MK: SINEMATOGRAFI
Pertemuan 4
Sejarah Perfilman Indonesia
(II)
SEJARAH perjalanan film di negeri kita tidak bisa dilepaskan dengan sejarah perjuangan bangsa kita dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu di bulan Agustus 1945, dan Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, pemerintah pendudukan Jepang kemudian menyerahkan Nippon Eighasha kepada Pemerintah Republik Indonesia yang ketika itu sedang dalam tahap penataan diri. Oleh Pemerintah Republik, lembaga film buatan pemerintah pendudukan Jepang itu diserahkan kepada instansi atau lembaga yang diberi nama Berita Film Indonesia (BFI) dipimpin RM. Sutarto.
Meskipun sudah menyerahkan lembaga film Nippon Eighasha, akan tetapi pemerintah pendudukan Jepang belum mau menyerahkan wewenang pemerintahan sepenuhnya kepada Pemerintah RI. Bahkan pada tanggal 10 September 1945, Panglima Bala Tentara Jepang di Jawa menyatakan akan menyerahkan wewenang pemerintahan di Indonesia kepada pihak Sekutu. Akhir September 1945 tentara Sekutu mendarat di Indonesia. Belanda yang tidak rela Indonesia merdeka memboncengkan tentaranya bersama-sama Sekutu masuk lagi ke Indonesia.
Pertempuran mempertahankan kemerdekaan melawan kedatangan tentara Sekutu yang diboncengi tentara Belanda (NICA) terjadi di berbagai kota dan daerah. Di tengah-tengah gejolak mempertahankan kemerdekaan, pada tanggal 4 Januari 1946 Pemerintah RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan kepindahan ini pusat pemerintahan atau ibukota RI juga beralih dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejak Januari 1946 itu kota Yogyakarta menjadi pusat segaka aktivitas pemerintahan. Para pekerja film atau insan-insan film juga ikut pindah ke Yogyakarta. Di Yogyakarta sejumlah orang film menggabungkan dirinya ke dalam kekuatan perjuangan dengan menjadi tentara. Usmar Ismail misalnya, ia ikut menjadi tentara dengan pangkat Mayor, selain dipercaya pula untuk memimpin koran perjuangan yang bernama “Patriot”.
Sejak proklamasi kemerdekaan sampai tahun 1947, produksi film di negeri kita bisa dikatakan dalam kondisi padam, karena tidak ada satu pun film yang diproduksi. Meskipun begitu upaya-upaya untuk tetap membangkitkan gairah dan semangat berkarya di dunia film tetap dilakukan. Pada tahun 1947 di Yogyakarta didirikan lembaga studi drama dan film yang diberi nama Kino Drama Atelier (KDA). Dr. Huyung (Hinatsu Heitaro), seorang mantan tentara Jepang yang menolak pulang ke negerinya dan memilih bergabung dengan para pejuang RI, dipercaya memimpin KDA. Di masa pendudukan Jepang, Huyung yang memang sarjana sastra lulusan Universitas Waseda di Tokyo itu memang dipercaya sebagai tentara yang bertugas menangani bidang seni teater, terutama dalam menggalakkan propaganda Jepang melalui seni tetar atau drama.
Pada tanggal 8 Desember 1947 diadakan Perundingan Renville antara Pemerintah RI dan Belanda yang berlangsung di atas Kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Usmar Ismail dalam kapasitasnya sebagai pemimpin redaksi koran “Patriot” ikut berangkat ke Jakarta untuk meliput jalannya perundingan. Tapi malang, ia ditangkap dan ditahan oleh tentara Belanda. Penangkapan itu dilakukan setelah Belanda mengetahui bahwa Usmar Ismail juga seorang tentara republik yang berpangkat Mayor.
Di tengah-tengah masa penuh gejolak seperti itu, pihak Belanda dengan bantuan Sekutu telah menguasai kembali Jakarta dan sejumlah kota lainnya itu mulai melirik lagi ke film. Mereka berpendapat, film bisa digunakan sebagai media berkomunikasi dan mempengaruhi kejiwaan masyarakat untuk beramai-ramai kembali ke kota-kota dari pengungsiannya di daerah-daerah pedalaman yang dikuasai Pemerintah RI. Dengan film, masyarakat juga akan diyakinkan bahwa kondisi di kota-kota sudah aman dan nyaman, serta Belanda sudah menciptakan kestabilan dan kenyamanan di mana-mana.
Ketika Belanda kembali menguasai Jakarta, maka mereka mengambil alih pula Berita Film Indonesia (BFI) dan menghidupkan kembali perusahaan film mereka yang ada sebelum masa pendudukan Jepang, NV Multi Film (ex ANIF). Karena sejak awal NV Multi Film memang bertugas memproduksi film-film non-features seperti film dokumenter, maka pada tahun 1948 NV Multi Film membentuk devisi usaha yang khusus untuk memproduksi film-film features atau film-film cerita. Devisi usaha dari NV Multi Film itu diberi nama South Pasific Film Corp. (SPFC).
Anjar Asmara, seseorang yang punya pengalaman dalam soal film karena pernah membuat satu film produksi Java Industrial Film (JIF) sebelum pendudukan Jepang dipercaya oleh SPFC untuk menyutradarai dua judul film. Demikian pula halnya dengan Usmar Ismail yang ketika itu menjadi tahanan pihak Belanda di Jakarta, ia pun dikeluarkan dari tahanan dan dipercaya untuk mendampingi Anjar Asmara, dengan menjadi asisten sutradara.
Dua judul film produksi SPFC di tahun 1948 yang disutradarai Anjar Asmara dengan asisten sutradara Usmar Ismail itu Jauh Dimata dan Gadis Desa. Setelah menyutradarai kedua film itu, Anjar Asmara lalu meninggalkan SPFC. Posisinya sebagai sutradara kemudian digantikan oleh Usmar Ismail.
Dalam posisinya sebagai sutradara, tahun 1949 Usmar Ismail melalui produksi SPFC menggarap dua judul film, Citra (Tjitra) dan Harta Karun. Film Citra merupakan film garapan pertama Usmar Ismail, yang diangkat dari naskah sandiwaranya yang pernah dipanggungkan semasa pendudukan Jepang. Sedangkan Harta Karun merupakan cerita saduran dari “L’Avare” karya pengarang Perancis, Molier.
Sepanjang 1948 dan 1949 orang-orang film lainnya pun mulai menggeliat. Wong Bersaudara bekerjasama dengan Tan Koen Hian mendirikan “Tan & Wong Brothers” yang kemudian memproduksi film Air Mata Mengalir di Tjitarum. Kemudian disusul The Teng Chun bekerjasama dengan Fred Young mendirikan perusahaan film “Bintang Surabaya” dan memproduksi film Sapu Tangan.
Di masa-masa itu, Kino Drama Atelier (KDA) juga ikut menggeliat di Yogyakarta. Dalam serba keterbatasan, KDA sempat memproduksi dua judul film yang disutradarai Dr. Huyung. Dua film produksi KDA itu, Antara Bumi dan Langit serta Bunga Rumah Makan (lihat Eddy D. Iskandar, Mengenal Perfilman Nasional, 1987).
Pada tanggal 28 Desember 1949 pusat pemerintahan dan ibukota RI kembali beralih ke Jakarta setelah sehari sebelumnya Pemerintah Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dengan beralihnya kembali ibukota RI dari Yogyakarta ke Jakarta, maka semua aktivitas kembali berpusat di Jakarta. Termasuk aktivitas di bidang perfilman. Bahkan Usmar Ismail yang sebelumnya sempat terlibat dalam ketentaraan dengan pangkat Mayor, menyatakan keluar dari kemiliteran dan kembali ke kehidupan sipil, karena ingin sepenuhnya bergelut di dunia seni film.
Masa Kebangkitan dan Kehancuran
Tahun 1950 merupakan tahun kebangkitan film nasional di era kemerdekaan. Tapi era 1950 sampai 1957, oleh Misbach Jusa Biran, disebut sebagai masa “bangkit dan hancurnya” perfilman nasional. Karena setelah bangkit di tahun 1950 dan sempat menikmati masa-masa cemerlang, mulai tahun 1956 hingga 1957 dunia perfilman nasional mengalami masa-masa kritis, penuh hambatan, bahkan disebut juga sebagai masa kehancuran.
Kebangkitan film nasional di tahun 1950 itu ditandai dengan perusahaan film nasional Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) yang didirikan oleh Usmar Ismail. Film produksi perdana Perfini, Darah dan Doa (The Long March of Siliwangi), yang langsung disutradarai sendiri oleh Usmar Ismail, sedangkan skenarionya ditulis penyair Sitor Situmorang.
Sejak masa perletakan landasan-landasan itu hingga hari ini dunia perfilman Indonesia terus mengalami masa-masa yang menarik untuk disimak dan dikaji. Pada masa-masa ini dunia perfilman Indonesia mengalami pasang surut dan naik-turun baik dari segi produksi, kuantitas dan kualitas. Sejumlah bintang dan sineas terpandang muncul di masa-masa ini. Dan, setelah era reformasi, dunia perfilman Indonesia diwarnai pula dengan munculnya sejumlah sineas dan bintang muda yang mengusung suara-suara kebebasan dalam berkarya. (SEA)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar