Tugas Penulisan Berita:
Khusus untuk Mhs Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah (Dakwah dan Komunikasi) UIN Sunan Kalijaga yeng mengikuti MK REPORTASE MEDIA CETAK pada semester genap 2012/2013. Rubahlah tulisan dalam bentuk wawancara (tanya-jawab) dengan tokoh Prof. DR. Faisal Ismail, MA di bawah ini menjadi berita langsung (straight news). Lokasi wawancaranya di Yogyakarta (dateline). Waktu bisa disesuaikan dengan waktu terkini.
PROF DR FAISAL ISMAIL, MA
Zakat di
Kuwait, Lintas Negara
PROF
DR Faisal Ismail, MA, guru besar pada Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, sepanjang September 2006 hingga Juni 2010
telah dipercaya pemerintah menjadi Duta Besar RI untuk Kuwait merangkap
Kerajaan Bahrain.
Selama menjadi
Dubes di kawasan Timur Tengah itu, Prof Faisal yang kelahiran Sumenep, Madura,
14 Mei 1947, dan menyelesaikan sarjana S-1 Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta tahun 1973, S-2 di Department of
Middle East Languages and Cultures, Columbia University, AS, serta
menyelesaikan S-3 di Institute of Islamic Studies, McGill University, Kanada,
tahun 1995 ini mengalami tiga kali Ramadhan dan Idul Fitri di Kuwait.
Bagaimana pengalaman dan kesan Prof Faisal Ismail yang sebelum
menjadi Dubes sempat menjabat Sekjen Departemen Agama RI
tersebut tentang Ramadhan di Kuwait? Sesemarak apakah Ramadhan di Kuwait bila dibandingkan dengan Indonesia?
Berikut dialog TeRAS dengannya Senin (25/7) di lantai dua Gedung Rektorat UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta.
***
Kawasan Timur Tengah selalu identik dengan
Islam, termasuk Keemiran Kuwait
yang hampir seratus persen warganya beragama Islam. Sesemarak apakah Ramadhan
di sana bila dibandingkan dengan suasana
Ramadhan di Indonesia
yang mayoritas penduduknya juga muslim?
Kuwait itu
negara kecil. Penduduknya hanya sekitar 700 ribu jiwa. Tapi warganegara asing
atau pendatangnya mencapai dua kali lipat jumlahnya, yakni sekitar1,4 juta
jiwa. Seratus persen penduduknya memang muslim, yang terbagi dalam dua
golongan, Sunni dan Syiah. Penganut Islam Sunni mencapai 70 persen dari jumlah
penduduknya, sedang sisanya yang 30 persen penganut Islam Syiah.
Karena
penduduknya yang sedikit, maka suasana Ramadhan di Kuwait, terutama di
ibukotanya Kuwait City, tidak seramai atau sesemarak Ramadhan di Indonesia. Di
negeri kita suasana Ramadhan jauh lebih semarak. Bahkan menjelang Ramadhan tiba
saja, suasana kesemarakan itu sudah terlihat. Tapi di Kuwait, suasana menjelang
Ramadhan biasa-biasa saja. Apalagi masjid-masjid di Kuwait juga kalah besar
dengan masjid-masjid di Indonesia.
Di Kuwait tidak ada masjid yang sebesar dan semegah Masjid Istiqal di Jakarta.
Akan tetapi kalau mall atau pusat-pusat perbelanjaan, jangan tanya. Di sana besar-besar dan
megah.
Sebagai Negara Islam, apakah Pemerintah Kuwait
menerapkan ketentuan-ketentuan hukum yang ketat seputar pelaksanaan ibadah
puasa di bulan Ramadhan? Misalnya, apakah ada larangan makan dan minum di
sembarang tempat saat siang hari? Dan juga apakah restoran-restoran atau
rumah-rumah makan dilarang buka pada siang hari?
Ya, sebagai
Negara Islam, ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan puasa di
bulan Ramadhan cukup ketat. Ada
peraturan pemerintah yang melarang orang makan dan minum di sembarang tempat
ketika saat ibadah puasa sedang berlangsung. Bila ketahuan makan dan minum,
maka orang tersebut akan ditangkap dan diberi sanksi. Tapi setahu saya, sanksi
yang diberikan masih tetap bersifat edukatif.
Karena seratus
persen warganegaranya beragama Islam, maka restoran-restoran atau rumah-rumah
makan dilarang buka pada siang hari. Namun bagi yang non-muslim, tetap
disediakan restoran atau rumah makan yang khusus melayani keperluan mereka pada
siang hari. Restoran itu tidak dibuka secara mencolok. Dan, pengawasannya pun
sangat ketat. Artinya, restoran itu dilarang melayani yang muslim. Kalau
ketahuan ada sanksinya. Mereka yang non-muslim di Kuwait adalah para pekerja
asing.
Meski suasana Ramadhan di Kuwait tidak
sesemarak Indonesia, apakah tidak ada kesan yang mungkin agak lebih istimewa
bila dibandingkan dengan di Tanah Air? Atau apakah tidak ada kesan yang lebih
spesifik bila dibandingkan warna-warni aktivitas Ramadhan di negeri kita,
terutama di Yogyakarta?
Saya terkesan
dengan suasana malam-malam menyambut Lailatul Qadar atau malam-malam mulai
tanggal 21 Ramadhan sampai akhir Ramadhan. Di Indonesia, terutama di Jawa
termasuk Yogyakarta, malam 21 Ramadhan juga
disambut dengan sebutan malam selikuran. Mulai malam selikur sampai malam
terakhir Ramadhan, banyak yang meningkatkan ibadah di masjid dengan harapan
akan mendapatkan Lailatul Qadar. Masjid-masjid akan dipenuhi orang-orang yang
beribadah malam sampai pagi.
Tetapi di
Kuwait suasana malam-malam Lailatul Qadar, atau malam-malam mulai tanggal 21
Ramadhan terasa jauh lebih spesifik dan istimewa lagi. Suasana kekhusukan
Ramadhan di Kuwait baru terasa sekali setelah tanggal 21 Ramadhan itu.
Pemerintah Kuwait
juga memberikan perhatian yang khusus, dengan memberikan instruksi kepada
rakyatnya untuk menyemarakkan suasana malam-malam Lailatul Qadar tersebut.
Pemerintah membuat edaran yang disebarkan ke seluruh penjuru negeri. Bahkan
Kedubes-kedubes negara Islam lainnya yang ada di Kuwait juga diberi edaran untuk
ikut berpartisipasi menyemarakkannya. Setelah tanggal 21 Ramadhan itu,
masjid-masjid sepanjang malam dipenuhi jemaah yang bertadarus dan berzikir.
Dalam ibadah puasa di bulan Ramadhan, setiap
muslim juga diwajibkan melaksanakan ibadah zakat, baik zakat fitrah maupun zakat
mall. Bagaimanakah pelaksanaan zakat di Kuwait yang warganya relatif
kaya-kaya?
Perhatian
rakyat Kuwait
terhadap pelaksanaan zakat di bulan Ramadhan sangat luar biasa. Karena
penduduknya dalam keadaan makmur atau hidup berkecukupan, maka perhatian mereka
terhadap berzakat atau bersedekah sangat tinggi. Di bulan Ramadhan, semangat
dan aktivitas orang-orang Kuwait
dalam berzakat atau bersedekah cukup menakjubkan. Mereka tidak ragu-ragu
mengeluarkan zakat maupun bersedekah dalam jumlah besar kepada orang-orang yang
dipandang memang pantas menerimanya.
Para TKI atau
TKW Indonesia yang berada di sana banyak yang
menikmati kedermawanan orang Kuwait
di bulan Ramadhan tersebut. Tidak sedikit pula sedekah yang diterima para TKI
atau TKW itu berupa tiket pulang-pergi ke Tanah Air. Para TKI atau TKW
bermasalah yang ditampung di KBRI, juga ikut menikmati zakat dan sedekah itu.
Bahkan, kedermawanan orang Kuwait
dalam soal berzakat dan bersedekah itu tidak hanya dilakukan di dalam negerinya
sendiri, tetapi juga sampai lintas negara. Orang Kuwait
banyak yang mengirimkan zakat dan sedekahnya ke negara-negara muslim yang
miskin di antaranya seperti Bangladesh.
Bagaimana suasana Hari Raya Idul Fitri di Kuwait? Apakah
sama atau berbeda bila dibandingkan dengan yang berlangsung di Indonesia?
Suasana
Lebaran atau Idul Fitri di Kuwait dengan di Indonesia memang sangat jauh
berbeda. Bila di Indonesia, suasana Idul Fitri terasa begitu semarak dan
meriah. Kegembiraan dan kebahagiaan terlihat di mana-mana. Misalnya, di malam
Lebaran saja kemeriahan sudah terlihat. Kemudian di hari lebarannya, sehabis
sholat Idul Fitri, diramaikan dengan acara silaturahmi atau saling
kunjung-mengunjungi antara satu sama lain, untuk bermaaf-maafan. Di rumah-rumah
warga terdapat kesibukan menyiapkan beragam makanan dan minuman untuk menyambut
para tamu. Para pemimpin atau pejabat, dari tingkat nasional atau pusat,
provinsi sampai kabupaten dan kota
membuka acara yang disebut Open House. Memberi kesempatan kepada warganya untuk
datang bersilaturahim. Misalnya, Presiden membuka open house, Gubernur dan juga
Bupati serta Walikota melakukan hal yang sama. Pendek kata, Lebaran di negeri
kita benar-benar meriah.
Berbeda dengan
di Kuwait.
Di sana pada
saat Idul Fitri, sehabis sholat Ied, ya warga akan pulang ke rumahnya
masing-masing, atau sibuk berlibur dengan anggota keluarganya. Di sana tidak ada tradisi
silaturahim atau kunjung-mengunjungi antara satu sama lain di saat Lebaran itu.
Tidak ada pejabat atau pemimpin yang membuka acara open house. Akan tetapi berbeda
dengan Idul Adha. Di Kuwait, seperti negara-negara Timur Tengah lainnya,
suasana Idul Adha jauh lebih meriah dan semarak dibanding Idul Fitri.
Walau suasana Ramadhan dan Idul Fitri di
Kuwait tidak sesemarak atau semeriah di Indonesia, tapi adakah nilai-nilai
positif yang bisa diambil dari bagaimana cara masyarakat Kuwait
melaksanakan ibadah puasanya di bulan Ramadhan?
Ou, pasti ada.
Salah satu nilai positif yang nyata adalah meningkatnya semangat kedermawanan
warga Kuwait
di bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan benar-benar mereka yakini sebagai bulan untuk
beribadah dan beramal. Karena itu selain beribadah, mereka melipatgandakan
sedekah atau menaikkan sikap kedermawanan mereka untuk memberi atau membantu
kepada sesama.
Sifat
kedermawanan masyarakatnya yang sangat tinggi itu tentunya pantas dicontoh oleh
masyarakat di Indonesia,
terutama mereka yang tergolong mampu atau berkecukupan. Apalagi di negeri kita
ini masih banyak sekali masyarakat yang hidup serba kekurangan, hidup di bawah
garis kemiskinan dan terkebelakang. Andai itu terjadi di masyarakat kita, maka
di bulan Ramadhan akan banyak sekali masyarakat yang kurang mampu ikut
merasakan kebahagiaan dan kegembiraan saat Lebaran tiba.
SUTIRMAN EKA ARDHANA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar