Pertemuan ke-3: MENGENAL FOTOGRAFI JURNALISTIK
DALAM kerja jurnalistik, fotografi memiliki peran yang penting dan besar. Suatu informasi atau berita di dalam kerja jurnalistik tidak hanya disampaikan melalui berita tulis atau ‘rangkaian kata-kata’, tetapi juga melalui foto yang merupakan karya dari kerja fotografi. Karena itu di dalam kerja jurnalistik dikenal istilah “berita tulis” dan “berita foto” atau “foto jurnalistik”.
Tidak hanya sebatas itu. Peran karya fotografi di dalam jurnalistik tidak hanya sebatas bisa menjadi ‘penyampai atau pemberi informasi’, tapi juga bisa sebagai ‘mempercantik wajah’ media itu sendiri. Coba Anda bayangkan, suatu surat kabar, tabloid dan majalah (majalah berita, hiburan, gaya hidup, dan lainnya) yang tidak ada satu foto pun. Bagaimana kesan Anda? Informasi berita di media pers itu pasti terasa hambar. Tidak ada daya pesonanya. Tidak ada daya tariknya.
Bagi media pers, baik surat kabar maupun majalah, berita tulis dan berita foto (foto jurnalistik) mempunyai peran dan kekuatan yang sama. Berita tulis menyampaikan informasi dalam deskripsi verbal, sementara berita foto menyampaikan dalam deskripsi visual.
Sifat-sifat Foto Jurnalistik
Di dalam kerja jurnalistik dikenal ada enam sifat foto jurnalistik (foto berita). Keenam sifat yang dimiliki foto jurnalistik itu, meliputi: mudah dibuat, akurat, universal, visual, kompak dan selalu aktual.
Mudah dibuat – Teknologi fotografi yang terus berkembang dari masa ke masa, membuat proses pembuatan foto menjadi sesuatu yang mudah. Terlebih dengan teknologi digital, sebuah karya foto sekarang sudah bisa dibuat hanya dalam hitungan menit.
Akurat – Dalam bentuk aslinya (bukan rekayasa), foto selalu akurat, dan tidak bisa berbohong. Selembar foto merekam suatu peristiwa secara apa adanya.
Universal – Bahasa foto adalah bahasa yang universal. Bahasa yang bisa diterima dan dipahami oleh manusia di belahan dunia mana pun. Secara visual, selembar foto akan menginformasikan suatu berita atau peristiwa, dengan bahasa yang akan dimengerti oleh bangsa atau etnis apa pun.
Visual – Bahasa foto adalah bahasa visual. Bahasa visual, bahasa yang bisa dimengerti dan dipahami oleh siapa pun. Artinya, bahasa visual yang disampaikan selembar foto akan bisa ‘dibaca’, dimengerti dan dipahami oleh orang yang bisa membaca sampai ke orang yang tidak bisa membaca sekali pun.
Kompak – Ketika suatu peristiwa terekam di dalam berbagai lembar foto secara berurutan, urutan foto-foto itu tetap menyampaikan informasinya secara kompak. Informasi yang disampaikan foto-foto secara berurutan itu akan semakin memperjelas pengertian dan pemahaman orang yang melihatnya. Karena informasi itu hadir secara kompak, berurutan dan teratur.
Selalu aktual – Foto memiliki nilai informasi yang selalu aktual. Artinya, nilai informasi dan daya pesona yang dimiliki selembar foto akan senantiasa aktual atau ‘baru’ sampai kapan pun. Berbeda dengan nilai informasi dan daya pesona suatu berita (berita tulis) yang memiliki batas waktu tertentu, nilai informasi dan daya pesona foto memiliki batas waktu yang panjang.
Nilai-nilai Foto Jurnalistik
Di dalam kerja jurnalistik, nilai suatu foto jurnalistik ditentukan oleh beberapa unsur yang ada:
1. Aktualitas.
2. Berhubungan dengan berita.
3. Kejadian luar biasa.
4. Promosi.
5. Kepentingan.
6. Human Interest.
7. Universal.
Aktualitas
Karya foto tersebut harus memiliki nilai-nilai aktualitas. Khusus foto berita, nilai aktualitasnya terletak pada nilai informasi terbaru atau terkini yang dimilikinya. Nilai aktualitas adalah sesuatu yang dicari pembaca suratkabar atau media pers lainnya. Publik atau pembaca pasti akan lebih memilih informasi terbaru atau terkini, daripada informasi yang sudah terjadi beberapa waktu sebelumnya.
Berhubungan dengan berita atau artikel
Karya foto tersebut harus memiliki hubungan atau keterkaitan informasi dengan berita atau artikel (tulisan). Untuk berita langsung atau straith news, fotonya juga harus peristiwa terkini dari berita yang juga terkini tersebut. Untuk artikel-artikel jurnalistik lainnya, seperti feature atau berita kisah, maupun laporan, foto yang dimaksudkan untuk melengkapi tulisan tersebut haruslah menyesuaikan dengan isi tulisannya. Fotonya bisa saja peristiwa terbaru, maupun yang sudah terjadi beberapa tahun sebelumnya (lama).
Kejadian luar biasa
Karya foto itu memiliki nilai yang luar biasa. Objek maupun informasi yang disampaikan foto itu memiliki nilai keluarbiasaan.
Promosi
Karya foto itu memiliki nilai promosi, yaitu kemampuan menarik perhatian orang yang melihatnya, untuk tertarik pada objek yang ditampilkan di dalam foto tersebut.
Kepentingan
Karya foto itu memiliki nilai kepentingan, yaitu kepentingan untuk menyampaikan suatu informasi dengan tujuan agar informasi tentang sesuatu itu diketahui oleh publik atau masyarakat luas.
Human Interest
Karya foto itu memiliki nilai-nilai yang berkaitan dengan rasa kemanusiaan setiap orang yang melihatnya. Persoalan human interest adalah persoalan yang mudah atau cepat mempengaruhi atau menarik rasa simpati.
Universal
Karya foto itu memiliki nilai universal, yaitu mampu dan mudah dipahami oleh siapa pun yang melihatnya. Artinya, untuk memahami atau mengerti tentang informasi yang disampaikan foto tersebut, seseorang tidak akan terkendala dengan kemampuan berbahasa apa pun.
Dalam proses perolehannya, foto jurnalistik terbagi dalam dua kategori.
1. Foto-foto yang diperoleh secara insidential (tidak direncanakan), seperti foto berita (sport news). Misalnya: foto-foto bencana seperti gempa bumi, banjir, kebakaran, kemudian kecelakaan lalulintas, kerusuhan, dll.
2. Foto-foto yang direncanakan, seperti foto yang mendukung suatu
artikel/tulisan, foto feature, foto human interest, foto essay.
Jenis Foto Jurnalistik
Di dalam kerja jurnalistik selama ini, dikenal ada tujuh jenis atau ragam foto jurnalistik. Ketujuh jenis foto jurnalistik itu meliputi: foto berita (spot news), foto human interest, foto essay, foto cerita, foto humor, foto feature, dan foto olahraga.
Foto berita (spot news) – Foto berita adalah suatu foto yang menyajikan atau menyampaikan informasi mengenai satu peristiwa yang berdiri sendiri. Misalnya, foto tentang tabrakan di jalan rata atau kecelakaan lalulintas, dengan cepat dipahami bahwa telah terjadi suatu peristiwa tabrakan atau kecelakaan. Informasinya akan menjadi lebih jelas dengan tambahan keterangan pada keterangan gambarnya.
Foto human interest – Foto human interest adalah foto yang menyajikan hal-hal yang berkaitan dengan daya tarik manusiawi, atau foto yang berbicara tentang masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dengan kata lain, foto human interest adalah foto yang mampu menggugah emosi kemanusiaan kita yang melihatnya.
Foto essay – Foto essay adalah foto yang menghadirkan sejumlah aspek dari suatu masalah yang bisa menjadi bahan pembahasan, bahan analisa atau bahan kajian. Foto essay bisa hadir secara tunggal, atau secara berangkai. Misalnya, foto tentang kehidupan anak jalanan, foto siswa sekolah menengah di dalam komplek pelacuran, dll.
Foto cerita – Foto cerita memiliki kesamaan dengan foto essay. Hanya bedanya, foto cerita yang hadir secara berangkai, tidak menghadirkan suatu informasi yang harus dibahas, dianalisa, dikaji atau diperdebatkan oleh pembaca yang melihatnya. Foto cerita hanya menyampaikan informasi secara apa adanya. Dan, foto cerita harus selalu faktual.
Foto humor – Foto humor adalah foto yang memiliki unsur kelucuan. Tapi unsur kelucuan yang hadir adalah kelucuan yang berkualitas, bukan kelucuan yang melecehkan atau merendahkan martabat dan kehormatan orang lain.
Foto feature – Foto feature adalah foto tunggal yang tidak sekadar memiliki nilai informasi, tapi juga menyampaikan suatu gagasan berharga pada orang yang melihatnya. Sekalipun hadir tunggal, foto feature bisa menghadirkan beragam penafsiran. Misalnya, foto tentang seseorang yang baru bebas dari menjalani hukuman di LP. Ekspresi orang yang baru bebas dari LP itu bisa dijadikan foto feature yang menarik.
Foto olahraga – Foto olahraga adalah foto yang khusus menyajikan informasi tentang peristiwa olahraga. Foto olahraga harus memberikan tekanan pada gerak atau aksi (aktion), tapi juga ekspresi.
Secara umum selama ini memang dikenal tujug jenis foto jurnalistik. Tapi World Press Photo (WPP), suatu organisasi nirlaba yang memberikan perhatian terhadap fotografi jurnalistik dunia yantg berpusat di Belanda membagi foto jurnalistik dalam beberapa kategori. Meliputi: foto berita hangat (spot news), foto berita umum (general news), foto portret (porttraits), foto peristiwa alam (nature), foto isu kontemporer (comtemporary issues), foto orang dalam isu (people in the news), foto berita Iptek (sience and technology), foto seni dan budaya (arts and culture), foto berita kehidupan keseharian (daily life) dan foto berita olah raga (sports action).
(sutirman eka ardhana)
ket. gambar: foto-foto di atas merupakan beberapa karya foto jurnalistik yang mendapat penghargaan dalam penilaian World Press Photo (WPP) tahun 2009.
Rabu, 29 Februari 2012
Selasa, 28 Februari 2012
KASSIAN CEPHAS Orang Yogya, Fotografer Pribumi Pertama
Suplemen: Pertemuan ke-2
KASSIAN CEPHAS
Orang Yogya, Fotografer Pribumi Pertama
SEJARAH fotografi DI Indonesia diawali pada tahun 1841. Di tahun itu, Juriaan Munich, seorang pegawai kesehatan Belanda ditugaskanoleh Kementerian Kolonial Kerajaan Belanda untuk datang ke Batavia (sekarang Jakartqa). Munich datang dengan membawa kamera dauguerreotype.
Tugas Munich di Batavia adalah untuk mengabadikan tanaman-tanaman serta kondisi alam yang ada di Indonesia dengan kameranya. Kamera dauguerreotype yang merupakan teknologi fotografi terbaru di masa itu telah digunakan oleh Pemerintah colonial Belanda untuk mendata semua hal yang berkaitan dengan Hindia Belanda.
Misalnya tentang kondisi atau keadaan suatu wilayah, perilqaku adapt istiadat dan budaya masyarakatnya, dan banyak hal lainnyqa lagi. Foto-foto itu bisa menjadi sumber informasi sekaligus bahan pijakan dalam menentukan strategi dan kebijakan kolonialnya di Hindia Belanda (Indonesia).
Sepanjang 100 tahun keberadaan fotografi di Indonesia, yaitu sejak 1841 sampai 1941, penggunaan kamera atau alat fotogradi tersebut nyaris sepenuhnya berada di tangan orang Belanda ( Eropa), kemudian sebagian kecil orang keturunan Cina (Tionghoa) dan Jepang. Dari hasil penelitian Pemerintah Kolonial Belanda diketahui sejak tahun 1850 hingga 1940 di Hindia Belanda terdapat 540 studio yang tersebar pada 75 kota besar dan kecil. Kemudian sepanjang tahun itu pula terdata sebanyak 315 fotografer berdarah Eropa, 186 orang Tionghoa, 45 orang Jepang, serta emapt orang pribumi Indonesia. Dan, salah seorang fotografer pribum itu adalah Kassian Cepas.
Orang Yogya
Kassian Cephas adalah fotografer pribumi yang pertama di Indonesia.Sayang sekali namanya berpuluh-puluh tahun tenggelam dan nyaris tak dikenal di negerinya sendiri, sebagai seseorang yang memiliki peran dan jasa besar dalam sejarah keberadaan fotografi di negeri ini.
Kalau saja pada bulan Juni 1999 tidak diselenggarakan pameran foto-foto karya Kassian Cephas di Keraton Yogyakarta, nama Kassian Cephas mungkin tidak diketahui banyak orang di Indonesia. Bahkan, para penggemar dunia fotografi di negeri ini p7un pasti merasa asing bila mendengar namamnya. Padahal selain sebagai orang pribumi yang pertama berprofesi sebagai fotografer professional, seorang sejarawan Belanda, Gerrit Knaaf, di dalam bukunya “Cephas, Yogyakarta : photography in the service of the Sultan” menyebut Kassian Cephass sebagai salah seorang pionir modernitas di Indonesia.
Siapa sesungguhnya Kassian Cephas? Kassian Cephas adalah seorang pribumi asli Jawa yang lahir di Yogyakarta pada 15 Februari 1844 dari pasangan Kartodrono dan Minah. Tapi kemudian ia diangkat sebagai anak angkat oleh pasangan keluarga Adrianus Schalk dan Eta Philipina Kreeft. Ia pun kemudian sempat disekolahkan ke Belanda.
Dalam usia relatif muda, di tahun 1860-an Cephas mengenal dunia fotografi. Bahkan di tahun-tahun itu juga ia mulai belajar menjadi fotografer professional. Kariernya sebagai fotografer professional diawali dengan magang pada Isidore van Kinsbergen, fotografer Belanda yang pada tahun 1863-1875 bertugas di Jawa Tengah.
Kariernya sebagai fotografer professional semakin melejit ketika di tahun 1888 ia membantu Isaac Groneman yang membuat buku-buku tentang kebudayaan Jawa. Buku-buku karya Isaac Groneman yang seorang dokter itu di antaranya “In den Kedatonte Jogjakarta” dan “De Garebeg”s te Ngajogjakarta”. Di dalam buku-buku itu terdapat sejumlah foto karya Kassian Cephas.
Fotografer Keraton
Pada masa Kesultanan Yogyakarta diperintah Sri Sultan Hamengku Buwono VII, Kassian Cephas diangkat sebagai fotografer keraton. Dalam kedudukannya sebagai fotografer keratin, ia dapat memotret berbagai peristiwa budaya atau momen-momen khusus yang diadakan di dalam keratin.
Ketika pada tahun 1889-1890 pemerintah kolonial Belanda melalui Archaeologische Vereeniging atau Archeological Union (AVAU) di Yogyakarta melakukan proyek penelitian di kompleks Candi Prambanan (Candi Loro Jongrang), Kassian Cephas dipercaya untuk membantu pemotretan.
Saat AVAU melakukan penggalian dasar Candi Borobudur, Kassian Cephas juga dilibatkan. Selama proyek penggalian dasar candi itu berlangsung, ia menghasilkan sedikitnya 300 lembar foto. Dari hasil jerih payahnya itu ia memproleh honor sebesar 3000 gulden. Padahal dana keseluruhan untuk proyek penggalian dasar Candi Borobudur itu hanya sebesar 9000 gulden.
Karya-karya foto Kassian Cephas di masa itu sering dijadikan souvenir-souvenir berharga oleh kalangan elite Belanda. Terutama foto-fotonya tentang Keraton Yogyakarta, Sultan, keluarga dan kerabat Sultan, para abdi ndalem, serta beragam ritual budaya dan kesenian. Dan, karya-karyanya itu terhimpun dalam souvenir album berjudul “Souvenir von Jogjakarta”.
Kassian Cephas, sang pionir modernitas fotografi di Indonesia ini meninggal dunia pada tahun 1912, dengan meninggalkan warisan karya-karya fotografi yang tak ternilai harganya. Dan, hamper semua karyanya itu tersimpan di Negeri Belanda.
Sutirman Eka Ardhana
ket. gambar: Kassian Cephas (paling atas). Lainnya, karya-karya Kassian Cephas, seperti Sri Sultan Hamengku Buwono VII, dll. (sumber foto: fotografernet.com)
Rabu, 22 Februari 2012
Suplemen: KAMERA "MAMMOTH" PANJANGNYA LIMA METER LEBIH
Suplemen (tambahan): untuk Pertemuan ke-1
Kamera “Mammoth”
Panjangnya Lima Meter Lebih
PARA pecinta fotografi di era digital ini telah mendapatkan banyak kemudahan. Dewasa ini kamera bisa dengan mudah dibawa ke mana-mana. Ukurannya yang kecil dan praktis membuat kamera tak perlu lagi dimasukkan ke dalam tas besar, tapi bisa dimasukkan ke dalam saku celana saja. Tetapi, pernahkah Anda bayangkan betapa repotnya para fotografer atau pecinta fotografi di tahun-tahun awal perkembangan teknologi fotografi tersebut?
Sejarah perjalanan fotografi tidak bisa lepas dari peran Al-Hazen, seorang ilmuwan Arab. Pada abad ke-10, Al-Hazen sudah menjelaskan prinsip-prinsip tehnik fotografi yang sederhana, melihat gerhana matahari melalui media ruangan gelap yang di dalamnya terdapat lubang kecil. Prinsip-prinsip Al-Hazen itu kemudian dikembangkan secara lebih detail lagi oleh Remerus Gemma-Frisius (1544), seorang ahli fisika berkebangsaan Belanda. Apa yang dikemukakan Al-Hazen dan kemudian dikembangkan Reinerus Gemma-Frisius itu kemudian terwujud di dalam kamera yang disebut kamera abscura.
Sejak prinsip-prinsip fotografi dinyatakan Al-Hazen di abad ke-10, kemudian diikuti perkembangannya yang pesat pada abad ke-19, hingga hari ini fotografi tidak pernah berhenti memainkan perannya bagi kepentingan kehidupan manusia. Eksistensi fotografi yang semakin nyata bagi kehidupan manusia ini tidak bisa lepas dari jasa dua orang Perancis, Nicephore Niepce dan Jacques Mande Daguerre yang sejak 1811 telah berupaya menciptakan serta mengembangkan teknologi fotografi tersebut.
Dari tahun ke tahun fotografi terus berkembang. Tahun 1840 Fiedrich Voigtlander berhasil membuat kamera metal yang pertama. Kemudian di tahun 1884, seorang ilmuwan Amerika bernama George Eastman menemukan film fotografi yang menggunakan seluloid yakni bahan plastik pertama buatan manusia. Seluloid ini pertama kali ditemukan Alexander Parkes, ahli kimia Inggris, di tahun 1856.
Keberhasilan Eastman tidak berhenti di situ. Tahun 1891, bersama mitra kerjanya Hannibal Goodwin, ia telah memperkaya dunia fotografi lagi dengan memperkenalkan satu rol film yang dimasukkan ke dalam kamera. Sebelum itu pada bulan Juni 1888, Eastman telah memperkenalkan pula kamera berukuran kecil yang disebutnya kotak “Kodak”.
Kamera Besar
Tapi teknologi fotografi di masa itu masih belum menemukan tehnik pembesaran foto. Kamera atau “Kodak” temuan Eastman hanya bisa menghasilkan foto atau gambar dalam ukuran kecil saja. Sejumlah upaya pembesaran foto telah dilakukan, tapi hasilnya mengecewakan. Gambarnya selalu kabur.
Para ilmuwan fotografi masa itu kemudian menemukan cara, untuk membuat foto besar maka harus digunakan kamera yang besar pula.Hal itulah yang kemudian dilakukan. Sekitar tahun 1900 sejumlah ilmuwan fotografi di Amerika Serikat membuat kamera besar yang ukuran panjangnya lebih dari lima meter. Kamera raksasa ini diberi nama “The Mammoth”.
Kamera “The Mammoth” ini dibuat berdasarkan pesanan dari perusahaan kereta api “Chicago and Alton Railroad Company”. Perusahaan kereta api itu ingin membuat foto rangkaian kereta api mewah baru yang akan diluncurkan dalam ukuran besar.
Penggunaan kamera “The Mammoth” untuk memotret kereta api mewah di stasiun kereta api itu telah mengerahkan tenaga lebih dari duapuluhlima orang. Untuk membawa kamera raksasa seberat 700 kilogram itu ke lokasi pengambilan gambar diperlukan setidaknya tenaga sepuluh orang.
Kamera itu ditempatkan di atas panggung yang terbuat dari kayu. Ketika kamera sudah di atas panggung, diperlukan beberapa orang untuk siaga menjaga agar kamera tidak terguling atau terjatuh dari atas panggung. Seorang bertugas sebagai pembidik sekaligus pemejet tombol penutup rana, seorang lagi bertugas di lensa (cincin lensa), dan ada juga yang bertugas untuk memberi aba-aba.
Sungguh, betapa repotnya kala itu hanya untuk membuat gambat sebuah kereta api.
Sutirman Eka Ardhana
Pertemuan ke-2: Memahami Profesi Fotografer
Pertemuan ke-2
Memahami Profesi Fotografer
FOTOGRAFER adalah sebutan bagi seseorang yang bekerja sebagai ‘juru foto’, baik di media massa (pers), institusi-institusi tertentu, studio foto, maupun yang bekerja secara perorangan.
Sejak tahun 1800-an, ketika fotografi terus memainkan perannya yang sangat berarti bagi kehidupan manusia, sejak itu pula profesi fotografer mulai menapakkan kakinya dan menanamkan eksistensinya dalam kehidupan. Seiring perkembangan zaman dan teknologi, dari waktu ke waktu, profesi fotografer semakin diakui keberadaannya. Bahkan kini, profesi fotografer sudah mendapat tempat yang sejajar dengan profesi-profesi lainnya, seperti guru, advokat, notaris, dokter dan lainnya.
Sebagaimana halnya fotografi yang kini telah merambah ke berbagai bidang kehidupan manusia, profesi fotografer pun kini telah memainkan perannya yang besar dan sangat berarti dalam berbagai bidang kehidupan manusia tersebut.
Sejak fotografi diyakini telah menjadi media atau alat untuk memvisualisasikan ide, maka fotografi pun semakin diyakini pula telah menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dalam aktivitas penyampaian gagasan. Bila gagasannya untuk mengemukakan nilai-nilai estetika atau hal-hal yang bernuansa keindahan, maka ia akan menjadi fotografi seni. Apabila gagasannya berkaitan dengan kepentingan bisnis atau komersial, maka ia disebut fotografi komersial.
Kemudian bila gagasannya berkaitan dengan mendokmentasikan sesuatu atau menyampaikan informasi yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa aktual, ia pun menjafi fotografi jurnalistik. Sedangkan bila gagasannya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian dan semacamnya, maka ia menjadi fotografi ilmiah.
Jadi, sebagai media penyampaian gagasan atau ide, maka fotografi bisa dibagi dalam empat bidang garap, yaitu: 1) fotografi seni (art); 2) fotografi komersial; 3) fotografi jurnalistik; 4) fotografi ilmiah.
Dengan demikian, sesuai bidang garapnya tersebut, maka fotografer pun dikelompokkan pada empat kelompok, masing-masing: 1) fotografer seni; 2) fotografer komersial; 3) fotografer jurnalistik (wartawan foto/jurnalis foto); 4) fotografer iilmiah.
Melihat pada empoat kelompok tersebut, maka sangatlah jelas bahwa bidang garap atau ‘lapangan kerja’ bagi profesi fotografer kini tersedia amat luas.
Namun yang paling menonjol, karena memiliki keterkaitan dan hubungan sangat erat dengan kebutuhan serta dinamika kehidupan manusia sekarang ini adalah fotografi komersial dan fotografi jurnalistik. Sedang khusus untuk fotografi seni (art), sesuai dengan kepentingan dan peruntukannya maka karya-karyua dari fotografi seni itu sekarang bisa masuk ke fotografi komersial dan fotografi jurnalistik.
Fotografi Komersial
Sekarang ini lahan garap fotografi komersial atau bidang kerja yang bisa dimasuki fotografer komersial sangatlah luas dan beragam. Haruslah diakui, bahwa dewasa ini tidak ada satu pun bidang usaha atau bisnis yang tidak memerlukan ‘jasa’ atau ‘uluran tangan’ fotografi. Dengan kata lin, tidak ada usaha atau bisnis yang sukses tanpa dukungan fotografi, atau tanpa keterlibatan profesi fotografer.
Lahan garap fotografi komersial yang luas dan merupakan ‘ladang kerja’ potensial bagi profesi fotografer itu di antaranya: fotografi periklanan, fotografi fashion, fotografi pemandangan dan wisata, fotografi arsitektur, fotografi industrial, fotografi pernikahan, wisuda, dan nbanyak lainnya lagi.
Fotografi Periklanan
Fotografi perikalanan adalah fotografi yang mengkhusukan spesialisasinya pada dunia periklanan. Dunia periklanan memberikan lahan yang sangat luas dan lebar bagi para fotografer untuk mengembangkan kemampuan dan kreasinya. Hal ini dikarenakan, tidak ada satu usaha pun yang tidak menggunakan media periklanan dalam memperkenalkan produknya kepada masyarakat. Fotografi memiliki peran sangat besar dan penting bagi dunia atau media periklanan dalam menyuguhkan sebuah karya iklan yang mampu menarik perhatian masyarakat.
Hampir semua produk iklan memerlukan jasa fotografi. Misalnya, produk iklan busana, makanan, minuman, kerajinan, peralatan elektronik, mobil, perhiasan, rumah, apartemen, dan lain sebagainya, memerlukan dukungan kerja fotografi. Karya-karya fotografi itu diyakini memiliki daya tarik yang sangat tinggi bagi masyarakat, sehingga tertarik terhadap produk yang ditawarkan.
Karena prinsip utama iklan adalah menarik perhatian masyarakat sehingga kemudian tertarik untuk memilikinya, maka seorang fotografer yang ingin menggeluti dunia fotografi periklanan haruslah memiliki wawasan atau pengetahuan mengenai ilmu ekonomi terutama yang berhubungan dengan teori-teori pemasaran. Selain menguasai prinsip-prinsip pemasaran, fotografer periklanan juga harus memiliki kepekaan yang cukup tinggi terhadap nilai-nilai estetika.
Pengetahuan tentang nilai-nilai estetika tersebut sangat penting, karena foto-foto iklan tidak hanya punya nilai inmformasi bisnis tapi juga harus sarat dengan nuansa keindahan. Karena nuansa keindahan itu akan lebih menggoda emosi seseorang yang melihat sajian foto dalam produk iklan tersebut.
Fotografi Fashion
Salah satu jenis fotografi komersial yang memiliki daya tarik serta pesona cukup tinggi adalah fotografi fashion atau busana. Meskipun layak dikelompokkan di dalam kategori fotografi periklanan, namun karena ‘penggarapan’ foto-foto fashion memiliki kekhususan yang tersendiri dibanding produk iklan lainnya, maka fotografi fashion menjadi bidang garap yang tersendiri.
Foto-foto fashion dewasa ini tidak lagi befrbentuk foto-foto produk, tapi telah berkembang menjadi suatu aliran dalam dunia fotografi yang mengutamakan atau mengedepankan segi artistik atau nilai-nilai estetika yang tinggi. Dalam fotografi fashion, obyek pemotretannya tidak hanya mode busana, tapi juga model yang mengenakan busana atau fashion tersebut. Karena itulah di dalam fotografi fashion, nilai-nilai artistik yang dikedepankan haruslah mewakili rancangan fashion atau busana itu sendiri yang menawarkan ide maupun konsep-konsep cemerlang, disamping ttata make-up dan rambut model (pergawati yang memeragakannya), tata gaya, tata ruang serta tehnik fotografi, dan llain-lainnya yang menghadirkan nilai-nilai keindahan.
Di dalam foto fashion, detail busana sangatlah penting untuk ditampilkan. Detail busana yang ditampilkan dimulai dari bahu hingga ke ujung kaki model yang mengenakannya. Wajah model serta latar-belakang dari posisi model itu berada juga memiliki peran arau fungsi yang sangat esensial dalam menonjolkan busana yang dikenakan hinga menghadirkan pesona tinggi.
Dalam bekerja, fotografer fashion tidak bisa bekerja secara sendiri tanpa dukungan pihak lain. Untuk menghasilkan foto fashion yang baik, sang fotografer harus selalu berhubungan dengan perancang mode (desaigner), fashion stylist yang menata keserasian mode busana yang dikenakan modelnya. Selain itu juga akan bekerjasama dengan make-up artis yang membuat seorang model menjadi terlihat cantik dan penuh pesona.
Fotografer apa pun pasti akan bekerja berdasarkan konsep dan ide. Jadi, fotografer tidak semata-mata bertumpu pada kemampuan atau keterampilannya dalam tehnik fotografi semata. Karena itulah fotografer fashion dalam melaksanakan kerja profesinya juga bekerja berdasarkan konsep, ide serta fashion itu sendiri.
Konsep dan ide di dunia fotografi fashion sekarang ini sangat cemerlang. Konsep-konsep dan ide-ide cemerlang itu telah membuat batas antara sebuah foto porno, art nude san foto-foto yang menghadirkan nilai-nilai kesopanan serta etika sudah tidak terlihat lagi.
Konsep dan ide fotografi fasion kebanyakan memang terkesan mengarah pada kecenderungan mengeksploitasi seks. Hal seperti ini terjadi, d barangkali dikarenakan seks memang dipandang atau diyakini sebagai sumber inspirasi dalam kehidupan yang tidak pernah ada habisnya.
Fotografi Pemandangan dan Wisata
Indonesia merupakan negeri yang kaya dengan obyek wisata serta kaya akan pemandangan alam yang indah. Kekayaan obyek wisata dan panorama alam yang indah tersebut membuat Indonesia selalu didatangi para turis atau wisatawan dari berbagai penjuru dunia.
Kekayaan obyek wisata dan keindahan alam yang ada itu merupakan ‘lahan potensial’ bagi para fotografer yang memang ingin mengkhususkan dirinya pada fotografi pemandangan dan wisata ini. ‘Lahan subur’ ini tentu memberikan nilai komersial yang menarik bagi para fotografer. Dengan kata lain, kekeyaan obyek wisata dan keindahan alam yang dimiliki negeri kita itu merupakan ‘tambang emas’ yang tidak akan pernah habis digali.
Keindahan panorama alam yang merupakan ‘tambang emas’ itu berupa keindahan pemandangan daratan (pandscape), keindahan pemandangan pantai dan laut (seascape), keindahan pemandangan gunung atau pegunungan dan dataran tinggi (mountainscape), serta keindahan pemandangan alam bawah laut (unerwater world). Keindahan alam ini diperkaya lagi dengan banyaknya obyek wisata yang bertebaran di seluruh pelosok tanah air.
Foto-foto yang merekam panorama keindahan alam itu bisa dijadikan ‘komoditi’ yang menguntungkan. Misalnya, bisa dijadikan kartu pos maupun souvenir-souvenir yang menarik bagi wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik.
Sekalipun fotografi pemandangan dan wisata masuk dalam kategori fotografi komersial, namun karena foto-foto pemandangan dan wisata juga sarat dengan tampilan nilai-nilai estetika yang tinggi, maka dapat juga masuk ke dalam kelompok fotografi seni. Disamping itu, karena foto-foto pemandangan dan wisata merupakan foto-foto yang mampu ‘bercerita’ kepada khalayak penikmatnya, maka dapat pula menghiasi media-media massa cetak.
Seorang fotografer pemandangan dan wisata adalah seseorang yang dituntut untuk memiliki kepekaan maupun rasa seni yang tinggi. Selain itu, hal yang harus dipahami oleh setiap fotografer pemandangan dan wisata adalah pemandangan-pemandangan indah yang akan menjadi obyek jepretan komeranya itu memiliki sejumlah unsur penting, seperti ttanah (hamparan padang, gurun, perbukitan dan gunung), air (luat, pantai, danau atau telaga, danm sungai), tumbuhan (pepohonan, hamparan hutan, rumput) dan langit (awan serta cuaca).
Fotografi Arsitektur
‘Ladang kerja’ yang menarik lainnya bagi fotografer komersial adalah fotogradi arsitektur. Sesuai dengan namanya maka fotografi arsitektur akan mengambil obyek pemotretannya karya-karya arsitektur.
Obyek fotografi arsitektur ini cukup bervariasi atau beragam. Diantaranya, bangunan-bangunan perkantoran, mall, kondominium, apartemen, rumah, bangunan masjid, candi, gereja, bangunan keraton atau istana, jembatan layang, rumah-rumah ttradisional, dan banyak lainnya lagi.
Nilai jual bagi foto-foto arsitektur tersebut cukup tinggi, dikarenakan banyak diperlukan oleh kalangan arsitek. Fotografi arsitektur tidak hanya menghasilkan foto-foto tentang beragam bentuk bangunan saja, akan tetapi yang paling utama adalah mampu menghadirkan informasi mengenai dunia arsitektur yang diperlukan oleh kalangan arsitek tersebut.
Foto-foto arsitektur tidak hanya penting dalam upaya perkembangan dunia arsitektur, tapi juga dimanfaatkan oleh para arsitek, organisasi-organisasi profesi arsitek maupun lembaga-lembaga terkait untuk kegiatan-kegiatan seperti kompetisi arsitektur dan lain-lainnya lagi.
Foto-foto arsitektur juga memiliki peran besar bagi studi arsitektur. Selain itu foto-foto arsitektur dapat digunakan untuk portfolio dan promosi oleh kalangan arsitek, perancang interior, kontraktor, sub-kontraktor, sampai pemasok eleman bangunan maupun elemen interior. Nilai jual lainnya, foto-foto arsitektur dapat pulka dijadikan media promoso. Misalnya, pengelola hotel. Restoran, pusat-pusat perbelanjaan, apartemen dan lain-lainnya lago, bisa menggunakan foto-foto dengan obyekj bangunannya dalam promoso usahanya ke masyarakat. ***
Sutirman Eka Ardhana
Keterangan foto:
1. (atas) - Kamera obscura yang digunakan fotografer di awal-awal penemuan kamera (alat memotret).
2. (bawah) - Gaya seorang fotografer dengan kamera yang dilengkapi tele.
Selasa, 21 Februari 2012
Pertemuan ke-1: MEMAHAMI FOTOGRAFI
Pertemuan ke-1
MEMAHAMI FOTOGRAFI
FOTOGRAFI bermula dari kata photos dan graphos, yang merupakan bahasa Yunani. Photos berarti cahaya, sedangkan graphos artinya menulis. Jadi, fotografi secara harafiah berarti ‘menulis dengan cahaya”. Arti harafiah ini bisa dikembangkan lagi menjadi “bercerita derngan cahaya” atau “melukis dengan cahaya”. Namun di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa fotografi adalah suatu seni atau proses penghasilan gambar dan cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan.
Fotografi memang tidak bisa dipisahkan dengan kerja seni. Sebab, karya fotografi apa pun bentuk dan obyeknya merupakan media ekspresi diri. Sebagai bagian dari bidang seni, fotografi memiliki kesamaan dengan seni lukis, yakni sama-sama merupakan media penyampaian ekspresi Perbedaannya hanya pada media atau sarana yang dipakai. Karya seni lukis memakai media dan sarana seperti kanvas, kuas dan cat, sementara fotografi memakai cahaya, film dan kamera. Dengan kata lain, bila seni lukis adalah melukis dengan cat, sedangkan fotografi ‘melukis dengan cahaya’.
Bila ingin memahami fotografi, haruslah diawali lebih dulu dengan langkah untuk memahami sejarah panjang perjalanan fotografi. Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, ilmu fotografi yang di dalamnya terdapat seni mendokumentasikan perisatiwa demi peristiwa, sesungguhnya sudah berusia sangat tua. Usia ilmu fotografi sama tuanya dengan usia peradaban manusia.
Manusia-manusia prasejarah dalam peradabannya ketika itu sudah menemukan iilmu fotograf tersebut Hal itu terbukti dari peninggalan-peningggalan masa prasejarah di gua-gua kuno yang berwujud goresan-goresan atau lukisan-lukisan di dinding-dionding batu gua. Misalnya gua Lascaux, gua kuno yang terdapat di Perancis, di dalamnya terdapat ‘karya dokumentasi sejarah tak ternilai harganya’ berupa lukisan-lukisan tentang bagaimana manusia prasejarah berburu binatang, berperang, tentang senjata-senjata yang dimiliki sampai busana atau pakaian yang dikenakan.
Sejarah perjalanan fotografi tidak bisa dilepaskan dari peran seorang ilmuiwan Arab yang bernama Al-Hazen. Pada abad ke-10, Al-Hazen sudah mengutarakan penemuannya mengenai tehnik fotografi yang sederhana, yakni melihat gerhana matahari melalui media ruangan gelap yang di dalamnya terdapat lubang kecil (pinhole). Pernyataan atau penjelasan Al-Hazen itu kemudian dikembangkan secara lebih nyata lagi oleh seorang ahli fisika dan mate,matika berkebangsaan Belanda, Reinerus Gemma-Frisius (1544), seorang ahli fisika dan matematika berkebangsaan Belanda. Apa yang dikemukakan Al-Hazen dan dikembangkan oleh Reinerus Gemma-Frisius itu kemudian terwujud di dalam kamera yang disebut obscura.
Giambattista della Porta, seorang ahli fisika Italia, pada tahun 1569 telah memasang kamera abscura berukuran besar yang pertama. Komponen utama kamera obscura ini adalah sebuah kamar gelap. Di bagian atas kamar gelap itu terdapat lubang (dengan lensa bulat cembung) dan di atasnya terdapat pula sebuah cermin yang berada di sudut 45 derajat terhadap horison. Cahaya masuk ke kamar gelap melalui lubang tersebut. Sinar dari cahaya itu memantul secara vertikal ke bawah, dan jatuh ke permukaan meja besar berwarna putih.
