Senin, 06 Juni 2016

Sang Advokat: Aprillia Supaliyanto, SH (1) Cita-cita Sederhana, Si Anak Desa



Sang Advokat: Aprillia Supaliyanto, SH (1)
Cita-cita Sederhana, Si Anak Desa
            MUNENG, sebuah desa yang teduh dan tenteram di Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo. Di desa yang damai dan hijau karena rimbun pepohonan ini tinggal pasangan keluarga Marrikan Martowiyono dan Sutarti. Pada tanggal 24 April 1964 kegembiraan meledak di pasangan keluarga ini, karena di hari itu telah lahir anak mereka yang keduabelas, seorang lelaki, yang ternyata kemudian juga merupakan anak terakhir. Si bungsu itu lalu diberi nama Aprillia Supaliyanto.
Meski terlahir sebagai anak bungsu, tetapi oleh orangtuanya, Aprillia tidak dididik untuk menjadi anak manja. Sejak kecil ia telah dididik untuk menjadi seorang lelaki yang mandiri, tegar, berani, bertanggungjawab, disiplin, penuh semangat, pantang menyerah, dan tidak mudah putus asa. Karena itulah, sejak bangku Sekolah Dasar, sikap dan sifatnya sebagai seorang ‘pekerja keras’ dan ‘pantang menyerah’ sudah terlihat nyata.
Bahkan sejak di bangku SD, ia sudah ‘terpesona’ dengan ketegaran, kegagahan, keberanian, dan sikap penuh semangat serta kesan pantang menyerah dalam kehidupan yang ditampilkan oleh militer atau TNI. Karena itulah, sejak di bangku SD pula ia telah menanamkan cita-cita untuk menjadi seorang tentara. Cita-cita sederhana seorang anak desa yang kagum melihat ‘kegagahan’ sosok militer.
Selulus SMP Negeri I Ponorogo di tahun  1980, ia terus membawa cita-cita sederhana untuk menjadi seorang tentara itu sampai duduk di bangku SMA Negeri I Ponorogo pada 1981. Harapannya, di SMA ia bisa masuk ke jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), sehingga bila lulus SMA nanti bisa mendaftar ke Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Tetapi, harapannya itu tak terwujud. Meski ia sudah berusaha semaksimal mungkin, ternyata para guru yang memberikan nilai berkeinginan lain. Ketika naik ke kelas dua SMA, ia gagal masuk ke jurusan IPA. Kegagalan itu benar-benar dirasakannya bagaikan pukulan yang dahsyat. Pukulan yang membuatnya sempat lemah, tak berdaya dan nyaris kehilangan semangat. Betapa tidak. Dengan gagal masuk ke jurusan IPA, maka cita-citanya untuk bisa masuk ke Akabri menjadi terhalang.
Kegagalan itu sempat membuatnya goyah sesaat. Bahkan ia sempat sakit beberapa hari, karena terlalu memikirkan kegagalannya itu. Untunglah, tempaan dan didikan kedua orangtuanya, terutama ayahnya Marrikan Martowiyono, yang diterimanya sejak kecil, telah membuatnya segera bangkit dari kegagalan. Ia berpikir, kegagalan bukanlah akhir dari segala-galanya. Ia pun bertekad, kegagalan masuk ke jurusan IPA, tidak harus membuatnya kehilangan semangat untuk membangun diri.

Dorongan Sang Ibu
Terlebih sang ibu, Ny. Sutarti, terus mendorongnya untuk tidak patah semangat.
 "Kamu tidak gagal. Percayalah. Allah pasti memiliki rencana lain untuk dirimu. Jadi, tak bisa masuk ke jurusan IPA itu tak perlu disesali. Ayo, jangan patah semangat. Semangat. Semangat!" kata sang ibu.
Kata-kata sang ibu itu menguatkan langkah dan tekadnya untuk melupakan kegagalannya masuk ke jurusan IPA. Ia pun memantapkan langkahnya di jurusan IPS. Dan, setelah beberapa bulan duduk di kelas dua IPS, ia mulai tertarik dengan bidang hukum. Berbagai berita dan permasalahan di bidang hukum yang dimuat surat-surat kabar, telah menjadi bahan perhatiannya setiap hari. Tiada hari tanpa membaca berita-berita tentang persoalan hukum.
"Kata-kata Ibu saya itu telah mendorong semangat untuk melangkah ke depan dan melupakan kegagalan. Dan, saya percaya, seperti yang dikatakan Ibu, bahwa Allah pasti memiliki rencana lain tentang masa depan kehidupan saya. Jadi, saya harus terima semua itu dengan keikhlasan, walau jujur sebelumnya sempat menderita rasa kecewa yang dalam," kata Aprillia, suatu ketika di kantornya, depan JEC Yogyakarta.
Sejak di kelas dua SMA itulah, Aprillia kemudian merubah cita-cita masa depannya. Anak Desa Meneng ini tak lagi bercita-cita menjadi tentara. Tak lagi bercita-cita selulus SMA melanjutkan pendidikan ke Akabri. Tetapi ia telah merubah cita-citanya dengan kelak akan menjadi seorang praktisi hukum, seorang pengacara atau advokat. Cita-cita barunya itu ia tanamkan kuat-kuat di hati. Ia pun bertekad, selulus SMA akan melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum. Karena, dengan kuliah di Fakultas Hukum maka cita-citanya untuk menjadi seorang praktisi hukum itu nantinya bisa terwujud.
Cita-cita barunya untuk menjadi seorang praktisi hukum atau advokat itu sesungguhnya tidak menyimpang dari pelajaran kehidupan yang telah diperoleh dari sang ayah, Marrikan Martowiyono. Sejak kecil, Aprillia sudah dididik dan ditempa oleh sang ayah untuk senantiasa menghargai serta berpegang pada prinsip-prinsip kebenaran. Dan, profesi advokat merupakan profesi yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebenaran itu.
Selulus SMA di tahun 1983, Aprillia memantapkan langkahnya untuk kuliah dengan mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Langkahnya tidak sia-sia. Ia diterima menjadi mahasiswa Fakultas Hukum di universitas swasta tertua dan terkemuka di Yogyakarta tersebut.
Setelah resmi menjadi mahasiswa Fakultas Hukum, cita-citanya untuk menjadi praktisi hukum semakin membara. Di sela-sela kuliahnya, ia pun tak pernah berhenti memperhatikan, mengkaji, menyimak dan mempelajari bagaimana para pengacara atau advokat melakukan kerja profesinya. Dan, ia pun tak pernah berhenti membaca buku-buku atau tulisan-tulisan di media surat kabar yang berkaitan dengan kisah sukses pengacara-pengacara ternama, atau kisah-kisah hukum yang menarik serta menjadi perbincangan publik.

Memantapkan Langkah
Tahun 1989 Aprillia menyelesaikan kuliahnya. Dan, setelah menyandang gelar sebagai Sarjana Hukum, seakan tanpa membuang waktu lagi, ia pun bergegas mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang praktisi hukum. Dalam waktu relatif singkat, ia sudah bergelut di dunia kepengacaraan dengan bergabung di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) YAPKI Press Yogyakarta, dan di Kantor Advokat Eddy Saputra Sofyan, SH. Dan, status atau profesinya sebagai pengacara diperkuat dengan keluarnya Surat Keputusan dari Pengadilan Tinggi Yogyakarta di tahun 1992. Surat Keputusan yang mengawali kariernya di dunia kepengacaraan itu lengkapnya Surat Keputusan No. 132/PP/PTY/1992.
Berbekal SK dari Pengadilan Tinggi Yogyakarta itulah, Aprillia bertekad pula untuk semakin mengembangkan dan meningkatkan kerja profesinya secara mandiri. Ia tak ingin setengah hati dalam menggeluti dunia kepengacaraan. Ia benar-benar ingin terjun 'sedalam-dalamnya' di dunia penegakan dan bantuan hukum itu. Bahkan, sebelum SK tentang kepengacaraannya keluar, ia sudah terlebih dulu mengundurkan diri dari Kantor Advokat Eddy Saputra Sofyan SH, dan kemudian mendirikan kantor pengacara sendiri. Kantor pengacaranya yang pertama berlokasi di Jl. Menteri Soepeno No. 54, Yogyakarta. Di kantor pertamanya itu ia dibantu dua pengacara lainnya, dan beberapa karyawan.
"Ya, ibarat bermain air, saya tak ingin setengah-setengah. Saya benar-benar ingin basah di dalamnya. Karena itu saya tak ingin menunda waktu berlama-lama lagi. Saya ingin secepatnya punya kantor hukum sendiri. Begitulah, saya pun kemudian mundur dari kantornya Bang Eddy Saputra Sofyan. Dan, Bang Eddy pun mensupport ketika tahu saya akan mendirikan kantor sendiri. Hebat. Hebat. Kau, pasti bisa, kata Bang Eddy ketika itu," ujar Aprillia.
Demikianlah, dunia kepengacaraan atau profesi advokat telah menjadi pilihan hidupnya. Pilihan terhadap profesi hukum ini tidak lepas dari keharusan untuk menghargai atau menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebenaran sebagaimana telah ditanamkan sang ayah kepada dirinya sejak kecil. Dan, ia ingin membuktikan kepada sang ayah, bahwa ajaran-ajaran kehidupan yang diperolehnya ketika kecil itu benar-benar ingin dijalaninya.
"Pada dasarnya setiap orang pasti mencintai kebenaran. Akan tetapi tidak semua orang punya kesempatan untuk berbuat atau melakukan sesuatu secara nyata demi menegakkan kebenaran itu. Menurut saya, praktisi hukum atau advokat merupakan profesi yang memberikan peluang atau kesempatan besar bagi seseorang yang ingin berbuat nyata dan positif bagi tegaknya kebenaran. Atas dasar itulah, saya tertarik untuk terus menggeluti dunia kepengacaraan ini. Apalagi profesi advokat terasa begitu pas dengan jiwa saya yang menggandrungi kebebasan. Tapi ingat, kebebasan yang saya maksud adalah kebebasan yang bertanggungjawab dan tidak terlepas dari norma-norma hukum," urai Aprillia lagi.
Menurut Aprillia, profesi advokat sesungguhnya merupakan profesi yang terhormat. Karena, profesi ini memiliki komitmen yang sangat besar terhadap setiap langkah perjuangan menegakkan kebenaran. Namun diakui atau tidak, sesalnya, masih banyak yang tidak memahami dengan sepenuh hati prinsip-prinsip dasar dari profesi yanhg digelutinya. Bahkan ada yang secara sengaja mengabaikan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleg profesi advokat itu.
Apa pun alasannya, tegas Aprillia, setiap advokat atau pengacara maupun praktisi-praktisi hukum lainnya tidak boleh berpaling dari prinsip-prinsip menegakkan kebenaran dan keadilan. Maka akan tercelalah apabila ada advokat atau pekerja-pekerja hukum yang dalam melaksanakan tugasnya telah berpaling dari  prinsip kebenaran demi mencapai tujuan-tujuan tertentu.
"Ironisnya perbuatan tercela semacam itu masih sering terjumpai. Misalnya, ada oknum-oknum yang demi membela kepentingan kliennya tidak segan-segan telah melakukan pelecehan terhadap hukum dan nilai-nilai kebenaran. Atau oknum-oknum yang dikarenakan demi mencapai tujuan tertentu, dengan begitu mudahnya telah mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran. Bila keadaan semacam itu masih saja terjadi, sampai kapan pun langkah-langkah pembangunan dan penegakan hukum akan senantiasa menghadapi kendala-kendala," ujarnya. (Bersambung)
                                                                                   Sutirman Eka Ardhana