Pertemuan ke-2
Memahami Profesi Fotografer/Wartawan
foto
FOTOGRAFER adalah sebutan bagi seseorang yang bekerja sebagai ‘juru foto’, baik
di media massa (pers), institusi-institusi tertentu, studio foto, maupun yang
bekerja secara perorangan.
Sejak
tahun 1800-an, ketika fotografi terus memainkan perannya yang sangat berarti
bagi kehidupan manusia, sejak itu pula profesi fotografer mulai menapakkan
kakinya dan menanamkan eksistensinya dalam kehidupan. Seiring perkembangan
zaman dan teknologi, dari waktu ke waktu, profesi fotografer semakin diakui
keberadaannya. Bahkan kini, profesi fotografer sudah mendapat tempat yang
sejajar dengan profesi-profesi lainnya, seperti guru, advokat, notaris, dokter
dan lainnya.
Sebagaimana
halnya fotografi yang kini telah merambah ke berbagai bidang kehidupan manusia,
profesi fotografer pun kini telah memainkan perannya yang besar dan sangat
berarti dalam berbagai bidang kehidupan manusia tersebut.
Salah satu resiko kerja wartawan. (www.wartanews)
Sejak
fotografi diyakini telah menjadi media atau alat untuk memvisualisasikan ide,
maka fotografi pun semakin diyakini pula telah menjadi sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan dalam aktivitas penyampaian gagasan. Bila gagasannya untuk
mengemukakan nilai-nilai estetika atau hal-hal yang bernuansa keindahan, maka
ia akan menjadi fotografi seni. Apabila gagasannya berkaitan dengan kepentingan
bisnis atau komersial, maka ia disebut fotografi komersial.
Kemudian
bila gagasannya berkaitan dengan mendokmentasikan sesuatu atau menyampaikan
informasi yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa aktual, ia pun
menjafi fotografi jurnalistik. Sedangkan bila gagasannya untuk
kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian dan semacamnya, maka ia menjadi
fotografi ilmiah.
Jadi,
sebagai media penyampaian gagasan atau ide, maka fotografi bisa dibagi dalam
empat bidang garap, yaitu: 1) fotografi seni (art); 2) fotografi komersial; 3)
fotografi jurnalistik; 4) fotografi ilmiah.
Dengan
demikian, sesuai bidang garapnya tersebut, maka fotografer pun
dikelompokkan pada empat kelompok, masing-masing: 1) fotografer seni; 2)
fotografer komersial; 3) fotografer jurnalistik (wartawan foto/jurnalis foto);
4) fotografer ilmiah.
Melihat
pada empat kelompok tersebut, maka sangatlah jelas bahwa bidang garap atau
‘lapangan kerja’ bagi profesi fotografer kini tersedia amat luas.
Namun
yang paling menonjol, karena memiliki keterkaitan dan hubungan sangat erat
dengan kebutuhan serta dinamika kehidupan manusia sekarang ini adalah fotografi
komersial dan fotografi jurnalistik. Sedang khusus untuk fotografi seni (art),
sesuai dengan kepentingan dan peruntukannya maka karya-karyua dari fotografi
seni itu sekarang bisa masuk ke fotografi komersial dan fotografi jurnalistik.
Fotografer
Komersial
Sekarang
ini lahan garap fotografi komersial atau bidang kerja yang bisa dimasuki
fotografer komersial sangatlah luas dan beragam. Haruslah diakui, bahwa dewasa
ini tidak ada satu pun bidang usaha atau bisnis yang tidak memerlukan ‘jasa’
atau ‘uluran tangan’ fotografi. Dengan kata lain, tidak ada usaha atau bisnis
yang sukses tanpa dukungan fotografi, atau tanpa keterlibatan profesi
fotografer.
Lahan
garap fotografi komersial yang luas dan merupakan ‘ladang kerja’ potensial bagi
profesi fotografer itu di antaranya: fotografi periklanan, fotografi fashion,
fotografi pemandangan dan wisata, fotografi arsitektur, fotografi industrial,
fotografi pernikahan, wisuda, dan nbanyak lainnya lagi.
Fotografer Periklanan
Fotografi
perikalanan adalah fotografi yang mengkhusukan spesialisasinya pada dunia
periklanan. Dunia periklanan memberikan lahan yang sangat luas dan lebar bagi
para fotografer untuk mengembangkan kemampuan dan kreasinya. Hal ini
dikarenakan, tidak ada satu usaha pun yang tidak menggunakan media periklanan
dalam memperkenalkan produknya kepada masyarakat. Fotografi memiliki peran
sangat besar dan penting bagi dunia atau media periklanan dalam menyuguhkan
sebuah karya iklan yang mampu menarik perhatian masyarakat.
Hampir
semua produk iklan memerlukan jasa fotografi. Misalnya, produk iklan busana,
makanan, minuman, kerajinan, peralatan elektronik, mobil, perhiasan, rumah,
apartemen, dan lain sebagainya, memerlukan dukungan kerja fotografi.
Karya-karya fotografi itu diyakini memiliki daya tarik yang sangat tinggi bagi
masyarakat, sehingga tertarik terhadap produk yang ditawarkan.
Karena
prinsip utama iklan adalah menarik perhatian masyarakat sehingga kemudian
tertarik untuk memilikinya, maka seorang fotografer yang ingin menggeluti dunia
fotografi periklanan haruslah memiliki wawasan atau pengetahuan mengenai ilmu
ekonomi terutama yang berhubungan dengan teori-teori pemasaran. Selain
menguasai prinsip-prinsip pemasaran, fotografer periklanan juga harus memiliki
kepekaan yang cukup tinggi terhadap nilai-nilai estetika.
Pengetahuan
tentang nilai-nilai estetika tersebut sangat penting, karena foto-foto iklan
tidak hanya punya nilai inmformasi bisnis tapi juga harus sarat dengan nuansa
keindahan. Karena nuansa keindahan itu akan lebih menggoda emosi seseorang yang
melihat sajian foto dalam produk iklan tersebut.
Fotografer Fashion
Salah
satu jenis fotografi komersial yang memiliki daya tarik serta pesona cukup
tinggi adalah fotografi fashion atau busana. Meskipun layak dikelompokkan di
dalam kategori fotografi periklanan, namun karena ‘penggarapan’ foto-foto
fashion memiliki kekhususan yang tersendiri dibanding produk iklan lainnya,
maka fotografi fashion menjadi bidang garap yang tersendiri.
Foto-foto
fashion dewasa ini tidak lagi befrbentuk foto-foto produk, tapi telah
berkembang menjadi suatu aliran dalam dunia fotografi yang mengutamakan atau
mengedepankan segi artistik atau nilai-nilai estetika yang tinggi. Dalam
fotografi fashion, obyek pemotretannya tidak hanya mode busana, tapi juga model
yang mengenakan busana atau fashion tersebut. Karena itulah di dalam fotografi
fashion, nilai-nilai artistik yang dikedepankan haruslah mewakili rancangan
fashion atau busana itu sendiri yang menawarkan ide maupun konsep-konsep
cemerlang, disamping ttata make-up dan rambut model (pergawati yang
memeragakannya), tata gaya,
tata ruang serta tehnik fotografi, dan llain-lainnya yang menghadirkan
nilai-nilai keindahan.
Di
dalam foto fashion, detail busana sangatlah penting untuk ditampilkan. Detail
busana yang ditampilkan dimulai dari bahu hingga ke ujung kaki model yang
mengenakannya. Wajah model serta latar-belakang dari posisi model itu berada
juga memiliki peran arau fungsi yang sangat esensial dalam menonjolkan busana
yang dikenakan hinga menghadirkan pesona tinggi.
Dalam
bekerja, fotografer fashion tidak bisa bekerja secara sendiri tanpa dukungan
pihak lain. Untuk menghasilkan foto fashion yang baik, sang fotografer harus
selalu berhubungan dengan perancang mode (desaigner), fashion stylist yang
menata keserasian mode busana yang dikenakan modelnya. Selain itu juga akan
bekerjasama dengan make-up artis yang membuat seorang model menjadi
terlihat cantik dan penuh pesona.
Fotografer
apa pun pasti akan bekerja berdasarkan konsep dan ide. Jadi, fotografer
tidak semata-mata bertumpu pada kemampuan atau keterampilannya dalam tehnik
fotografi semata. Karena itulah fotografer fashion dalam melaksanakan kerja
profesinya juga bekerja berdasarkan konsep, ide serta fashion itu sendiri.
Konsep
dan ide di dunia fotografi fashion sekarang ini sangat cemerlang. Konsep-konsep
dan ide-ide cemerlang itu telah membuat batas antara sebuah foto porno,
art nude san foto-foto yang menghadirkan nilai-nilai kesopanan serta etika
sudah tidak terlihat lagi.
Konsep
dan ide fotografi fasion kebanyakan memang terkesan mengarah pada kecenderungan
mengeksploitasi seks. Hal seperti ini terjadi, d barangkali dikarenakan seks
memang dipandang atau diyakini sebagai sumber inspirasi dalam kehidupan yang
tidak pernah ada habisnya.
Fotografer Pemandangan dan Wisata
Indonesia
merupakan negeri yang kaya dengan obyek wisata serta kaya akan pemandangan alam
yang indah. Kekayaan obyek wisata dan panorama alam yang indah tersebut membuat
Indonesia
selalu didatangi para turis atau wisatawan dari berbagai penjuru dunia.
Kekayaan
obyek wisata dan keindahan alam yang ada itu merupakan ‘lahan potensial’ bagi
para fotografer yang memang ingin mengkhususkan dirinya pada fotografi
pemandangan dan wisata ini. ‘Lahan subur’ ini tentu memberikan nilai komersial
yang menarik bagi para fotografer. Dengan kata lain, kekeyaan obyek wisata dan
keindahan alam yang dimiliki negeri kita itu merupakan ‘tambang emas’ yang
tidak akan pernah habis digali.
Keindahan
panorama alam yang merupakan ‘tambang emas’ itu berupa keindahan pemandangan
daratan (pandscape), keindahan pemandangan pantai dan laut (seascape), keindahan
pemandangan gunung atau pegunungan dan dataran tinggi (mountainscape), serta
keindahan pemandangan alam bawah laut (unerwater world). Keindahan alam ini
diperkaya lagi dengan banyaknya obyek wisata yang bertebaran di seluruh pelosok
tanah air.
Foto-foto
yang merekam panorama keindahan alam itu bisa dijadikan ‘komoditi’ yang
menguntungkan. Misalnya, bisa dijadikan kartu pos maupun souvenir-souvenir yang
menarik bagi wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik.
Sekalipun
fotografi pemandangan dan wisata masuk dalam kategori fotografi komersial,
namun karena foto-foto pemandangan dan wisata juga sarat dengan tampilan
nilai-nilai estetika yang tinggi, maka dapat juga masuk ke dalam kelompok
fotografi seni. Disamping itu, karena foto-foto pemandangan dan wisata
merupakan foto-foto yang mampu ‘bercerita’ kepada khalayak penikmatnya, maka
dapat pula menghiasi media-media massa
cetak.
Seorang
fotografer pemandangan dan wisata adalah seseorang yang dituntut untuk memiliki
kepekaan maupun rasa seni yang tinggi. Selain itu, hal yang harus dipahami oleh
setiap fotografer pemandangan dan wisata adalah pemandangan-pemandangan indah
yang akan menjadi obyek jepretan komeranya itu memiliki sejumlah unsur penting,
seperti tanah (hamparan padang, gurun, perbukitan dan gunung), air (laut,
pantai, danau atau telaga, danm sungai), tumbuhan (pepohonan, hamparan hutan,
rumput) dan langit (awan serta cuaca).
Fotografer Arsitektur
‘Ladang
kerja’ yang menarik lainnya bagi fotografer komersial adalah fotografi arsitektur.
Sesuai dengan namanya maka fotografi arsitektur akan mengambil obyek
pemotretannya karya-karya arsitektur.
Obyek
kerja fotografer arsitektur ini cukup bervariasi atau beragam. Diantaranya,
bangunan-bangunan perkantoran, mall, kondominium, apartemen, rumah, bangunan
masjid, candi, gereja, bangunan keraton atau istana, jembatan layang,
rumah-rumah tradisional, dan banyak lainnya lagi.
Nilai
jual bagi foto-foto arsitektur tersebut cukup tinggi, dikarenakan banyak
diperlukan oleh kalangan arsitek. Fotografi arsitektur tidak hanya menghasilkan
foto-foto tentang beragam bentuk bangunan saja, akan tetapi yang paling utama
adalah mampu menghadirkan informasi mengenai dunia arsitektur yang diperlukan
oleh kalangan arsitek tersebut.
Foto-foto
arsitektur tidak hanya penting dalam upaya perkembangan dunia arsitektur, tapi
juga dimanfaatkan oleh para arsitek, organisasi-organisasi profesi arsitek
maupun lembaga-lembaga terkait untuk kegiatan-kegiatan seperti kompetisi
arsitektur dan lain-lainnya lagi.
Foto-foto
arsitektur juga memiliki peran besar bagi studi arsitektur. Selain itu
foto-foto arsitektur dapat digunakan untuk portfolio dan promosi oleh kalangan
arsitek, perancang interior, kontraktor, sub-kontraktor, sampai pemasok eleman
bangunan maupun elemen interior. Nilai jual lainnya, foto-foto arsitektur dapat
pulka dijadikan media promosi. Misalnya, pengelola hotel. Restoran, pusat-pusat
perbelanjaan, apartemen dan lain-lainnya lago, bisa menggunakan foto-foto
dengan obyek bangunannya dalam promoso usahanya ke masyarakat.
Wartawan Foto
Fotografer
yang bekerja di bidang jurnalistik selalu disebut dengan wartawan foto
atau jurnalis foto, belakangan ini sering juga disebut pewarta foto. Karena
bekerja di bidang jurnalistik, maka tugas wartawan foto adalah mencari dan
kemudian menyampaikan informasi (berita) tentang suatu peristiwa ke publik
melalui karya foto (fotografi).
Kebanyakan
media pers cetak, seperti surat kabar, tabloid dan majalah, memiliki wartawan
foto secara khusus. Tugas utama wartawan foto itu bukan menulis atau membuat
berita, melainkan ia hanya bertugas memotret suatu peristiwa, kemudian karya
foto yang memiliki nilai atau pesan informasi itu disampaikan ke publik.
Karena itulah, hingga hari ini di media pers cetak, masih dikenal istilah
wartawan tulis dan wartawan foto.
Akan
tetapi seiring perkembangan dan kemajuan teknologi sekarang ini, terutama yang
berkaitan dengan teknologi kamera (peralatan fotografi), pemisahan antara
wartawan tulis dengan wartawan foto itu semakin kabur. Kini, ada semacam ketentuan
baru dalam kerja kewartawanan, bahwa dewasa ini setiap wartawan (jurnalis)
haruslah memiliki kemampuan memotret. Terlebih kini peralatan kamera (peralatan
untuk memotret) bukan lagi peralatan yang sulit untuk dimiliki.
Dewasa
ini seiring dengan kecanggihan teknologi komunikasi, peralatan kamera pun telah
menjadi bagian yang menyatu dalam beragam bentuk dan model peralatan
komunikasi. Padahal, dalam kehidupan modern sekarang ini, siapa pun kini dapat
dipastikan memiliki beragam bentuk peralatan komunikasi tersebut, seperti
hand-phone dan sejenisnya yang lain. Jadi kini, tidak berlebihan untuk
mengatakan bahwa hampir setiap orang yang tidak mau ketinggalan dengan
kehidupan 'komunikasi modern' selalu membawa 'kamera' dalam setiap aktivitas
kehidupannya.
Jika
setiap orang kini bisa membawa 'kamera' kemana pun dalam aktivitas diri,
tentunya para wartawan yang bergelut dalam kerja menyampaikan informasi
tersebut haruslah memiliki kualitas dan kapasitas yang lebih dari sekadar
'membawa kamera'.
Jelaslah,
bahwa kini setiap wartawan tak hanya dituntut memiliki kemampuan menulis berita
saja, tetapi juga harus memiliki keterampilan dalam memotret. Sehingga ketika
dalam aktivitas kerja profesinya, peristiwa yang akan diinformasikannya ke
publik tak hanya sekadar informasi berita, tetapi dilengkapi dengan informasi
foto, yang akan membuat informasi itu menjadi lebih menarik dan lengkap.
Untuk
lebih jelasnya, sebaiknya perlu dipahami lebih detail lagi apa yang
sesungguhnya yang disebut wartawan, yang wartawan foto juga termasuk di
dalamnya.
Apa sesungguhnya yang dimaksud
dengan wartawan?
Wartawan adalah sebutan untuk seseorang yang melakukan
kerja jurnalistik. Kerja jurnalistik yang dimaksud tidak hanya terbatas di
media pers cetak seperti surat kabar atau pun majalah, tetapi juga di media
elektronik, maupun sejenisnya yang lain.
Di
dalam Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers disebutkan
bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan
jurnalistik. Sebelumnya pada Pasal 1 ayat 1-nya disebutkan secara jelas bahwa
pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan
kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar,
suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang
tersedia.
Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) sebagai salah satu organisasi profesi kewartawanan di
dalam Peraturan Dasar organisasinya menyatakan bahwa yang disebut dengan
wartawan adalah yang melakukan profesi kewartawanan sebagaimana di maksud di
dalam Pasal 7 ayat 4 (Pasal 7 ayat 3 PD PWI). Sedang Pasal 7 ayat 4-nya
menyebutkan, kewartawanan adalah kegiatan yang sah berhubungan dengan
pengumpulan, pengolahan dan penyiaran fakta dan pendapat dalam bentuk berita,
ulasan, gambar dan karya jurnalistik lain bagi media massa.
Dulu,
wartawan hanya dikelompokkan dalam dua kelompok, kelompok wartawan media cetak
dan kelompok wartawan media elektronik (televisi dan radio). Tapi seiring
perkembangan teknologi dengan munculnya media online, sekarang kelompok
wartawan bertambah lagi dengan wartawan media online.
Wartawan
media cetak dapat pula dibagi menjadi dua bagian, yakni wartawan tulis dan
wartawan foto. Wartawan tulis memiliki tugas dan kewajiban membuat berita atau
melaporkan secara tertulis hasil kerja kewartawanannya. Misalnya, hasil liputan
terhadap suatu peristiwa, atau pun hasil wawancara dengan nara sumber.
Sementara wartawan foto, tugas utamanya adalah melaporkan informasi melalui
foto (karya fotografi).
Floyd
G. Arpan, guru besar Ilmu Pengetahuan Pers Universitas Indiana, AS, dalam
bukunya “Toward Better Communications” membagi wartawan dalam dua
golongan. Pertama, wartawan yang bertugas mencari berita atau mengumpulkan
berita (data serta informasi). Kedua, wartawan yang membuat atau mengerjakan
berita.
Akan
tetapi di Indonesia, pada umumnya wartawan di berbagai surat kabar atau media
pers lainnya adalah wartawan yang mencari berita, sekaligus membuat atau
menulisnya.
Seseorang
yang menjadi wartawan berarti ia masuk ke dalam kesibukan ‘ dunia yang penuh
tantangan’. Memutuskan diri untuk bekerja dalam dunia kewartawanan berarti seseorang sudah mempersiapkan dirinya
untuk menghadapi segala resiko, tantangan dan hambatan, serta kesulitan yang
siap menghadang di depan.
Kerja
kewartawanan tidak hanya cukup memerlukan kemampuan atau keterampilan dalam
menulis serta membuat berita saja. Disamping kterampilan dalam merangkai kata
demi kata, dan memiliki kemampuan berbahasa yang baik, kerja kewartawanan
memerlukan pula keberanian moral, serta keteguhan sikap.
Pekerjaan
mencari berita dan kemudian membuatnya bukanlah hal yang mudah, sebagaimana
dibayangkan sementara orang. Disamping kerja mencari berita itu menguras
tenaga, pikiran dan perasaan, seorang wartawan selain dituntut mampu
mempergunakan seluruh inderanya juga dipaksa untuk dapat memainkan ‘mata
hati’nya. “Mata hati’ itu memiliki peran penting, dalam menentukan sikap
bagaimana harus menulis atau menyampaikan suatu informasi yang diperoleh, atau
juga menentukan apakah sesuatu itu layak atau tidak untuk dipublikasikan ke
publik.
Janganlah
menjadi wartawan yang mencari (meliput) berita atau peristiwa yang bila
ditinjau dari dimensi persepsi hanya sekadar berita dari hasil penginderaan,
penglihatan dan pendengaran saja dengan tidak menyertakan aspek emotif di
dalamnya.
Wartawan
yang hanya mampu mencari atau membuat berita seperti itu, oleh Daniel Lev dijuluki
sebagai teknolog dalam hal tulis menulis, tetapi bukan seorang jurnalis
(wartawan).
Hasil
kerja wartawan yang ‘teknolog’ itu hanya sekadar informasi semata bagi publik
pembaca, akan tetapi tidak membawa dampak-dampak positif. Wartawantipe ini
lebih pantas pula disebut sebagai ‘wartawan tukang’. Karena pekerjaannya hanya
sekadar ‘tukang’ pembuat berita.
Padahal
media pers di era seperti sekarang ini memerlukan wartawan yang bukan hanya
sekadar ‘wartawan teknolog’ atau ‘wartawan tukang’. Pers sekarang memerlukan
wartawan yang mampu mengajak masyarakat tergugah, tergerak dan terbakar
semangatnya untuk berpartisipasi dalam gerak perkembangan, kemajuan dan
pembangunan di segala bidang melalui pemberitaan-pemberitaannya. Wartawan harus
mampu menggugah masyarakat untuk berpartisipasi dalam gerak ‘pembangunan
kehidupan’ di bidang apa pun, seperti pembangunan di bidang agama, hukum,
ekonomi, pertanian, industri, kelestarian lingkungan, sosial-budaya, politik,
dan sebagainya.
Untuk
mampu menjadi wartawan (jurnalis) dan bukan hanya ‘wartawan teknolog’, wartawan
haruslah bisa mendalami serta menghayati suatu perkembangan yang ada di dalam
kehidupan masyarakat serta melihatnya dengan ‘mata hati’ yang dalam. Dengan
kata lain, wartawan harus mampu mengkorelasikan suatu permasalahan atau gejala
sosial dengan berbagai aspek.
Wartawan
bukanlah profesi yang sederhana. Bahkan, Jakob Oetama menyebut dan
mengelompokkan wartawan sebagai kelompok avant-garde. Menurutnya,
wartawan menjadi komunikator di antara kelompok-kelompok masyarakat yang
majemuk. Menjadi komunikator antara pemerintah dan masyarakat. Menjadi
penggerak dan pengecam (Lihat “Apa Maunya Wartawan?” dalam Drs T. Atmadi
(ed.), Bunga Rampai Catatan Pertumbuhan dan Perkembangan Sistem Pers
Indonesia, Pantja Simpati, Jakarta, 1985).
Wartawan
Profesional
Menjadi
wartawan yang baik dan professional tentu merupakan idaman setiap wartawan
pemula. John Hohenberg dalam bukunya “The Professional Journalist”
mengemukakan, wartawan yang baik atau professional adalah wartawan yang dapat bergerak
cepat, tepat dan sigap namun tenang. Ia cepat mengerti
peristiwa (sumber informasi), tidak hanya melihat peristiwa apa yangt terjadi,
tetapi juga meneliti mengapa hal itu terjadi dan bagaimana pula
kelanjutannya nanti.
Kemudian
ia memiliki pandangan luas, tegas dan praktis, berpandangan mendalam, selalu
berhati-hati tapi tidak bimbang. Memiliki cara berpikir bebas tapi bertanggjungjawab,
selalu sistematis tapi bukan teks book. Dan yang terpenting, ia bekerja
lebih banyak dibanding berita atau tulisan yang dibuatnya.
Sedang
Floyd G. Arpan memberikan lima syarat kepada wartawan untuk bisa menjadi
wartawan yang professional. Kelima syarat itu meliputi: menguasai bahasa,
mengetahui jiwa kemanusiaan, berpengetahuan luas, punya kematangan pikiran dan
punya ketajaman pikiran (Lihat – Floyd G. Arpan, Wartawan Pembina Masyarakat,
Binacipta, Bandung, 1970).
1.
Penguasaan Bahasa
Bagi
setiap wartawan atau jurnalis, penguasaan terhadap bahasa memang merupakan
syarat yang utama. Sebab tanpa menguasai bahasa, maka wartawan tidak akan mampu
menulis atau membuat berita dengan baik. Untuk itu, wartawan harus memahami
bahasa, mengetahui atau mengerti tentang segala aspek bahasa, serta
pemakaiannya dan kaya akan perbendaharaan kata.
2.
Mengetahui Jiwa Kemanusiaan
Semula
ada kesan, keharusan mengetahui jiwa kemanusiaan sebagai sesuatu yang
berlebihan bagi wartawan. Karenanya muncul pertanyaan – “Apakah
wartawandiharuskan juga belajar dan membaca buku tentang Ilmu Jiwa dan
memperdalam psikologi?”
Sesungguhnya
keharusan mengetahui jiwa kemanusiaan itu bukanlah hal yang berlebihan. Meski
dipandang ‘berat’, tapi setiap wartawan mempunyai kewajiban untuk mengetahui
dan mengerti tentang Ilmu Jiwa tersebut. Sebab, pengetahuan jiwa kemanusiaan
akan sangat penting dan sangat mendukung keberhasilan kerja kewartawanan setiap
wartawan.
Dalam
tugas dan kerjanya sehari-hari, wartawan selalu berjumpa atau berhadapan dengan
masyarakat dari segala macam lapisan maupun status sosial. Sejak dari lapisan
masyarakat kelas atas, sampai ke lapisan paling bawah. Dari pejabat tinggi,
sampai ke pengemis, dan pelacur di jalanan.
Di
dalam kerjanya, wartawan akan selalu menghadapi reaksi-reaksi yang muncul dari
tengah-tengah masyarakat. Misalnya, reaksi seorang menteri, pejabat
pemerintahan, pengusaha terpandang, seniman terkemuka, artis film kenamaan,
koruptor, penjahat kelas kakap, sampai ke pekerja seks komersial (PSK) murahan,
ketika berhadapan dengan wartawan yang memerlukan sesuatu keterangan atau
mewawancarainya.
Banyak
wartawan (terutama yang pemula) gagal dalam usahanya mengorek atau memperoleh
keterangan dari seseorang yang dikehendakinya. Kegagalan itu terjadi bukan
dikarenakan persoalan yang wajar (misalnya yang bersangkutan tidak ada), tetapi
lebih banyak disebabkan si wartawan tidak berhasil memahami atau mengerti
bagaimana kejiwaan orang yang dihadapinya tersebut.
3.
Berpengetahuan Luas
Syarat
terpenting lainnya bagi wartawan adalah berpengetahuan luas. Wartawan dituntut
untuk memiliki pengetahuan yang luas, tidak saja pada bidang atau permasalahan
kerja yang dihadapi, tetapi juga pada masalah-masalah umum lainnya.
Salah
satu cara paling efektif bagi wartawan, rajin mengikuti perkembangan dunia dan
rajin pula membaca buku-buku pengetahuan yang bermutu. Wartawan tidak hanya
cukup lena dengan buku-buku tentang jurnalistik atau komunikasi saja, tetapi
harus juga berusaha mendalami buku-buku pengetahuan lainnya. Seperti buku-buku
tentang masalah kesehatan (kedokteran), hukum, ekonomi, politik, kebudayaan,
seni, sosiologi, pertanian, lingkungan hidup, psikologi, ruang angkasa, agama,
dan lain-lainnya.
Apabila
seorang wartawan mendapat spesialisasi sebagai wartawan hukum atau wartawan
kriminalitas, tentunya ia harus mempersiapkan diri dengan pengetahuan tentang
beragam permasalahan hukum, undang-undang maupun kriminologi. Sehingga ketika
si wartawan akan mewawancarai seorang ahli hukum atau praktisi huku, persiapan
yang memadai sudah ada di tangannya.
4.
Kematangan Pikiran
Kematangan
pikiran atau kedewasaan pandangan diperlukan bagi setiap wartawan. Sehingga
wartawantersebut tidak bekerja secara sembrono, asal-asalan dan seenaknya.
Wartawan harus punya landasan-landasan yang jernih mengenai etika, moral dan
tanggungjawab terhadap perkembangan tatanan nilai serta budaya masyarakat di
sekitarnya.
Melalui
kematangan pikiran, wartawan akan dapat meraih kepercayaan dari public
pembacanya tentang seberapa jauh kualitas berita yangt disajikan. Suatu berita
yang disajikan secara sembrono, asal-asalan atau penuh kesewenang-wenangan akan
menggoyahkan kepercayaan pembaca terhadap kualitas atau mutu berita tersebut.
5.
Ketajaman Pikiran
Ketajaman
pikiran tidak bisa ditinggalkan begitu saja oleh wartawan. Wartawan yang baik
atau professional harus tajam pikirannya, cerdas, sigap dan lincah menghadapi
berbagai permasalahan yang ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Di
dalam melakukan aktivitas kerjanya, wartawan akan menemui berbagai permasalahan
atau persoalan di dalam masyarakat yang sangat kompleks dan memerlukan jalan
pemecahan cukup pelik.
Banyak
permasalahan begitu sukar untuk bisa diketahui atau diteliti sebagai bahan
pemberitaan yang menarik bagi pembaca. Permasalahan itu ditutupi sekian banyak
‘tabir’ dan hambatan, sehingga tidak begitu saja mudah diketahui dan diungkap
ke permukaan. Misalnya, dalam melacak kasus korupsi atau manipulasi yang
melibatkan sejumlah pejabat pemerintahan, wartawan akan menghadapi banyak
hambatan yang bersifat birokrasi dan terselubung.
Untuk
mengatasinya, wartawan haruslah memiliki ketajaman pikiran guna menelusuri
secara teliti dan cermat, sehingga akhirnya kasus manipulasi itu dapat
terungkap secara utuh. +++
(Sutirman
Eka Ardhana)
Suplemen: Pertemuan ke-2
KASSIAN CEPHAS
Orang Yogya, Fotografer Pribumi Pertama
SEJARAH fotografi di Indonesia
diawali pada tahun 1841. Di tahun itu, Juriaan Munich, seorang pegawai
kesehatan Belanda ditugaskan oleh Kementerian Kolonial Kerajaan Belanda untuk
datang ke Batavia
(sekarang Jakarta). Munich
datang dengan membawa kamera dauguerreotype.
Tugas Munich di Batavia adalah
untuk mengabadikan tanaman-tanaman serta kondisi alam yang ada di Indonesia
dengan kameranya. Kamera dauguerreotype yang merupakan teknologi fotografi
terbaru di masa itu telah digunakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk
mendata semua hal yang berkaitan dengan Hindia Belanda.
Misalnya tentang kondisi atau
keadaan suatu wilayah, perilaku adat istiadat dan budaya masyarakatnya, dan
banyak hal lainnya lagi. Foto-foto itu bisa menjadi sumber informasi sekaligus
bahan pijakan dalam menentukan strategi dan kebijakan kolonialnya di
Hindia Belanda (Indonesia).
Sepanjang 100 tahun keberadaan
fotografi di Indonesia, yaitu sejak 1841 sampai 1941, penggunaan kamera atau
alat fotogradi tersebut nyaris sepenuhnya berada di tangan orang Belanda (
Eropa), kemudian sebagian kecil orang keturunan Cina (Tionghoa) dan Jepang.
Dari hasil penelitian Pemerintah Kolonial Belanda diketahui sejak tahun 1850
hingga 1940 di Hindia Belanda terdapat 540 studio yang tersebar pada 75 kota
besar dan kecil. Kemudian sepanjang tahun itu pula terdata sebanyak 315
fotografer berdarah Eropa, 186 orang Tionghoa, 45 orang Jepang, serta empat
orang pribumi Indonesia. Dan, salah seorang fotografer pribumi itu adalah
Kassian Cepas.
Orang
Yogya
Kassian Cephas adalah fotografer
pribumi yang pertama di Indonesia. Sayang sekali namanya berpuluh-puluh tahun
tenggelam dan nyaris tak dikenal di negerinya sendiri, sebagai seseorang yang
memiliki peran dan jasa besar dalam sejarah keberadaan fotografi di negeri ini.
Kalau saja pada bulan Juni 1999 tidak diselenggarakan pameran foto-foto karya
Kassian Cephas di Keraton Yogyakarta, nama Kassian Cephas mungkin tidak
diketahui banyak orang di Indonesia.
Bahkan, para penggemar dunia fotografi di negeri ini pun pasti merasa
asing bila mendengar namanya. Padahal selain sebagai orang pribumi yang
pertama berprofesi sebagai fotografer professional, seorang sejarawan Belanda,
Gerrit Knaaf, di dalam bukunya “Cephas,
Yogyakarta : photography in the service of the Sultan” menyebut Kassian
Cephass sebagai salah seorang pionir modernitas di Indonesia.
Siapa sesungguhnya Kassian Cephas?
Kassian Cephas adalah seorang pribumi asli Jawa yang lahir di Yogyakarta
pada 15 Februari 1844 dari pasangan Kartodrono dan Minah. Tapi kemudian ia
diangkat sebagai anak angkat oleh pasangan keluarga Adrianus Schalk dan Eta
Philipina Kreeft. Ia pun kemudian sempat disekolahkan ke Belanda.
Dalam usia relatif muda, di tahun
1860-an Cephas mengenal dunia fotografi. Bahkan di tahun-tahun itu juga ia
mulai belajar menjadi fotografer professional. Kariernya sebagai fotografer
professional diawali dengan magang pada Isidore van Kinsbergen, fotografer
Belanda yang pada tahun 1863-1875 bertugas di Jawa Tengah.
Kariernya sebagai fotografer
professional semakin melejit ketika di tahun 1888 ia membantu Isaac Groneman
yang membuat buku-buku tentang kebudayaan Jawa. Buku-buku karya Isaac
Groneman yang seorang dokter itu di antaranya “In den Kedatonte Jogjakarta” dan “De Garebeg”s te Ngajogjakarta”. Di dalam buku-buku itu terdapat
sejumlah foto karya Kassian Cephas.
Fotografer Keraton
Pada masa Kesultanan Yogyakarta diperintah Sri Sultan Hamengku Buwono VII,
Kassian Cephas diangkat sebagai fotografer keraton. Dalam kedudukannya sebagai
fotografer keraton, ia dapat memotret berbagai peristiwa budaya atau
momen-momen khusus yang diadakan di dalam keraton.
Ketika pada tahun 1889-1890
pemerintah kolonial Belanda melalui Archaeologische Vereeniging atau
Archeological Union (AVAU) di Yogyakarta melakukan proyek penelitian di komplek
Candi Prambanan (Candi Loro Jongrang), Kassian Cephas dipercaya untuk membantu
pemotretan.
Saat AVAU melakukan penggalian
dasar Candi Borobudur, Kassian Cephas juga dilibatkan. Selama proyek penggalian
dasar candi itu berlangsung, ia menghasilkan sedikitnya 300 lembar foto. Dari
hasil jerih payahnya itu ia memproleh honor sebesar 3000 gulden. Padahal dana
keseluruhan untuk proyek penggalian dasar Candi Borobudur
itu hanya sebesar 9000 gulden.
Karya-karya foto Kassian
Cephas di masa itu sering dijadikan souvenir-souvenir berharga oleh kalangan
elite Belanda. Terutama foto-fotonya tentang Keraton Yogyakarta, Sultan,
keluarga dan kerabat Sultan, para abdi ndalem, serta beragam ritual budaya dan
kesenian. Dan, karya-karyanya itu terhimpun dalam souvenir album berjudul
“Souvenir von Jogjakarta”.
Kassian Cephas, sang pionir modernitas fotografi di Indonesia ini meninggal dunia pada
tahun 1912, dengan meninggalkan warisan karya-karya fotografi yang tak ternilai
harganya. Dan, hampir semua karyanya itu tersimpan di Negeri Belanda.
(Sutirman Eka Ardhana)
ket. gambar: Kassian Cephas (paling atas). Lainnya, karya-karya Kassian Cephas,
seperti Sri Sultan Hamengku Buwono VII, dll. (sumber foto: fotografernet.com)