Sejak prinsip-prinsip ’fotografi’ itu dinyatakan Al-Hazen pada abad ke-10, kemudian diikuti perkembangannya yang pesat pada abad ke-19, hingga hari ini fotografi tidak pernah berhenti memainkan dan meningkatkian perannya bagi kepentingan kehidupan manusia. Eksistensi fotografi yang semakin nyata bagi kehidupan manusia ini tidak bisa lepas dari jasa dua orang Perancis, Nicephore Niepce dan Jacques Mande Daguerre yang sejak 1811 telah berupaya menciptakan serta mengembangkan teknologi fotografi tersebut.
Nicephore Niepce, seorang mantan perwira tentara Napoleon Bonaparte, seusai tugas perang pada tahun 1811 mulai melakukan serangkaian peneloitian dan percobaan. Penelitian yang dilakukannya antaralain mencoba sejumloah bahan kimia yang memiliki sifat sangat sensitif terhadap cahaya. Niepce juga melakukan penelitian dan percobaan untuk menangkap serta menyimpan cahaya di dalam kamera obscura kecil. Dan, Niepce pulalah yang pertama kali memperkenalkan istilah ”fotografi” yang dikenal hingga hari ini.
Dalam perjalanan kreatifnya Niepce kemudian bertemu dengan Jacques Mande Daguerre. Daguerre, seorang dekorator dan pekerja seni itu, ternyata memiliki ketertarikan yang sama dengaqn Niepce. Ia juga telah melakukan serangkaian percobaan yang berkaitan dengan pemanfaatan cahaya. Keduanya pun sepakat bekerjasama untuk menghasilkan suatu karya teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan manus8ia. Setelah bekerjasama dengan Niepce, sejak tahun 1831 Daguerre tidak henti-hentinya bekerja keras untuk mendapatkan proses pembuatan gambar yang kekal pada pelat perak. Usaha Daguerre tidak sia-sia, karena di tahun 1837 ia berhasil menemukan pengaruh air raksa terhadap gambar-gambar kekal di atas piringan-piringan diodide perak. Dua tahun kemudian, tepatnya di tahun 1839, cata atau proses tersebut diberi nama ”Daguerreotype”.
Bersamaan dengan penemuan ”Daguerreotype” itu, Niepce pun berhasil menyempurnakan kamera obscura yang dimilikinya. Kamera yang sudah disempurnakan itu berbentuk sebuah kotak persegi panjang, berukuran enam inci dari dinding belakangnya. Di dalamnya terdapat piringan yang sensitif terhadap cahaya, hasil temuan Daguerre. Sayangnya, Niepce tidak bisa berlama-lama menikmati hasil jerih-payahnya bersama Daguerre itu, karena dua tahun kemudian ia meninggal dunia.
Perkembangan fotografi berikutnya ditandai dengan upaya Willian HF Talbot yang di tahun 1839 itu juga mencoba proses pembuatan gambar yang memakai bahan lebih peka terhadap kertas. Upaya ini disusul kemudian oleh seorang profesor di Universitas New York, Amerika, John W Draper, yang pada tahun 1840 telah membuat gambar wajah manusia dengan proses pencahayaan yang hanya memakan waktu selama lima menit.
Sejarah perjalanan dan perkembangan fotografi berikutnya antaralain: dibuatnya kamera metal yang pertama oleh Fiedrich Voigtlander pada tahun 1840, kemudian di tahun 1884 seorang ilmuwan Amerika, George Eastman, menemukan film fotografi yang menggunakan seluloid, yakni bahan ’plastik’ pertama buatan manusia. Seluloid ini pertama kali ditemukan oleh Alexander Parkes, seorang ahli kimia Inggris, di tahun 1856. Keberhasilan Eastman tidak berhenti disitu. Tahun 1891, bersama mitra kerjanya Hannibal Goodwin, ia telah memperkaya dunia fotografi lagi dengan memperkenalkan satu rol film yang dimasukkan ke dalam kamera dan digunakan pada siang hari. Sebelum itu, pada bulan Junmi 1888 Eastman telah memperkenalkan pula kamera berukuran kecil, yang disebutnya kotak ”Kodak”. Kamera Kodak temuan Eastman di masa itu, merupakan peralatan fotografi yang luar biasa. Kamera ini memiliki keunggulan-keunggulan yang tidak terdapat pada peralatan sebelumnya.
George Eastman memang telah membawa perkembangan yang besar dalam dunia fotografi. Temuannya tentang rol film, kemudian dikembangkan oleh Eastman’s American Film dengan memproduksi rol kertas tipis yang dilapisi emulsi gelatin. Kemajuan teknologi fotografi ditandai lagi dengan dibuatnya film negatif yang terjadi setelah dipisahkannya emulsi dari kertas yang tidak tembus cahaya. Penemuan film negatif ini membawa perkembangan teknologi kamera semakin pesat. Para ahli pun kemudian menciptakan kamera-kamera dalam ukuran yang lebih kecil, praktis dan ringan. Kamera pun tidak hanya bermerek ”Kodak” temuan George Eastman itu, tapi bermacam-macam merek kamera kini telah memenuhi dunia fotografi.
Kemajuan teknologi telah membawa kemajuan yang sangat pesat di dunia fotografi. Dari tahun ke tahun teknologi fotografi mengalami kemajuan-kemajuan yang pesat dan mencengangkan. Kini fotografi sudah memasuki era teknologi digital. Hal ini ditandai dengan terdapatnya beragam bentuk dan merek kamera digital, yang membuat teknologi fotografi menjadi lebih praktis lagi.
Sutirman Eka Ardhana
Langganan:
Postingan (Atom)