Oleh: Sutirman Eka Ardhana
WAJAH bulan menyembul separuh di atas surau. Separuhnya lagi seperti sedang bersembunyi di balik dedaunan pohon karet. Daun-daun pohon karet yang meninggi di belakang surau itu bagai sedang saling berangkulan. Sedang di dalam surau, gema takbir berkumandang dengan merdunya. Sejak sehabis sembahyang Magrib, gema takbir itu tak henti-hentinya dikumandangkan para jemaah, tua maupun muda. Baik lelaki maupun perempuan.
* Yogyakarta, Ramadhan 1434 H
Catatan Redaksi: (Suara Karya, Sabtu, 3 Agustus 2013)Sutirman Eka Ardhana, lahir di Bengkalis, Riau, 27 September 1952. Sejak 1972 menetap di Yogyakarta. Menulis cerpen, puisi dan novel. Karya-karyanya yang sudah terbit di antaranya novel Surau Tercinta (Navila, 2002), Dendang Penari (Gita Nagari, 2003), Gelisah Cinta (Binar Press, 2005). Kumpulan puisi Risau (Pabrik tulisan, 1976), Emas Kawin (Renas, 1979), dan puisi-puisinya terhimpun pada sejumlah antologi puisi. *** |
Halo, Pak Sutirman. Saya ingin meminta izin untuk mencantumkan cerpen Bapak ini untuk buku pelajaran bahasa Indonesia SMA. Sekiranya Pak Sutirman berkenan?
BalasHapusYa
BalasHapus