Sang Advokat: Aprillia Supaliyanto, SH (1)
Cita-cita Sederhana, Si Anak Desa
MUNENG, sebuah desa yang teduh dan
tenteram di Kecamatan Balong, Kabupaten Ponorogo. Di desa yang damai dan hijau
karena rimbun pepohonan ini tinggal pasangan keluarga Marrikan Martowiyono dan
Sutarti. Pada tanggal 24 April 1964 kegembiraan meledak di pasangan keluarga
ini, karena di hari itu telah lahir anak mereka yang keduabelas, seorang
lelaki, yang ternyata kemudian juga merupakan anak terakhir. Si bungsu itu lalu
diberi nama Aprillia Supaliyanto.
Meski terlahir sebagai anak bungsu, tetapi oleh orangtuanya, Aprillia
tidak dididik untuk menjadi anak manja. Sejak kecil ia telah dididik untuk
menjadi seorang lelaki yang mandiri, tegar, berani, bertanggungjawab, disiplin,
penuh semangat, pantang menyerah, dan tidak mudah putus asa. Karena itulah,
sejak bangku Sekolah Dasar, sikap dan sifatnya sebagai seorang ‘pekerja keras’
dan ‘pantang menyerah’ sudah terlihat nyata.
Bahkan sejak di bangku SD, ia sudah ‘terpesona’ dengan ketegaran,
kegagahan, keberanian, dan sikap penuh semangat serta kesan pantang menyerah
dalam kehidupan yang ditampilkan oleh militer atau TNI. Karena itulah, sejak di
bangku SD pula ia telah menanamkan cita-cita untuk menjadi seorang tentara.
Cita-cita sederhana seorang anak desa yang kagum melihat ‘kegagahan’ sosok
militer.
Selulus SMP Negeri I Ponorogo di tahun
1980, ia terus membawa cita-cita sederhana untuk menjadi seorang tentara
itu sampai duduk di bangku SMA Negeri I Ponorogo pada 1981. Harapannya, di SMA
ia bisa masuk ke jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), sehingga bila lulus SMA
nanti bisa mendaftar ke Akabri (Akademi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia).
Tetapi, harapannya itu tak terwujud. Meski ia sudah berusaha semaksimal
mungkin, ternyata para guru yang memberikan nilai berkeinginan lain. Ketika
naik ke kelas dua SMA, ia gagal masuk ke jurusan IPA. Kegagalan itu benar-benar
dirasakannya bagaikan pukulan yang dahsyat. Pukulan yang membuatnya sempat
lemah, tak berdaya dan nyaris kehilangan semangat. Betapa tidak. Dengan gagal
masuk ke jurusan IPA, maka cita-citanya untuk bisa masuk ke Akabri menjadi
terhalang.
Kegagalan itu sempat membuatnya goyah sesaat. Bahkan ia sempat sakit
beberapa hari, karena terlalu memikirkan kegagalannya itu. Untunglah, tempaan
dan didikan kedua orangtuanya, terutama ayahnya Marrikan Martowiyono, yang
diterimanya sejak kecil, telah membuatnya segera bangkit dari kegagalan. Ia
berpikir, kegagalan bukanlah akhir dari segala-galanya. Ia pun bertekad,
kegagalan masuk ke jurusan IPA, tidak harus membuatnya kehilangan semangat
untuk membangun diri.
Dorongan Sang Ibu
Terlebih sang ibu, Ny. Sutarti, terus mendorongnya untuk tidak patah
semangat.
"Kamu tidak gagal.
Percayalah. Allah pasti memiliki rencana lain untuk dirimu. Jadi, tak bisa
masuk ke jurusan IPA itu tak perlu disesali. Ayo, jangan patah semangat.
Semangat. Semangat!" kata sang ibu.
Kata-kata sang ibu itu menguatkan langkah dan tekadnya untuk melupakan
kegagalannya masuk ke jurusan IPA. Ia pun memantapkan langkahnya di jurusan
IPS. Dan, setelah beberapa bulan duduk di kelas dua IPS, ia mulai tertarik
dengan bidang hukum. Berbagai berita dan permasalahan di bidang hukum yang
dimuat surat-surat kabar, telah menjadi bahan perhatiannya setiap hari. Tiada
hari tanpa membaca berita-berita tentang persoalan hukum.
"Kata-kata Ibu saya itu telah mendorong semangat untuk melangkah ke
depan dan melupakan kegagalan. Dan, saya percaya, seperti yang dikatakan Ibu,
bahwa Allah pasti memiliki rencana lain tentang masa depan kehidupan saya.
Jadi, saya harus terima semua itu dengan keikhlasan, walau jujur sebelumnya
sempat menderita rasa kecewa yang dalam," kata Aprillia, suatu ketika di
kantornya, depan JEC Yogyakarta.
Sejak di kelas dua SMA itulah, Aprillia kemudian merubah cita-cita masa
depannya. Anak Desa Meneng ini tak lagi bercita-cita menjadi tentara. Tak lagi
bercita-cita selulus SMA melanjutkan pendidikan ke Akabri. Tetapi ia telah
merubah cita-citanya dengan kelak akan menjadi seorang praktisi hukum, seorang
pengacara atau advokat. Cita-cita barunya itu ia tanamkan kuat-kuat di hati. Ia
pun bertekad, selulus SMA akan melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum. Karena,
dengan kuliah di Fakultas Hukum maka cita-citanya untuk menjadi seorang
praktisi hukum itu nantinya bisa terwujud.
Cita-cita barunya untuk menjadi seorang praktisi hukum atau advokat itu
sesungguhnya tidak menyimpang dari pelajaran kehidupan yang telah diperoleh
dari sang ayah, Marrikan Martowiyono. Sejak kecil, Aprillia sudah dididik dan
ditempa oleh sang ayah untuk senantiasa menghargai serta berpegang pada
prinsip-prinsip kebenaran. Dan, profesi advokat merupakan profesi yang
menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebenaran itu.
Selulus SMA di tahun 1983, Aprillia memantapkan langkahnya untuk kuliah
dengan mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII)
Yogyakarta. Langkahnya tidak sia-sia. Ia diterima menjadi mahasiswa Fakultas
Hukum di universitas swasta tertua dan terkemuka di Yogyakarta tersebut.
Setelah resmi menjadi mahasiswa Fakultas Hukum, cita-citanya untuk
menjadi praktisi hukum semakin membara. Di sela-sela kuliahnya, ia pun tak
pernah berhenti memperhatikan, mengkaji, menyimak dan mempelajari bagaimana
para pengacara atau advokat melakukan kerja profesinya. Dan, ia pun tak pernah
berhenti membaca buku-buku atau tulisan-tulisan di media surat kabar yang
berkaitan dengan kisah sukses pengacara-pengacara ternama, atau kisah-kisah
hukum yang menarik serta menjadi perbincangan publik.
Memantapkan Langkah
Tahun 1989 Aprillia menyelesaikan kuliahnya. Dan, setelah menyandang
gelar sebagai Sarjana Hukum, seakan tanpa membuang waktu lagi, ia pun bergegas
mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang praktisi hukum. Dalam waktu
relatif singkat, ia sudah bergelut di dunia kepengacaraan dengan bergabung di
Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) YAPKI Press Yogyakarta, dan di
Kantor Advokat Eddy Saputra Sofyan, SH. Dan, status atau profesinya sebagai
pengacara diperkuat dengan keluarnya Surat Keputusan dari Pengadilan Tinggi
Yogyakarta di tahun 1992. Surat Keputusan yang mengawali kariernya di dunia
kepengacaraan itu lengkapnya Surat Keputusan No. 132/PP/PTY/1992.
Berbekal SK dari Pengadilan Tinggi Yogyakarta itulah, Aprillia bertekad
pula untuk semakin mengembangkan dan meningkatkan kerja profesinya secara
mandiri. Ia tak ingin setengah hati dalam menggeluti dunia kepengacaraan. Ia
benar-benar ingin terjun 'sedalam-dalamnya' di dunia penegakan dan bantuan
hukum itu. Bahkan, sebelum SK tentang kepengacaraannya keluar, ia sudah
terlebih dulu mengundurkan diri dari Kantor Advokat Eddy Saputra Sofyan SH, dan
kemudian mendirikan kantor pengacara sendiri. Kantor pengacaranya yang pertama
berlokasi di Jl. Menteri Soepeno No. 54, Yogyakarta. Di kantor pertamanya itu
ia dibantu dua pengacara lainnya, dan beberapa karyawan.
"Ya, ibarat bermain air, saya tak ingin setengah-setengah. Saya
benar-benar ingin basah di dalamnya. Karena itu saya tak ingin menunda waktu
berlama-lama lagi. Saya ingin secepatnya punya kantor hukum sendiri. Begitulah,
saya pun kemudian mundur dari kantornya Bang Eddy Saputra Sofyan. Dan, Bang
Eddy pun mensupport ketika tahu saya akan mendirikan kantor sendiri. Hebat.
Hebat. Kau, pasti bisa, kata Bang Eddy ketika itu," ujar Aprillia.
Demikianlah, dunia kepengacaraan atau profesi advokat telah menjadi
pilihan hidupnya. Pilihan terhadap profesi hukum ini tidak lepas dari keharusan
untuk menghargai atau menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebenaran sebagaimana
telah ditanamkan sang ayah kepada dirinya sejak kecil. Dan, ia ingin
membuktikan kepada sang ayah, bahwa ajaran-ajaran kehidupan yang diperolehnya
ketika kecil itu benar-benar ingin dijalaninya.
"Pada dasarnya setiap orang pasti mencintai kebenaran. Akan tetapi
tidak semua orang punya kesempatan untuk berbuat atau melakukan sesuatu secara
nyata demi menegakkan kebenaran itu. Menurut saya, praktisi hukum atau advokat
merupakan profesi yang memberikan peluang atau kesempatan besar bagi seseorang
yang ingin berbuat nyata dan positif bagi tegaknya kebenaran. Atas dasar
itulah, saya tertarik untuk terus menggeluti dunia kepengacaraan ini. Apalagi
profesi advokat terasa begitu pas dengan jiwa saya yang menggandrungi
kebebasan. Tapi ingat, kebebasan yang saya maksud adalah kebebasan yang
bertanggungjawab dan tidak terlepas dari norma-norma hukum," urai Aprillia
lagi.
Menurut Aprillia, profesi advokat sesungguhnya merupakan profesi yang
terhormat. Karena, profesi ini memiliki komitmen yang sangat besar terhadap
setiap langkah perjuangan menegakkan kebenaran. Namun diakui atau tidak,
sesalnya, masih banyak yang tidak memahami dengan sepenuh hati prinsip-prinsip
dasar dari profesi yanhg digelutinya. Bahkan ada yang secara sengaja
mengabaikan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleg profesi advokat itu.
Apa pun alasannya, tegas Aprillia, setiap advokat atau pengacara maupun
praktisi-praktisi hukum lainnya tidak boleh berpaling dari prinsip-prinsip
menegakkan kebenaran dan keadilan. Maka akan tercelalah apabila ada advokat
atau pekerja-pekerja hukum yang dalam melaksanakan tugasnya telah berpaling
dari prinsip kebenaran demi mencapai
tujuan-tujuan tertentu.
"Ironisnya perbuatan tercela semacam itu masih sering terjumpai.
Misalnya, ada oknum-oknum yang demi membela kepentingan kliennya tidak
segan-segan telah melakukan pelecehan terhadap hukum dan nilai-nilai kebenaran.
Atau oknum-oknum yang dikarenakan demi mencapai tujuan tertentu, dengan begitu
mudahnya telah mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran. Bila keadaan semacam itu
masih saja terjadi, sampai kapan pun langkah-langkah pembangunan dan penegakan
hukum akan senantiasa menghadapi kendala-kendala," ujarnya. (Bersambung)
Sutirman Eka Ardhana