KASUS
SUM KUNING DAN UDIN
'Beban Sejarah' yang
Menyakitkan
WAJAH hukum di negeri ini memang seringkali menampilkan
kesan 'coreng-moreng', buram dan menyedihkan. Terlalu banyak contoh untuk
menunjukkan bagaimana kesan coreng-moreng, buram, dan menyedihkan itu terjadi.
Untuk masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya,
setidaknya dua kasus hukum yang pernah terjadi di sini, sudah cukup untuk
dijadikan bukti atau contoh tentang betapa masih coreng-moreng dan buramnya
penegakan hukum.
Dua kasus hukum 'buram' yang sampai hari ini rasanya masih
terlalu sulit untuk dilupakan dalam 'memori hukum' di Yogyakarta, yakni kasus
Sum Kuning dan kasus penganiayaan hingga tewasnya wartawan Fuad Muhammad
Syafruddin. Kasus perkosaan yang dilakukan sejumlah lelaki muda terhadap gadis
desa penjual telur yang kemudian terkenal dengan sebutan kasus Sum Kuning itu
terjadi di bulan Septemeber 1970. Sedangkan kasus tewasnya wartawan Fuad
Muhammad Syafruddin atau kemudian populer dengan sebutan kasus Udin tersebut
terjadi di bulan Agustus 1996.
Dalam pandangan JC Sudjami SH, seorang advokat senior di
Yogyakarta, dua kasus hukum yang terjadi di Yogyakarta itu hingga kini menjadi
'beban sejarah' dalam sejarah penegakan hukum serta perjuangan menegakkan
keadilan dan kebenaran. Dan, beban sejarah itu hingga kini terasa sulit untuk
dilupakan, atau diabaikan begitu saja. Karena kedua kasus itu hingga kini telah
menanamkan torehan luka yang menyakitkan.
“Kita di Yogyakarta ini memang memiliki beban sejarah
terhadap adanya kasus hukum yang menorehkan luka dan menyakitkan seperti kasus
Sum Kuning dan kasus Udin. Tanpa mengurangi terhadap nilai sejumlah kasus buram
atau gelap lainnya yang juga terjadi di Yogyakarta, kasus Sum Kuning dan kasus
Udin memang telah begitu mengharu-biru perasaan kita yang selama ini telah
bersusah-payah berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran. Kedua kasus itu
telah menimbulkan kesan kuat di hati masyarakat, khususnya para pencari
keadilan, bahwa hukum seringkali tak berdaya ketika ada 'tangan-tangan kuat'
yang ikut bermain di dalamnya,” ujar Sudjami di kantornya Jl HOS Cokroaminoto,
Yogyakarta, pekan lalu.
Rekayasa Hukum
Menurut Sudjami, kalau ada masyarakat yang mengeluh bahwa
hingga kini masih saja ada praktik-praktik rekayasa di dalam hukum, hal itu
memang bisa dimaklumi karena realita hukum yang terjadi sering menampilkan
hal-hal menyakitkan tersebut. Sejumlah kasus yang terjadi, sering menghadirkan
suatu tontonan nyata di mata masyarakat tentang adanya praktik-praktik rekayasa
itu.
“Banyak contoh kasus yang memperkuat keluhan-keluhan
masyarakat tentang adanya praktik rekayasa di dalam hukum. Kasus Sum Kuning
yang terjadi empatpuluh tahun lebih yang lalu itu setidaknya bisa dijadikan
contoh nyata bahwa praktik rekayasa hukum tersebut terjadi. Kasus Sum Kuning
itu memang sarat dengan praktik-praktik rekayasa hukum. Coba bayangkan, Sum
Kuning itu mengaku telah diperkosa oleh lebih dari satu lelaki. Tetapi
kemudian, pengakuan dan pengaduannya justru telah membuat Sum Kuning menjadi
semakin menderita. Ia ditangkap dan ditahan di kantor polisi. Kemudian dibawa
ke pengadilan untuk diadili. Ia dijadikan terdakwa, dengan tuduhan telah
menyebarkan mkabar bohong atau palsu dan menimbulkan keonaran di tengah
masyarakat,” ungkap Sudjami yang menjadi salah seorang pembela Sum Kuning saat
diadili di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Menurut Sudjami yang menjadi pembela Sum Kuning bersama
advokat Soetijono Darsosentono SH dan Soewindo SH, ketika itu Sum Kuning
didakwa oleh Jaksa Adi Walujo SH melanggar pasal 14 ayat 2 UU Nomor 1 tahun
1946 jo pasal 61 KUHP yaitu menyebarkan kabar palsu dan menimbulkan keonaran di
tengah masyarakat. Dalam persidangan, jaksa tetap berkeyakinan jika Sum Kuning
benar-benar melakukan perbuatan menyebarkan kabar bohong telah mengaku
diperkosa beberapa lelaki. Atas dasar keyakinan itu, jaksa kemudian menuntut
Sum Kuning dengan hukuman 3 bulan dalam masa percobaan satu tahun.
“Tetapi kami para pembela, Pak Soetijono, Pak Windo dan
saya, merasa yakin seyakin-yakinnya bahwa Sum Kuning menjadi korban rekayasa
hukum. Dalam pengakuannya kepada kami dan berdasarkan bukti-bukti di
persidangan, kami merasa yakin bahwa Sum Kuning tidak menyebarkan kabar palsu,
tapi ia memang benar-benar telah diperkosa oleh beberapa lelaki muda,” tandas
Sudjami.
Karena itulah, urai Sudjami, para pembela termasuk dirinya
berjuang sekuat mungkin untuk mendapatkan bukti-bukti guna mematahkan dakwaan
jaksa, dan membebaskan Sum Kuning dari jerat hukum. “Sum Kuning itu gadis desa
yang lugu, karena itulah kami yakin ia tak mungkin mengatakan sesuatu yang
tidak sesuai dengan apa yang terjadi dan dialaminya sendiri, kecuali dalam
tekanan yang membuatnya menjadi tak berdaya. Karena itu kami yakin bahwa Sum
Kuning memang mengatakan peristiwa sebenarnya yang telah menimpa dirinya. Di
dalam pembelaan atau pleidooi, kami para pembela menolak semua dalil-dalil
hukum yang disampaikan jaksa penuntut umum. Dan, kami dengan tegas mengatakan
bahwa semua tuduhan jaksa terhadap Sum Kuning itu tidak terbukti. Kami meminta
Pengadilan membebaskan Sum Kuning dari segala tuduhan hukum,” jelas Sudjami
lagi.
Perjuangan dan upaya para pembela untuk membebaskan Sum
Kuning dari 'jeratan' rekayasa hukum itu memang tidak sia-sia. Dalil-dalil
hukum hukum yang digunakan para pembela atau penasehat hukum berhasil
mematahkan dalil-dalil hukum yang diajukan jaksa penuntut umum. Pengadilan
dalam putusannya tertanggal 16 November 1970 telah membebaskan Sum Kuning dari
segala tuduhan danb tuntutan hukum.
“Tuhan mendengarkan doa kami. Dalam membela kasus Sum
Kuning itu, kami para pembela tidak hanya berjuang sekuat mungkin di forum
persidangan, tetapi juga tak berhenti berdoa agar Tuhan melepaskan Sum Kuning
dari derita, tuduhan dan fitnah yang tertuju kepadanya. Majelis Hakim
Pengadilan Negheri Yogyakarya yang diketuai Ibu Lamiah Moeljatno SH dengan
hakim anggota Ibu Sumarni Abdurrachman SH dan Pak Sujatno SH pada persidangan
tanggal 16 November 1970 menjatuhkan putusan yang membebaskan Sum Kuning dari
segala tuduhan dan tuntutan hukum. Saya masih ingat, dalam putusannya itu
majelis hakim menyatakan keyakinannya jika Sum Kuning memang menjadi korban
perkosaan oleh lebih dari satu orang lelaki dengan kekerasan. Keyakinan majelis
hakim itu diperkuat oleh visum et repertum dari dr Kasmolo Paulus,” urai
Sudjami panjang lebar.
Sudjami mengaku, ia dan para pembela lainnya termasuk juga
Sum Kuning yang duduk di kursi terdakwa tak mampu menahan kegembiraan dan
keharuan setelah mendengarkan vonis bebas dari majelis hakim tersebut.
“Terlebih lagi Sum Kuning. Ia benar-benar terharu, dan tak
mampu menahan air matanya, sehabis mendengarkan putusan bebas atas dirinya itu.
Keharuan itu memang layak terjadi, mengingat ia sudah sempat mendekam di kamar
tahanan polisi selama 32 hari. Tidak itu saja. Dalam masa tahanan itu, ia juga
mengalami penderitaan yang tiada tara. Ia
diancam akan distrum bila tidak mau mengaku telah menyebarkan kabar bohong.
Bahkan diancam akan dihukum 10 tahun lamanya bila tidak mau mengaku telah
berhubungan seks dengan lelaki bernama Trimo, yang ketika itu berprofesi
sebagai penjual bakso,” ujar Sudjami. SUTIRMAN EKA ARDHANA