Senin, 30 November 2015

Suwarna Pragolapati, Sang Motivator



        Suwarna Pragolapati, Sang Motivator

            Sutirman Eka Ardhana

            SETIAP kali berbicara tentang Persada Studi Klub, terutama yang berkaitan dengan riwayatnya dulu, selain menyebut nama Umbu Landu Paranggi, pasti juga akan muncul nama Suwarna Progalopati atau selalu juga disebut Ragil Suwarna Pragolapati. Ini dikarenakan, Mas Warno, demikian saya selalu memanggil namanya, termasuk salah seorang dari sejumlah nama yang melahirkan komunitas sastra Persada Studi Klub pada 5 Maret 1968.
            Selain Umbu Landu Paranggi, pendeklarator Persada Studi Klub (PSK) lainnya Ragil Suwarna Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, Soeparno S. Adhy, Mugiyono Gito Warsono dan M. Ipan Sugiyanto Sugito. Jadi, setiap kali memperbincangkan riwayat Persada Studi Klub dan perkembangannya hingga hari ini, maka tak bisa lepas dari menyebut nama Mas Warno, dan pendeklarator lainnya tersebut.
            Saya tidak ingat secara pasti, kapan saya pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Mas Warno. Tapi, setidaknya perkenalan dengannya itu terjadi di sekitar tahun 1972/1973, pada suatu acara pertemuan atau diskusi PSK di kantor redaksi Pelopor Yogya, Jl. Malioboro 175 A, Yogyakarta. Kesan pertama yang muncul dalam pertemuan itu, dia bukan orang yang nyaman untuk teman berbincang, apalagi bercanda. Dia terkesan memiliki ego yang besar.
            Untunglah, kesan itu tak tersimpan lama. Setelah berbincang-bincang, saya sadar, ternyata ia cukup menyenangkan juga untuk dijadikan teman berbincang. Dan, ia seseorang yang terlihat sungguh-sungguh atau serius dalam mendengarkan pembicaraan orang lain.
            "Dari Bengkalis, tho? Bengkalis, Riau itu kan?" tanyanya di awal pertemuan.
            Saya hanya mengangguk dan tersenyum.
            "Walau, saya tak tahu persis kotanya di mana, tapi rasanya saya cukup kenal dengan nama kota itu, Bengkalis. Ya, karena di sana dulu muncul nama Soeman HS, sastrawan Pujangga Baru yang terkenal dengan roman atau novelnya Menangkap Pencuri Anak Perawan itu. Roman era Pujangga Baru yang sangat saya sukai. Sayangnya, setelah Soeman HS tak ada lagi muncul nama besar di dunia sastra dari sana," katanya lagi.
            Saya masih hanya bisa tersenyum.
            "Nah, kalau begitu, Anda punya tugas untuk melanjutkan nama besar Soeman HS memperkenalkan Bengkalis ke dunia sastra kita. Tapi, dalam memperkenalkan Bengkalis itu, Anda tak perlu jadi Soeman HS. Jadilah, diri Anda sendiri!" ujarnya meyakinkan saya.
            Jadilah diri Anda sendiri! Kata-kata Mas Warno di awal pertemuan telah membekas di hati saya. Kata-kata itu telah memotivasi, membakar semangat dan mendorong saya untuk kian meneguhkan jati diri dalam berkarya. Buat saya, dia layak untuk disebut sebagai Sang Motivator.
            Beberapa waktu kemudian (saya lupa tahun berapa), ketika jagad kepenyairan di Tanah Air sedang disemarakkan dengan kehadiran puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah, yang kebetulan dua-duanya berasal dari Riau, dalam suatu pertemuan kata-kata itu kembali dilontarkannya.
            "Ingat, jangan tergoda untuk jadi Soetardji Calzoum atau Ibrahim Sattah. Tapi, tetaplah berusaha untuk menjadi diri Anda sendiri. Ya, menjadi diri Anda sendiri!" katanya serius.
            Kata-kata itu, sungguh sangat berarti. Dan, kata-kata itu telah menunjukkan betapa Mas Warno memiliki perhatian atau kepedulian terhadap perjalanan kreatifitas saya. Mas Warno telah memposisikan dirinya sebagai seorang sahabat yang baik, sahabat yang penuh perhatian.

            Sang Penasihat
            Sepanjang tahun 70-an, pergaulan saya dengan Mas Warno terasa intens. Terlebih ketika ia tinggal atau mengontrak sebuah kamar di kampung Margoyasan, persis di belakang Pasar Sentul. Hampir setiap hari saya selalu bertandang ke kamar kostnya. Kalau tidak siang atau sore, ya malam hari.
            Dalam setiap pertemuan itu banyak hal yang selalu dibicarakan. Dari hal-hal yang berhubungan dengan kreatifitas berkarya sampai ke persoalan masa depan. Tapi, satu hal yang tak pernah ia lakukan, adalah mengkritisi, membahas, memperbincangkan dan sejenisnya tentang karya-karya saya. Ia tak pernah mengkritik atau memuji. Tak pernah mengatakan karya saya, terutama puisi, jelek ataupun bagus. Sepertinya ia enggan berbicara tentang puisi maupun cerpen yang sesekali saya tulis di masa itu. Saya tidak tahu secara persis kenapa begitu. Kenapa ia tak mau melakukannya. Padahal sesungguhnya saya berharap ia mau membahas atau membicarakannya.
            Kepada saya, Mas Warno tak pernah memposisikan dirinya sebagai seorang kritikus. Tak pernah mengkritik, membahas, memperbincangkan, menghujat atau bahkan memuji. Tidak. Tapi yang sering dilakukannya adalah mendorong atau memotivasi saya untuk terus berkarya, serta berpikir sungguh-sungguh tentang masa depan. Ia selalu memposisikan dirinya sebagai seorang sahabat atau kakak yang bijak. Ketika itu, saya selalu menyebutnya sebagai "sang penasihat".
            Ternyata, nasihat-nasihatnya kepada saya tentang kehidupan dan masa depan itu, tidak hanya disampaikan dalam pertemuan-pertemuan santai di kamar kostnya. Nasihat-nasihatnya itu sempat juga disampaikan melalui tulisan-tulisan di media massa.
            Di majalah Semangat edisi Oktober 1975 misalnya, Mas Warno membuat tulisan yang secara khusus berisi nasihat-nasihat tentang kehidupan dan masa depan saya. Di antaranya ia menulis begini:
            .............Aku senang, Eka, bahwa engkau bercita-cita menjadi pengarang, bahkan berambisi menjadi sastrawan besar. Tapi kau melupakan sesuatu. Hidupmu sulit, nasibmu pahit, mengapa angan-anganmu kaubiarkan melayang-layang ke langit. Harapan dan cita-cita boleh saja selangit, namun ingatlah, kedua kakimu masih terus berpijak pada bumimu sendiri, bumi kehidupan yang pahit dan rumit.Bila saja kau ingat, akan beratnya orang tuamu mengirimi poswesel sepuluh ribu saban bulan. Adik-adikmu masih kecil-kecil, demikian banyak jumlahnya. Engkau adalah putra sulung yang diharap-harapkan sukses sekolah selekasnya. Ayah ibumu semakin hari semakin tua. Hidup keluargamu kian hari kian sulit.
            Eka, renungkanlah kembali tindakan-tindakanmu yang terakhir.......................................
            Tulisan Mas Warno itu begitu mengena di hati saya. Begitu pas, dengan kondisi batin dan kehidupan saya kala itu. Sepertinya Mas Warno tahu, ketika itu sedang ada ketidak-seimbangan antara dunia kreatifitas berkarya atau kesukaan saya menulis dengan persoalan masa depan. Ia mungkin melihat, saya sedang asyik menulis, asyik dengan puisi, tetapi mengabaikan masa depan, atau mengabaikan sesuatu yang didambakan kedua orangtua di kampung sana.
            Tanpa saya sadari, dalam setiap kali pertemuan di masa itu, Mas Warno telah menjadi pemerhati dan penyimak yang baik. Ia selalu setia untuk mendengar cerita, gurauan, keluhan atau apa saja yang saya utarakan dalam pertemuan-pertemuan santai tersebut. Dan, ternyata Mas Warno tak hanya berhenti pada perbincangan-perbincangan di kamar kostnya itu saja. Ia membawa perbincangan-perbincangan itu ke tulisan-tulisannya di media. Bahkan, saya sempat terkejut juga, ketika suatu hari muncul cerpennya di majalah Semangat yang berkisah tentang pengalaman saya. Kisah itu sebelumnya memang sempat saya ceritakan dalam perbincangan dengannya.

            Pesan Terakhir
            Pada sekitar tahun 1976/1977 kedekatan saya dengan Mas Warno agak menyurut. Bahkan sejak ia pindah dari kamar kostnya di Margoyasan, ke tempat-tempat tinggalnya yang baru, saya belum pernah datang berkunjung ke tempat tinggal barunya tersebut. Demikian pula ketika ia dan isterinya, Mbak Menik Sugiyah Kartamulya, tinggal di Minggiran, sekalipun saya belum pernah datang bertandang.
            Intensitas pertemuan dengannya yang semula hampir setiap hari, berubah menjadi seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali, lalu beberapa bulan sekali. Seringkali pula pertemuan itu terjadi pada moment-moment yang tidak terencanakan. Misalnya, di kios-kios koran buku Shopping Centre, di jalanan, atau di pertunjukan-pertunjukan kesenian.
            Beberapa kali pertemuan itu terjadi juga di kantor koran tempat saya bekerja, seperti di Harian Berita Nasional di Jl. Brigjen Katamso (Gondomanan) maupun saat di Harian Yogya Post semasa masih beralamat di Jl. Taman Siswa. Tentu saja tujuan utamanya datang ke kantor-kantor koran itu bukan untuk bertemu dengan saya, melainkan menyerahkan naskah tulisan atau mengambil honor tulisan.
            Walaupun kemudian jarang bertemu, tapi setiap bertemu, Mas Warno tetap tak berubah. Ia tetap setia memberi nasihat kepada saya. Nasihat-nasihatnya masih seputar persoalan kehidupan dan masa depan. Ketika saya pindah kerja dari Harian Kedaulatan Rakyat ke Harian Yogya Post di akhir 1989, saat bertemu di tempat kerja yang baru itu, ia sepertinya menyesalkan alasan kepindahan tersebut.
            "Apa sudah dipikirkan matang-matang tentang kepindahan ke koran ini? Kenapa koq sukanya pindah-pindah kerja? Menurut saya, Anda (ia selalu menyebut dengan kata Anda begini kepada saya) terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Alasan kepindahan itu sepertinya tidak Anda pikirkan secara matang," katanya ketika bertemu di tempat kerja saya yang baru.
            Saya tidak tahu pasti apa alasan Mas Warno berkata seperti itu. Tapi apa pun alasannya, apa yang dikatakannya kepada saya tersebut, tetap sesuatu yang berharga. Setidaknya ia sudah menunjukkan kepedulian dan perhatiannya terhadap perjalanan kehidupan saya.
            Lalu, suatu hari di bulan Oktober 1990, tepatnya tanggal 16 Oktober, saya mendapatkan kabar yang mengejutkan tentang Mas Warno. Sehari sebelumnya, tepatnya tanggal 15 Oktober 1990, ia dinyatakan hilang di sekitar Gua Langse, atau di kawasan Bukit Semar, Parangendog, Parangtritis. Ketika itu ia sedang melaksanakan pelatihan sastra, pers dan yoga, yang diikuti beberapa orang mahasiswa. Tak seorang pun di antara peserta pelatihan itu yang tahu ke mana raibnya Mas Warno. Ia sepertinya hilang tanpa jejak, kecuali meninggalkan selembar sajadah dan sepasang sandal.
            Saya benar-benar terkejut dan sempat tak percaya dengan berita hilangnya Mas Warno tersebut. Betapa tidak. Seminggu sebelumnya saya masih bertemu dan berbincang-bincang dengannya, di kantor tempat saya bekerja. Itulah pertemuan dan perbincangan terakhir dengannya. Sekaligus itulah saya mendengarkan nasihat atau pesan terakhir darinya.
            "Sudah kerasan bekerja di sini? Kalau sudah kerasan, ya syukurlah. Tapi ingat, mulai sekarang Anda harus segera tinggalkan kebiasaan - tak pernah habis meneguk minuman di gelas.
Ibaratnya, kalau meneguk minuman di gelas itu, teguklah atau minumlah sampai habis, sampai tuntas. Jangan belum habis, sudah pindah ke gelas yang lain," katanya.
            Itulah pesan terakhir Mas Warno, yang masih saya ingat sampai hari ini.***

            * Sutirman Eka Ardhana: Kini redaktur majalah Sabana, juga dipercaya mengajar di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga.

                       ** Dimuat di Majalah SABANA, edisi 8, November 2015.