Sutirman Eka Ardhana
Puisi-puisi
di tahun 1973
SAMAS, DI SUATU
HARI YANG PANAS
Laut
tiba-tiba bercahaya seperti emas
Ada
sebaris lintasan melintas sayup-sayup
di
permukaan air.
Sepasang
camar hilang dalam kilatan
buihan
ombak
Ombak-ombak
berkejar ke pantai, lalu
mendekap
ke pasir-pasir hitam
Juga
pada kaki-kaki telanjang yang terjuntai
dan
pada tangan-tangan yang rindu ingin menggapai
Tiba-tiba
ada sesuatu yang dingin menjalar
Aku
terdiam, karena di laut seolah-olah ada
sesuatu
yang melagukan, dan derunya ombak
menggulung
bagaikan sebuah nyanyian
tentang
cinta
Pasir-pasir
jadi panas, karena mentari pun panas
Dan
hati-hati jadi resah, tangan-tangan pun gelisah
(untuk: Yusni)
Samas,
Desember 1972
DARI JENDELA INI
KUDENGAR SUARA-MU
Dari
jendela ini kudengar suara-Mu
lewat
alunan-alunan merdu di puncak menara.
Di
luar, suara-Mu juga kudengar membahana
pada
segala kesibukan yang ada
menyelusuri
lorong-lorong dan segala penjuru-Mu
membisikkan
pada sekalian yang ada
dan
pada warna-warna merah yang kian menepi
dalam
senja.
Semuanya
tengadah, seribu puja-puji syukur
dan
doa-doa duka terpanjat pada-Mu,
lalu
sesuatu yang damai ada di hatiku.
Yogya, Januari
1973
SEWAKTU MENTARI
DI PUCUK DAUN KELAPA
sewaktu
mentari di pucuk daun kelapa
kilatan
cahaya membias di atasnya
sehelai
daun jatuh ke dalam kolam
lalu
bayang-bayang mengambang
bayang-bayang
daun, bayang-bayang mentari
dan
bayang-bayangku sendiri
aku
tertegun, kurasa ada yang timbul, lalu tenggelam
ah,
rinduku kian dalam
Yogya, Feb 1973
MALAM-MALAM YANG
SEPI
(buat: Ibunda)
Malam-malam
yang sepi
Malam-malam
yang kelam
Ada
sepiku yang dalam
Dan
rinduku pada pepohonan cemara
sepanjang
jalanan kota yang diam, dan
kebun-kebun
para dengan sederetan kenangan
pada
masa kanakku yang silam
Malam-malam
yang sepi
Malam-malam
yang kelam
Ada
puisi-puisiku bersemayam
Yogya, April 1973
PANTAI KRAKAL
angin meluruh di atas laut
angin
meluruh pada rumput-rumput
angin
meluruh dalam hati
angin
meluruh dalam puisi
duka
meluruh dalam kalbuku
demikian
manis senja dekati istirah
cahayanya
semburat di atas air-air dan batu-batu karang
mewarnai
pasir-pasir dan wajah-wajah dena
oi,
lautlah yang tahu
apa
yang sedang bergejolak dalam hatiku
bagai
ombak-ombak yang membadai menghempaskan diri
pada
pasir-pasir dan batu-batu karang
bagai
derunya yang tak kenal lelah
dan
dukaku yang tak sudah-sudah
1973
RINDUKU LAHIR
KETIKA
Rinduku
lahir ketika cahaya meremang dalam senja
dari
beranda sepi membumbung tinggi
pada
mega-mega yang mewarnai ujung utara
sampai
ujung selatan kota
Rinduku datang ketika malam mengelana
pada sepi-sepi yang duka
pada pepohonan cemara sepanjang
jalanan kota
pepohonan para yang dingin dan diam
Rinduku
lahir ketika
malam-malam
kian kelam
Yogya, Juni 1973
SUATU SENJA
Matahari
menjingga, kelam dalam kalbu
yang
membiru rindu akan masa lalu
seorang
gadis berlenggang di ujung jalan
kota
yang sepi, manis bagai lembayung senja.
Angin
berisik di dedaunan, bawakan nyanyian sendu
masa
lalu yang duka dalam kenangan
burung-burung
senja terbang tinggi dan sayup
dalam
tatapan, tinggal bayangan
Pekanbaru, November
1973
BENGKALIS YANG
SEPI
Bengkalis
yang sepi
pautkan
haruku
jung-jung
nelayan
dalam
duka
Bengkalis
yang sepi
cernakan
sajakku
cemara-cemara
biru
dalam
rindu
Bengkalis, Nov 1973
JUNG
Jung
yang mungil
memukau suara laut
di silir senja hari
Jung yang mungil
kau bawa dukaku
ke laut biru
Bengkalis, Nov 1973
RINDU
Bilangan
ke berapa kita jumpa
Dan
mulai bicara
Sedangkan
mega-mega
Telah
jauh dari kita
Bengkalis, Nov 1973
POHON-POHON PARA
pohon-pohon
para di sinar matahari
rinduku
telah lama kupautkan
kudengar
kicauan murai bernyanyi
menyambut
pagi dalam tatapan
pohon-pohon
para di sinar matahari
laguku
senantiasa ada bersama
penyadap-penyadap
tergesa memburu pagi
hari
yang ranum dan penuh duka
pohon-pohon
para di sinar matahari
pandangku
belum juga hilang
pada
dedaunan yang risiknya tak pernah sepi
dalam
hati senantiasa kukenang
Bengkalis, November
1973
NYANYIAN
PENYADAP PARA
duhai,
terima kasihku burung murai
yang
membangunkanku dari mimpi-mimpi
dan
pelukan anak isteri
pagiku
berseri datang sudah
menyongsong
matahari
diburu
langkah-langkah tergesaku
dan
di tanganku, sebilah pisau penyadap
menari-nari,
berkelok-kelok
di
perut-perut para
duhai,
darahku mengalir di sekujur tubuh
bersama
cairan getah yang mengalir
dan
menetes satu-satu
tiap
pagi kubawa deritaku di kebun-kebun para
karena
inilah nyanyian hidupku senantiasa
memburu
matahari, mempesiang diri
hari
yang ranum, dilumuri duka
keluhan
hidup dan rumah tangga
hoi,
angin tolonglah aku mengusir mendung
dari
atas kebun-kebun para
getahku
belum lagi terkumpul semua
duhai,
mendung janganlah mempertebal diri
janganlah
ganggu aku
janganlah
buat anak isteriku jadi menangis
tersedu-sedu
karena lapar
tolonglah,
aku sudah terlalu menderita
Bengkalis, November 1973
SONETA DI KEBUN
PARA
ada
lagu
di
kebun para
memburu
rindu
menghibur
duka
ada
langkah yang tergesa
di
pagi sepi
memburu
matahari
memikul
derita
inilah
hidup
yang
sayup
dan
redup
demi
hati
sendiri
dan
anak isteri
Bengkalis, Nopember
1973
SELAT BENGKALIS
seperti
ada suara yang berlagu merdu
ketika
bulan di atasnya menjingga
ketika
nelayan-nelayan menurunkan perahu
mengayuhnya
membawa derita
dihiburnya
saat-saat duka, hari-hari bekerja
bagi
nelayan-nelayan tua
memburu
hidup, mempertaruhkan nyawa
atas
nama cinta dan beban keluarga
ahai,
seperti ada suara yang berlagu merdu
ketika
nelayan-nelayan mengayuh pulang perahu
dan
orang-orang di kota pun saling termangu
menatapnya
dengan segala rindu
Bengkalis, November
1973