SASTRA (PUISI) TANPA
"KELAS"
Sutirman Eka Ardhana
Saya ketika menyampaikan refleksi akhir tahun 2015
I
CHAIRIL
ANWAR, penyair yang dibanggakan hingga hari ini itu, semasa jayanya dulu sempat
melontarkan kata-kata: "Yang bukan
penyair, tidak ambil bagian." Kata-kata ini dulu memiliki kekuatan
yang terasa dahsyat. Terasa begitu hebat. Begitu kuat. Begitu membius. Begitu
mensugesti.
Kata-kata
Chairil Anwar ini telah mengesankan dunia kepenyairan merupakan suatu kawasan
ekslusif, kawasan tersteril yang tidak semua orang begitu saja leluasa masuk ke
dalamnya. Hanya orang-orang terpilih yang bisa masuk dan terlibat, yakni
orang-orang yang sudah ditasbihkan jadi penyair, layak disebut penyair, atau
pun direkomendasikan menjadi penyair. Jadi, tidak semua orang dengan mudahnya
bisa menyandang gelar penyair, atau diberi predikat penyair.
Diakui
atau tidak, realitanya ada sejumlah pihak yang seakan-akan memang memiliki hak
atau berkompeten untuk mentasbih seseorang jadi penyair, menyebut dan memberi
predikat penyair. Pihak-pihak itu antara lain, redaktur atau editor majalah
sastra, redaktur halaman sastra dan budaya pada koran-koran (surat kabar) dan
majalah umum, kritikus-kritikus sastra, serta (jangan lupa juga)
'sindikat-sindikat' sastra.
Jalan
untuk menuju ke singgasana penyair tidak mudah. Penuh tantangan. Penuh
perjuangan. Medannya berat. Berliku. Pendek kata, untuk sampai ke kursi
penyair, harus bekerja keras,
berpeluh-peluh, bersusah-susah, atau bahkan 'berdarah-darah'.
Sekadar
gambaran, untuk mendapat pengakuan atau predikat penyair itu haruslah terlebih
dulu mengirimkan karya-karya puisinya di majalah-majalah sastra atau majalah
umum, maupun rubrik-rubrik sastra di koran-koran dan sejenisnya. Nasib para
pengirim puisi itu di tangan redaktur. Padahal, subyektivitas redaktur itu juga
sangat berperan dalam meloloskan atau memuat karya-karya puisi tersebut di
medianya.
Tak
sedikit yang bernasib malang, berkali-kali atau berpuluh kali mengirim naskah
puisinya, tapi tak kunjung dimuat. Kecewa. Putus asa. Patah semangat. Patah
arang. Akhirnya, mengambil keputusan drastis, tak akan menulis lagi. Berhenti
menulis puisi. Mati sebelum tumbuh. Tragis.
Bagi
yang bernasib baik, karya-karya puisinya berhasil dimuat di majalah-majalah
sastra, rubrik-rubrik sastra di koran, majalah umum, dan lainnya, tantangan
belum selesai. Mereka masih akan berhadapan dengan para kritikus sastra atau
sejenisnya. Para kritikus sastra dan sejenisnya yang lain, seakan merasa punya
hak untuk mengatakan, menggolongkan, mengidentifikasi dan memvonnis suatu karya
sastra atau puisi itu sebagai karya sastra serius, sastra murahan, sastra
populer, sastra picisan, sastra kampungan, sastra ecek-ecek, bukan karya sastra dan lain-lainnya lagi.
Sastra
pun kemudian seakan berkelas-kelas. Kelas atas, kelas menangah atau sedang, dan
kelas bawah. Atau kelas sastra serius, kelas sastra populer, kelas sastra
murahan, kelas sastra picisan, kelas sastra kampungan sampai kelas sastra ecek-ecek.
Jangan
lupa pula peran para 'sindikat sastra'. Tidak jarang terjadi nasib atau
kehebatan, kepopuleran dan nama besar seorang penyair itu ditentukan oleh
'sindikat'. 'Sindikat' merasa perlu untuk menaikkan, memperkenalkan,
mempopulerkan nama seseorang dalam dunia kepenyairan baik dalam tataran lokal,
regional bahkan internasional, karena demi kepentingan emosional, kepentingan
kelompok, dan kepentingan-kepentingan strategis lainnya.
Begitulah.
Begitu beratnya. Begitu berlikunya jalan untuk bisa menyandang nama penyair. Tapi
itu dulu. Semuanya telah berlalu. Kata-kata Chairil Anwar yang hebat dan kuat
itu, kini sudah kehilangan semangat dan kekuatannya. Ya, kata-kata: "Yang
bukan penyair, tidak ambil bagian" itu kini sudah kehilangan rohnya.
II
ANDAIKAN
Chairil Anwar masih hidup di era ini, di era digitalisasi atau era internet, entah
apa yang berkecamuk di dalam dadanya. Apakah ia akan tetap bertahan dengan
pernyataannya itu dulu atau akan merevisinya? Tapi rasanya, ia pasti akan
berpikir ulang untuk bertahan dengan pernyataannya tersebut. Bukan tidak
mungkin ia akan mencabut pernyataannya itu dan menggantikannya dengan
kata-kata: "Siapa pun bisa ambil
bagian." Ya, siapa pun bisa ambil bagian di dalam dunia kepenyairan.
Begitulah
realitanya sekarang. Di era digitalisasi atau era internet sekarang ini,
terlebih ketika hari-hari kita diwarnai, dan disibukkan dengan media online,
media cyber, blog, media sosial seperti facebook dan beragam jenis lainnya itu,
siapa pun 'bisa ambil bagian' dalam dunia perpuisian atau dunia kepenyairan.
` Dalam
beberapa tahun terakhir, dunia
perpuisian memasuki masa yang semarak, meriah, dan ramai. Karya-karya puisi tak
hanya muncul di majalah-majalah sastra (yang masih ada), di rubrik-rubrik
sastra koran maupun majalah umum, tetapi puisi muncul di dunia maya melalui media-media
online, media-media cyber, media-media blog, facebook, twitter, dan
lain-lainnya lagi.
Kalau
beberapa tahun sebelumnya, karya-karya sastra seperti puisi hanya bisa muncul
seminggu sekali, dua minggu sekali atau sebulan sekali di media-media seperti
koran, dan majalah, kini bisa muncul hanya dalam hitungan detik dan menit saja.
Dalam hitungan detik dan menit, seseorang sudah bisa menampilkan karya puisinya
di media-media sosial seperti facebook dan media-media sejenisnya lainnya. Dan,
dalam hitungan detik dan menit pula, karya puisi itu sudah bisa dibaca oleh
khalayak atau publik.
Kini
seseorang yang menulis puisi tak perlu lagi menunggu kebaikan hati redaktur di
koran-koran, dan majalah, baik majalah sastra maupun majalah umum, untuk memuat
karya puisinya dan kemudian dibaca oleh publik. Tak perlu lagi menunggu berhari-hari
atau berminggu-minggu dan berbulan-bulan agar puisinya bisa dimuat. Karena
melalui media sosial seperti facebook, media blog, dan media-media sejenis
lainnya, dalam waktu relatif singkat, hanya hitungan detik dan menit karya
puisi sudah menyapa khalayak pembacanya.
Dengan
kata lain, penulis puisi sekarang ini tak perlu lagi berhubungan dengan
media-media cetak seperti koran, majalah dan semacamnya. Untuk menunjukkan
eksistensi diri, sekarang penulis puisi tak perlu lagi berhubungan dengan
redaktur, editor dan semacamnya. Semua sudah dikesampingkan. Semua
dipinggirkan. Para penulis puisi pun kini dengan leluasa bisa beranggapan,
untuk disebut penyair, menjadi penyair, tak perlu lagi harus ada 'rekomendasi'
atau campur tangan dari para redaktur atau editor sastra.
"Kalau
ingin disebut penyair, ingin jadi penyair, berjuanglah sendiri, berbuatlah
sendiri. Tak perlu harus para redaktur sastra itu, maupun kritikus-kritikus
sastra itu yang menentukan," kira-kira beginilah yang kini banyak
dinyatakan oleh para penulis puisi.
Suasananya
benar-benar menggembirakan. Dewasa ini seperti tiada hari tanpa puisi. Puisi
terus tumbuh, berbunga dan bermekaran di beragam media sosial, media online,
dan sejenisnya yang lain. Puisi bertaburan di mana-mana. Dan, siapa pun
sekarang merasa berhak untuk menulis puisi. Merasa berhak untuk jadi penyair.
III
YA,
SIAPA PUN sekarang punya hak untuk menulis puisi. Siapa pun berhak untuk jadi
penyair. Siapa pun punya tempat yang sama untuk berkarya di dunia kepenyairan.
Tak ada lagi kelas. Sastra tak lagi berkelas. Ya, tak ada lagi yang merasa
sedang berada di sastra kelas atas, sastra kelas sedang, dan sastra kelas
bawah. Tak ada lagi yang merasa sedang berada di sastra serius, sastra murahan,
sastra populer, sastra picisan, sastra kampungan, dan sastra ecek-ecek. Semua merasa setara. Merasa
sama.
Kemeriahan
dunia sastra kini juga diwarnai dengan kemunculan banyak grup atau komunitas
sastra. Kemunculan grup-grup atau komunitas-komunitas sastra ini tidak lepas
dari maraknya media-media sosial. Cobalah lihat di media sosial facebook
misalnya, betapa banyaknya grup-grup atau komunitas-komunitas sastra tersebut,
dan sebagian besar berhubungan dengan puisi.
Siapa
pun yang suka menulis puisi bisa bergabung dengan grup-grup atau komunitas-komunitas
sastra itu. Dan, hal yang menarik pun kini sedang terjadi. Grup-grup atau
komunitas sastra itu seperti saling berlomba untuk menunjukkan eksistensi
kelompoknya dengan menerbitkan buku-buku kumpulan puisi. Buku-buku kumpulan
puisi itu diterbitkan dengan swadaya grup, patungan sesama anggota atau yang
terlibat, maupun mencari sposor.
Baiklah,
saya ingin persingkat saja. Kegembiraan dan kemeriahan dunia kepenyairan
sekarang ini, selain diwarnai dengan banyaknya acara pembacaan puisi, diskusi
puisi, juga ditandai dengan ramai atau banyaknya penerbitan buku kumpulan
puisi, baik yang diterbitkan secara bersama melalui grup atau komunitas, maupun
diterbitkan sendiri secara indie. Yogya seakaran tak pernah sepi dengan
gemerlap puisi.
Hampir
setiap minggu, selalu ada berita tentang lounching atau peluncuran buku
kumpulan puisi. Di Studio Pertunjukan Sastra (SPS) dan Rumah Budaya Tembi
misalnya, hampir setiap bulan ada acara peluncuran buku kumpulan puisi baru.
IV
YA,
ITULAH realitanya sekarang. Dewasa ini sastra (puisi) sudah tanpa kelas. Dan,
siapa pun sekarang merasa punya hak yang sama dalam menulis puisi. Siapa pun
berhak menulis puisi. Tak peduli apa pun statusnya, apakah petani, tukang
becak, murid sekolah, mahasiswa, buruh, pegawai negeri, guru dan lain-lainnya.
Dan,
puisi di bawah ini adalah puisi yang ditulis Choirudin, seorang petani salak di
Sleman.
OH SALAK PONDOHKU
oh
salak pondohku
dulu
kamu primadonaku
menjadi
salah satu andalan bagi masyarakat sekitarku
harapanku
menjadi tanaman lokal khas daerahku
namun
apa yang terjadi,
sekarang
salak pondohku sudah menyeberang kemana-mana
harapanku
menjadi tanaman lokal pun sirna
hargamu
pun sekarang sudah merana
biar
cita rasamu masih sama
namun
bentukmu sudah kalah dari yang di sana
(Dari buku
kumpulan puisi "Pesta Puisi Rakyat Sleman")
Berikut
di bawah ini puisi yang ditulis Goenawan Mohamad, penyair yang dulu disebut
sebagai salah seorang penyair papan atas di negeri ini.
TENTANG MAUT
Di ujung bait itu mulai tampak sebuah
titik
yang kemudian runtuh, 5 menit setelah itu.
yang kemudian runtuh, 5 menit setelah itu.
Di ujung ruang itu mulai tampak
sederet jari
yang ingin memungutnya kembali.
yang ingin memungutnya kembali.
Tapi mungkin
itu tak akan pernah terjadi.
itu tak akan pernah terjadi.
Ini jam yang amat biasa: Maut
memarkir keretanya
di ujung gang dan berjalan tak
menentu.
Langkahnya tak seperti yang kau
bayangkan: tak ada gempa, tak ada hujan asam, tak ada parit yang meluap.
Hanya sebuah sajak, seperti kabel
yang putus.
Atau hampir putus.
2012
Saya
tidak bermaksud membandingkan dua puisi ini. Saya hanya ingin mengatakan, bahwa
sekarang ini seseorang seperti Choirudin, yang hanya petani salak, tak merasa
minder atau rendah diri untuk 'bersaing' dengan Goenawan Mohamad, yang
sastrawan dan budayawan disegani itu.
Baiklah,
sekarang saya ingin mengingatkan kepada siapa pun yang ingin menjadi penyair,
bahwa "Penyair itu tidak ada
matinya. Ya, penyair sejati itu akan hidup sampai masa kapan pun."
"Jadi,
kalau ingin jadi penyair, janganlah jadi penyair yang mati di perjalanan.
Jadilah penyair yang tak pernah mati, penyair yang hidup sampai kapan pun.
Penyair yang hidup sepanjang masa."
***
Menjelang akhir tahun 2015
* Sutirman Eka Ardhana: redaktur Majalah SABANA, yang juga suka
menulis puisi.
** Dibacakan dalam refleksi akhir tahun
pada malam Pesta Puisi Akhir Tahun “Nyawiji” dalam Bincang-bincang Sastra,
Selsa, 29 Desember 2015 di Taman Budaya Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar