PERTEMUAN 2
PROFESI KEWARTAWANAN
Pengertian Wartawan
APA sesungguhnya yang dimaksud dengan
wartawan?
Wartawan adalah sebutan untuk seseorang yang melakukan
kerja jurnalistik. Kerja jurnalistik yang dimaksud tidak hanya terbatas di
media pers cetak seperti surat
kabar atau pun majalah, tetapi juga di media elektronik, maupun sejenisnya yang
lain.
Di dalam Pasal 1 ayat 4
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers disebutkan bahwa wartawan adalah
orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Sebelumnya pada
Pasal 1 ayat 1-nya disebutkan secara jelas bahwa pers adalah lembaga sosial dan
wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan
grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media
elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) sebagai salah satu organisasi profesi kewartawanan di dalam Peraturan
Dasar organisasinya menyatakan bahwa yang disebut dengan wartawan adalah yang
melakukan profesi kewartawanan sebagaimana di maksud di dalam Pasal 7 ayat 4
(Pasal 7 ayat 3 PD PWI). Sedang Pasal 7 ayat 4-nya menyebutkan, kewartawanan
adalah kegiatan yang sah berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan
penyiaran fakta dan pendapat dalam bentuk berita, ulasan, gambar dan karya
jurnalistik lain bagi media massa.
Dulu, wartawan hanya
dikelompokkan dalam dua kelompok, kelompok wartawan media cetak dan kelompok
wartawan media elektronik (televisi dan radio). Tapi seiring perkembangan
teknologi dengan munculnya media online, sekarang kelompok wartawan bertambah
lagi dengan wartawan media online.
Wartawan media cetak dapat pula
dibagi menjadi dua bagian, yakni wartawan tulis dan wartawan foto. Wartawan
tulis memiliki tugas dan kewajiban membuat berita atau melaporkan secara
tertulis hasil kerja kewartawanannya. Misalnya, hasil liputan terhadap suatu
peristiwa, atau pun hasil wawancara dengan nara sumber. Sementara wartawan foto, tugas
utamanya adalah melaporkan informasi melalui foto (karya fotografi).
Floyd G. Arpan, guru besar Ilmu
Pengetahuan Pers Universitas Indiana,
AS, dalam bukunya “Toward Better Communications” membagi wartawan dalam
dua golongan. Pertama, wartawan yang bertugas mencari berita atau mengumpulkan
berita (data serta informasi). Kedua, wartawan yang membuat atau mengerjakan
berita.
Akan tetapi di Indonesia, pada
umumnya wartawan di berbagai surat
kabar atau media pers lainnya adalah wartawan yang mencari berita, sekaligus
membuat atau menulisnya.
Pada era Orde Baru dulu,
syarat-syarat untuk menjadi wartawan diatur oleh pemerintah. Misalnya,
Peraturan Menteri Penerangan RI No 02/Per/Menpen/1969 tentang “Ketentuan-ketentuan
Mengenai Wartawan”. Pasal 2 Permenpen itu menyebutkan syarat-syarat untuk
menjadi wartawan meliputi: 1. Warganegara Indonesia; 2. Memahami sepenuhnya
kedudukan, fungsi dan kewajiban pers sebagaimana tercantum dalam pasal 2 dan 3
UU Pokok Pers; 3. Berjiwa Pancasila dan tidak pernah berkhianat terhadap
revolusi; 4. Memiliki kecakapan, pengalaman, pendidikan akhlak tinggi dan
pertanggungjawaban; 5. Sanggup mentaati Kode Etik Jurnalistik; 6.
Sekurang-kurangnya selama 3 tahun secara aktif melakukan pekerjaan wartawan; 7.
Tidak tersangkut dalam G.30.S/PKI dan aksi-aksi kontra revolusi lainnya.
Penuh Tantangan
Seseorang yang menjadi wartawan
berarti ia masuk ke dalam kesibukan ‘ dunia yang penuh tantangan’. Memutuskan
diri untuk bekerja dalam dunia kewartawanan
berarti seseorang sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi segala
resiko, tantangan dan hambatan, serta kesulitan yang siap menghadang di depan.
Kerja kewartawanan tidak hanya
cukup memerlukan kemampuan atau keterampilan dalam menulis serta membuat berita
saja. Disamping kterampilan dalam merangkai kata demi kata, dan memiliki
kemampuan berbahasa yang baik, kerja kewartawanan memerlukan pula keberanian
moral, serta keteguhan sikap.
Pekerjaan mencari berita dan
kemudian membuatnya bukanlah hal yang mudah, sebagaimana dibayangkan sementara
orang. Disamping kerja mencari berita itu menguras tenaga, pikiran dan
perasaan, seorang wartawan selain dituntut mampu mempergunakan seluruh
inderanya juga dipaksa untuk dapat memainkan ‘mata hati’nya. “Mata hati’ itu
memiliki peran penting, dalam menentukan sikap bagaimana harus menulis atau
menyampaikan suatu informasi yang diperoleh, atau juga menentukan apakah
sesuatu itu layak atau tidak untuk dipublikasikan ke public.
Janganlah menjadi wartawan yang
mencari (meliput) berita atau peristiwa yang bila ditinjau dari dimensi
persepsi hanya sekadar berita dari hasil penginderaan, penglihatan dan
pendengaran saja dengan tidak menyertakan aspek emotif di dalamnya.
Wartawan yang hanya mampu
mencari atau membuat berita seperti itu, oleh Daniel Lev dijuluki sebagai teknolog
dalam hal tulis menulis, tetapi bukan seorang jurnalis (wartawan).
Hasil kerja wartawan yang
‘teknolog’ itu hanya sekadar informasi semata bagi publik pembaca, akan tetapi
tidak membawa dampak-dampak positif. Wartawantipe ini lebih pantas pula disebut
sebagai ‘wartawan tukang’. Karena pekerjaannya hanya sekadar ‘tukang’ pembuat
berita.
Padahal media pers di era
seperti sekarang ini memerlukan wartawan yang bukan hanya sekadar ‘wartawan
teknolog’ atau ‘wartawan tukang’. Pers sekarang memerlukan wartawan yang mampu
mengajak masyarakat tergugah, tergerak dan terbakar semangatnya untuk
berpartisipasi dalam gerak perkembangan, kemajuan dan pembangunan di segala
bidang melalui pemberitaan-pemberitaannya. Wartawan harus mampu menggugah
masyarakat untuk berpartisipasi dalam gerak ‘pembangunan kehidupan’ di bidang
apa pun, seperti pembangunan di bidang agama, hukum, ekonomi, pertanian,
industri, kelestarian lingkungan, sosial-budaya, politik, dan sebagainya.
Untuk mampu menjadi wartawan
(jurnalis) dan bukan hanya ‘wartawan teknolog’, wartawan haruslah bisa
mendalami serta menghayati suatu perkembangan yang ada di dalam kehidupan
masyarakat serta melihatnya dengan ‘mata hati’ yang dalam. Dengan kata lain,
wartawan harus mampu mengkorelasikan suatu permasalahan atau gejala sosial
dengan berbagai aspek.
Wartawan bukanlah profesi yang
sederhana. Bahkan, Jakob Oetama menyebut dan mengelompokkan wartawan sebagai
kelompok avant-garde. Menurutnya, wartawan menjadi komunikator di antara
kelompok-kelompok masyarakat yang majemuk. Menjadi komunikator antara
pemerintah dan masyarakat. Menjadi penggerak dan pengecam (Lihat “Apa Maunya
Wartawan?” dalam Drs T. Atmadi (ed.), Bunga Rampai Catatan Pertumbuhan
dan Perkembangan Sistem Pers Indonesia, Pantja Simpati, Jakarta, 1985).
Wartawan Profesional
Menjadi wartawan yang baik dan
professional tentu merupakan idaman setiap wartawan pemula. John Hohenberg
dalam bukunya “The Professional Journalist” mengemukakan, wartawan yang
baik atau professional adalah wartawan yang dapat bergerak cepat, tepat
dan sigap namun tenang. Ia cepat mengerti peristiwa (sumber
informasi), tidak hanya melihat peristiwa apa yangt terjadi, tetapi juga
meneliti mengapa hal itu terjadi dan bagaimana pula kelanjutannya
nanti.
Kemudian ia memiliki pandangan
luas, tegas dan praktis, berpandangan mendalam, selalu berhati-hati tapi tidak bimbang.
Memiliki cara berpikir bebas tapi bertanggjungjawab, selalu sistematis
tapi bukan teks book. Dan yang terpenting, ia bekerja lebih
banyak dibanding berita atau tulisan yang dibuatnya.
Sedang Floyd G. Arpan
memberikan lima
syarat kepada wartawan untuk bisa menjadi wartawan yang professional. Kelima
syarat itu meliputi: menguasai bahasa, mengetahui jiwa kemanusiaan,
berpengetahuan luas, punya kematangan pikiran dan punya ketajaman pikiran
(Lihat – Floyd G. Arpan, Wartawan Pembina Masyarakat, Binacipta, Bandung,
1970).
1. Penguasaan
Bahasa
Bagi setiap wartawan atau
jurnalis, penguasaan terhadap bahasa memang merupakan syarat yang utama. Sebab
tanpa menguasai bahasa, maka wartawan tidak akan mampu menulis atau membuat
berita dengan baik. Untuk itu, wartawan harus memahami bahasa, mengetahui atau
mengerti tentang segala aspek bahasa, serta pemakaiannya dan kaya akan perbendaharaan
kata.
2. Mengetahui
Jiwa Kemanusiaan
Semula ada kesan, keharusan
mengetahui jiwa kemanusiaan sebagai sesuatu yang berlebihan bagi wartawan.
Karenanya muncul pertanyaan – “Apakah wartawandiharuskan juga belajar dan
membaca buku tentang Ilmu Jiwa dan memperdalam psikologi?”
Sesungguhnya keharusan
mengetahui jiwa kemanusiaan itu bukanlah hal yang berlebihan. Meski dipandang
‘berat’, tapi setiap wartawan mempunyai kewajiban untuk mengetahui dan mengerti
tentang Ilmu Jiwa tersebut. Sebab, pengetahuan jiwa kemanusiaan akan sangat
penting dan sangat mendukung keberhasilan kerja kewartawanan setiap wartawan.
Dalam tugas dan kerjanya
sehari-hari, wartawan selalu berjumpa atau berhadapan dengan masyarakat dari
segala macam lapisan maupun status sosial. Sejak dari lapisan masyarakat kelas
atas, sampai ke lapisan paling bawah. Dari pejabat tinggi, sampai ke pengemis,
dan pelacur di jalanan.
Di dalam kerjanya, wartawan
akan selalu menghadapi reaksi-reaksi yang muncul dari tengah-tengah masyarakat.
Misalnya, reaksi seorang menteri, pejabat pemerintahan, pengusaha terpandang, seniman
terkemuka, artis film kenamaan, koruptor, penjahat kelas kakap, sampai ke
pekerja seks komersial (PSK) murahan, ketika berhadapan dengan wartawan yang
memerlukan sesuatu keterangan atau mewawancarainya.
Banyak wartawan (terutama yang
pemula) gagal dalam usahanya mengorek atau memperoleh keterangan dari seseorang
yang dikehendakinya. Kegagalan itu terjadi bukan dikarenakan persoalan yang
wajar (misalnya yang bersangkutan tidak ada), tetapi lebih banyak disebabkan si
wartawan tidak berhasil memahami atau mengerti bagaimana kejiwaan orang yang
dihadapinya tersebut.
3. Berpengetahuan
Luas
Syarat terpenting lainnya bagi
wartawan adalah berpengetahuan luas. Wartawan dituntut untuk memiliki pengetahuan
yang luas, tidak saja pada bidang atau permasalahan kerja yang dihadapi, tetapi
juga pada masalah-masalah umum lainnya.
Salah satu cara paling efektif
bagi wartawan, rajin mengikuti perkembangan dunia dan rajin pula membaca
buku-buku pengetahuan yang bermutu. Wartawan tidak hanya cukup lena dengan
buku-buku tentang jurnalistik atau komunikasi saja, tetapi harus juga berusaha
mendalami buku-buku pengetahuan lainnya. Seperti buku-buku tentang masalah
kesehatan (kedokteran), hukum, ekonomi, politik, kebudayaan, seni, sosiologi,
pertanian, lingkungan hidup, psikologi, ruang angkasa, agama, dan lain-lainnya.
Apabila seorang wartawan
mendapat spesialisasi sebagai wartawan hukum atau wartawan kriminalitas,
tentunya ia harus mempersiapkan diri dengan pengetahuan tentang beragam
permasalahan hukum, undang-undang maupun kriminologi. Sehingga ketika si
wartawan akan mewawancarai seorang ahli hukum atau praktisi huku, persiapan
yang memadai sudah ada di tangannya.
4. Kematangan
Pikiran
Kematangan pikiran atau kedewasaan
pandangan diperlukan bagi setiap wartawan. Sehingga wartawantersebut tidak
bekerja secara sembrono, asal-asalan dan seenaknya. Wartawan harus punya
landasan-landasan yang jernih mengenai etika, moral dan tanggungjawab terhadap
perkembangan tatanan nilai serta budaya masyarakat di sekitarnya.
Melalui kematangan pikiran,
wartawan akan dapat meraih kepercayaan dari public pembacanya tentang seberapa
jauh kualitas berita yangt disajikan. Suatu berita yang disajikan secara
sembrono, asal-asalan atau penuh kesewenang-wenangan akan menggoyahkan
kepercayaan pembaca terhadap kualitas atau mutu berita tersebut.
5. Ketajaman
Pikiran
Ketajaman pikiran tidak bisa
ditinggalkan begitu saja oleh wartawan. Wartawan yang baik atau professional
harus tajam pikirannya, cerdas, sigap dan lincah menghadapi berbagai
permasalahan yang ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Di dalam melakukan aktivitas
kerjanya, wartawan akan menemui berbagai permasalahan atau persoalan di dalam
masyarakat yang sangat kompleks dan memerlukan jalan pemecahan cukup pelik.
Banyak permasalahan begitu
sukar untuk bisa diketahui atau diteliti sebagai bahan pemberitaan yang menarik
bagi pembaca. Permasalahan itu ditutupi sekian banyak ‘tabir’ dan hambatan,
sehingga tidak begitu saja mudah diketahui dan diungkap ke permukaan. Misalnya,
dalam melacak kasus korupsi atau manipulasi yang melibatkan sejumlah pejabat
pemerintahan, wartawan akan menghadapi banyak hambatan yang bersifat birokrasi
dan terselubung.
Untuk mengatasinya, wartawan
haruslah memiliki ketajaman pikiran guna menelusuri secara teliti dan cermat,
sehingga akhirnya kasus manipulasi itu dapat terungkap secara utuh. +++ (sutirman eka ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar