Jumat, 17 Januari 2014

KASUS SUM KUNING DAN UDIN 'Beban Sejarah' yang Menyakitkan

                                                       JC. Sudjami, SH (ft: Istimewa)




KASUS SUM KUNING DAN UDIN
'Beban Sejarah' yang Menyakitkan
WAJAH hukum di negeri ini memang seringkali menampilkan kesan 'coreng-moreng', buram dan menyedihkan. Terlalu banyak contoh untuk menunjukkan bagaimana kesan coreng-moreng, buram, dan menyedihkan itu terjadi. Untuk masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, setidaknya dua kasus hukum yang pernah terjadi di sini, sudah cukup untuk dijadikan bukti atau contoh tentang betapa masih coreng-moreng dan buramnya penegakan hukum.
Dua kasus hukum 'buram' yang sampai hari ini rasanya masih terlalu sulit untuk dilupakan dalam 'memori hukum' di Yogyakarta, yakni kasus Sum Kuning dan kasus penganiayaan hingga tewasnya wartawan Fuad Muhammad Syafruddin. Kasus perkosaan yang dilakukan sejumlah lelaki muda terhadap gadis desa penjual telur yang kemudian terkenal dengan sebutan kasus Sum Kuning itu terjadi di bulan Septemeber 1970. Sedangkan kasus tewasnya wartawan Fuad Muhammad Syafruddin atau kemudian populer dengan sebutan kasus Udin tersebut terjadi di bulan Agustus 1996.
Dalam pandangan JC Sudjami SH, seorang advokat senior di Yogyakarta, dua kasus hukum yang terjadi di Yogyakarta itu hingga kini menjadi 'beban sejarah' dalam sejarah penegakan hukum serta perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran. Dan, beban sejarah itu hingga kini terasa sulit untuk dilupakan, atau diabaikan begitu saja. Karena kedua kasus itu hingga kini telah menanamkan torehan luka yang menyakitkan.
“Kita di Yogyakarta ini memang memiliki beban sejarah terhadap adanya kasus hukum yang menorehkan luka dan menyakitkan seperti kasus Sum Kuning dan kasus Udin. Tanpa mengurangi terhadap nilai sejumlah kasus buram atau gelap lainnya yang juga terjadi di Yogyakarta, kasus Sum Kuning dan kasus Udin memang telah begitu mengharu-biru perasaan kita yang selama ini telah bersusah-payah berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran. Kedua kasus itu telah menimbulkan kesan kuat di hati masyarakat, khususnya para pencari keadilan, bahwa hukum seringkali tak berdaya ketika ada 'tangan-tangan kuat' yang ikut bermain di dalamnya,” ujar Sudjami di kantornya Jl HOS Cokroaminoto, Yogyakarta, pekan lalu.

Rekayasa Hukum
Menurut Sudjami, kalau ada masyarakat yang mengeluh bahwa hingga kini masih saja ada praktik-praktik rekayasa di dalam hukum, hal itu memang bisa dimaklumi karena realita hukum yang terjadi sering menampilkan hal-hal menyakitkan tersebut. Sejumlah kasus yang terjadi, sering menghadirkan suatu tontonan nyata di mata masyarakat tentang adanya praktik-praktik rekayasa itu.
“Banyak contoh kasus yang memperkuat keluhan-keluhan masyarakat tentang adanya praktik rekayasa di dalam hukum. Kasus Sum Kuning yang terjadi empatpuluh tahun lebih yang lalu itu setidaknya bisa dijadikan contoh nyata bahwa praktik rekayasa hukum tersebut terjadi. Kasus Sum Kuning itu memang sarat dengan praktik-praktik rekayasa hukum. Coba bayangkan, Sum Kuning itu mengaku telah diperkosa oleh lebih dari satu lelaki. Tetapi kemudian, pengakuan dan pengaduannya justru telah membuat Sum Kuning menjadi semakin menderita. Ia ditangkap dan ditahan di kantor polisi. Kemudian dibawa ke pengadilan untuk diadili. Ia dijadikan terdakwa, dengan tuduhan telah menyebarkan mkabar bohong atau palsu dan menimbulkan keonaran di tengah masyarakat,” ungkap Sudjami yang menjadi salah seorang pembela Sum Kuning saat diadili di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Menurut Sudjami yang menjadi pembela Sum Kuning bersama advokat Soetijono Darsosentono SH dan Soewindo SH, ketika itu Sum Kuning didakwa oleh Jaksa Adi Walujo SH melanggar pasal 14 ayat 2 UU Nomor 1 tahun 1946 jo pasal 61 KUHP yaitu menyebarkan kabar palsu dan menimbulkan keonaran di tengah masyarakat. Dalam persidangan, jaksa tetap berkeyakinan jika Sum Kuning benar-benar melakukan perbuatan menyebarkan kabar bohong telah mengaku diperkosa beberapa lelaki. Atas dasar keyakinan itu, jaksa kemudian menuntut Sum Kuning dengan hukuman 3 bulan dalam masa percobaan satu tahun.
“Tetapi kami para pembela, Pak Soetijono, Pak Windo dan saya, merasa yakin seyakin-yakinnya bahwa Sum Kuning menjadi korban rekayasa hukum. Dalam pengakuannya kepada kami dan berdasarkan bukti-bukti di persidangan, kami merasa yakin bahwa Sum Kuning tidak menyebarkan kabar palsu, tapi ia memang benar-benar telah diperkosa oleh beberapa lelaki muda,” tandas Sudjami.
Karena itulah, urai Sudjami, para pembela termasuk dirinya berjuang sekuat mungkin untuk mendapatkan bukti-bukti guna mematahkan dakwaan jaksa, dan membebaskan Sum Kuning dari jerat hukum. “Sum Kuning itu gadis desa yang lugu, karena itulah kami yakin ia tak mungkin mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi dan dialaminya sendiri, kecuali dalam tekanan yang membuatnya menjadi tak berdaya. Karena itu kami yakin bahwa Sum Kuning memang mengatakan peristiwa sebenarnya yang telah menimpa dirinya. Di dalam pembelaan atau pleidooi, kami para pembela menolak semua dalil-dalil hukum yang disampaikan jaksa penuntut umum. Dan, kami dengan tegas mengatakan bahwa semua tuduhan jaksa terhadap Sum Kuning itu tidak terbukti. Kami meminta Pengadilan membebaskan Sum Kuning dari segala tuduhan hukum,” jelas Sudjami lagi.
Perjuangan dan upaya para pembela untuk membebaskan Sum Kuning dari 'jeratan' rekayasa hukum itu memang tidak sia-sia. Dalil-dalil hukum hukum yang digunakan para pembela atau penasehat hukum berhasil mematahkan dalil-dalil hukum yang diajukan jaksa penuntut umum. Pengadilan dalam putusannya tertanggal 16 November 1970 telah membebaskan Sum Kuning dari segala tuduhan danb tuntutan hukum.
“Tuhan mendengarkan doa kami. Dalam membela kasus Sum Kuning itu, kami para pembela tidak hanya berjuang sekuat mungkin di forum persidangan, tetapi juga tak berhenti berdoa agar Tuhan melepaskan Sum Kuning dari derita, tuduhan dan fitnah yang tertuju kepadanya. Majelis Hakim Pengadilan Negheri Yogyakarya yang diketuai Ibu Lamiah Moeljatno SH dengan hakim anggota Ibu Sumarni Abdurrachman SH dan Pak Sujatno SH pada persidangan tanggal 16 November 1970 menjatuhkan putusan yang membebaskan Sum Kuning dari segala tuduhan dan tuntutan hukum. Saya masih ingat, dalam putusannya itu majelis hakim menyatakan keyakinannya jika Sum Kuning memang menjadi korban perkosaan oleh lebih dari satu orang lelaki dengan kekerasan. Keyakinan majelis hakim itu diperkuat oleh visum et repertum dari dr Kasmolo Paulus,” urai Sudjami panjang lebar.
Sudjami mengaku, ia dan para pembela lainnya termasuk juga Sum Kuning yang duduk di kursi terdakwa tak mampu menahan kegembiraan dan keharuan setelah mendengarkan vonis bebas dari majelis hakim tersebut.
“Terlebih lagi Sum Kuning. Ia benar-benar terharu, dan tak mampu menahan air matanya, sehabis mendengarkan putusan bebas atas dirinya itu. Keharuan itu memang layak terjadi, mengingat ia sudah sempat mendekam di kamar tahanan polisi selama 32 hari. Tidak itu saja. Dalam masa tahanan itu, ia juga mengalami penderitaan yang tiada tara. Ia diancam akan distrum bila tidak mau mengaku telah menyebarkan kabar bohong. Bahkan diancam akan dihukum 10 tahun lamanya bila tidak mau mengaku telah berhubungan seks dengan lelaki bernama Trimo, yang ketika itu berprofesi sebagai penjual bakso,” ujar Sudjami.  SUTIRMAN EKA ARDHANA

Jumat, 03 Januari 2014

KISI-KISI UAS FOTOGRAFI JURNALISTIK 2013



                   KISI-KISI UAS FOTOGRAFI JURNALISTIK 2013

1.      Di dalam kerja jurnalistik dikenal ada enam sifat foto jurnalistik (foto berita). Keenam sifat yang dimiliki foto jurnalistik itu, meliputi: mudah dibuat, akurat, universal, visual, kompak dan selalu aktual.

2.      Mudah dibuat – Teknologi fotografi yang terus berkembang dari masa ke masa, membuat proses pembuatan foto menjadi sesuatu yang mudah. Terlebih dengan teknologi digital, sebuah karya foto sekarang sudah bisa dibuat hanya dalam hitungan menit.

Akurat – Dalam bentuk aslinya (bukan rekayasa), foto selalu akurat, dan tidak bisa berbohong. Selembar foto merekam suatu peristiwa secara apa adanya.

Universal – Bahasa foto adalah bahasa yang universal. Bahasa yang bisa diterima dan dipahami oleh manusia di belahan dunia mana pun. Secara visual, selembar foto akan menginformasikan suatu berita atau peristiwa, dengan bahasa yang akan dimengerti oleh bangsa atau etnis apa pun.

Visual – Bahasa foto adalah bahasa visual. Bahasa visual, bahasa yang bisa dimengerti dan dipahami oleh siapa pun. Artinya, bahasa visual yang disampaikan selembar foto akan bisa ‘dibaca’, dimengerti dan dipahami oleh orang yang bisa membaca sampai ke orang yang tidak bisa membaca sekali pun.

Kompak – Ketika suatu peristiwa terekam di dalam berbagai lembar foto secara berurutan, urutan foto-foto itu tetap menyampaikan informasinya secara kompak. Informasi yang disampaikan foto-foto secara berurutan itu akan semakin memperjelas pengertian dan pemahaman orang yang melihatnya. Karena informasi itu hadir secara kompak, berurutan dan teratur.

Selalu aktual – Foto memiliki nilai informasi yang selalu aktual. Artinya, nilai informasi dan daya pesona yang dimiliki selembar foto akan senantiasa aktual atau ‘baru’ sampai kapan pun. Berbeda dengan nilai informasi dan daya pesona suatu berita (berita tulis) yang memiliki batas waktu tertentu, nilai informasi dan daya pesona foto memiliki batas waktu yang panjang.

3.      Di dalam kerja jurnalistik selama ini, dikenal ada tujuh jenis atau ragam foto jurnalistik. Ketujuh jenis foto jurnalistik itu meliputi: foto berita (spot news), foto human interest, foto essay,  foto cerita, foto humor, foto feature, dan foto olahraga.

4.      Foto berita (spot news) – Foto berita adalah suatu foto yang menyajikan atau menyampaikan informasi mengenai satu peristiwa yang berdiri sendiri. Misalnya, foto tentang tabrakan di jalan rata atau kecelakaan lalulintas, dengan cepat dipahami bahwa telah terjadi suatu peristiwa tabrakan atau kecelakaan. Informasinya akan menjadi lebih jelas dengan tambahan keterangan pada keterangan gambarnya.

5.   Foto human interest adalah foto yang menyajikan hal-hal yang berkaitan dengan daya tarik manusiawi, atau foto yang berbicara tentang masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan. Foto human interest adalah foto yang mampu menggugah emosi kemanusiaan kita yang melihatnya.
Foto human interest memiliki daya tarik yang berbeda dengan foto-foto jurnalistik
lainnya.
Daya tariknya meliputi:
1.      Mampu bercerita mengenai keadaan manusia, dengan pesonanya.
2.      Mampu bercerita atau berkisah banyak dibanding berlembar-lembar
      halaman tulisan.
3.       Mampu menggugah emosi atau memiliki kemampuan untuk
4.       mempengaruhi perasaan dan pikiran (mampu mengembangkan imajinasi).

5.      Foto cerita – Foto cerita memiliki kesamaan dengan foto essay. Hanya bedanya, foto cerita yang hadir secara berangkai, tidak menghadirkan suatu informasi yang harus dibahas, dianalisa, dikaji atau diperdebatkan oleh pembaca yang melihatnya. Foto cerita hanya menyampaikan informasi secara apa adanya. Dan, foto cerita harus selalu faktual.

6.      Foto feature – Foto feature adalah foto tunggal yang tidak sekadar memiliki nilai informasi, tapi juga menyampaikan suatu gagasan berharga pada orang yang melihatnya.  Sekalipun hadir tunggal, foto feature bisa menghadirkan beragam penafsiran. Misalnya, foto tentang seseorang yang baru bebas dari menjalani hukuman di LP. Ekspresi orang yang baru bebas dari LP itu bisa dijadikan foto feature yang menarik.

7.      KOMPOSISI adalah penempatan posisi objek pada bidang pemotretan, sehingga menjadi pusat perhatian. Dengan demikian, komposisi menuntun mata kita menuju titik perhatian yang menyatukan objek foto secara keseluruhan.
•    KOMPOSISI secara sederhana dapat diartikan sebagai cara menata elemen-elemen atau unsur-unsur dalam gambar. Elemen-elemen itu meliputi sudut pemotretan, sepertiga bagian, pola, garis, warna, bingkai, latar belakang, dan latar depan.

8.      Sepertiga bagian merupakan salah satu unsur dalam komposisi.
Dalam fotografi, suatu bidang di dalam pandangan kamera dibagi menjadi sembilan bagian yang sama. Komposisi yang baik adalah bila objek ditempatkan pada duapertiga bagian bidang tersebut. Sedang sepertiga bidang lainnya dikosongkan.

9.      Garis juga merupakan salah satu unsur komposisi.
Dalam pemotretan di luar ruangan (alam bebas), garis menjadi pusat perhatian objek foto. Objek pemotretan yang bisa digunakan sebagai elemen garis antara lain pagar, pohon, garis atap rumah, jalanan dan lain-lainnya.
Elemen garis pada komposisi, sebaiknya diletakkan pada sepertiga bagian bidang pemotretan. Dan, elemen garis dapat membuat keseluruhan komposisi menjadi lebih dinamis, seimbang atau mendukung objek foto.

10.  Warna juga merupakan salah satu unsur komposisi.
Warna merupakan kekuatan foto. Melalui warna, mata akan mudah menangkap sesuatu pesan yang disampaikan oleh foto itu. Warna juga menciptakan kesan tertentu.
Warna cerah atau terang, seperti merah dan kuning, akan menarik perhatian orang dan memberikan kesan kegembiraan, semangat dan keberanian. Warna putih mengesankan kelembutan, kesucian dan kasih sayang. Warna-warna muda seperti pink, biru muda dan toska, memberikan kesan kelembutan dan ketenangan.
Untuk menjadi kekuatan foto, maka rencanakan perpaduan warna seluruh unsur-unsur pemotretan, baik objek maupun latar belakang atau latar depan, khususnya dalam pemotretan profil, busana (fashion), properti dan latar belakang.  

                                                               (SEA)

KISI-KISI UAS SINEMATOGRAFI - 2013



              KISI-KISI UAS SINEMATOGRAFI - 2013

                  1. Film cerita mempunyai berbagai jenis atau genre. Genre diartikan sebagai jenis film yang ditandai oleh gaya, bentuk atau isi tertentu.
Jenis-jenis film tersebut ada yang disebut jenis film drama, film horror, film perang, film musical, film koboi, film sejarah, film komedi, dan film fiksi ilmiah. Meskipun begitu penggolongan jenis film tidaklah kaku atau ketat. Sebab sebuah film dapat saja dimasukkan ke dalam beberapa jenis.

2.       Film pada dasarnya bisa dikelompokkan dalam dua jenis atau kategori. Pertama, film cerita (film fiksi). Kedua, film noncerita (film nonfiksi).
Film cerita merupakan film yang dibuat atau diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang dan dimainkan oleh actor dan aktris.
Kebanyakan atau pada umumnya film cerita bersifat komersial. Pengertian komersial diartikan bahwa film dipertontonkan di bioskop dengan harga karcis tertentu. Artinya, untuk menonton film itu di gedung bioskop, penonton harus membeli karcis terlebih dulu. Demikian pula bila ditayangkan di televisi, penayangannya didukung dengan sponsor iklan tertentu pula.
Sedangkan film noncerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya.

3. Seperti halnya film cerita, film noncerita kini juga bias dikategorikan dalam berbagai jenis. Tetapi pada awalnya film noncerita hanya dikenal punya dua jenis, yakni film faktual dan film documenter.
Film faktual adalah suatu jenis film noncerita yang pada umumnya menyajikan fakta. Sekarang film faktual dapat dilihat dalam bentuk film berita (news reel) dan film dokumentasi.
Film berita meletakkan titik berat penyajiannya pada segi pemberitaan suatu peristiwa atau kejadian yang faktual. Contoh film berita dewasa ini dapat kita saksikan di tayangan-tayangan berita dalam siaran televise. Film berita ditayangkan setelah terlebih dulu melalui proses pengolahan.
Sedangkan film dokumentasi adalah film faktual yang hanya merekam suatu peristiwa atau kejadian tanpa melalui proses pengolahan lagi. Film dokumentasi merekam peristiwa dengan apa adanya. Contoh film dokumentasi ini misalnya dokumentasi mengenai kejadian perang, dan dokumentasi upacara kenegaraan.

4.. Film dokumenter adalah film noncerita yang selain mempunyai unsur fakta tetapi juga mengandung unsur subyektifitas pembuatnya. Subyektifitas di dalam film dokumenter merupakan pendapat, pandangan, sikap atau opini terhadap peristiwa yang direkam.
Dengan demikian peran pembuatnya (produser/sutradara) memiliki arti penting bagi keberadaan serta keberhasilan proses pembuatan film dokumenter. Dalam film dokumenter, faktor manusia (pembuat) mempunyai peran yang besar dan penting. Sebab persepsi tentang suatu kenyataan atau realitas yang ada sangat bergantung pada pembuatnya.

5. Film Pareh dinyatakan sebagai film Indonesia pertama yang mendapat perhatian luas dan dipuji dari segi kualitas dan ceritanya, sedang film Terang Boelan yang diproduksi tahun 1937 merupakan film pertama yang terlaris dan sukses secara bisnis di pasaran. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat pecinta hiburan film ketika itu.

6. Sejarah perjalanan pembuatan film cerita di Hindia Belanda diawali dengan diproduksinya sebuah film berjudul “Loetoeng Kasaroeng”. Jika sejarah kelahiran bioskop diawali di Batavia, maka sejarah kelahiran film cerita di negeri kita diawali di kota Bandung pada tahun 1926. Film cerita bisu pertama produksi Java Film Company yang mengangkat tentang legenda di bumi Priangan itu merupakan karya bersama seorang Belanda bernama L. Heuveldorp dan seorang Jerman bernama G. Kruger.

7.      Film merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses pembuatan film antaralain: produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera (kameramen), penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang film), dan lain-lain.

8.      Sutradara merupakan pihak atau orang yang paling bertanggungjawab terhadap proses pembuatan film di luar hal-hal yang berkaitan dengan dana dan properti lainnya. Karena itu biasanya sutradara menempati posisi sebagai ‘orang penting kedua’ di dalam suatu tim kerja produksi film.
Di dalam proses pembuatan film, sutradara bertugas mengarahkan seluruh alur dan proses pemindahan suatu cerita atau informasi dari naskah scenario ke dalam aktivitas produksi. Sutradara bertanggungjawab menggerakkan semua unsur pekerja (tim kerja) yang terlibat di dalam proses produksi film. Oleh karenanya, berhasil atau tidaknya, bagus atau tidaknya suatu karya film yang diproduksi berada di tangan sang sutradara.
Di dalam tim kerja produksi film, sutradara memimpin Departemen Penyutradaraan.

9.      Film mempunyai tiga nilai penting ketika dihadirkan sebagai ‘tontonan’ ke publik atau masyarakat luas. Ketiga nilai itu adalah nilai hiburan, nilai pendidikan dan nilai artistik. Hampir semua film dalam beberapa hal bermaksud untuk menghibur, mendidik dan menawarkan rasa keindahan kepada publik yang menontonnya. Film yang baik tentunya film yang memiliki ketiga nilai penting tersebut. Seandainya ada film yang hanya menampilkan nilai menghibur semata, tapi mengabaikan nilai mendidik dan nilai artistiknya, tentunya film tersebut tidak layak disebut sebagai film yang baik.

10. Nilai hiburan (menghibur) sangat penting. Suatu film bisa dikategorikan sebagai film yang gagal atau tidak berhasil bila sejak awal hingga akhir tayangannya tidak mampu mengikat atau menarik perhatian penonton.
Nilai menghibur suatu film tidak hanya sekadar membuat orang bahagia, senang, tertawa, tegang, bahkan bergairah dalam menikmati sensasi gambar atau adegan demi adegan di dalam film tersebut. Sebab, sesungguhnya hiburan yang lebih dalam tertuju kepada pikiran maupun emosi penontonnya. Film dengan hiburan seperti itu biasanya memberikan semacam renungan kepada penonton.
                                                                                            (SEA)