Minggu, 03 Januari 2016

"Tak Kan Melayu Hilang di Jawa, Tak Kan Jawa Hilang di Melayu"



Peribahasa Jawa dan Melayu Riau:
"Tak Kan Melayu Hilang di Jawa,
Tak Kan Jawa Hilang di Melayu"
Sutirman Eka Ardhana

I
            "TAK kan Melayu hilang di dunia". Rangkaian kata-kata atau ungkapan ini sangat dikenal dan populer di seantero dunia Melayu, baik itu di Indonesia maupun Malaysia, Brunei, Thailand Selatan (Patani) dan lain-lainnya. Bagi masyarakat Melayu, serangkai kata-kata tersebut sangat penuh arti. Tak sekadar kata-kata bijak, kata-kata indah, kata-kata harapan, tapi juga kata-kata atau ungkapan yang menunjukkan semangat perjuangan masyarakat Melayu dalam memperjuangkan, menjaga, mempertahankan dan menunjukkan eksistensi jati dirinya.
            Dalam konteks tulisan ini, saya ingin menampilkan kata-kata penuh arti itu ke khasanah wilayah yang terbatas dan lokal, yakni: Tak kan Melayu hilang di Jawa, dan tak kan Jawa hilang di Melayu. Rangkaian kata-kata atau ungkapan ini rasanya bukanlah sesuatu yang berlebihan. Karena kalau kita ingin melihat kembali riwayat perjalanan budaya kedua kelompok budaya ini, budaya Jawa dan budaya Melayu, maka jelaslah terlihat bahwa pada awalnya kedua budaya tersebut berada dalam satu kesatuan budaya (etnis).
            Di dalam catatan sejarah (berdasar temuan di sejumlah prasasti yang ada), pada abad ke-7 dan ke-8, Sumatera (untuk mewakili identitas Melayu) dan Jawa diperintah oleh Wangsa Syailendra dan Wangsa Sanjaya (dua wangsa bersaudara). Sumatera (kawasan Melayu) diwakili oleh Kerajaan Sriwijaya, sedangkan Jawa diwakili Kerajaan Mataram Kuno. Kedua kerajaan berdiri sendiri-sendiri, tetapi berada dalam kesatuan budaya yang sama.

            Pada menjelang akhir abad ke-8, bentuk "kesatuan" di dalam Wangsa Syailendra mulai digoyang oleh kepentingan 'politik dan kekuasaan'. Kondisi itu akhirnya membuat Wangsa Syailendra meninggalkan Kerajaan Mataram Kuno, dan memfokuskan perhatian kekuasaannya hanya di Sumatera (Sriwijaya). Sedangkan di Jawa (Mataram Kuno), Sanjaya yang juga berdarah Wangsa Syailendra meneruskan kepemimpinan Wangsa Syailendra dengan membangun wangsa sendiri yakni Wangsa Sanjaya.
            Bisa diduga, perpecahan Wangsa Syailendra di akhir abad ke-8 itu telah memunculkan dua kekuatan 'politik', yang kemudian berkembang menjadi kekuatan 'budaya'. Masing-masing kelompok berusaha membangun identitas dirinya. Identitas diri itu diperlukan untuk membedakan satu sama lain. Dan, bisa diperkirakan juga, mulai saat itulah muncul identitas budaya yang agak berbeda antara Sumatera (Sriwijaya) dengan Jawa (Mataram Kuno). Akan tetapi, meskipun berbeda, tak bisa dipungkiri di sana-sini masih terdapat banyak persamaan, karena keduanya memang berasal dari satu induk budaya yang sama.
            Identitas budaya yang dibangun Wangsa Syailendra di Sumatera (Sriwijaya) itulah  yang kemudian (dengan perkembangan dan dinamikanya) berkembang menjadi budaya  yang kini disebut budaya Melayu. Dan, masyarakatnya kemudian dikenal juga dengan sebutan masyarakat Melayu. Sementara di Jawa (Mataram Kuno), Wangsa Sanjaya membangun identitas budaya yang hingga kini dikenal dengan nama budaya Jawa. Masyarakatnya pun dikenal dengan sebutan masyarakat Jawa.
            Sejak masa itu nama Jawa dan Melayu, termasuk bentuk budayanya, seakan tak bisa terpisahkan. Ini bisa terlihat bagaimana kerajaan-kerajaan atau daerah-daerah yang ditundukkan Sriwijaya selalu menyebut tentara atau prajurit Sriwijaya dengan sebutan tentara Jawaka, atau tentara dari Jawa.
            Menurut Prof. DR. Slamet Mulyana, kepopuleran nama Jawa (Jawaka), disebabkan kekuasaan Rajakula Syailendra semenjak abad ke-8 di Sumatera dan Semenanjung (Semenanjung Melayu). Karena Rajakula  Syailendra berasal dari Jawa Tengah, sudah pasti bahwa Raja Syailendra di Sriwijaya seperti Balaputra disebut Maharaja yang berasal dari Jawa. (Sriwijaya, LKIS, 2011).
            Ternyata pula, sejak tahun 1200-an, sebutan Jawa itu diberikan kepada Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Marcus Paulus dari Venesia dalam bukunya "Lukisan Tentang Pemandangan Negeri-negeri Timur" (kisah perjalanannya pada tahun 1296), menyebut Pulau Sumatera dengan nama "Jawa Kecil", dan Pulau Jawa dengan "Jawa Besar". (Shaleh Saidi, Melayu Klasik Khasanah Sastra Sejarah Indonesia Lama, Larasan Sejarah, 2003).
            Pada abad ke-16, orang-orang Portugis masih meneruskan sebutan dari Marcus Paulus itu dengan menyebut Pulau Sumatera sebagai Jawa Kecil dan Pulau Jawa sebagai Jawa Besar. Bahkan pada masa-masa itu , Bahasa Melayu awalnya lebih dikenal dengan sebutan Bahasa Jawi (Jawa). Menurut para ahli, nama pertama adalah Bahasa Jawi. Setelah itu baru dikenal sebutan nama kedua, Bahasa Melayu.
            Kita tidak sedang membicarakan perihal sejarah. Tetapi, mengetengahkan sepenggal sejarah kemunculan dan perjalanan pertautan budaya Jawa dan budaya Melayu ini sangatlah penting untuk mengetahui lebih jauh tentang latar belakang adanya persamaan-persamaan di antara kedua budaya tersebut. Termasuk persamaan-persamaan tentang arti dan makna peribahasa sebagai bagian dari ragam seni dan budaya yang ada di dalam budaya Jawa dan budaya Melayu. Dan, untuk budaya Melayu, dalam pembicaraan kali ini khusus terfokus pada budaya Melayu Riau.
II
            Apa yang dimaksud dengan peribahasa?
            Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu-Zain, 1994) disebutkan, peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang menyatakan suatu maksud, keadaan seseorang, atau hal yang mengungkapkan kelakuan, perbuatan atau hal mengenai diri seseorang. Peribahasa mencakup ungkapan, pepatah, perumpamaan, ibarat, dan tamsil. Dan, di dalam suatu peribahasa itu terdapat unsur sistem budaya masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, norma dan suatu aturan dalam masyarakat. (Wikubuku).
            Menurut Sabaruddin Ahmad, peribahasa ialah kiasan yang dilahirkan dengan kalimat-kalimat yang pendek, menjadi buah bibir orang yang banyak. Dan, pepatah yang merupakan bagian dari peribahasa itu ialah kiasan tepat dan langsung. Kalimat-kalimatnya menyatakan yang biasa saja, tapi tak dapat disangkal lagi. (Sabaruddin Ahmad, Seluk Beluk Bahasa Indonesia, UP dan Percetakan Saiful, Medan, 1953).
            Dari dua pengertian tentang peribahasa tersebut, hal yang menarik untuk diketengahkan atau dikatakan bahwa di dalam peribahasa itu terdapat unsur sistem budaya masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, norma dan suatu aturan dalam masyarakat. Dalam hal ini sistem budaya masyarakat yang ada pada budaya Jawa dan budaya Melayu Riau.
            Karena adanya latar belakang kesamaan budaya antara budaya Jawa dengan budaya Melayu, maka banyak peribahasa, pepatah-petitih, atau ungkapan-ungkapan Jawa yang memiliki kesamaan, arti, tujuan dan maknanya dengan peribahasa, pepatah-petitih atau ungkapan Melayu Riau.

III
            Marilah kita lihat dan cermati peribahasa-peribahasa Jawa dan Melayu Riau berikut ini.
·               Aja dumeh. (Jawa)
Artinya: jangan sok atau mentang-mentang. Terjemahan bebasnya jangan sombong,  jangan suka memamerkan apa yang dimiliki untuk menekan, meremehkan, menghina atau merendahkan martabat orang lain. Misalnya: aja dumeh sugih (jangan mentang-mentang kaya), dan menggunakan kekayaannya itu untuk berbuat semena-mena, sebab harta kekayaan itu tidak lestari dan sewaktu-waktu dapat hilang.

            Peribahasa yang maksud dan artinya sama terdapat dalam peribahasa Melayu Riau di bawah ini.
·         Di atas gunung ade gunung, di atas langit ade langit. (Melayu Riau).
                   Artinya: di atas gunung ada gunung, di atas langit ada langit. Peribahasa ini jelas memiliki kesamaan arti dan tujuan agar tidak sok, tidak mentang-mentang dan tidak sombong. Karena kekayaan, kehebatan dan kelebihan yang dimiliki seseorang bukanlah segala-galanya. Karena bisa jadi ada yang lebih kaya, lebih hebat, dan lebih sempurna.  

·          Aja turu awan mundhak dadi kancane setan. (Jawa)
Artinya: jangan tidur siang nanti jadi temannya setan. Peribahasa ini biasa digunakan untuk menasihati mereka yang malas, terutama anak-anak muda yang enggan bekerja. Prinsipnya, peribahasa ini berisi nasihat agar siang hari digunakan bekerja demi meningkatkan kesejahteraan dalam hidup, bukan sebaliknya untuk bermalas-malasan. 

            Peribahasa yang maksud dan tujuannya sama, walau penekanannya agak berbeda, juga terdapat dalam peribahasa Melayu Riau di bawah ini, yang sama-sama bicara tentang perlunya bekerja.
·         Bejalan sedai pagi, mencai sedai mudo. (Melayu Riau)
Artinya: berjalan sedari atau selagi pagi, mencari sedari muda. Peribahasa ini juga berisi nasihat tentang perlunya bekerja dan berusaha sedari usia masih muda, ketika tenaga masih prima dan kuat. Jadi waktu muda hendaknya janganlah digunakan untuk bermalas-malasan, sebaliknya digunakan untuk bekerja atau berkarya. Kerja keras ketika muda bisa membawa seseorang pada kehidupan yang sukses di hari tuanya.

·          Ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining raga saka busana. (Jawa)
Artinya: nilai pribadi seseorang akan dinilai dari ucapan (kata-katanya), sedangkan nilai penampilan dilihat dari pakaian yang dikenakan. Peribahasa ini juga berisi nasihat tentang bagaimana kita harus berbicara, berperilaku dan bersikap. Karena cara berbicara dan berpenampilan atau berpakaian, bisa dijadikan alasan penilaian tentang seberapa tinggi kualitas seseorang. Jadi peribahasa ini menekankan pentingnya kita untuk berbicara, bersikap dan berpenampilan baik kepada siapa pun, kalau ingin dihormati atau disegan.

            Peribahasa yang arti, maksud dan tujuannya hampir sama atau senada juga ada dalam peribahasa Melayu Riau berikut ini. Peribahasa yang sama menekankan atau mengingatkan tentang pentingnya berbicara, berperilaku dan bersikap secara baik.
·          Betukang ade kiatnye, becakap ade adatnye. (Melayu Riau)
Artinya: bertukang ada caranya, bercakap ada adatnya. Secara luas peribahasa ini dapat diartikan bahwa upaya untuk meraih keberhasilan, keberuntungan dan kebaikan dalam kehidupan itu ada tata caranya. Misalnya, bila ingin disukai, dihormati, atau disegani banyak orang maka haruslah berperilaku, bersikap dan berbicara dengan baik dan benar. Berperilaku dan bersikap ramah, santun, dan berbicara lembut, tentu membuat banyak orang akan menanamkan kesan simpati, suka, hormat dan semacamnya.   

·         Berbudi bawa leksana. (Jawa)
      Artinya: berwatak ucapan (perkataan) dan perbuatannya sama. Peribahasa ini memiliki arti tentang perlunya bersikap konsisten antara ucapan dan perbuatan, tidak munafik, siap bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan, dan tidak ingkar janji. Hal tersebut merupakan sifat kepemimpinan yang baik di Jawa, atau sifat kepemimpinan yang harus dimiliki oleh para pemimpin atau calon pemimpin.

            Perihal tentang bagaimana seharusnya sifat kepemimpinan itu juga terdapat di dalam peribahasa Melayu Riau, seperti berikut ini.
·   Rajo beso asal beasal, rajo sakti bedaah puteh. (Melayu Riau)
      Artinya: raja besar asal-berasal, raja sakti berdarah putih. Peribahasa ini menekankan pada keberhasilan seorang raja atau pemimpin sangat tergantung dari asal usulnya. Bila raja atau pemimpin itu berasal dari keturunan raja atau seseorang yang memang memiliki sifat kepemimpinan yang baiki, maka pastilah ia juga akan menjadi seorang raja atau pemimpin yang baik, dan bisa memimpin. Sakti diartikan sebagai kehebatan atau kemampuan dalam memimpin, dan bisa mensejahterakan rakyat. Berdarah putih, diartikan sang raja atau pemimpin itu memang berjiwa bersih, tak akan mau korupsi atau mengkhianati tugas dan tanggungjawabnya sebagai raja atau pemimpin.

·          Desa mawa cara, negara mawa tata. (Jawa)
      Artinya: desa mempunyai adat sendiri, negara mempunyai hukum sendiri. Peribahasa ini merupakan salah satu pandangan kalangan tradisional di Jawa yang menghargai adanya pluralitas. Di masing-masing daerah (lingkungan) mempunyai adat istiadat atau kebiasaannya sendiri-sendiri. Demikian pula negara memiliki tata aturan hukumnya sendiri dalam menata tatanan kehidupan masyarakatnya. Dan, tata aturan hukum itu selalu bersumber pada adat-istiadat serta nilai-nilai moral yang ada di tengah-tengah masyarakatnya.

            Di dalam peribahasa Melayu Riau juga terdapat peribahasa yang arti, maksud dan tujuan memiliki pengertian yang sama, walau fokus penekanannya agak berbeda. Peribahasa Melayu Riau berikut ini juga menyatakan hal yang serupa atau senada.
·          Asing galang telotak, asing biduk dielo. (Melayu Riau)
Artinya: lain galang terletak, lain biduk ditarik. Peribahasa ini mengingatkan tentang pentingnya berpandai-pandai dalam menyesuaikan atau menempatkan diri ketika berada di tempat lain. Karena di tempat lain itu, bisa jadi adat-istiadat dan budayanya berbeda. Artinya, seseorang harus bisa menyesuaikan diri tempat atau lingkungannya yang baru. Baik lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan kerja. Karena sangat mungkin di lingkungannya yang baru memiliki adat istiadat yang berbeda dengan tempat tinggal sebelumnya. Demikian pula bila berada di lingkungan kerja yang baru, bukan tidak mungkin di tempat kerja baru itu memiliki tata aturan yang berbeda dengan tempat kerjanya dulu.
·          Gemi nastiti ngati-ati. (Jawa)
Artinya: hemat teliti dan berhati-hati. Peribahasa ini merupakan nasihat tentang bagaimana setiap orang mengelola kehidupannya dengan baik. Misalnya, hidup dengan hemat, teliti dan hati-hati, serta waspada dalam setiap tindakan. Disamping cermat dan sigap dalam menghadapi berbagai persoalan atau tantangan kehidupan.

            Peribahasa yang berbicara tentang pentingnya sikap kehati-hatian atau mawas diri dalam melakukan sesuatu juga terdapat di dalam peribahasa Melayu Riau. Walau berbeda fokus penekanan masalahnya, tetapi peribahasa Melayu Riau berikut ini juga menyatakan hal yang serupa atau senada, yakni tentang perlunya kecermatan, ketelitian dan kerja keras dalam meraih sesuatu tujuan mulia.
·         Dapat lomak dengan pait, kombang negoi dengan popou. (Melayu Riau)
                  Artinya: datangnya nikmat dari kepahitan, berkembangnya negeri dari kerja keras. Peribahasa ini mengingatkan tentang pentingnya sikap ketelitian, kehati-hatian dan sikap kerja keras untuk mencapai suatu tujuan yang mulia. Tujuan atau cita-cita mulia itu bisa dicapai bila bekerja dengan tiliti, cermat, hati-hati dan sungguh-sungguh. Hidup akan sukses bila dilakukann dengan sungguh-sunggguh, kerja keras, cermat, teliti, hati-hati dan penuh kewaspadaan.

IV
            Beberapa peribahasa Jawa dan peribahasa Melayu Riau ini, setidaknya bisa mewakili gambaran atau cerminan banyaknya persamaan arti, maksud, tujuan dan makna antara peribahasa Jawa dengan peribahasa Melayu (Melayu Riau). Dan, setidaknya semakin memperkuat ungkapan "Tak kan Melayu hilang di Jawa, dan tak kan hilang Jawa di Melayu". ***

            * Sutirman Eka Ardhana: lahir di Bengkalis, Riau, 27 September 1952, pecinta sastra, redaktur Majalah Sastra Sabana dan mengajar di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

** Tulisan ini terhimpun di dalam buku "SRAWUNG KAWRUH".

SASTRA (PUISI) TANPA "KELAS"



                              SASTRA (PUISI) TANPA "KELAS"
                                                    Sutirman Eka Ardhana



                                          Saya ketika menyampaikan refleksi akhir tahun 2015
I
            CHAIRIL ANWAR, penyair yang dibanggakan hingga hari ini itu, semasa jayanya dulu sempat melontarkan kata-kata: "Yang bukan penyair, tidak ambil bagian." Kata-kata ini dulu memiliki kekuatan yang terasa dahsyat. Terasa begitu hebat. Begitu kuat. Begitu membius. Begitu mensugesti.
            Kata-kata Chairil Anwar ini telah mengesankan dunia kepenyairan merupakan suatu kawasan ekslusif, kawasan tersteril yang tidak semua orang begitu saja leluasa masuk ke dalamnya. Hanya orang-orang terpilih yang bisa masuk dan terlibat, yakni orang-orang yang sudah ditasbihkan jadi penyair, layak disebut penyair, atau pun direkomendasikan menjadi penyair. Jadi, tidak semua orang dengan mudahnya bisa menyandang gelar penyair, atau diberi predikat penyair.
            Diakui atau tidak, realitanya ada sejumlah pihak yang seakan-akan memang memiliki hak atau berkompeten untuk mentasbih seseorang jadi penyair, menyebut dan memberi predikat penyair. Pihak-pihak itu antara lain, redaktur atau editor majalah sastra, redaktur halaman sastra dan budaya pada koran-koran (surat kabar) dan majalah umum, kritikus-kritikus sastra, serta (jangan lupa juga) 'sindikat-sindikat' sastra.
            Jalan untuk menuju ke singgasana penyair tidak mudah. Penuh tantangan. Penuh perjuangan. Medannya berat. Berliku. Pendek kata, untuk sampai ke kursi penyair, harus bekerja keras,  berpeluh-peluh, bersusah-susah, atau bahkan 'berdarah-darah'.
            Sekadar gambaran, untuk mendapat pengakuan atau predikat penyair itu haruslah terlebih dulu mengirimkan karya-karya puisinya di majalah-majalah sastra atau majalah umum, maupun rubrik-rubrik sastra di koran-koran dan sejenisnya. Nasib para pengirim puisi itu di tangan redaktur. Padahal, subyektivitas redaktur itu juga sangat berperan dalam meloloskan atau memuat karya-karya puisi tersebut di medianya.
            Tak sedikit yang bernasib malang, berkali-kali atau berpuluh kali mengirim naskah puisinya, tapi tak kunjung dimuat. Kecewa. Putus asa. Patah semangat. Patah arang. Akhirnya, mengambil keputusan drastis, tak akan menulis lagi. Berhenti menulis puisi. Mati sebelum tumbuh. Tragis.
            Bagi yang bernasib baik, karya-karya puisinya berhasil dimuat di majalah-majalah sastra, rubrik-rubrik sastra di koran, majalah umum, dan lainnya, tantangan belum selesai. Mereka masih akan berhadapan dengan para kritikus sastra atau sejenisnya. Para kritikus sastra dan sejenisnya yang lain, seakan merasa punya hak untuk mengatakan, menggolongkan, mengidentifikasi dan memvonnis suatu karya sastra atau puisi itu sebagai karya sastra serius, sastra murahan, sastra populer, sastra picisan, sastra kampungan, sastra ecek-ecek, bukan karya sastra dan lain-lainnya lagi.
            Sastra pun kemudian seakan berkelas-kelas. Kelas atas, kelas menangah atau sedang, dan kelas bawah. Atau kelas sastra serius, kelas sastra populer, kelas sastra murahan, kelas sastra picisan, kelas sastra kampungan sampai kelas sastra ecek-ecek.
            Jangan lupa pula peran para 'sindikat sastra'. Tidak jarang terjadi nasib atau kehebatan, kepopuleran dan nama besar seorang penyair itu ditentukan oleh 'sindikat'. 'Sindikat' merasa perlu untuk menaikkan, memperkenalkan, mempopulerkan nama seseorang dalam dunia kepenyairan baik dalam tataran lokal, regional bahkan internasional, karena demi kepentingan emosional, kepentingan kelompok, dan kepentingan-kepentingan strategis lainnya.
            Begitulah. Begitu beratnya. Begitu berlikunya jalan untuk bisa menyandang nama penyair. Tapi itu dulu. Semuanya telah berlalu. Kata-kata Chairil Anwar yang hebat dan kuat itu, kini sudah kehilangan semangat dan kekuatannya. Ya, kata-kata: "Yang bukan penyair, tidak ambil bagian" itu kini sudah kehilangan rohnya.

II
            ANDAIKAN Chairil Anwar masih hidup di era ini, di era digitalisasi atau era internet, entah apa yang berkecamuk di dalam dadanya. Apakah ia akan tetap bertahan dengan pernyataannya itu dulu atau akan merevisinya? Tapi rasanya, ia pasti akan berpikir ulang untuk bertahan dengan pernyataannya tersebut. Bukan tidak mungkin ia akan mencabut pernyataannya itu dan menggantikannya dengan kata-kata: "Siapa pun bisa ambil bagian." Ya, siapa pun bisa ambil bagian di dalam dunia kepenyairan.
            Begitulah realitanya sekarang. Di era digitalisasi atau era internet sekarang ini, terlebih ketika hari-hari kita diwarnai, dan disibukkan dengan media online, media cyber, blog, media sosial seperti facebook dan beragam jenis lainnya itu, siapa pun 'bisa ambil bagian' dalam dunia perpuisian atau dunia kepenyairan.
`           Dalam beberapa tahun  terakhir, dunia perpuisian memasuki masa yang semarak, meriah, dan ramai. Karya-karya puisi tak hanya muncul di majalah-majalah sastra (yang masih ada), di rubrik-rubrik sastra koran maupun majalah umum, tetapi puisi muncul di dunia maya melalui media-media online, media-media cyber, media-media blog, facebook, twitter, dan lain-lainnya lagi.
            Kalau beberapa tahun sebelumnya, karya-karya sastra seperti puisi hanya bisa muncul seminggu sekali, dua minggu sekali atau sebulan sekali di media-media seperti koran, dan majalah, kini bisa muncul hanya dalam hitungan detik dan menit saja. Dalam hitungan detik dan menit, seseorang sudah bisa menampilkan karya puisinya di media-media sosial seperti facebook dan media-media sejenisnya lainnya. Dan, dalam hitungan detik dan menit pula, karya puisi itu sudah bisa dibaca oleh khalayak atau publik.
            Kini seseorang yang menulis puisi tak perlu lagi menunggu kebaikan hati redaktur di koran-koran, dan majalah, baik majalah sastra maupun majalah umum, untuk memuat karya puisinya dan kemudian dibaca oleh publik. Tak perlu lagi menunggu berhari-hari atau berminggu-minggu dan berbulan-bulan agar puisinya bisa dimuat. Karena melalui media sosial seperti facebook, media blog, dan media-media sejenis lainnya, dalam waktu relatif singkat, hanya hitungan detik dan menit karya puisi sudah menyapa khalayak pembacanya.
            Dengan kata lain, penulis puisi sekarang ini tak perlu lagi berhubungan dengan media-media cetak seperti koran, majalah dan semacamnya. Untuk menunjukkan eksistensi diri, sekarang penulis puisi tak perlu lagi berhubungan dengan redaktur, editor dan semacamnya. Semua sudah dikesampingkan. Semua dipinggirkan. Para penulis puisi pun kini dengan leluasa bisa beranggapan, untuk disebut penyair, menjadi penyair, tak perlu lagi harus ada 'rekomendasi' atau campur tangan dari para redaktur atau editor sastra.
            "Kalau ingin disebut penyair, ingin jadi penyair, berjuanglah sendiri, berbuatlah sendiri. Tak perlu harus para redaktur sastra itu, maupun kritikus-kritikus sastra itu yang menentukan," kira-kira beginilah yang kini banyak dinyatakan oleh para penulis puisi.
            Suasananya benar-benar menggembirakan. Dewasa ini seperti tiada hari tanpa puisi. Puisi terus tumbuh, berbunga dan bermekaran di beragam media sosial, media online, dan sejenisnya yang lain. Puisi bertaburan di mana-mana. Dan, siapa pun sekarang merasa berhak untuk menulis puisi. Merasa berhak untuk jadi penyair.

III
            YA, SIAPA PUN sekarang punya hak untuk menulis puisi. Siapa pun berhak untuk jadi penyair. Siapa pun punya tempat yang sama untuk berkarya di dunia kepenyairan. Tak ada lagi kelas. Sastra tak lagi berkelas. Ya, tak ada lagi yang merasa sedang berada di sastra kelas atas, sastra kelas sedang, dan sastra kelas bawah. Tak ada lagi yang merasa sedang berada di sastra serius, sastra murahan, sastra populer, sastra picisan, sastra kampungan, dan sastra ecek-ecek. Semua merasa setara. Merasa sama.
            Kemeriahan dunia sastra kini juga diwarnai dengan kemunculan banyak grup atau komunitas sastra. Kemunculan grup-grup atau komunitas-komunitas sastra ini tidak lepas dari maraknya media-media sosial. Cobalah lihat di media sosial facebook misalnya, betapa banyaknya grup-grup atau komunitas-komunitas sastra tersebut, dan sebagian besar berhubungan dengan puisi.
            Siapa pun yang suka menulis puisi bisa bergabung dengan grup-grup atau komunitas-komunitas sastra itu. Dan, hal yang menarik pun kini sedang terjadi. Grup-grup atau komunitas sastra itu seperti saling berlomba untuk menunjukkan eksistensi kelompoknya dengan menerbitkan buku-buku kumpulan puisi. Buku-buku kumpulan puisi itu diterbitkan dengan swadaya grup, patungan sesama anggota atau yang terlibat, maupun mencari sposor.
            Baiklah, saya ingin persingkat saja. Kegembiraan dan kemeriahan dunia kepenyairan sekarang ini, selain diwarnai dengan banyaknya acara pembacaan puisi, diskusi puisi, juga ditandai dengan ramai atau banyaknya penerbitan buku kumpulan puisi, baik yang diterbitkan secara bersama melalui grup atau komunitas, maupun diterbitkan sendiri secara indie. Yogya seakaran tak pernah sepi dengan gemerlap puisi.
            Hampir setiap minggu, selalu ada berita tentang lounching atau peluncuran buku kumpulan puisi. Di Studio Pertunjukan Sastra (SPS) dan Rumah Budaya Tembi misalnya, hampir setiap bulan ada acara peluncuran buku kumpulan puisi baru.
           
IV
            YA, ITULAH realitanya sekarang. Dewasa ini sastra (puisi) sudah tanpa kelas. Dan, siapa pun sekarang merasa punya hak yang sama dalam menulis puisi. Siapa pun berhak menulis puisi. Tak peduli apa pun statusnya, apakah petani, tukang becak, murid sekolah, mahasiswa, buruh, pegawai negeri, guru dan lain-lainnya.
            Dan, puisi di bawah ini adalah puisi yang ditulis Choirudin, seorang petani salak di Sleman.

            OH SALAK PONDOHKU

            oh salak pondohku
            dulu kamu primadonaku
            menjadi salah satu andalan bagi masyarakat sekitarku
            harapanku menjadi tanaman lokal khas daerahku

            namun apa yang terjadi,
            sekarang salak pondohku sudah menyeberang kemana-mana
            harapanku menjadi tanaman lokal pun sirna

            hargamu pun sekarang sudah merana
            biar cita rasamu masih sama
            namun bentukmu sudah kalah dari yang di sana

                                    (Dari buku kumpulan puisi "Pesta Puisi Rakyat Sleman")


            Berikut di bawah ini puisi yang ditulis Goenawan Mohamad, penyair yang dulu disebut sebagai salah seorang penyair papan atas di negeri ini.

            TENTANG MAUT

            Di ujung bait itu mulai tampak sebuah titik
            yang kemudian runtuh, 5 menit setelah itu.
            Di ujung ruang itu mulai tampak sederet jari
            yang ingin memungutnya kembali.
            Tapi mungkin
            itu tak akan pernah terjadi.
            Ini jam yang amat biasa: Maut memarkir keretanya
            di ujung gang dan berjalan tak menentu.
            Langkahnya tak seperti yang kau bayangkan: tak ada gempa, tak ada hujan asam, tak ada parit yang meluap.
            Hanya sebuah sajak, seperti kabel yang putus.
            Atau hampir putus.
                                    2012

            Saya tidak bermaksud membandingkan dua puisi ini. Saya hanya ingin mengatakan, bahwa sekarang ini seseorang seperti Choirudin, yang hanya petani salak, tak merasa minder atau rendah diri untuk 'bersaing' dengan Goenawan Mohamad, yang sastrawan dan budayawan disegani itu.
            Baiklah, sekarang saya ingin mengingatkan kepada siapa pun yang ingin menjadi penyair, bahwa "Penyair itu tidak ada matinya. Ya, penyair sejati itu akan hidup sampai masa kapan pun."    
             "Jadi, kalau ingin jadi penyair, janganlah jadi penyair yang mati di perjalanan. Jadilah penyair yang tak pernah mati, penyair yang hidup sampai kapan pun. Penyair yang hidup sepanjang masa."  ***
     
                                                                                                Menjelang akhir tahun 2015
           

            * Sutirman Eka Ardhana: redaktur Majalah SABANA, yang juga suka menulis puisi.

** Dibacakan dalam refleksi akhir tahun pada malam Pesta Puisi Akhir Tahun “Nyawiji” dalam Bincang-bincang Sastra, Selsa, 29 Desember 2015 di Taman Budaya Yogyakarta.