Sutirman Eka Ardhana
Puisi-puisi
tahun 1975 (1)
SURAT
KEPADA IBUNDA
Engkaulah
yang bernama rindu itu
sebab
dimatamu telah terbentang lautan biru
yang
di dasarnya akan kuselami makna kehidupan
cinta
dan kemisterian.
Engkaulah
yang bernama kasih sayang itu
karena
di dadamu telah kutemukan pemberhentian
dimana
kegelisahan kuteduhkan
dan
dimana akhirnya kembara kupulangkan.
--Yogya,
1975—
ADA
KHABAR DARI JAUH
(kepada
kota kelahiran)
Ada
khabar dari jauh, datang senja hari
diantara
daun-daun luruh, lagu yang tak sepi
cemara-cemara
telah kering, karena kemarau memanjang
dan
dermaga jadi sunyi, karena camar tak pernah pulang
Bila
nanti kau datang
aku
tak menunggumu di simpang
dan
dedaunan para telah kuyu
tak
sebiru waktu dulu
Ada
khabar dari jauh, datang senja hari
dalam
dada gemuruh, kembara tak pernah teduh
saat-saat
resah, burung-burung terbang pulang
dalam
kepaknya, ada rindu
petualang.
--Yogya,
1975—
BOLA
MATA
buat: ?
bola mata siapa tak berkedip dalam
mataku
dan demikian bening bersimpuh di
terik matahari
sementara aku yang asyik
membanding-bandingkannya
dengan bening laut dan mutiara
pun berkata: "Hai demikian
manisnya ia
bila kus8impan di lemari kaca
dan aku memandangnya senantiasa."
Pekalongan,
3 Januari 1975
LANGKAH-LANGKAH
TAK BERSUARA
Suara siapa di luar? Demikian berat
didesir angin. Sedang malam terasa
penat
dalam sepi dan risik yang lambat
Di hatiku bagai ada yang
mengerat-erat
Barangkali itu Engkau, ya? Demikian
tajam
pandangmu. Langkah-langkah tak
bersuara
Tiba-tiba angin seperti berdesis
perlahan
ketika kutelan pandangmu dalam-dalam
dan pelan.
Yogya,
Jan 75.
DI
KAMAR KADIPATEN LOR 17
di kamar ini,
engkaupun sendiri
sedang angin di luar telah pergi
mengusik bunga-bunga dan sepi
laluapa lagi yang akan ditunggu
dari bisik waktu tak pernah usai
adakah yang akan menjemput kita di
sini
sementara perjalanan belum lagi
sampai.
Yogya,
1975
CADEAU
PERJALANAN
Senyum manismu pertama
kau berikan di risik angin Jakarta
sedang bening matamu pula
telah kubawa pulang ke Yogya
Yogya,
Jan 75
ALAS
ROBAN
pepohonan rimbun dalam biru hari
terlintasi begitu saja dalam
pandangan
Hai, tangan-tangan raksasa dan
bidadari
bagai menggapai-gapai di pucuk
dedaunan.
3
Januari 75
STASIUN
kita akan berjumpa dan menjabat
tangan siapa juga di sini
atau barangkali berpisah dengan
kekasih
dan nama-nama yang barusan saja kita
kenal
serta waktu yang menyapa kita di persimpangan
barangkali tidak ada hal yang perlu
disedihkan di sini
karena kesedihan bukan hanya milik
kita sendiri
biarkan satu-satu pergi dan
merenggut kita
sebab akhirnya kita pun tak akan
mengerti apa-apa juga
Yogya,
Februari 1975
KOTA
telah kita catatkan hari-hari kita
di sini, bukan?
ya, kau tak perlu mengangguk dan
mengiyakannya
meski kita sudah saling menyapa dan
meraba
diri kita sendiri di perjumpaan itu
kita pernah bercinta dan bercumbu di
sini, bukan?
ya, kau tak perlu bersedih dan
mengenangnya
sebab apa pun yang pernah kita
lakukan
akan musnah juga ditelah oleh waktu
Yogya,
Februari 1975
TELAGA
ada telaga yang asing
kutemukan dalam rimbamu
dan kubayangkan:
- betapa nikmatnya
andai kuminum dalam kemarau ini
dan dalam haus kembaraku
Yogya,
1975
MATA
AIR
sebuah mata air kutemukan dalam bola
matamu
demikian beningnya dalam pandangku
dan sementara aku masih lagi asyik
membayangkannya
aku pun berpikir: ah, betapa
sejuknya ia
jika mengisi gelas hatiku
Yogya,
1975
SEMARANG
sesuatu telah menyapaku di sini,
barangkali risau
atau gebalaunya terminal yang
terseok di langkahku
dan sepi entah di mana, tak lagi di
persimpangan
menyambutkan dengan lambaian tangan
siapa yang di situ sendiri dengan
wajah papa?
maaf, karena tak kenal aku terpaksa
tak menyapa
meski demikian jangan tersingggung
pula hatimu
sebab engkau telah kucatat dalam
hatiku
Semarang,
1975
DI
HADAPANMU
di hadapanmu, sajak ini memang sederhana
tapi dalam hatinya, ia adalah
sebilah belati
yang senantiasa rindu mengucup
darahmu
karena itulah, ketika kau terlena
sajak ini pun cekatan menunjam
hatimu
sebab di situ tertulis segala
rindunya
Yogya,
1975
SELINTAS
selintas kubayangkan kau sebuah
telaga
ketika bertemu kita di sudut waktu
dan selintas kurasakan betapa
nikmatnya
andai kuhirup sejuk airmu
inilah yang bisa melintas pada
sebuah pertemuan
jika terjadi di musim kemarau
panjang
Habiskan airnya!
dan kita pergi dengan lega
Yogya,
1975
DI
PEKALONGAN, BULAN BERWARNA JINGGA
bulan jingga yang telah turun dengan
malam
dan bersinar di bola matamu
bagai duabelas bidadari
yang turun mandi di telaga puteri
Hai, Nawang Wulan!
bidadari jelita, kesayangan dewa-dewa
kasihmu di puncak bukit, cintamu di
akar randu
beri aku setetes madu
bagi haus kembaraku.
1975
INI
SAJAK KEDUA, YANG KUTULIS
SEHABIS KAU KUCIUM MALAM ITU
masih hangat, adikku
seperti sajakku yang lahir dari sisa
isakmu
yang basah di kemejaku
dan kenangan memang tak pernah padam
sejak kutahu ada yang lebih berarti
dari pada cinta
cinta bukan suatu kemungkinan yang
pasti, adikku
untuk kita senantiasa menghargai
kesetiaan
atau kenangan yang kita ciptakan di
setiap perjumpaan
tapi memang ada yang lebih berarti
dari bahasa cinta
yang tertinggal dalam baris-baris
sajakku
September
1975
SAJAK
PASRAH
sudah terlalu sering kta bersetubuh
di sini, bukan?
hingga kulupa, ini entah kali
keberapa
aku harus pasrah dalam dekap-Mu
yang hangat itu
ah, mata-Mu yang jelaga telah
memojokkanku
di sudut kamar tak berdaya
dan suara-Mu!
telah menelanjangi sekujur tubuhku
sudah terlalu sering kita bersetubuh
di sini, bukan?
tapi aku senantiasa lupa mengingat
wajah-Mu.
Yogya,1975
Catatan:
Puisi ketiga sampai terakhir terhimpun di dalam buku kumpulan puisi "RISAU",
Pabrik Tulisan, 1976.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar