MK: SINEMATOGRAFI
Pertemuan 1
MENGENAL DAN MEMAHAMI FILM
(I)
FILM yang ditemukan pada akhir abad ke-19 dan terus berkembang hingga hari ini merupakan ‘perkembangan lebih jauh’ dari teknologi fotografi. Perkembangan penting sejarah fotografi telah terjadi di tahun 1826, ketika Joseph Nicephore Niepce dari Perancis membuat campuran dengan perak untuk membuat gambar pada sebuah lempengan timah yang tebal.
Teknologi fotografi tidak berhenti sebatas penemuan Niepce itu. Tapi dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan yang mengagumkan. Salah satu dari perkembangan mengagumkan dari teknologi fotopgrafi itu adalah munculnya rintisan penciptaan film atau gambar hidup. Tokoh penting dalam rintisan penciptaan film atau gambar hidup itu Thomas Alva Edison dan Lumiere Bersaudara.
Thomas Alva Edison (1847-1931) seorang ilmuwan Amerika Serikat penemu lampu listrik dan fonograf (piringan hitam). Pada tahun 1887, Edison tertarik untuk membuat alat untuk merekam dan membuat (memproduksi) gambar. Edison tidak sendirian. Ia kemudian dibantu George Eastman. Eastman pada tahun 1884 menemukan pita film (seluloid) yang terbuat dari plastik tembus pandang. Tahun 1891 Eastman dibantu Hannibal Goodwin memperkenalkan satu rol film yang dapat dimasukkan ke dalam kamera pada siang hari.
Alat yang dirancang dan dibuat oleh Thomas Alva Edison itu disebut kinetoskop (kinetoscope) yang berbentuk kotak berlubang untuk menyaksikan atau mengintip suatu pertunjukan. Pertunjukan kinetoskop diperkenalkan pertamakali di New York, Amerika Serikat, tahun 1894.
Lumiere Bersaudara yakni dua kakak-beradik Ausguste Lumiere dan Louis Lumiere dari Perancis merupakan pengagum dan penonton setia kinetoskop. Tapi Lumiere Bersaudara tidak hanya ingin sekadar menjadi pengagum dan penonton. Mereka adalah penonton kreatif. Dari menonton kinestokop itu justru muncul gagasan cemerlang keduanya yaitu membuat pertunjukan untuk alat kinestoskop tersebut.
Keduanya kemudian merancang peralatan baru yang mengkombinasikan kamera, alat memproses film dan proyektor menjadi satu. Lumiere Bersaudara menyebut peralatan baru untuk kinetoskop itu dengan “sinematograf” (cinematographe). Peralatan sinematograf ini kemudian dipatentkan pada tahun 1895. Pada peralatan sinematograf ini terdapat mekanisme gerakan yang tersendat (intermittent movement) yang menyebabkan setiap frame dari film diputar akan berhenti sesaat, dan kemudian disinari lampu proyektor.
Di masa awal penemuannya, peralatan sinematograf tersebut telah digunakan untuk merekam adegan-adegan yang singkat. Misalnya, adegan kereta api yang masuk ke stasiun, adegan anak-anak bermain di pantai, di taman dan sebagainya.
Perkembangan gemilang dalam sejarah perjalanan film ditandai dengan langkah Lumiere Bersaudara yang memproyeksikan pertamakali hasil karya mereka ke hadapan publik pada 28 Desember 1895, di ruang bawah tanah sebuah kafe di Paris. Pada hari itu, publik yang menyaksikannya masuk dengan membeli karcis. Tanggal 28 Desember 1895 itu merupakan hari bersejarah, karena merupakan hari kelahiran bioskop yang pertama di dunia.
Langkah yang dilakukan Lumiere Bersaudara yakni menghadirkan konsep pertunjukan bioskop atau penayangan film ke layar dalam suatu ruangan yang gelap, pelan tapi pasti, terus berkembang ke berbagai penjuru dunia. Sekitar sepuluh tahun kemudian, tepatnya di tahun 1905, tempat pemutaran film (bioskop) yang disebut nickelodeon muncul dan berkembang subur di Amerika Serikat. Film-film awal yang dipertontonkan kepada publik adalah film-film yang waktu putarnya sangat singkat, sekitar 10 menit. Meskipun waktu putar atau tayangnya singkat, tapi film itu sudah menampilkan unsur cerita di dalamnya.
Sekalipun film merupakan kelanjutan dari fotografi, namun keduanya memiliki perbedaan yang hakiki. Foto (karya fotografi) tidak menampakkan ilusi gerak. Sementara film menampilkan ilusi gerak.
Perjalanan Film
Sejak ditemukan, perjalanan film terus mengalami perkembangan besar bersamaan dengan perkembangan atau kemajuan-kemajuan teknologi pendukungnya. Pada awalnya hanya dikenal film hitam putih dan tanpa suara atau dikenal dengan sebutan “film bisu”. Masa film bisu berakhir pada tahun 1920-an, setelah ditemukannya film bersuara. Film bersuara pertama diproduksi tahun 1927 dengan judul “Jazz Singer”, dan diputar pertama kali untuk umum pada 6 Oktober 1927 di New York, Amerika Serikat. Kemudian menyusul ditemukannya film berwarna di tahun 1930-an.
Di awal-awal kehadirannya, film hanya dipandang sebagai karya tiruan mekanis dari kenyataan. Atau sering juga dipandang hanya sebagai sarana untuk memproduksi karya-karya seni yang sudah ada, seperti teater, pertunjukan musik, dan lainnya.
Tokoh-tokoh penting dalam perjalanan awal sejarah film dapat dicatat antaralain nama George Melies (Perancis), Edwin S. Porter (juru kamera Thomas Alva Edison), DW Griffith dari Amerika Serikat, RW Paul dan GW Smith (Inggris).
Dalam perkembangan-perkembangan berikutnya para penggiat film melakukan gerakan menggiring atau berusaha menjadikan film sebagai suatu karya seni. Gerakan-gerakan film seni terus berkembang di Jerman,Perancis, Rusia, Swedia, Italia dan Amerika Serikat sendiri.
Eksistensi film sebagai suatu karya seni semakin diakui setelah seniman-seniman film muncul di banyak Negara. Tokoh-tokoh seniman film itu di antaranya Akira Kurosawa (Jepang), John Ford (AS), Federico Fellini (Italia), Satyajit Ray (India), Ingmar Bergman (Swedia) dan Usmar Ismail (Indonesia).
Jenis Film
Film pada dasarnya bisa dikelompokkan dalam dua jenis atau kategori. Pertama, film cerita (film fiksi). Kedua, film noncerita (film nonfiksi).
Film cerita merupakan film yang dibuat atau diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang dan dimainkan oleh actor dan aktris.
Kebanyakan atau pada umumnya film cerita bersifat komersial. Pengertian komersial diartikan bahwa film dipertontonkan di bioskop dengan harga karcis tertentu. Artinya, untuk menonton film itu di gedung bioskop, penonton harus membeli karcis terlebih dulu. Demikian pula bila ditayangkan di televisi, penayangannya didukung dengan sponsor iklan tertentu pula.
Sedangkan film noncerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya.
Film cerita dan film noncerita ini dalam perkembangannya saling mempengaruhi satu sama lain, yang kemudian melahirkan berbagai jenis film lainnya yang mempunyai cirri, gaya dan corak masing-masing.
Film Cerita
Film cerita mempunyai berbagai jenis atau genre. Genre diartikan sebagai jenis film yang ditandai oleh gaya, bentuk atau isi tertentu.
Jenis-jenis film tersebut ada yang disebut jenis film drama, film horror, film perang, film musical, film koboi, film sejarah, film komedi, dan film fiksi ilmiah. Meskipun begitu penggolongan jenis film tidaklah kaku atau ketat. Sebab sebuah film dapat saja dimasukkan ke dalam beberapa jenis.
Film cerita yang pertama kali diproduksi di Indonesia, menurut catatan Sinematek Indonesia adalah film berjudul “Loetoeng Kasaroeng” yang dibuat pada tahun 1926. Film cerita pertama ini dibuat oleh G. Kruger, seorang indo-Jerman di Bandung.
Dua nama besar dalam dunia perfilman nasional yang juga disebut sebagai perintis industri film nasional di tahun 1950-an yang telah menghasilkan sejumlah film cerita terkemuka adalah Usmar Ismail dan Djamaludin Malik.
Menurut Marseli Sumarno, setiap pembuat film hidup dalam masyarakat atau dalam lingkungan budaya tertentu, sehingga proses kreatif yang terjadi merupakan pergulatan antara dorongan subyektif dan nilai-nilai yang mengendap di dalam diri. Hasil pergulatan ini akan muncul sebagai karya film (lihat – Dasar-dasar Apresiasi Film, Grasindo).
Karya film, masih menurut Marseli, di satu pihak tetap mengandung subyektifitas, dan dapat menunjukkan gaya atau warna keseniman, di pihak lain bersifat obyektif, yang bisa diapresiasikan oleh orang lain.
Terhadap film cerita yang perlu dilihat adalah sejauhmana pembuat film dapat meramu dorongan subyektif dalam menggunakan bahan dasar berupa cerita. Film cerita lalu dapat diartikan sebagai pengutaraan cerita atau ide, dengan pertolongan gambar-gambar, gerak dan suara.
Jadi, cerita adalah bungkus atau kemasan yang memungkinkan pembuat film melahirkan realitas rekaan yang merupakan suatu alternative dari realitas nyata bagi penikmat atau penontonnya. Dari segi komunikasi, ide atau pesan yang dibungkus oleh cerita itu merupakan pendekatan yang bersifat membujuk atau persuasif.
Akan tetapi, masih menurut Marseli Sumarno, tentu saja cerita bukan segala-galanya dalam produksi film cerita. Terdapat sejumlah unsur lain yang menunjang keberhasilan. Misalnya, para pemain yang mampu tampil meyakinkan, penyuntingan yang mulus, dan penyutradaraan yang jitu.
Dalam pembuatan film cerita, Marseli menekankan pentingnya proses pemikiran dan proses teknis. Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan, atau cerita yang akan digarap. Sedangkan teknis berupa keterampilan artistic untuk mewujudkan segala ide, gagasan atau cerita menjadi film yang siap ditonton. Karenanya film cerita dapat dipandang sebagai wahana penyebaran nilai-nilai. –(sea)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar