Sabtu, 28 Mei 2016

Matinya Peradaban Media Pers



       
        Matinya Peradaban Media Pers

            Sutirman Eka Ardhana

            DALAM jagad idealnya, media pers sejak dulu hingga kini memiliki fungsi yang sangat luar biasa hebatnya. Fungsi ideal media pers itu meliputi sebagai penyampai informasi, pendidik masyarakat, penghibur masyarakat dan alat kontrol sosial. Dan, fungsi ideal media pers tersebut,  sekaligus merupakan bentuk peradaban pers yang dimiliki sejak awal keberadaannya.
            Bahkan, bagi Indonesia pada pra dan awal-awal pasca kemerdekaan, pers memiliki peradaban yang mulia. Pers di masa itu tak hanya sebatas penyampai informasi, mendidik, menghibur masyarakat, dan alat kontrol sosial, tapi juga telah menjadi alat perjuangan. Pers menjadi pengobar semangat rakyat untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, sekaligus alat pemersatu bangsa.
            Tak terkecuali di era Orde Baru, dengan warna dan dinamika politik yang ada ketika itu, pers sempat mengemban tugas mulia sebagai alat pembangunan. Dengan sistim Pers Pancasila yang dikembangkan masa itu, pers melalui kerja jurnalistiknya memiliki tugas dan tanggungjawab mensukseskan pembangunan di semua bidang. Karena itulah, di masa Orde Baru, pers Indonesia mendapat sebutan sebagai Pers Pembangunan.
            Terlepas dari kondisi politik 'penuh tekanan' yang ada ketika itu, setidaknya di era Orde Baru media pers telah berupaya 'sekuat tenaga' memposisikan diri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari gerak dan dinamika pembangunan bangsa. Dengan kata lain, pers di masa 'kebebasan pers yang semu' itu tetap berupaya sebisa mungkin turut serta dalam membangun dan memajukan bangsa.

            Alat Bisnis
            Tapi itu dulu. Kini semuanya sudah berubah dan bergeser. Peradaban pers dengan fungsi-fungsi ideal dan mulianya itu kini sudah 'tak lagi berdaya'. Bahkan bukan sesuatu yang berlebihan bila menyebutkan peradaban pers itu sudah tidak ada lagi. Peradaban itu sudah mati. Pers kini terjerumus ke dalam kubangan bisnis.
            Perubahan dan pergeseran itu terasa mencolok pasca reformasi. Di tahun-tahun awal reformasi, dalam melakukan kerja jurnalistik atau pengelolaan produk informasinya, media pers masih berusaha mengikatkan diri dengan dua pertimbangan, yakni pertimbangan idealisme dan pertimbangan komersial.
            Pertimbangan idealisme dan pertimbangan komersial itu tidak lepas dari ketentuan yang ada di dalam UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pasal 3 ayat (1) UU tersebut menyatakan: Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Sedang ayat (2) menyebutkan: Disamping  fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
            Pertimbangan idealisme merupakan pertimbangan dasar yang menjadi prinsip utama media pers dalam menyampaikan informasi, mendidik, menghibur dan alat kontrol sosial, sebagaimana tertera di dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 itu. Sedangkan pertimbangan komersial, sangatlah jelas merupakan pertimbangan didasarkan pada perhitungan secara ekonomi atau nilai untung rugi untuk suatu kepentingan, target serta tujuan yang ingin dicapai, seperti disebut dalam pasal 3 ayat (2) UU tersebut.
            Namun perkembangan yang terjadi kemudian, pertimbangan komersial telah menggeser pertimbangan idealisme. Bahkan pertimbangan komersial telah mendominasi semua kebijakan dalam pengelolaan dan kerja jurnalistik media pers. Pertimbangan idealisme kehilangan daya dan perannya. Dominannya pertimbangan komersial memang tak bisa dihindari lagi, karena media pers di negeri ini telah berkembang pesat sebagai usaha atau industri bisnis. Akibatnya kemudian media pers pun saling bersaing di ranah industri atau bisnis.
            Karena bersaing di ranah bisnis, maka media pers pun saling bersaing merebut pasar. Pasar menjadi target utama. Keberhasilan merebut pasar, merupakan kemenangan dalam bisnis. Atas dasar itu, maka pengelolaan media pers selalu diarahkan untuk meraih kemenangan dalam 'pertarungan' merebut pasar. Dan, keberhasilan bisnis media pers sangat tergantung pada seberapa besar kemampuannya mempengaruhi dan menguasai pasar.
            Pasar menjadi pilihan utama. Demi pasar, media pers pun tidak sungkan-sungkan untuk mengabaikan informasi berkualitas, dan memilih informasi yang sesuai dengan keinginan pasar. Media pers pun kini menjadi alat bisnis dalam merebut dan menguasai pasar.

            Alat Politik
            Pertimbangan komersial yang mendominasi kerja pers itu terbagi dalam dua aspek, yakni aspek ekonomi dan aspek politik. Media pers yang jeli, yang tidak ingin tenggelam dan kalah dalam pertarungan memperebutkan pasar, tentu tidak hanya terpaku pada pertimbangan komersial di aspek ekonomi saja. Pertimbangan komersial pada aspek politik, pasti menjadi pilihan juga.
            Jadi, persoalan untung rugi itu tidak hanya pada ranah ekonomi, tetapi juga di ranah politik. Oleh karenanya media pers pun tidak hanya saling berlomba untuk meraih keuntungan di ranah bisnis atau aspek ekonomi, tetapi berupaya sekuat daya meraih keuntungan di aspek politik. Berbagai upaya dan cara pun dilakukan media pers, agar bisa meraih keuntungan di aspek politik tersebut.
            Wajah dan warna media pers di negeri ini pun menjadi menarik untuk disimak serta dicermati. Dalam beberapa tahun terakhir ini pertimbangan komersial dalam aspek politik terlihat telah mendominasi tatanan kerja media pers. Cobalah lihat, sejumlah media pers atau media massa di negeri ini telah dipimpin atau dimiliki oleh tokoh-tokoh politik.
            Pada momen-momen demokrasi seperti Pemilu misalnya, terlihat jelas bagaimana 'sepak terjang' media-media yang dimiliki atau dikendalikan para elit politik itu. Media pers jadi hiruk-pikuk bicara soal politik dan kekuasaan. Ke mana arah informasi yang disampaikannya media pers, jelas mengarah kepada kepentingan politik yang ingin dicapainya. Kepentingan ideal publik atau masyarakat pun dikesampingkan. Publik hanya dijejali informasi yang memiliki nilai komersial secara politik.
            Pertimbangan komersial pada aspek politik memang cukup menggiurkan bagi media pers. Buktinya, tak sedikit pula media pers (sekali pun tak dimiliki oleh elit politik), baik secara terbuka atau 'sembunyi-sembunyi', langsung atau tidak langsung, menyatakan keberpihakannya pada kelompok politik tertentu dan kekuasaan.
            Pilihan keberpihakan itu tidak lepas dari pertimbangan komersial. Bagi kelompok politik, baik yang menguasai pemerintahan maupun di luar pemerintahan, keterlibatan media pers di ranah politik jelas sangat membawa keuntungan besar. Karena media pers tidak hanya berperan sebagai penyampai informasi, tetapi juga memiliki peran besar dalam membentuk opini publik. Pembentukan opini publik itu dilakukan melalui sajian informasi, gagasan, pendapat atau opini yang disampaikan kepada publik (masyarakat). Jika kelompok politik berhasil mengendalikan media pers, maka kemampuan pers membentuk opini publik dan mempengaruhi perilaku publik itulah yang dimanfaatkan.
            Bila media pers sudah memilih untuk meraih keuntungan di aspek atau ranah politik, maka sudah bisa ditebak jurnalisme apa yang menjadi pilihan media pers itu. Pilihannya tentu 'jurnalisme corong'. Corong kata lain dari pengeras suara. Jadi, jurnalisme corong adalah jurnalisme yang mengabdikan dirinya untuk menjadi 'pengeras suara' suatu kelompok tertentu, dalam hal ini kelompok politik.
            Di dalam istilah jurnalistik, jurnalisme corong bisa juga diartikan jurnalisme partisan, yakni jurnalisme yang memihak kepada sesuatu atau seseorang secara berat sebelah, khususnya dalam bidang politik (Kurniawan Junaedhie, 1991).
            Ciri khas dari media pers yang menggunakan jurnalisme corong itu adalah menyuarakan kepentingan-kepentingan politik yang diikutinya. Kepentingan masyarakat luas yang seharusnya diutamakan telah dikesampingkan, karena kepentingan politik menjadi terpenting dari segalanya. Oleh sebab itu, kepentingan-kepentingan kelompok politik yang diikuti lebih dikedepankan, terutama dalam menyampaikan berbagai informasi serta pesan-pesan kelompok politik ke masyarakat, dibanding menyampaikan kepentingan masyarakat itu sendiri.
            Karena kepentingan politik demi meraih keuntungan komersial di aspek politik telah ditempatkan di atas segala-galanya, maka kecenderungan pandangan bahwa kelompok politik yang diikuti 'paling terbaik' dari kelompok politik lainnya telah menjadi pegangan atau pilihan media pers 'corong' tersebut. Kecenderungan pandangan semacam ini menyebabkan media pers 'corong' politik tanpa segan-segan menurunkan sajian atau pemberitaan yang menyerang kepentingan-kepentingan maupun kebijakan-kebijakan kelompok lainnya. Jurnalisme 'saling serang' pun kemudian muncul.

            Matinya Nurani Wartawan
            Kondisi media pers yang seperti itu berdampak juga pada nurani wartawan atau jurnalis. Matinya peradaban pers, berakibat pula pada matinya nurani wartawan. Wartawan yang awalnya mengusung prinsip-prinsip idealisme profesi dan idealisme pers, menjadi bimbang, kelimpungan, dan seperti kehilangan kemampuan berpikir secara jernih.
            Banyak wartawan atau jurnalis yang kemudian merasa seperti 'terjebak' dan terperangkap dalam kerja profesinya. Prinsip-prinsip ideal atau idealisme profesi yang dimiliki dan dijunjung tinggi itu ternyata tak mampu berbuat apa-apa untuk melawan hegemoni kepentingan media dalam mencapai target bisnis dan politiknya. Kepentingan bisnis dan politik media telah membuat idealisme profesi yang dimiliki wartawan menjadi tak berdaya, kehilangan kekuatannya.
            Wartawan akhirnya tak punya pilihan. Akhirnya menyerah di bawah tekanan kepentingan bisnis dan politik media. Tak ada pilihan lain, kecuali memendam idealisme wartawan sedalam-dalamnya. Atas nama kehidupan, atas nama kerja, tak ada pilihan lain kecuali mencampakkan idealisme, dan melakukan kerja demi tercapainya kepentingan bisnis dan kepentingan politik media. Apa boleh buat, walau dengan setengah hati, dengan jiwa dan perasaan tertekan, kerja profesi sebagai wartawan itu tetap dijalankan.
            Ya, diakui atau tidak, dewasa ini banyak wartawan yang nuraninya telah tiada. Banyak wartawan yang terpaksa membunuh hati nuraninya sebagai wartawan. Nurani wartawan telah terlindas oleh kepentingan bisnis dan politik media. Nurani wartawan telah mati dan terkubur.**

           
            * Sutirman Eka Ardhana: Kini redaktur majalah Sabana, juga dipercaya mengajar di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar