Senin, 06 Juni 2016

Sang Advokat: Aprillia Supaliyanto, SH (1) Cita-cita Sederhana, Si Anak Desa



Sang Advokat: Aprillia Supaliyanto, SH (1)
Cita-cita Sederhana, Si Anak Desa
            MUNENG, sebuah desa yang teduh dan tenteram di Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo. Di desa yang damai dan hijau karena rimbun pepohonan ini tinggal pasangan keluarga Marrikan Martowiyono dan Sutarti. Pada tanggal 24 April 1964 kegembiraan meledak di pasangan keluarga ini, karena di hari itu telah lahir anak mereka yang keduabelas, seorang lelaki, yang ternyata kemudian juga merupakan anak terakhir. Si bungsu itu lalu diberi nama Aprillia Supaliyanto.
Meski terlahir sebagai anak bungsu, tetapi oleh orangtuanya, Aprillia tidak dididik untuk menjadi anak manja. Sejak kecil ia telah dididik untuk menjadi seorang lelaki yang mandiri, tegar, berani, bertanggungjawab, disiplin, penuh semangat, pantang menyerah, dan tidak mudah putus asa. Karena itulah, sejak bangku Sekolah Dasar, sikap dan sifatnya sebagai seorang ‘pekerja keras’ dan ‘pantang menyerah’ sudah terlihat nyata.
Bahkan sejak di bangku SD, ia sudah ‘terpesona’ dengan ketegaran, kegagahan, keberanian, dan sikap penuh semangat serta kesan pantang menyerah dalam kehidupan yang ditampilkan oleh militer atau TNI. Karena itulah, sejak di bangku SD pula ia telah menanamkan cita-cita untuk menjadi seorang tentara. Cita-cita sederhana seorang anak desa yang kagum melihat ‘kegagahan’ sosok militer.
Selulus SMP Negeri I Ponorogo di tahun  1980, ia terus membawa cita-cita sederhana untuk menjadi seorang tentara itu sampai duduk di bangku SMA Negeri I Ponorogo pada 1981. Harapannya, di SMA ia bisa masuk ke jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), sehingga bila lulus SMA nanti bisa mendaftar ke Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Tetapi, harapannya itu tak terwujud. Meski ia sudah berusaha semaksimal mungkin, ternyata para guru yang memberikan nilai berkeinginan lain. Ketika naik ke kelas dua SMA, ia gagal masuk ke jurusan IPA. Kegagalan itu benar-benar dirasakannya bagaikan pukulan yang dahsyat. Pukulan yang membuatnya sempat lemah, tak berdaya dan nyaris kehilangan semangat. Betapa tidak. Dengan gagal masuk ke jurusan IPA, maka cita-citanya untuk bisa masuk ke Akabri menjadi terhalang.
Kegagalan itu sempat membuatnya goyah sesaat. Bahkan ia sempat sakit beberapa hari, karena terlalu memikirkan kegagalannya itu. Untunglah, tempaan dan didikan kedua orangtuanya, terutama ayahnya Marrikan Martowiyono, yang diterimanya sejak kecil, telah membuatnya segera bangkit dari kegagalan. Ia berpikir, kegagalan bukanlah akhir dari segala-galanya. Ia pun bertekad, kegagalan masuk ke jurusan IPA, tidak harus membuatnya kehilangan semangat untuk membangun diri.

Dorongan Sang Ibu
Terlebih sang ibu, Ny. Sutarti, terus mendorongnya untuk tidak patah semangat.
 "Kamu tidak gagal. Percayalah. Allah pasti memiliki rencana lain untuk dirimu. Jadi, tak bisa masuk ke jurusan IPA itu tak perlu disesali. Ayo, jangan patah semangat. Semangat. Semangat!" kata sang ibu.
Kata-kata sang ibu itu menguatkan langkah dan tekadnya untuk melupakan kegagalannya masuk ke jurusan IPA. Ia pun memantapkan langkahnya di jurusan IPS. Dan, setelah beberapa bulan duduk di kelas dua IPS, ia mulai tertarik dengan bidang hukum. Berbagai berita dan permasalahan di bidang hukum yang dimuat surat-surat kabar, telah menjadi bahan perhatiannya setiap hari. Tiada hari tanpa membaca berita-berita tentang persoalan hukum.
"Kata-kata Ibu saya itu telah mendorong semangat untuk melangkah ke depan dan melupakan kegagalan. Dan, saya percaya, seperti yang dikatakan Ibu, bahwa Allah pasti memiliki rencana lain tentang masa depan kehidupan saya. Jadi, saya harus terima semua itu dengan keikhlasan, walau jujur sebelumnya sempat menderita rasa kecewa yang dalam," kata Aprillia, suatu ketika di kantornya, depan JEC Yogyakarta.
Sejak di kelas dua SMA itulah, Aprillia kemudian merubah cita-cita masa depannya. Anak Desa Meneng ini tak lagi bercita-cita menjadi tentara. Tak lagi bercita-cita selulus SMA melanjutkan pendidikan ke Akabri. Tetapi ia telah merubah cita-citanya dengan kelak akan menjadi seorang praktisi hukum, seorang pengacara atau advokat. Cita-cita barunya itu ia tanamkan kuat-kuat di hati. Ia pun bertekad, selulus SMA akan melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum. Karena, dengan kuliah di Fakultas Hukum maka cita-citanya untuk menjadi seorang praktisi hukum itu nantinya bisa terwujud.
Cita-cita barunya untuk menjadi seorang praktisi hukum atau advokat itu sesungguhnya tidak menyimpang dari pelajaran kehidupan yang telah diperoleh dari sang ayah, Marrikan Martowiyono. Sejak kecil, Aprillia sudah dididik dan ditempa oleh sang ayah untuk senantiasa menghargai serta berpegang pada prinsip-prinsip kebenaran. Dan, profesi advokat merupakan profesi yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebenaran itu.
Selulus SMA di tahun 1983, Aprillia memantapkan langkahnya untuk kuliah dengan mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Langkahnya tidak sia-sia. Ia diterima menjadi mahasiswa Fakultas Hukum di universitas swasta tertua dan terkemuka di Yogyakarta tersebut.
Setelah resmi menjadi mahasiswa Fakultas Hukum, cita-citanya untuk menjadi praktisi hukum semakin membara. Di sela-sela kuliahnya, ia pun tak pernah berhenti memperhatikan, mengkaji, menyimak dan mempelajari bagaimana para pengacara atau advokat melakukan kerja profesinya. Dan, ia pun tak pernah berhenti membaca buku-buku atau tulisan-tulisan di media surat kabar yang berkaitan dengan kisah sukses pengacara-pengacara ternama, atau kisah-kisah hukum yang menarik serta menjadi perbincangan publik.

Memantapkan Langkah
Tahun 1989 Aprillia menyelesaikan kuliahnya. Dan, setelah menyandang gelar sebagai Sarjana Hukum, seakan tanpa membuang waktu lagi, ia pun bergegas mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang praktisi hukum. Dalam waktu relatif singkat, ia sudah bergelut di dunia kepengacaraan dengan bergabung di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) YAPKI Press Yogyakarta, dan di Kantor Advokat Eddy Saputra Sofyan, SH. Dan, status atau profesinya sebagai pengacara diperkuat dengan keluarnya Surat Keputusan dari Pengadilan Tinggi Yogyakarta di tahun 1992. Surat Keputusan yang mengawali kariernya di dunia kepengacaraan itu lengkapnya Surat Keputusan No. 132/PP/PTY/1992.
Berbekal SK dari Pengadilan Tinggi Yogyakarta itulah, Aprillia bertekad pula untuk semakin mengembangkan dan meningkatkan kerja profesinya secara mandiri. Ia tak ingin setengah hati dalam menggeluti dunia kepengacaraan. Ia benar-benar ingin terjun 'sedalam-dalamnya' di dunia penegakan dan bantuan hukum itu. Bahkan, sebelum SK tentang kepengacaraannya keluar, ia sudah terlebih dulu mengundurkan diri dari Kantor Advokat Eddy Saputra Sofyan SH, dan kemudian mendirikan kantor pengacara sendiri. Kantor pengacaranya yang pertama berlokasi di Jl. Menteri Soepeno No. 54, Yogyakarta. Di kantor pertamanya itu ia dibantu dua pengacara lainnya, dan beberapa karyawan.
"Ya, ibarat bermain air, saya tak ingin setengah-setengah. Saya benar-benar ingin basah di dalamnya. Karena itu saya tak ingin menunda waktu berlama-lama lagi. Saya ingin secepatnya punya kantor hukum sendiri. Begitulah, saya pun kemudian mundur dari kantornya Bang Eddy Saputra Sofyan. Dan, Bang Eddy pun mensupport ketika tahu saya akan mendirikan kantor sendiri. Hebat. Hebat. Kau, pasti bisa, kata Bang Eddy ketika itu," ujar Aprillia.
Demikianlah, dunia kepengacaraan atau profesi advokat telah menjadi pilihan hidupnya. Pilihan terhadap profesi hukum ini tidak lepas dari keharusan untuk menghargai atau menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebenaran sebagaimana telah ditanamkan sang ayah kepada dirinya sejak kecil. Dan, ia ingin membuktikan kepada sang ayah, bahwa ajaran-ajaran kehidupan yang diperolehnya ketika kecil itu benar-benar ingin dijalaninya.
"Pada dasarnya setiap orang pasti mencintai kebenaran. Akan tetapi tidak semua orang punya kesempatan untuk berbuat atau melakukan sesuatu secara nyata demi menegakkan kebenaran itu. Menurut saya, praktisi hukum atau advokat merupakan profesi yang memberikan peluang atau kesempatan besar bagi seseorang yang ingin berbuat nyata dan positif bagi tegaknya kebenaran. Atas dasar itulah, saya tertarik untuk terus menggeluti dunia kepengacaraan ini. Apalagi profesi advokat terasa begitu pas dengan jiwa saya yang menggandrungi kebebasan. Tapi ingat, kebebasan yang saya maksud adalah kebebasan yang bertanggungjawab dan tidak terlepas dari norma-norma hukum," urai Aprillia lagi.
Menurut Aprillia, profesi advokat sesungguhnya merupakan profesi yang terhormat. Karena, profesi ini memiliki komitmen yang sangat besar terhadap setiap langkah perjuangan menegakkan kebenaran. Namun diakui atau tidak, sesalnya, masih banyak yang tidak memahami dengan sepenuh hati prinsip-prinsip dasar dari profesi yanhg digelutinya. Bahkan ada yang secara sengaja mengabaikan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleg profesi advokat itu.
Apa pun alasannya, tegas Aprillia, setiap advokat atau pengacara maupun praktisi-praktisi hukum lainnya tidak boleh berpaling dari prinsip-prinsip menegakkan kebenaran dan keadilan. Maka akan tercelalah apabila ada advokat atau pekerja-pekerja hukum yang dalam melaksanakan tugasnya telah berpaling dari  prinsip kebenaran demi mencapai tujuan-tujuan tertentu.
"Ironisnya perbuatan tercela semacam itu masih sering terjumpai. Misalnya, ada oknum-oknum yang demi membela kepentingan kliennya tidak segan-segan telah melakukan pelecehan terhadap hukum dan nilai-nilai kebenaran. Atau oknum-oknum yang dikarenakan demi mencapai tujuan tertentu, dengan begitu mudahnya telah mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran. Bila keadaan semacam itu masih saja terjadi, sampai kapan pun langkah-langkah pembangunan dan penegakan hukum akan senantiasa menghadapi kendala-kendala," ujarnya. (Bersambung)
                                                                                   Sutirman Eka Ardhana

Sabtu, 28 Mei 2016

Matinya Peradaban Media Pers



       
        Matinya Peradaban Media Pers

            Sutirman Eka Ardhana

            DALAM jagad idealnya, media pers sejak dulu hingga kini memiliki fungsi yang sangat luar biasa hebatnya. Fungsi ideal media pers itu meliputi sebagai penyampai informasi, pendidik masyarakat, penghibur masyarakat dan alat kontrol sosial. Dan, fungsi ideal media pers tersebut,  sekaligus merupakan bentuk peradaban pers yang dimiliki sejak awal keberadaannya.
            Bahkan, bagi Indonesia pada pra dan awal-awal pasca kemerdekaan, pers memiliki peradaban yang mulia. Pers di masa itu tak hanya sebatas penyampai informasi, mendidik, menghibur masyarakat, dan alat kontrol sosial, tapi juga telah menjadi alat perjuangan. Pers menjadi pengobar semangat rakyat untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, sekaligus alat pemersatu bangsa.
            Tak terkecuali di era Orde Baru, dengan warna dan dinamika politik yang ada ketika itu, pers sempat mengemban tugas mulia sebagai alat pembangunan. Dengan sistim Pers Pancasila yang dikembangkan masa itu, pers melalui kerja jurnalistiknya memiliki tugas dan tanggungjawab mensukseskan pembangunan di semua bidang. Karena itulah, di masa Orde Baru, pers Indonesia mendapat sebutan sebagai Pers Pembangunan.
            Terlepas dari kondisi politik 'penuh tekanan' yang ada ketika itu, setidaknya di era Orde Baru media pers telah berupaya 'sekuat tenaga' memposisikan diri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gerak dan dinamika pembangunan bangsa. Dengan kata lain, pers di masa 'kebebasan pers yang semu' itu tetap berupaya sebisa mungkin turut serta dalam membangun dan memajukan bangsa.

            Alat Bisnis
            Tapi itu dulu. Kini semuanya sudah berubah dan bergeser. Peradaban pers dengan fungsi-fungsi ideal dan mulianya itu kini sudah 'tak lagi berdaya'. Bahkan bukan sesuatu yang berlebihan bila menyebutkan peradaban pers itu sudah tidak ada lagi. Peradaban itu sudah mati. Pers kini terjerumus ke dalam kubangan bisnis.
            Perubahan dan pergeseran itu terasa mencolok pasca reformasi. Di tahun-tahun awal reformasi, dalam melakukan kerja jurnalistik atau pengelolaan produk informasinya, media pers masih berusaha mengikatkan diri dengan dua pertimbangan, yakni pertimbangan idealisme dan pertimbangan komersial.
            Pertimbangan idealisme dan pertimbangan komersial itu tidak lepas dari ketentuan yang ada di dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pasal 3 ayat (1) UU tersebut menyatakan: Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Sedang ayat (2) menyebutkan: Disamping  fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
            Pertimbangan idealisme merupakan pertimbangan dasar yang menjadi prinsip utama media pers dalam menyampaikan informasi, mendidik, menghibur dan alat kontrol sosial, sebagaimana tertera di dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 itu. Sedangkan pertimbangan komersial, sangatlah jelas merupakan pertimbangan didasarkan pada perhitungan secara ekonomi atau nilai untung rugi untuk suatu kepentingan, target serta tujuan yang ingin dicapai, seperti disebut dalam pasal 3 ayat (2) UU tersebut.
            Namun perkembangan yang terjadi kemudian, pertimbangan komersial telah menggeser pertimbangan idealisme. Bahkan pertimbangan komersial telah mendominasi semua kebijakan dalam pengelolaan dan kerja jurnalistik media pers. Pertimbangan idealisme kehilangan daya dan perannya. Dominannya pertimbangan komersial memang tak bisa dihindari lagi, karena media pers di negeri ini telah berkembang pesat sebagai usaha atau industri bisnis. Akibatnya kemudian media pers pun saling bersaing di ranah industri atau bisnis.
            Karena bersaing di ranah bisnis, maka media pers pun saling bersaing merebut pasar. Pasar menjadi target utama. Keberhasilan merebut pasar, merupakan kemenangan dalam bisnis. Atas dasar itu, maka pengelolaan media pers selalu diarahkan untuk meraih kemenangan dalam 'pertarungan' merebut pasar. Dan, keberhasilan bisnis media pers sangat tergantung pada seberapa besar kemampuannya mempengaruhi dan menguasai pasar.
            Pasar menjadi pilihan utama. Demi pasar, media pers pun tidak sungkan-sungkan untuk mengabaikan informasi berkualitas, dan memilih informasi yang sesuai dengan keinginan pasar. Media pers pun kini menjadi alat bisnis dalam merebut dan menguasai pasar.

            Alat Politik
            Pertimbangan komersial yang mendominasi kerja pers itu terbagi dalam dua aspek, yakni aspek ekonomi dan aspek politik. Media pers yang jeli, yang tidak ingin tenggelam dan kalah dalam pertarungan memperebutkan pasar, tentu tidak hanya terpaku pada pertimbangan komersial di aspek ekonomi saja. Pertimbangan komersial pada aspek politik, pasti menjadi pilihan juga.
            Jadi, persoalan untung rugi itu tidak hanya pada ranah ekonomi, tetapi juga di ranah politik. Oleh karenanya media pers pun tidak hanya saling berlomba untuk meraih keuntungan di ranah bisnis atau aspek ekonomi, tetapi berupaya sekuat daya meraih keuntungan di aspek politik. Berbagai upaya dan cara pun dilakukan media pers, agar bisa meraih keuntungan di aspek politik tersebut.
            Wajah dan warna media pers di negeri ini pun menjadi menarik untuk disimak serta dicermati. Dalam beberapa tahun terakhir ini pertimbangan komersial dalam aspek politik terlihat telah mendominasi tatanan kerja media pers. Cobalah lihat, sejumlah media pers atau media massa di negeri ini telah dipimpin atau dimiliki oleh tokoh-tokoh politik.
            Pada momen-momen demokrasi seperti Pemilu misalnya, terlihat jelas bagaimana 'sepak terjang' media-media yang dimiliki atau dikendalikan para elit politik itu. Media pers jadi hiruk-pikuk bicara soal politik dan kekuasaan. Ke mana arah informasi yang disampaikannya media pers, jelas mengarah kepada kepentingan politik yang ingin dicapainya. Kepentingan ideal publik atau masyarakat pun dikesampingkan. Publik hanya dijejali informasi yang memiliki nilai komersial secara politik.
            Pertimbangan komersial pada aspek politik memang cukup menggiurkan bagi media pers. Buktinya, tak sedikit pula media pers (sekali pun tak dimiliki oleh elit politik), baik secara terbuka atau 'sembunyi-sembunyi', langsung atau tidak langsung, menyatakan keberpihakannya pada kelompok politik tertentu dan kekuasaan.
            Pilihan keberpihakan itu tidak lepas dari pertimbangan komersial. Bagi kelompok politik, baik yang menguasai pemerintahan maupun di luar pemerintahan, keterlibatan media pers di ranah politik jelas sangat membawa keuntungan besar. Karena media pers tidak hanya berperan sebagai penyampai informasi, tetapi juga memiliki peran besar dalam membentuk opini publik. Pembentukan opini publik itu dilakukan melalui sajian informasi, gagasan, pendapat atau opini yang disampaikan kepada publik (masyarakat). Jika kelompok politik berhasil mengendalikan media pers, maka kemampuan pers membentuk opini publik dan mempengaruhi perilaku publik itulah yang dimanfaatkan.
            Bila media pers sudah memilih untuk meraih keuntungan di aspek atau ranah politik, maka sudah bisa ditebak jurnalisme apa yang menjadi pilihan media pers itu. Pilihannya tentu 'jurnalisme corong'. Corong kata lain dari pengeras suara. Jadi, jurnalisme corong adalah jurnalisme yang mengabdikan dirinya untuk menjadi 'pengeras suara' suatu kelompok tertentu, dalam hal ini kelompok politik.
            Di dalam istilah jurnalistik, jurnalisme corong bisa juga diartikan jurnalisme partisan, yakni jurnalisme yang memihak kepada sesuatu atau seseorang secara berat sebelah, khususnya dalam bidang politik (Kurniawan Junaedhie, 1991).
            Ciri khas dari media pers yang menggunakan jurnalisme corong itu adalah menyuarakan kepentingan-kepentingan politik yang diikutinya. Kepentingan masyarakat luas yang seharusnya diutamakan telah dikesampingkan, karena kepentingan politik menjadi terpenting dari segalanya. Oleh sebab itu, kepentingan-kepentingan kelompok politik yang diikuti lebih dikedepankan, terutama dalam menyampaikan berbagai informasi serta pesan-pesan kelompok politik ke masyarakat, dibanding menyampaikan kepentingan masyarakat itu sendiri.
            Karena kepentingan politik demi meraih keuntungan komersial di aspek politik telah ditempatkan di atas segala-galanya, maka kecenderungan pandangan bahwa kelompok politik yang diikuti 'paling terbaik' dari kelompok politik lainnya telah menjadi pegangan atau pilihan media pers 'corong' tersebut. Kecenderungan pandangan semacam ini menyebabkan media pers 'corong' politik tanpa segan-segan menurunkan sajian atau pemberitaan yang menyerang kepentingan-kepentingan maupun kebijakan-kebijakan kelompok lainnya. Jurnalisme 'saling serang' pun kemudian muncul.

            Matinya Nurani Wartawan
            Kondisi media pers yang seperti itu berdampak juga pada nurani wartawan atau jurnalis. Matinya peradaban pers, berakibat pula pada matinya nurani wartawan. Wartawan yang awalnya mengusung prinsip-prinsip idealisme profesi dan idealisme pers, menjadi bimbang, kelimpungan, dan seperti kehilangan kemampuan berpikir secara jernih.
            Banyak wartawan atau jurnalis yang kemudian merasa seperti 'terjebak' dan terperangkap dalam kerja profesinya. Prinsip-prinsip ideal atau idealisme profesi yang dimiliki dan dijunjung tinggi itu ternyata tak mampu berbuat apa-apa untuk melawan hegemoni kepentingan media dalam mencapai target bisnis dan politiknya. Kepentingan bisnis dan politik media telah membuat idealisme profesi yang dimiliki wartawan menjadi tak berdaya, kehilangan kekuatannya.
            Wartawan akhirnya tak punya pilihan. Akhirnya menyerah di bawah tekanan kepentingan bisnis dan politik media. Tak ada pilihan lain, kecuali memendam idealisme wartawan sedalam-dalamnya. Atas nama kehidupan, atas nama kerja, tak ada pilihan lain kecuali mencampakkan idealisme, dan melakukan kerja demi tercapainya kepentingan bisnis dan kepentingan politik media. Apa boleh buat, walau dengan setengah hati, dengan jiwa dan perasaan tertekan, kerja profesi sebagai wartawan itu tetap dijalankan.
            Ya, diakui atau tidak, dewasa ini banyak wartawan yang nuraninya telah tiada. Banyak wartawan yang terpaksa membunuh hati nuraninya sebagai wartawan. Nurani wartawan telah terlindas oleh kepentingan bisnis dan politik media. Nurani wartawan telah mati dan terkubur.**

           
            * Sutirman Eka Ardhana: Kini redaktur majalah Sabana, juga dipercaya mengajar di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga.

KISI-KISI UAS 2016 MANAJEMEN MEDIA MASSA



          KISI-KISI UAS 2016
          MANAJEMEN MEDIA MASSA


1.      Coba simak pertemuan ke-8 yang berbicara tentang Manajemen Media Penyiaran (1). Dalam pertemuan ini antaralain disebutkan bahwa anak-anak Indonesia yang lahir sekitar tahun 70-an akhir atau 80-an awal hingga kini disebut sebagai ‘generasi TV’. Generasi TV adalah generasi yang perilaku, sikap, gaya hidup dan presepsi-presepsi hidupnya telah dibentuk oleh televisi. Kondisi masyarakat yang seperti inilah yang menjadi acuan para pengelola media televisi dalam memenej media televisi mereka.
2.      Masih di pertemuan ke-8, simak uraian yang menyatakan bahwa aktivitas manajemen dalam media penyiaran tidak bisa lepas dari apa yang ingin dilakukan dan didapatkan dari publik (masyarakat). Aktivitas manajemen media penyiaran terutama televisi juga tidak bisa lepas dari fungsi-fungsi dan perannya dalam kehidupan masyarakat. Salah satu peran penting (besar) media televisi adalah mampu mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakat. Media TV diyakini mempunyai kemampuan ‘membujuk’ atau ‘mempengaruhi’ masyarakat untuk menyukai atau tidak menyukai sesuatu. Kemampuan membujuk dan mempengaruhi itulah yang menjadi sumber inspirasi bagi pengelola media TV dalam memenej dirinya atau memenej program-program tayangannya.
3.      Coba simak lagi pertemuan ke-9 tentang Manajemen Media Penyiaran (2). Dalam pertemuan ini antaralain dijelaskan tentang struktur organisasi pada media TV. Di dalam struktur organisasi media televisi, jabatan tertinggi adalah Manajer Stasiun (MS). Dalam melaksanakan kerjanya MS dibantu beberapa manajer bidang. Setidak di banyak media TV terdapat empat manajer bidang, yakni Manajer Program, Manajer Teknik, Manajer Miscellaneous dan Manajer Bisnis dan Pemasaran. Masing-masing mempunyai wilayah tanggungjawab yang berbeda tapi saling mendukung. Manajer Program misalnya akan bertanggungjawab pada sub-sub bidang seperti pemberitaan (jurnalistik penyiaran), animasi dan image, produksi, directing, scene dan seni, naskah/writing, editing dan manajemen produksi. Dan, masing-masing sub bidang itu dipimpin oleh coordinator (direktur). Sedang Manajer Bisnis dan Pemasaran bertanggungjawab terhadap sub-sub bidang administrasi, pemasaran (marketing), dan keuangan (accounting).
4.      Simak juga hal tentang produser. Dalam pertemuan ini disinggung juga tentang tugas seorang produser yang terdapat di dalam tatanan organisasi kerja di media televisi terutama di Bidang Program. Disebutkan, produser merupakan jabatan yang bertanggungjawab dalam pengelolaan manajemen produksi penyiaran. Tugas utamanya memproduksi naskah program yang ditulis oleh penulis naskah.     
5.      Simak ulang pertemuan ke-11 yang berbicara tentang Manajemen Radio. Dalam pertemuan ini antaralain dijelaskan, bahwa ada yang berbeda dalam manajemen stasiun radio di era Orde Baru dengan era sekarang (pasca reformasi). Di era Orde Baru, radio swasta (radio siaran swasta nasional) tidak diperbolehkan memproduksi siaran berita sendiri. Radio swasta diharuskan merelay siaran berita dari RRI (Radio Republik Indonesia), dalam sehari-semalam setidaknya sekitar enam kali. Setelah era Orde Baru berakhir, stasiun radio swasta mendapatkan kebebasan untuk memproduksi siaran berita sendiri. Dan, tidak lagi ada keharusan merelay siaran berita RRI. Kebebasan memproduksi siaran berita sendiri membuat manajemen radio swasta tidak lagi hanya sebatas memenej atau menangani produksi-produksi siaran hiburan (musiik, dll) dan iklan, tetapi juga menangani produksi siaran berita. Karena itulah sekarang di banyak radio swasta terdapat divisi atau bagian pemberitaan (news).
6.      Dalam pertemuan ke-11 itu juga dijelaskan, dengan adanya kebebasan memproduksi siaran berita sendiri itu maka sumber daya manusia (SDM) di radio swasta pun bertambah dengan kehadiran wartawan atau jurnalis. Maka di struktur organisasi kerjanya terdapatlah jabatan (posisi) redaktur dan reporter (wartawan radio). Seperti halnya tugas watrtawan pada umumnya, wartawan radio bertugas mencari, meliput dan membuat berita untuk disiarkan.
7.      Simak lagi pertemuan ke-12 yang membahas tentang Manajemen Media Massa dalam Aspek Ekonomi. Dalam pertemuan ini antaralain dijelaskan bahwa pengelolaan media massa dewasa ini tidak bisa lepas dari dua pertimbangan (alasan) utama, yakni pertimbangan idealisme dan pertimbangan komersial. Pertimbangan idealisme adalah pertimbangan dasar yang menjadi prinsip kerja media massa dalam melaksanakan fungsi-fungsinya yakni menyampaikan informasi, mendidik, menghibur dan alat kontrol social. Sedang pertimbangan komersial adalah pertimbangan yang didasarkan pada nilai untung-rugi untuk suatu kepentingan atau target dan tujuan yang ingin dicapai. Dan, pertimbangan komersial ini dapat dibagi lagi dalam aspek, yakni aspek ekonomi dan aspek politik.
8.      Dalam pertemuan ke-12 ini dijelaskan juga betapa aspek ekonomi memiliki peran penting dalam proses pengelolaan media-massa. Produk-produk media massa, baik itu media pers cetak maupun media penyiaran, semua diproduksi dengan senantiasa memperhatikan aspek ekonomi tersebut. Persoalan untung-rugi menjadi sangat penting untuk dipertimbangkan. Karena keberhasilan media massa dewasa ini diukur dengan keberhasilan pada aspek ekonomi tersebut.
9.      Jangan lupa simak pula pertemuan ke-13 yang membahas tentang Manajemen Media Massa dalam Aspek Politik. Dalam pertemuan ini dijelaskan bahwa selain aspek ekonomi (bisnis), aspek politik juga sangat mempengaruhi model manajemen media massa. Dijelaskan, aspek politik yang menjadi pertimbangan dalam menentukan arah atau format pengelolaan media massa itu ditentukan setidaknya oleh tiga alasan/pertimbangan. Yakni, (1). Alasan fungsi dan peran politik media massa; (2). Alasan kepentingan politik yang ingin dicapai oleh media massa; (3). Alasan peraturan hukum dan politik hokum yang berlaku.
10.  Masih di pertemuan ke-13, dijelaskan bahwa karena alasan kepentingan politik yang ingin dicapai, tidak jarang media massa mengabaikan sejumlah hal yang seharusnya menjadi prinsip kerja dalam penyampaian informasinya. Misalnya, media pers cetak mengabaikan etika-etika jurnalistik dan prinsip-prinsip fairness dalam jurnalistik. Demikian pula media penyiaran mengabaikan etika-etika penyiaran, serta prinsip-prinsip keseimbangan dan keadilan dalam penyampaian informasi serta produksi-produksi tayangan lainnya. +++