Sutirman
Eka Ardhana
DALAM jagad idealnya, media pers
sejak dulu hingga kini memiliki fungsi yang sangat luar biasa hebatnya. Fungsi
ideal media pers itu meliputi sebagai penyampai informasi, pendidik masyarakat,
penghibur masyarakat dan alat kontrol sosial. Dan, fungsi ideal media pers
tersebut, sekaligus merupakan bentuk
peradaban pers yang dimiliki sejak awal keberadaannya.
Bahkan, bagi Indonesia pada pra dan
awal-awal pasca kemerdekaan, pers memiliki peradaban yang mulia. Pers di masa
itu tak hanya sebatas penyampai informasi, mendidik, menghibur masyarakat, dan
alat kontrol sosial, tapi juga telah menjadi alat perjuangan. Pers menjadi
pengobar semangat rakyat untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan,
sekaligus alat pemersatu bangsa.
Tak terkecuali di era Orde Baru,
dengan warna dan dinamika politik yang ada ketika itu, pers sempat mengemban
tugas mulia sebagai alat pembangunan. Dengan sistim Pers Pancasila yang
dikembangkan masa itu, pers melalui kerja jurnalistiknya memiliki tugas dan
tanggungjawab mensukseskan pembangunan di semua bidang. Karena itulah, di masa
Orde Baru, pers Indonesia mendapat sebutan sebagai Pers Pembangunan.
Terlepas dari kondisi politik 'penuh
tekanan' yang ada ketika itu, setidaknya di era Orde Baru media pers telah
berupaya 'sekuat tenaga' memposisikan diri sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari gerak dan dinamika pembangunan bangsa. Dengan kata lain, pers di masa
'kebebasan pers yang semu' itu tetap berupaya sebisa mungkin turut serta dalam
membangun dan memajukan bangsa.
Alat
Bisnis
Tapi itu dulu. Kini semuanya sudah
berubah dan bergeser. Peradaban pers dengan fungsi-fungsi ideal dan mulianya
itu kini sudah 'tak lagi berdaya'. Bahkan bukan sesuatu yang berlebihan bila
menyebutkan peradaban pers itu sudah tidak ada lagi. Peradaban itu sudah mati. Pers
kini terjerumus ke dalam kubangan bisnis.
Perubahan dan pergeseran itu terasa
mencolok pasca reformasi. Di tahun-tahun awal reformasi, dalam melakukan kerja
jurnalistik atau pengelolaan produk informasinya, media pers masih berusaha
mengikatkan diri dengan dua pertimbangan, yakni pertimbangan idealisme dan
pertimbangan komersial.
Pertimbangan idealisme dan
pertimbangan komersial itu tidak lepas dari ketentuan yang ada di dalam UU No.
40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pasal 3 ayat (1) UU tersebut menyatakan: Pers
nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan
kontrol sosial. Sedang ayat (2) menyebutkan: Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers
nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Pertimbangan idealisme merupakan
pertimbangan dasar yang menjadi prinsip utama media pers dalam menyampaikan
informasi, mendidik, menghibur dan alat kontrol sosial, sebagaimana tertera di
dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 itu. Sedangkan pertimbangan
komersial, sangatlah jelas merupakan pertimbangan didasarkan pada perhitungan
secara ekonomi atau nilai untung rugi untuk suatu kepentingan, target serta
tujuan yang ingin dicapai, seperti disebut dalam pasal 3 ayat (2) UU tersebut.
Namun perkembangan yang terjadi
kemudian, pertimbangan komersial telah menggeser pertimbangan idealisme. Bahkan
pertimbangan komersial telah mendominasi semua kebijakan dalam pengelolaan dan
kerja jurnalistik media pers. Pertimbangan idealisme kehilangan daya dan
perannya. Dominannya pertimbangan komersial memang tak bisa dihindari lagi,
karena media pers di negeri ini telah berkembang pesat sebagai usaha atau
industri bisnis. Akibatnya kemudian media pers pun saling bersaing di ranah
industri atau bisnis.
