Peribahasa
Jawa dan Melayu Riau:
"Tak
Kan Melayu Hilang di Jawa,
Tak
Kan Jawa Hilang di Melayu"
Sutirman
Eka Ardhana
I
"TAK kan Melayu hilang di dunia".
Rangkaian kata-kata atau ungkapan ini sangat dikenal dan populer di seantero
dunia Melayu, baik itu di Indonesia maupun Malaysia, Brunei, Thailand Selatan
(Patani) dan lain-lainnya. Bagi masyarakat Melayu, serangkai kata-kata tersebut
sangat penuh arti. Tak sekadar kata-kata bijak, kata-kata indah, kata-kata
harapan, tapi juga kata-kata atau ungkapan yang menunjukkan semangat perjuangan
masyarakat Melayu dalam memperjuangkan, menjaga, mempertahankan dan menunjukkan
eksistensi jati dirinya.
Dalam
konteks tulisan ini, saya ingin menampilkan kata-kata penuh arti itu ke
khasanah wilayah yang terbatas dan lokal, yakni: Tak kan Melayu hilang di Jawa, dan tak kan Jawa hilang di Melayu. Rangkaian
kata-kata atau ungkapan ini rasanya bukanlah sesuatu yang berlebihan. Karena
kalau kita ingin melihat kembali riwayat perjalanan budaya kedua kelompok
budaya ini, budaya Jawa dan budaya Melayu, maka jelaslah terlihat bahwa pada
awalnya kedua budaya tersebut berada dalam satu kesatuan budaya (etnis).
Di
dalam catatan sejarah (berdasar temuan di sejumlah prasasti yang ada), pada
abad ke-7 dan ke-8, Sumatera (untuk mewakili identitas Melayu) dan Jawa
diperintah oleh Wangsa Syailendra dan Wangsa Sanjaya (dua wangsa bersaudara).
Sumatera (kawasan Melayu) diwakili oleh Kerajaan Sriwijaya, sedangkan Jawa
diwakili Kerajaan Mataram Kuno. Kedua kerajaan berdiri sendiri-sendiri, tetapi
berada dalam kesatuan budaya yang sama.
Pada
menjelang akhir abad ke-8, bentuk "kesatuan" di dalam Wangsa
Syailendra mulai digoyang oleh kepentingan 'politik dan kekuasaan'. Kondisi itu
akhirnya membuat Wangsa Syailendra meninggalkan Kerajaan Mataram Kuno, dan
memfokuskan perhatian kekuasaannya hanya di Sumatera (Sriwijaya). Sedangkan di
Jawa (Mataram Kuno), Sanjaya yang juga berdarah Wangsa Syailendra meneruskan
kepemimpinan Wangsa Syailendra dengan membangun wangsa sendiri yakni Wangsa
Sanjaya.
Bisa
diduga, perpecahan Wangsa Syailendra di akhir abad ke-8 itu telah memunculkan
dua kekuatan 'politik', yang kemudian berkembang menjadi kekuatan 'budaya'.
Masing-masing kelompok berusaha membangun identitas dirinya. Identitas diri itu
diperlukan untuk membedakan satu sama lain. Dan, bisa diperkirakan juga, mulai
saat itulah muncul identitas budaya yang agak berbeda antara Sumatera
(Sriwijaya) dengan Jawa (Mataram Kuno). Akan
tetapi, meskipun berbeda, tak bisa dipungkiri di sana-sini masih terdapat
banyak persamaan, karena keduanya memang berasal dari satu induk budaya yang
sama.
Identitas
budaya yang dibangun Wangsa Syailendra di Sumatera (Sriwijaya) itulah yang kemudian (dengan perkembangan dan
dinamikanya) berkembang menjadi budaya
yang kini disebut budaya Melayu. Dan, masyarakatnya kemudian dikenal
juga dengan sebutan masyarakat Melayu. Sementara di Jawa (Mataram Kuno), Wangsa
Sanjaya membangun identitas budaya yang hingga kini dikenal dengan nama budaya
Jawa. Masyarakatnya pun dikenal dengan sebutan masyarakat Jawa.
Sejak
masa itu nama Jawa dan Melayu, termasuk bentuk budayanya, seakan tak bisa
terpisahkan. Ini bisa terlihat bagaimana kerajaan-kerajaan atau daerah-daerah
yang ditundukkan Sriwijaya selalu menyebut tentara atau prajurit Sriwijaya
dengan sebutan tentara Jawaka, atau tentara dari Jawa.
Menurut
Prof. DR. Slamet Mulyana, kepopuleran nama Jawa (Jawaka), disebabkan kekuasaan
Rajakula Syailendra semenjak abad ke-8 di Sumatera dan Semenanjung (Semenanjung
Melayu). Karena Rajakula Syailendra berasal
dari Jawa Tengah, sudah pasti bahwa Raja Syailendra di Sriwijaya seperti
Balaputra disebut Maharaja yang berasal dari Jawa. (Sriwijaya, LKIS, 2011).
Ternyata
pula, sejak tahun 1200-an, sebutan Jawa itu diberikan kepada Pulau Jawa dan
Pulau Sumatera. Marcus Paulus dari Venesia dalam bukunya "Lukisan Tentang
Pemandangan Negeri-negeri Timur" (kisah perjalanannya pada tahun 1296),
menyebut Pulau Sumatera dengan nama "Jawa Kecil", dan Pulau Jawa
dengan "Jawa Besar". (Shaleh Saidi, Melayu Klasik Khasanah Sastra Sejarah Indonesia Lama, Larasan
Sejarah, 2003).
Pada
abad ke-16, orang-orang Portugis masih meneruskan sebutan dari Marcus Paulus
itu dengan menyebut Pulau Sumatera sebagai Jawa Kecil dan Pulau Jawa sebagai
Jawa Besar. Bahkan pada masa-masa itu , Bahasa Melayu awalnya lebih dikenal
dengan sebutan Bahasa Jawi (Jawa). Menurut para ahli, nama pertama adalah
Bahasa Jawi. Setelah itu baru dikenal sebutan nama kedua, Bahasa Melayu.
Kita
tidak sedang membicarakan perihal sejarah. Tetapi, mengetengahkan sepenggal
sejarah kemunculan dan perjalanan pertautan budaya Jawa dan budaya Melayu ini
sangatlah penting untuk mengetahui lebih jauh tentang latar belakang adanya
persamaan-persamaan di antara kedua budaya tersebut. Termasuk
persamaan-persamaan tentang arti dan makna peribahasa sebagai bagian dari ragam
seni dan budaya yang ada di dalam budaya Jawa dan budaya Melayu. Dan, untuk
budaya Melayu, dalam pembicaraan kali ini khusus terfokus pada budaya Melayu
Riau.
II
Apa
yang dimaksud dengan peribahasa?
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
(Badudu-Zain, 1994) disebutkan, peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat
yang menyatakan suatu maksud, keadaan seseorang, atau hal yang mengungkapkan
kelakuan, perbuatan atau hal mengenai diri seseorang. Peribahasa mencakup
ungkapan, pepatah, perumpamaan, ibarat, dan tamsil. Dan, di dalam suatu
peribahasa itu terdapat unsur sistem budaya masyarakat yang berhubungan dengan
nilai-nilai, pandangan hidup, norma dan suatu aturan dalam masyarakat. (Wikubuku).
Menurut Sabaruddin Ahmad, peribahasa
ialah kiasan yang dilahirkan dengan kalimat-kalimat yang pendek, menjadi buah
bibir orang yang banyak. Dan, pepatah yang merupakan bagian dari peribahasa itu
ialah kiasan tepat dan langsung. Kalimat-kalimatnya menyatakan yang biasa saja,
tapi tak dapat disangkal lagi. (Sabaruddin Ahmad, Seluk Beluk Bahasa Indonesia, UP dan Percetakan Saiful, Medan,
1953).
Dari dua pengertian tentang
peribahasa tersebut, hal yang menarik untuk diketengahkan atau dikatakan bahwa
di dalam peribahasa itu terdapat unsur sistem budaya masyarakat yang
berhubungan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, norma dan suatu aturan dalam
masyarakat. Dalam hal ini sistem budaya masyarakat yang ada pada budaya Jawa
dan budaya Melayu Riau.
Karena adanya latar belakang kesamaan
budaya antara budaya Jawa dengan budaya Melayu, maka banyak peribahasa,
pepatah-petitih, atau ungkapan-ungkapan Jawa yang memiliki kesamaan, arti,
tujuan dan maknanya dengan peribahasa, pepatah-petitih atau ungkapan Melayu
Riau.
III
Marilah kita lihat dan cermati
peribahasa-peribahasa Jawa dan Melayu Riau berikut ini.
·
Aja
dumeh. (Jawa)
Artinya: jangan sok atau mentang-mentang. Terjemahan bebasnya jangan
sombong, jangan suka memamerkan apa yang
dimiliki untuk menekan, meremehkan, menghina atau merendahkan martabat orang
lain. Misalnya: aja dumeh sugih (jangan mentang-mentang kaya), dan
menggunakan kekayaannya itu untuk berbuat semena-mena, sebab harta kekayaan itu
tidak lestari dan sewaktu-waktu dapat hilang.
Peribahasa
yang maksud dan artinya sama terdapat dalam peribahasa Melayu Riau di bawah ini.
·
Di atas gunung ade
gunung, di atas langit ade langit. (Melayu Riau).
Artinya: di atas gunung ada gunung, di atas langit ada
langit. Peribahasa ini jelas memiliki kesamaan arti dan tujuan agar tidak sok,
tidak mentang-mentang dan tidak sombong. Karena kekayaan, kehebatan dan
kelebihan yang dimiliki seseorang bukanlah segala-galanya. Karena bisa jadi ada
yang lebih kaya, lebih hebat, dan lebih sempurna.
·
Aja
turu awan mundhak dadi kancane setan. (Jawa)
Artinya: jangan tidur siang nanti jadi temannya setan. Peribahasa ini
biasa digunakan untuk menasihati mereka yang malas, terutama anak-anak muda
yang enggan bekerja. Prinsipnya, peribahasa ini berisi nasihat agar siang hari
digunakan bekerja demi meningkatkan kesejahteraan dalam hidup, bukan sebaliknya
untuk bermalas-malasan.
Peribahasa
yang maksud dan tujuannya sama, walau penekanannya agak berbeda, juga terdapat
dalam peribahasa Melayu Riau di bawah ini, yang sama-sama bicara tentang perlunya
bekerja.
·
Bejalan sedai pagi,
mencai sedai mudo. (Melayu Riau)
Artinya:
berjalan sedari atau selagi pagi, mencari sedari muda. Peribahasa ini juga
berisi nasihat tentang perlunya bekerja dan berusaha sedari usia masih muda,
ketika tenaga masih prima dan kuat. Jadi waktu muda hendaknya janganlah
digunakan untuk bermalas-malasan, sebaliknya digunakan untuk bekerja atau
berkarya. Kerja keras ketika muda bisa membawa seseorang pada kehidupan yang
sukses di hari tuanya.
·
Ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining
raga saka busana. (Jawa)
Artinya: nilai pribadi seseorang akan dinilai dari ucapan (kata-katanya),
sedangkan nilai penampilan dilihat dari pakaian yang dikenakan. Peribahasa ini
juga berisi nasihat tentang bagaimana kita harus berbicara, berperilaku dan
bersikap. Karena cara berbicara dan berpenampilan atau berpakaian, bisa
dijadikan alasan penilaian tentang seberapa tinggi kualitas seseorang. Jadi
peribahasa ini menekankan pentingnya kita untuk berbicara, bersikap dan
berpenampilan baik kepada siapa pun, kalau ingin dihormati atau disegan.
Peribahasa
yang arti, maksud dan tujuannya hampir sama atau senada juga ada dalam peribahasa
Melayu Riau berikut ini. Peribahasa yang sama menekankan atau mengingatkan
tentang pentingnya berbicara, berperilaku dan bersikap secara baik.
·
Betukang ade kiatnye, becakap ade adatnye. (Melayu Riau)
Artinya:
bertukang ada caranya, bercakap ada adatnya. Secara luas peribahasa ini dapat
diartikan bahwa upaya untuk meraih keberhasilan, keberuntungan dan kebaikan
dalam kehidupan itu ada tata caranya. Misalnya, bila ingin disukai, dihormati,
atau disegani banyak orang maka haruslah berperilaku, bersikap dan berbicara
dengan baik dan benar. Berperilaku dan bersikap ramah, santun, dan berbicara
lembut, tentu membuat banyak orang akan menanamkan kesan simpati, suka, hormat
dan semacamnya.
Perihal
tentang bagaimana seharusnya sifat kepemimpinan itu juga terdapat di dalam peribahasa
Melayu Riau, seperti berikut ini.
· Rajo beso asal beasal, rajo sakti bedaah puteh. (Melayu
Riau)
Artinya: raja besar asal-berasal, raja sakti berdarah putih. Peribahasa
ini menekankan pada keberhasilan seorang raja atau pemimpin sangat tergantung
dari asal usulnya. Bila raja atau pemimpin itu berasal dari keturunan raja atau
seseorang yang memang memiliki sifat kepemimpinan yang baiki, maka pastilah ia
juga akan menjadi seorang raja atau pemimpin yang baik, dan bisa memimpin.
Sakti diartikan sebagai kehebatan atau kemampuan dalam memimpin, dan bisa
mensejahterakan rakyat. Berdarah putih, diartikan sang raja atau pemimpin itu
memang berjiwa bersih, tak akan mau korupsi atau mengkhianati tugas dan
tanggungjawabnya sebagai raja atau pemimpin.
·
Desa mawa cara, negara mawa tata. (Jawa)
Artinya: desa mempunyai adat sendiri, negara mempunyai hukum
sendiri. Peribahasa ini merupakan salah satu pandangan kalangan tradisional di
Jawa yang menghargai adanya pluralitas. Di masing-masing daerah (lingkungan)
mempunyai adat istiadat atau kebiasaannya sendiri-sendiri. Demikian pula negara
memiliki tata aturan hukumnya sendiri dalam menata tatanan kehidupan
masyarakatnya. Dan, tata aturan hukum itu selalu bersumber pada adat-istiadat
serta nilai-nilai moral yang ada di tengah-tengah masyarakatnya.
Di
dalam peribahasa Melayu Riau juga terdapat peribahasa yang arti, maksud dan
tujuan memiliki pengertian yang sama, walau fokus penekanannya agak berbeda.
Peribahasa Melayu Riau berikut ini juga menyatakan hal yang serupa atau senada.
·
Asing galang telotak, asing biduk dielo. (Melayu Riau)
Artinya:
lain galang terletak, lain biduk ditarik. Peribahasa ini mengingatkan tentang
pentingnya berpandai-pandai dalam menyesuaikan atau menempatkan diri ketika
berada di tempat lain. Karena di tempat lain itu, bisa jadi adat-istiadat dan
budayanya berbeda. Artinya, seseorang harus bisa menyesuaikan diri tempat atau
lingkungannya yang baru. Baik lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan
kerja. Karena sangat mungkin di lingkungannya yang baru memiliki adat istiadat
yang berbeda dengan tempat tinggal sebelumnya. Demikian pula bila berada di
lingkungan kerja yang baru, bukan tidak mungkin di tempat kerja baru itu
memiliki tata aturan yang berbeda dengan tempat kerjanya dulu.
Artinya: hemat teliti dan berhati-hati. Peribahasa ini merupakan nasihat
tentang bagaimana setiap orang mengelola kehidupannya dengan baik. Misalnya,
hidup dengan hemat, teliti dan hati-hati, serta waspada dalam setiap tindakan.
Disamping cermat dan sigap dalam menghadapi berbagai persoalan atau tantangan
kehidupan.
Peribahasa yang berbicara tentang
pentingnya sikap kehati-hatian atau mawas diri dalam melakukan sesuatu juga
terdapat di dalam peribahasa Melayu Riau. Walau berbeda fokus penekanan
masalahnya, tetapi peribahasa Melayu Riau berikut ini juga menyatakan hal yang
serupa atau senada, yakni tentang perlunya kecermatan, ketelitian dan kerja
keras dalam meraih sesuatu tujuan mulia.
·
Dapat lomak dengan
pait, kombang negoi dengan popou. (Melayu Riau)
Artinya: datangnya nikmat
dari kepahitan, berkembangnya negeri dari kerja keras. Peribahasa ini
mengingatkan tentang pentingnya sikap ketelitian, kehati-hatian dan sikap kerja
keras untuk mencapai suatu tujuan yang mulia. Tujuan atau cita-cita mulia itu
bisa dicapai bila bekerja dengan tiliti, cermat, hati-hati dan sungguh-sungguh.
Hidup akan sukses bila dilakukann dengan sungguh-sunggguh, kerja keras, cermat,
teliti, hati-hati dan penuh kewaspadaan.
IV
Beberapa peribahasa Jawa dan peribahasa Melayu Riau ini,
setidaknya bisa mewakili gambaran atau cerminan banyaknya persamaan arti,
maksud, tujuan dan makna antara peribahasa Jawa dengan peribahasa Melayu (Melayu
Riau). Dan, setidaknya semakin memperkuat ungkapan "Tak kan Melayu hilang di Jawa, dan tak kan hilang Jawa di Melayu".
***
* Sutirman Eka
Ardhana: lahir di Bengkalis, Riau, 27
September 1952, pecinta sastra,
redaktur Majalah Sastra Sabana dan mengajar di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
** Tulisan ini terhimpun di dalam buku "SRAWUNG KAWRUH".