta, malam 21 Ramadhan juga disambut dengan sebutan malam selikuran. Mulai malam selikur sampai malam terakhir Ramadhan, banyak yang meningkatkan ibadah di masjid dengan harapan akan mendapatkan Lailatul Qadar. Masjid-masjid akan dipenuhi orang-orang yang beribadah malam sampai pagi.
Tetapi di Kuwait suasana malam-malam Lailatul Qadar, atau malam-malam mulai tanggal 21 Ramadhan terasa jauh lebih spesifik dan istimewa lagi. Suasana kekhusukan Ramadhan di Kuwait baru terasa sekali setelah tanggal 21 Ramadhan itu. Pemerintah Kuwait juga memberikan perhatian yang khusus, dengan memberikan instruksi kepada rakyatnya untuk menyemarakkan suasana malam-malam Lailatul Qadar tersebut. Pemerintah membuat edaran yang disebarkan ke seluruh penjuru negeri. Bahkan Kedubes-kedubes negara Islam lainnya yang ada di Kuwait juga diberi edaran untuk ikut berpartisipasi menyemarakkannya. Setelah tanggal 21 Ramadhan itu, masjid-masjid sepanjang malam dipenuhi jemaah yang bertadarus dan berzikir.

Dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan, setiap muslim juga diwajibkan melaksanakan ibadah zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mall. Bagaimanakah pelaksanaan zakat di Kuwait yang warganya relatif kaya-kaya?

Perhatian rakyat Kuwait terhadap pelaksanaan zakat di bulan Ramadhan sangat luar biasa. Karena penduduknya dalam keadaan makmur atau hidup berkecukupan, maka perhatian mereka terhadap berzakat atau bersedekah sangat tinggi. Di bulan Ramadhan, semangat dan aktivitas orang-orang Kuwait dalam berzakat atau bersedekah cukup menakjubkan. Mereka tidak ragu-ragu mengeluarkan zakat maupun bersedekah dalam jumlah besar kepada orang-orang yang dipandang memang pantas menerimanya.
Para TKI atau TKW Indonesia yang berada di sana banyak yang menikmati kedermawanan orang Kuwait di bulan Ramadhan tersebut. Tidak sedikit pula sedekah yang diterima para TKI atau TKW itu berupa tiket pulang-pergi ke Tanah Air. Para TKI atau TKW bermasalah yang ditampung di KBRI, juga ikut menikmati zakat dan sedekah itu. Bahkan, kedermawanan orang Kuwait dalam soal berzakat dan bersedekah itu tidak hanya dilakukan di dalam negerinya sendiri, tetapi juga sampai lintas negara. Orang Kuwait banyak yang mengirimkan zakat dan sedekahnya ke negara-negara muslim yang miskin di antaranya seperti Bangladesh.

Bagaimana suasana Hari Raya Idul Fitri di Kuwait? Apakah sama atau berbeda bila dibandingkan dengan yang berlangsung di Indonesia?

Suasana Lebaran atau Idul Fitri di Kuwait dengan di Indonesia memang sangat jauh berbeda. Bila di Indonesia, suasana Idul Fitri terasa begitu semarak dan meriah. Kegembiraan dan kebahagiaan terlihat di mana-mana. Misalnya, di malam Lebaran saja kemeriahan sudah terlihat. Kemudian di hari lebarannya, sehabis sholat Idul Fitri, diramaikan dengan acara silaturahmi atau saling kunjung-mengunjungi antara satu sama lain, untuk bermaaf-maafan. Di rumah-rumah warga terdapat kesibukan menyiapkan beragam makanan dan minuman untuk menyambut para tamu. Para pemimpin atau pejabat, dari tingkat nasional atau pusat, provinsi sampai kabupaten dan kota membuka acara yang disebut Open House. Memberi kesempatan kepada warganya untuk datang bersilaturahim. Misalnya, Presiden membuka open house, Gubernur dan juga Bupati serta Walikota melakukan hal yang sama. Pendek kata, Lebaran di negeri kita benar-benar meriah.
Berbeda dengan di Kuwait. Di sana pada saat Idul Fitri, sehabis sholat Ied, ya warga akan pulang ke rumahnya masing-masing, atau sibuk berlibur dengan anggota keluarganya. Di sana tidak ada tradisi silaturahim atau kunjung-mengunjungi antara satu sama lain di saat Lebaran itu. Tidak ada pejabat atau pemimpin yang membuka acara open house. Akan tetapi berbeda dengan Idul Adha. Di Kuwait, seperti negara-negara Timur Tengah lainnya, suasana Idul Adha jauh lebih meriah dan semarak dibanding Idul Fitri.

Walau suasana Ramadhan dan Idul Fitri di Kuwait tidak sesemarak atau semeriah di Indonesia, tapi adakah nilai-nilai positif yang bisa diambil dari bagaimana cara masyarakat Kuwait melaksanakan ibadah puasanya di bulan Ramadhan?

Ou, pasti ada. Salah satu nilai positif yang nyata adalah meningkatnya semangat kedermawanan warga Kuwait di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan benar-benar mereka yakini sebagai bulan untuk beribadah dan beramal. Karena itu selain beribadah, mereka melipatgandakan sedekah atau menaikkan sikap kedermawanan mereka untuk memberi atau membantu kepada sesama.
Sifat kedermawanan masyarakatnya yang sangat tinggi itu tentunya pantas dicontoh oleh masyarakat di Indonesia, terutama mereka yang tergolong mampu atau berkecukupan. Apalagi di negeri kita ini masih banyak sekali masyarakat yang hidup serba kekurangan, hidup di bawah garis kemiskinan dan terkebelakang. Andai itu terjadi di masyarakat kita, maka di bulan Ramadhan akan banyak sekali masyarakat yang kurang mampu ikut merasakan kebahagiaan dan kegembiraan saat Lebaran tiba.
                                                                     SUTIRMAN EKA ARDHANA