Suwarna Pragolapati, Sang Motivator
Sutirman
Eka Ardhana
SETIAP kali berbicara tentang
Persada Studi Klub, terutama yang berkaitan dengan riwayatnya dulu, selain menyebut
nama Umbu Landu Paranggi, pasti juga akan muncul nama Suwarna Progalopati atau
selalu juga disebut Ragil Suwarna Pragolapati. Ini dikarenakan, Mas Warno,
demikian saya selalu memanggil namanya, termasuk salah seorang dari sejumlah
nama yang melahirkan komunitas sastra Persada Studi Klub pada 5 Maret 1968.
Selain Umbu Landu Paranggi, pendeklarator
Persada Studi Klub (PSK) lainnya Ragil Suwarna Pragolapati, Teguh Ranusastra
Asmara, Iman Budhi Santosa, Soeparno S. Adhy, Mugiyono Gito Warsono dan M. Ipan
Sugiyanto Sugito. Jadi, setiap kali memperbincangkan riwayat Persada Studi Klub
dan perkembangannya hingga hari ini, maka tak bisa lepas dari menyebut nama Mas
Warno, dan pendeklarator lainnya tersebut.
Saya tidak ingat secara pasti, kapan
saya pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Mas Warno. Tapi, setidaknya
perkenalan dengannya itu terjadi di sekitar tahun 1972/1973, pada suatu acara
pertemuan atau diskusi PSK di kantor redaksi Pelopor Yogya, Jl. Malioboro 175 A, Yogyakarta. Kesan pertama yang
muncul dalam pertemuan itu, dia bukan orang yang nyaman untuk teman berbincang,
apalagi bercanda. Dia terkesan memiliki ego yang besar.
Untunglah, kesan itu tak tersimpan
lama. Setelah berbincang-bincang, saya sadar, ternyata ia cukup menyenangkan
juga untuk dijadikan teman berbincang. Dan, ia seseorang yang terlihat
sungguh-sungguh atau serius dalam mendengarkan pembicaraan orang lain.
"Dari Bengkalis, tho?
Bengkalis, Riau itu kan?" tanyanya di awal pertemuan.
Saya hanya mengangguk dan tersenyum.
"Walau, saya tak tahu persis
kotanya di mana, tapi rasanya saya cukup kenal dengan nama kota itu, Bengkalis.
Ya, karena di sana dulu muncul nama Soeman HS, sastrawan Pujangga Baru yang
terkenal dengan roman atau novelnya Menangkap Pencuri Anak Perawan itu. Roman
era Pujangga Baru yang sangat saya sukai. Sayangnya, setelah Soeman HS tak ada
lagi muncul nama besar di dunia sastra dari sana," katanya lagi.
Saya masih hanya bisa tersenyum.
"Nah, kalau begitu, Anda punya
tugas untuk melanjutkan nama besar Soeman HS memperkenalkan Bengkalis ke dunia sastra
kita. Tapi, dalam memperkenalkan Bengkalis itu, Anda tak perlu jadi Soeman HS.
Jadilah, diri Anda sendiri!" ujarnya meyakinkan saya.
Jadilah diri Anda sendiri! Kata-kata
Mas Warno di awal pertemuan telah membekas di hati saya. Kata-kata itu telah
memotivasi, membakar semangat dan mendorong saya untuk kian meneguhkan jati
diri dalam berkarya. Buat saya, dia layak untuk disebut sebagai Sang Motivator.
Beberapa waktu kemudian (saya lupa
tahun berapa), ketika jagad kepenyairan di Tanah Air sedang disemarakkan dengan
kehadiran puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri dan Ibrahim Sattah, yang
kebetulan dua-duanya berasal dari Riau, dalam suatu pertemuan kata-kata itu
kembali dilontarkannya.
"Ingat, jangan tergoda untuk
jadi Soetardji Calzoum atau Ibrahim Sattah. Tapi, tetaplah berusaha untuk
menjadi diri Anda sendiri. Ya, menjadi diri Anda sendiri!" katanya serius.
Kata-kata itu, sungguh sangat
berarti. Dan, kata-kata itu telah menunjukkan betapa Mas Warno memiliki
perhatian atau kepedulian terhadap perjalanan kreatifitas saya. Mas Warno telah
memposisikan dirinya sebagai seorang sahabat yang baik, sahabat yang penuh
perhatian.
Sang
Penasihat
Sepanjang tahun 70-an, pergaulan
saya dengan Mas Warno terasa intens. Terlebih ketika ia tinggal atau mengontrak
sebuah kamar di kampung Margoyasan, persis di belakang Pasar Sentul. Hampir
setiap hari saya selalu bertandang ke kamar kostnya. Kalau tidak siang atau
sore, ya malam hari.
Dalam setiap pertemuan itu banyak
hal yang selalu dibicarakan. Dari hal-hal yang berhubungan dengan kreatifitas
berkarya sampai ke persoalan masa depan. Tapi, satu hal yang tak pernah ia
lakukan, adalah mengkritisi, membahas, memperbincangkan dan sejenisnya tentang
karya-karya saya. Ia tak pernah mengkritik atau memuji. Tak pernah mengatakan
karya saya, terutama puisi, jelek ataupun bagus. Sepertinya ia enggan berbicara
tentang puisi maupun cerpen yang sesekali saya tulis di masa itu. Saya tidak
tahu secara persis kenapa begitu. Kenapa ia tak mau melakukannya. Padahal
sesungguhnya saya berharap ia mau membahas atau membicarakannya.
Kepada saya, Mas Warno tak pernah
memposisikan dirinya sebagai seorang kritikus. Tak pernah mengkritik, membahas,
memperbincangkan, menghujat atau bahkan memuji. Tidak. Tapi yang sering
dilakukannya adalah mendorong atau memotivasi saya untuk terus berkarya, serta berpikir
sungguh-sungguh tentang masa depan. Ia selalu memposisikan dirinya sebagai
seorang sahabat atau kakak yang bijak. Ketika itu, saya selalu menyebutnya
sebagai "sang penasihat".
Ternyata, nasihat-nasihatnya kepada
saya tentang kehidupan dan masa depan itu, tidak hanya disampaikan dalam
pertemuan-pertemuan santai di kamar kostnya. Nasihat-nasihatnya itu sempat juga
disampaikan melalui tulisan-tulisan di media massa.
Di majalah Semangat edisi Oktober 1975 misalnya, Mas Warno membuat tulisan
yang secara khusus berisi nasihat-nasihat tentang kehidupan dan masa depan
saya. Di antaranya ia menulis begini:
.............Aku senang, Eka, bahwa engkau bercita-cita menjadi pengarang, bahkan
berambisi menjadi sastrawan besar. Tapi kau melupakan sesuatu. Hidupmu sulit,
nasibmu pahit, mengapa angan-anganmu kaubiarkan melayang-layang ke langit.
Harapan dan cita-cita boleh saja selangit, namun ingatlah, kedua kakimu masih
terus berpijak pada bumimu sendiri, bumi kehidupan yang pahit dan rumit.Bila
saja kau ingat, akan beratnya orang tuamu mengirimi poswesel sepuluh ribu saban
bulan. Adik-adikmu masih kecil-kecil, demikian banyak jumlahnya. Engkau adalah
putra sulung yang diharap-harapkan sukses sekolah selekasnya. Ayah ibumu
semakin hari semakin tua. Hidup keluargamu kian hari kian sulit.
Eka, renungkanlah kembali
tindakan-tindakanmu yang terakhir.......................................
Tulisan Mas Warno itu begitu mengena
di hati saya. Begitu pas, dengan kondisi batin dan kehidupan saya kala itu. Sepertinya
Mas Warno tahu, ketika itu sedang ada ketidak-seimbangan antara dunia
kreatifitas berkarya atau kesukaan saya menulis dengan persoalan masa depan. Ia
mungkin melihat, saya sedang asyik menulis, asyik dengan puisi, tetapi mengabaikan
masa depan, atau mengabaikan sesuatu yang didambakan kedua orangtua di kampung
sana.
Tanpa saya sadari, dalam setiap kali
pertemuan di masa itu, Mas Warno telah menjadi pemerhati dan penyimak yang
baik. Ia selalu setia untuk mendengar cerita, gurauan, keluhan atau apa saja
yang saya utarakan dalam pertemuan-pertemuan santai tersebut. Dan, ternyata Mas
Warno tak hanya berhenti pada perbincangan-perbincangan di kamar kostnya itu
saja. Ia membawa perbincangan-perbincangan itu ke tulisan-tulisannya di media.
Bahkan, saya sempat terkejut juga, ketika suatu hari muncul cerpennya di
majalah Semangat yang berkisah
tentang pengalaman saya. Kisah itu sebelumnya memang sempat saya ceritakan
dalam perbincangan dengannya.
Pesan
Terakhir
Pada sekitar tahun 1976/1977 kedekatan
saya dengan Mas Warno agak menyurut. Bahkan sejak ia pindah dari kamar kostnya
di Margoyasan, ke tempat-tempat tinggalnya yang baru, saya belum pernah datang
berkunjung ke tempat tinggal barunya tersebut. Demikian pula ketika ia dan
isterinya, Mbak Menik Sugiyah Kartamulya, tinggal di Minggiran, sekalipun saya
belum pernah datang bertandang.
Intensitas pertemuan dengannya yang
semula hampir setiap hari, berubah menjadi seminggu sekali, dua minggu sekali,
sebulan sekali, lalu beberapa bulan sekali. Seringkali pula pertemuan itu
terjadi pada moment-moment yang tidak terencanakan. Misalnya, di kios-kios
koran buku Shopping Centre, di
jalanan, atau di pertunjukan-pertunjukan kesenian.
Beberapa kali pertemuan itu terjadi
juga di kantor koran tempat saya bekerja, seperti di Harian Berita Nasional di Jl. Brigjen Katamso
(Gondomanan) maupun saat di Harian Yogya
Post semasa masih beralamat di Jl. Taman Siswa. Tentu saja tujuan utamanya
datang ke kantor-kantor koran itu bukan untuk bertemu dengan saya, melainkan
menyerahkan naskah tulisan atau mengambil honor tulisan.
Walaupun kemudian jarang bertemu,
tapi setiap bertemu, Mas Warno tetap tak berubah. Ia tetap setia memberi
nasihat kepada saya. Nasihat-nasihatnya masih seputar persoalan kehidupan dan
masa depan. Ketika saya pindah kerja dari Harian Kedaulatan Rakyat ke Harian Yogya
Post di akhir 1989, saat bertemu di tempat kerja yang baru itu, ia
sepertinya menyesalkan alasan kepindahan tersebut.
"Apa sudah dipikirkan
matang-matang tentang kepindahan ke koran ini? Kenapa koq sukanya pindah-pindah
kerja? Menurut saya, Anda (ia selalu menyebut dengan kata Anda begini kepada
saya) terlalu terburu-buru mengambil keputusan. Alasan kepindahan itu
sepertinya tidak Anda pikirkan secara matang," katanya ketika bertemu di
tempat kerja saya yang baru.
Saya tidak tahu pasti apa alasan Mas
Warno berkata seperti itu. Tapi apa pun alasannya, apa yang dikatakannya kepada
saya tersebut, tetap sesuatu yang berharga. Setidaknya ia sudah menunjukkan
kepedulian dan perhatiannya terhadap perjalanan kehidupan saya.
Lalu, suatu hari di bulan Oktober
1990, tepatnya tanggal 16 Oktober, saya mendapatkan kabar yang mengejutkan
tentang Mas Warno. Sehari sebelumnya, tepatnya tanggal 15 Oktober 1990, ia
dinyatakan hilang di sekitar Gua Langse, atau di kawasan Bukit Semar,
Parangendog, Parangtritis. Ketika itu ia sedang melaksanakan pelatihan sastra,
pers dan yoga, yang diikuti beberapa orang mahasiswa. Tak seorang pun di antara
peserta pelatihan itu yang tahu ke mana raibnya Mas Warno. Ia sepertinya hilang
tanpa jejak, kecuali meninggalkan selembar sajadah dan sepasang sandal.
Saya benar-benar terkejut dan sempat
tak percaya dengan berita hilangnya Mas Warno tersebut. Betapa tidak. Seminggu
sebelumnya saya masih bertemu dan berbincang-bincang dengannya, di kantor tempat
saya bekerja. Itulah pertemuan dan perbincangan terakhir dengannya. Sekaligus
itulah saya mendengarkan nasihat atau pesan terakhir darinya.
"Sudah kerasan bekerja di sini?
Kalau sudah kerasan, ya syukurlah. Tapi ingat, mulai sekarang Anda harus segera
tinggalkan kebiasaan - tak pernah habis meneguk minuman di gelas.
Ibaratnya,
kalau meneguk minuman di gelas itu, teguklah atau minumlah sampai habis, sampai
tuntas. Jangan belum habis, sudah pindah ke gelas yang lain," katanya.
Itulah pesan terakhir Mas Warno,
yang masih saya ingat sampai hari ini.***
* Sutirman Eka Ardhana: Kini
redaktur majalah Sabana, juga dipercaya mengajar di Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Sunan Kalijaga.
** Dimuat di Majalah SABANA, edisi 8, November 2015.