Karena bersaing di ranah bisnis,
maka media pers pun saling bersaing merebut pasar. Pasar menjadi target utama.
Keberhasilan merebut pasar, merupakan kemenangan dalam bisnis. Atas dasar itu,
maka pengelolaan media pers selalu diarahkan untuk meraih kemenangan dalam
'pertarungan' merebut pasar. Dan, keberhasilan bisnis media pers sangat
tergantung pada seberapa besar kemampuannya mempengaruhi dan menguasai pasar.
Pasar menjadi pilihan utama. Demi
pasar, media pers pun tidak sungkan-sungkan untuk mengabaikan informasi
berkualitas, dan memilih informasi yang sesuai dengan keinginan pasar. Media
pers pun kini menjadi alat bisnis dalam merebut dan menguasai pasar.
Alat
Politik
Pertimbangan komersial yang
mendominasi kerja pers itu terbagi dalam dua aspek, yakni aspek ekonomi dan
aspek politik. Media pers yang jeli, yang tidak ingin tenggelam dan kalah dalam
pertarungan memperebutkan pasar, tentu tidak hanya terpaku pada pertimbangan
komersial di aspek ekonomi saja. Pertimbangan komersial pada aspek politik,
pasti menjadi pilihan juga.
Jadi, persoalan untung rugi itu
tidak hanya pada ranah ekonomi, tetapi juga di ranah politik. Oleh karenanya
media pers pun tidak hanya saling berlomba untuk meraih keuntungan di ranah
bisnis atau aspek ekonomi, tetapi berupaya sekuat daya meraih keuntungan di
aspek politik. Berbagai upaya dan cara pun dilakukan media pers, agar bisa
meraih keuntungan di aspek politik tersebut.
Wajah dan warna media pers di negeri
ini pun menjadi menarik untuk disimak serta dicermati. Dalam beberapa tahun
terakhir ini pertimbangan komersial dalam aspek politik terlihat telah
mendominasi tatanan kerja media pers. Cobalah lihat, sejumlah media pers atau
media massa di negeri ini telah dipimpin atau dimiliki oleh tokoh-tokoh
politik.
Pada momen-momen demokrasi seperti
Pemilu misalnya, terlihat jelas bagaimana 'sepak terjang' media-media yang
dimiliki atau dikendalikan para elit politik itu. Media pers jadi hiruk-pikuk
bicara soal politik dan kekuasaan. Ke mana arah informasi yang disampaikannya
media pers, jelas mengarah kepada kepentingan politik yang ingin dicapainya.
Kepentingan ideal publik atau masyarakat pun dikesampingkan. Publik hanya
dijejali informasi yang memiliki nilai komersial secara politik.
Pertimbangan komersial pada aspek
politik memang cukup menggiurkan bagi media pers. Buktinya, tak sedikit pula
media pers (sekali pun tak dimiliki oleh elit politik), baik secara terbuka
atau 'sembunyi-sembunyi', langsung atau tidak langsung, menyatakan
keberpihakannya pada kelompok politik tertentu dan kekuasaan.
Pilihan keberpihakan itu tidak lepas
dari pertimbangan komersial. Bagi kelompok politik, baik yang menguasai
pemerintahan maupun di luar pemerintahan, keterlibatan media pers di ranah
politik jelas sangat membawa keuntungan besar. Karena media pers tidak hanya
berperan sebagai penyampai informasi, tetapi juga memiliki peran besar dalam
membentuk opini publik. Pembentukan opini publik itu dilakukan melalui sajian
informasi, gagasan, pendapat atau opini yang disampaikan kepada publik
(masyarakat). Jika kelompok politik berhasil mengendalikan media pers, maka
kemampuan pers membentuk opini publik dan mempengaruhi perilaku publik itulah
yang dimanfaatkan.
Bila media pers sudah memilih untuk
meraih keuntungan di aspek atau ranah politik, maka sudah bisa ditebak
jurnalisme apa yang menjadi pilihan media pers itu. Pilihannya tentu
'jurnalisme corong'. Corong kata lain dari pengeras suara. Jadi, jurnalisme
corong adalah jurnalisme yang mengabdikan dirinya untuk menjadi 'pengeras
suara' suatu kelompok tertentu, dalam hal ini kelompok politik.
Di dalam istilah jurnalistik,
jurnalisme corong bisa juga diartikan jurnalisme partisan, yakni jurnalisme
yang memihak kepada sesuatu atau seseorang secara berat sebelah, khususnya dalam
bidang politik (Kurniawan Junaedhie, 1991).
Ciri khas dari media pers yang
menggunakan jurnalisme corong itu adalah menyuarakan kepentingan-kepentingan
politik yang diikutinya. Kepentingan masyarakat luas yang seharusnya diutamakan
telah dikesampingkan, karena kepentingan politik menjadi terpenting dari
segalanya. Oleh sebab itu, kepentingan-kepentingan kelompok politik yang
diikuti lebih dikedepankan, terutama dalam menyampaikan berbagai informasi
serta pesan-pesan kelompok politik ke masyarakat, dibanding menyampaikan
kepentingan masyarakat itu sendiri.
Karena kepentingan politik demi
meraih keuntungan komersial di aspek politik telah ditempatkan di atas
segala-galanya, maka kecenderungan pandangan bahwa kelompok politik yang
diikuti 'paling terbaik' dari kelompok politik lainnya telah menjadi pegangan
atau pilihan media pers 'corong' tersebut. Kecenderungan pandangan semacam ini
menyebabkan media pers 'corong' politik tanpa segan-segan menurunkan sajian
atau pemberitaan yang menyerang kepentingan-kepentingan maupun
kebijakan-kebijakan kelompok lainnya. Jurnalisme 'saling serang' pun kemudian
muncul.
Matinya
Nurani Wartawan
Kondisi media pers yang seperti itu
berdampak juga pada nurani wartawan atau jurnalis. Matinya peradaban pers,
berakibat pula pada matinya nurani wartawan. Wartawan yang awalnya mengusung
prinsip-prinsip idealisme profesi dan idealisme pers, menjadi bimbang, kelimpungan, dan seperti kehilangan
kemampuan berpikir secara jernih.
Banyak wartawan atau jurnalis yang
kemudian merasa seperti 'terjebak' dan terperangkap dalam kerja profesinya.
Prinsip-prinsip ideal atau idealisme profesi yang dimiliki dan dijunjung tinggi
itu ternyata tak mampu berbuat apa-apa untuk melawan hegemoni kepentingan media
dalam mencapai target bisnis dan politiknya. Kepentingan bisnis dan politik
media telah membuat idealisme profesi yang dimiliki wartawan menjadi tak
berdaya, kehilangan kekuatannya.
Wartawan akhirnya tak punya pilihan.
Akhirnya menyerah di bawah tekanan kepentingan bisnis dan politik media. Tak
ada pilihan lain, kecuali memendam idealisme wartawan sedalam-dalamnya. Atas
nama kehidupan, atas nama kerja, tak ada pilihan lain kecuali mencampakkan
idealisme, dan melakukan kerja demi tercapainya kepentingan bisnis dan
kepentingan politik media. Apa boleh buat, walau dengan setengah hati, dengan
jiwa dan perasaan tertekan, kerja profesi sebagai wartawan itu tetap
dijalankan.
Ya, diakui atau tidak, dewasa ini
banyak wartawan yang nuraninya telah tiada. Banyak wartawan yang terpaksa
membunuh hati nuraninya sebagai wartawan. Nurani wartawan telah terlindas oleh
kepentingan bisnis dan politik media. Nurani wartawan telah mati dan
terkubur.**
* Sutirman Eka Ardhana: Kini
redaktur majalah Sabana, juga dipercaya mengajar di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga.