Sutirman Eka Ardhana
Puisi-puisi
tahun 1974
KURINDUKAN SUARA
kurindukan
suara angin di kebun para
yang
menggelisahkan dedaunan
dan
risiknya kudengar bagai lagu-lagu cinta
menggelora
di setiap dada anak-anak muda
kurindukan
suara langkah-langkah penyadap duka
yang
tergesa memburu pagi dan matahari
dengan
beban dan derita memberat di pundaknya
demi
cinta dan anak isteri
kurindukan
suara lembut ayah bunda
yang
senantiasa bercerita tentang dukanya keluarga
dan
kebun-kebun para tumpuan cinta
pautan
hati dan hidup di hari tua
Yogya, Juli 1974
RINDU ITU ADALAH
Rindu
itu adalah biru
birunya
air laut
yang
menghampar di depan pelabuhan
tempat
kita mula jumpa
Rindu itu adalah kisah-kisah lalu
yang tiba-tiba saja datang
berdua di bawah rimbun-rimbun cemara
menyelusuri jalanan-jalanan tua
Yogya, Oktober
1974
SESAAT SEBELUM
KUPULASKAN MATA
sesaat,
sebelum kupulaskan mata dan tidur
hanya
Engkau yang serasa menyenyumi di pelupuk mata
demikian
salju wajahMu, meluluhkan keluhku
dan
atas nama dosa, ku menyerah di haribaanMu
lalu
bayang-bayang peristiwa yang telah lampau
serasa
masih juga hadir dan lewat di sini
hari-hari
kelam serta kelabu seperti ada
kembali,
menyentakkan rasa haru biruku
sesaat,
sebelum kupulaskan mata dan tidur
kulihat
diriku yang sebenarnya
di
setiap pojok kamar dan benda-benda
serta
pada suara-suara sajak yang sayup menyapaku di luar
Yogya,
1974
STASIUN TUGU
YOGYA
orang-orang
saling memandang ke depan
sekelilingnya,
kupu-kupu yang terbang
dan
jam di tembok pun berdentang
mereka
pun saling memandang
diri
mereka sendiri-sendiri
suara
kereta pun melengking dari jauh
menyentak
dan membangunkan segala bimbang
lalu,
kereta pun datang
penumpang-penumpang
turun, saling pandang
dan
di sini pertemuan pun lalu terjadi
Yogya, 1974
DUKA ADALAH YANG
MENYAPAKU SETIAP WAKTU
Duka
adalah yang menyapaku setiap pagi
bagai
sahabat setia, mengucapkan salam
ketika
waktu dan matahari
saling
berpacu memburu hari
Duka
adalah yang menyapaku setiap malam
menganggukkan
kepala dan tak mau pergi
sedangkan
sepi dan kelam
semakin
gila merasuk diri
Duka
adalah yang menyapaku setiap waktu
bagai
laut senantiasa menderu
dan
bernyanyi mengusik diri
aku
pun semakin tidak mengerti
Yogya, 1974
SAJAK PAGI HARI
Waktu
pun telah kembali semula
seperti
kemarin, ketika burung-burung gereja
di
jendela bernyanyi menyambut pagi
dan
matahari yang mempersiang diri
Ada
suara kereta dari jauh
yang
melengking menyimak hening
dan
kembali kota jadi riuh
dengan
suara-suara saling beriring
Duh,
bunga-bunga di halaman telah berganti
saling
mekar dan mewangi
sedangkan
beban dalam hidup ini
senantiasa
kian bertambah lagi
Yogya, 1974
DARI
DALAM KAMAR INI
dari dalam kamar ini, telah kutatap
udara luar
risik
daun-daun, dan burung-burung yang samara
sayup,
di antara suara tak sampai
gelisah
dalam hujan yang renyai
di
atas kota pun mega-mega telah jadi lena
didera
langkah-langkah tak kenal lelah
dengan
angin yang menyapa setiap tembok dan tabir jendela
di
mana rinduku senantiasa singgah
dan
dari kejauhan kudengar ada suara kereta
menggelisahkan
dedaunan, menyibak sepi
ketika
hening dan sunyi yang merangkul kota
membawa
sajak yang kutulis ini
Yogya, 1974
LANGIT
TELAH RUNTUH DI SINI
Langit telah runtuh di sini
Menimpa atap-atap rumah.
Lorong-lorong jadi gelap
Ou, malapetaka apa yang tiba?!
Siapa gerangan yang berdosa?!
Orang-orang riuh meratapi nasibnya.
Langit telah runtuh di sini
dan jalanan pun jadi sepi
Gadis-gadis tak pernah lagi lewat di
situ
Lantas mereka telah pergi ke mana?!
Angin tak pernah mengatakannya.
Langit telah runtuh di sini
Ketika aku sedang sendiri
Tuhan!
Aku belum sempat berdoa.
Yogya, 2014
(Buku kumpulan puisi
"Risau", 1976)
AKAN
SIA-SIALAH
Akan sia-sialah
Tak menangkap matahari. Yang sendiri
Dalam perjalanan
Ke sudut sepi.
Akan sia-sialah
Membiarkan matahari. Dipeluk bumi
Dan sunyi
Senantiasa di sini.
Yogya,
2014
(Buku kumpulan puisi
"Risau", 1976)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar