Karangsambung
Cerpen Sutirman Eka Ardhana
KALAU saja Bambang tidak
meneleponku, mungkin aku tak pernah datang lagi ke tempat ini. Dan, tak pernah
lagi memandang hamparan pegunungan bebatuan yang indah menakjubkan itu. Bambang,
teman sekolahku di SMEA dulu. Empat hari yang lalu aku bertemu dengannya di
Malioboro. Saat itu ia bersama keluarga, isteri dan dua anaknya, perempuan
semua, sedang liburan di Yogya.
“Aku
tinggal di Jakarta.
Sekarang sedang cuti, pulang kampung ke Kebumen. Dan, sekarang kumanfaatkan
pula untuk jalan-jalan ke Yogya,” kata Bambang setelah kami saling bersalaman,
berpelukan erat dan hangat.
Pertemuan
itu sungguh menyenangkan, meski hanya sebentar. Maklumlah, sudah belasan tahun
kami tidak pernah bertemu sejak setamat sekolah dulu.
“Ah,
sebenarnya aku ingin bicara banyak dan lebih lama lagi denganmu. Tapi nantilah,
setelah sampai di Kebumen, aku akan meneleponmu,” katanya kemudian setelah kami
saling bertukar nomor hand-phone.
Benar.
Sehari kemudian, ia meneleponku.
“Fir,
besok kaudatang ke Kebumen, ya? Aku tunggu. Langsung saja ke rumahku,” kata
Bambang di hand-phone.
“Ke
rumahmu yang di Karangsambung? Di puncak gunung sana?” tanyaku sambil membayangkan jauhnya
jarak yang akan kutempuh untuk sampai ke rumahnya.
“Ya,
di mana lagi? Rumahku di Kebumen, ya hanya di kaki pegunungan Karangsambung
itu. Bukankah dulu kausudah pernah datang ke desaku?”
Jalanan
menanjak menuju ke kawasan pegunungan Karangsambung yang terletak di Kecamatan
Sadang, sekitar 19 kilometer di sebelah utara pusat kota Kebumen, cukup lumayan halus dibanding
dulu. Dulu, jalannya bergelombang, dan berlubang di sana-sini.
Menjelang
senja, ojek sepedamotor yang kutumpangi sampai di desa yang terletak di kaki
pegunungan Karangsambung ini. Dan, hamparan bebatuan gunung yang disiram warna
senja itu langsung menggoda perhatianku. Pemandangan indahnya tidak ingin
kusia-siakan. Aku ingin menikmati panorama senja hari di hamparan bebatuan itu
lebih lama lagi. Karena itulah aku minta diturunkan di dekat jembatan desa.
Aku
ingat, dari jembatan inilah dulu kunikmati pesona keindahan hamparan bebatuan
gunung itu. Kini, aku ingin menikmatinya seperti dulu lagi. Ingin merekam
segala keindahan di dalam kameraku. Karena sebagai wartawan, kedatanganku ini
sekaligus memang akan kumanfaatkan untuk membuat tulisan khusus tentang
Karangsambung. Setelah itu baru akan kulanjutkan perjalanan dengan berjalan
kaki menuju ke rumah Bambang yang hanya tinggal beberapa ratus meter lagi.
Bebatuan hijau keperakan di Karangsambung
tidak hanya indah dan unik, tapi juga menyimpan misteri tentang sejarah purba
perjalanan geologi yang tak ada duanya di Indonesia. Karena itulah, sejak
tahun enampuluhan kawasan Karangsambung telah dijadikan Kampus Lapangan Geologi
LIPI. Di tempat ini para pakar geologi telah menemukan setidaknya 30 situs
bebatuan yang muncul pada sekitar 120 juta tahun lampau. Dari situs-situs
itulah akan terlacak bagaimana aktivitas geologi yang terjadi pada sekitar 120
juta tahun lalu telah memunculkan suatu hamparan daratan yang kemudian dikenal
dengan sebutan Pulau Jawa.
Di
sini terdapat banyak struktur geologi dan beragam jenis bebatuan langka.
Misalnya, tak jauh dari jembatan tempatku berdiri, persisnya di pinggiran Kali
Brewok, terdapat hamparan jenis batuan sekis mika. Batuan ini penuh daya
pesona. Terlebih bila tersiram sinar matahari, kemilaunya mengundang rasa
takjub yang luar biasa. Di tepian-tepian jalan ditemukan pula jenis batuan serpentinit
yang berwarna kehijauan. Selain itu, di tempat ini terdapat juga satu hamparan
bebatuan beku yang menurut hasil penelitian berasal dari sebuah gunung yang
gagal berproses menjadi gunung api.
Aku
masih hanyut dalam keterpukauan memandang keindahan hamparan bebatuan, ketika
tiba-tiba terdengar ada sapaan suara perempuan di dekatku.
“Apa
kabar, Mas Firman? Sudah lama datangnya?” sapaan itu sangat dekat.
Aku
cepat menoleh ke samping kanan. Seorang perempuan muda berdiri di dekatku,
hanya berjarak sekitar satu meter. Aku terpana sesaat. Heran. Bagaimana mungkin
aku bisa tidak tahu kalau ada seorang perempuan yang datang mendekatiku? Kapan
datangnya? Dalam temaram senja terlihat ia tersenyum. Senyumnya lembut dan
khas. Mendadak aku ingat sebuah wajah.
“Masih
ingat saya, kan?”
tanyanya kemudian terdengar.
Aku
berpikir sesaat. Mencoba membongkar dan memperjelas kembali ingatan tentang
sebuah wajah. Wajah seorang perempuan. Tapi, apa benar dia? Lalu, terasa ada
terpaan angin yang lembut dari lereng-lereng pegunungan ke wajahku.
“Bagaimana,
ingat atau lupa?” lagi, terdengar suaranya, penuh harap.
“Kamu,
Ris …….., Ristianti, kan?”
ujarku seraya menepis keraguan.
Ia
mengangguk. Pelan. Lembut. Dan, tersenyum.
Kemudian,
ia mengalihkan pandangannya ke arah hamparan bebatuan yang mulai tenggelam
dalam dekapan senja. Hening sesaat. Burung-burung senja saling melintas, lalu
menghilang di balik bebatuan gunung. Aku pun ikut larut dalam keheningan itu. Mataku
pun ikut menatap jauh ke puncak pegunungan dalam kesenyapan. Senyap. Kesenyapan
yang asing.
“Saya
sengaja datang ke sini, ke jembatan ini, untuk menyambut dan menjemput
kedatangan Mas Firman. Tanpa seorangpun memberitahu, firasat saya mengatakan
bahwa Mas Firman akan datang sore ini. Karena itulah saya datang ke sini, ke
jembatan ini. Bukankah dulu, saya mengantar dan melepas Mas Firman pulang di
jembatan ini? Dan, bukankah dulu saya juga berjanji, akan menjemput kedatangan
Mas Firman lagi di jembatan ini? Apakah, Mas Fir masih mengingat semuanya itu?”
terdengar lagi suaranya.
Aku
mengangguk. Ya, aku masih mengingat semuanya. Dulu, empatbelas tahun lalu,
ketika duduk di kelas tiga SMEA aku memang pernah datang ke sini. Selama
seminggu berlibur di sini, menginap di rumahnya Bambang. Di hari kedua
kedatanganku, Bambang memperkenalkanku dengan gadis tetangganya, Ristianti,
yang ketika itu masih duduk di kelas tiga SMP. Ah, dia remaja desa yang cantik
dan manis. Kecantikan yang alami. Kecantikan yang purbawi. Sungguh! Di mataku,
senyumnya bagaikan kilauan mutiara yang terpancar dari dasar endapan bebatuan.
Mutiara tak ternilai harganya, yang sudah terpendam puluhan juta tahun lebih di
dasar hamparan pegunungan bebatuan.
Seperti
lazimnya gadis-gadis di desa, pada awalnya ia sering malu-malu bila bertemu
denganku. Tapi, karena seringnya aku berusaha bertemu dan mengajaknya
berbincang-bincang, ia pun kemudian menjadi akrab dan dekat. Dan, dalam
sekejap, aku pun menjalin kasih dengannya. Hari-hari liburanku di Karangsambung
menjadi hari-hari bersama Ristianti. Hari-hari yang indah. Hari-hari penuh cinta.
Tetapi, semuanya hanya berlangsung beberapa hari saja. Karena setelah masa
berliburku di rumah Bambang habis, aku harus segera kembali lagi ke kota.
Aku
pun ingat, saat akan pulang bersama Bambang, ia mengantarku sampai di jembatan.
“Sudah
ya Ris, aku pulang dulu. Nanti, kapan-kapan aku datang lagi kemari,” aku ingat,
ini kata-kata yang kuucapkan waktu itu.
“Mas
Fir janji mau datang dan menemui saya lagi?” tanyanya sendu, penuh harap.
Aku
mengangguk. Berusaha meyakinkannya.
“Selamat
jalan, Mas Fir. Dan nanti, kalau Mas Firman datang lagi, akan saya jemput di
jembatan ini,” katanya, ya, katanya saat itu.
Akan
tetapi, janjiku untuk datang lagi saat itu tak pernah terwujud. Kesibukanku
menghadapi masa-masa ujian akhir sekolah membuatku seakan melupakan
Ristianti. Melupakan kelembutan
tatapnya. Apalagi, setamat sekolah, aku langsung ke Yogya melanjutkan kuliah.
Semenjak itu aku tak pernah lagi ke Karangsambung. Tak pernah lagi ke rumah
Bambang. Tak pernah lagi bertemu dengannya;
Keheningan
di kaki pegunungan itu semakin menusuk. Ada
angin menerpa, terasa dingin di wajah, leher dan kedua lenganku. Aku baru saja
akan menghela napas, ketika suaranya menyentak lamunanku.
“Sebagai
perempuan desa yang tinggal di kaki pegunungan, saya juga akan selalu menjunjung
tinggi sikap yang selama ini secara turun-temurun dipegang teguh oleh warga di
sini, yaitu kesetiaan terhadap kata-kata. Kesetiaan terhadap janji. Kesetiaan
kepada alam. Kesetiaan untuk menunggu Mas Firman datang. Kesetiaan menunggu dan
menjemput di sini. Di jembatan ini.”
Aku
terpana. Kata-kata itu begitu menusuk. Tusukannya seakan membius seluruh
jaringan darah di tubuhku. Membuatku tak berdaya. Sehingga, ketika kemudian ia
memintaku untuk datang ke rumahnya esok hari, aku tak mampu mengiyakannya
dengan kata-kata, kecuali hanya mengangguk lemah.
“Ya,
sudahlah. Saya telah menghabiskan waktu Mas Firman di jembatan ini. Tapi, terus
terang, saya hari ini benar-benar bahagia, karena bisa membuktikan kesetiaan
saya. Besok, datanglah ke rumah saya. Saya tunggu,” katanya seraya melangkah
pergi.
Sekilas,
dalam keremangan senja yang mulai memekat, masih sempat kulihat senyumnya. Aku
pun terpaku. Terpana beberapa saat, memandangnya melangkah, terus melangkah,
hingga ia seperti menghilang di balik kegelapan malam yang mulai datang.
“Mas,
sedang menunggu siapa di sini?” suara seorang lelaki menyadarkan keterpanaanku.
Aku
terkesiap. Seorang lelaki bersepeda, berhenti di dekatku.
“Oh,
….. tidak. Tidak menunggu siapa-siapa. Saya….. saya, sedang istirahat sebentar.
Saya akan menuju ke rumahnya Mas Bambang,” ujarku agak terbata.
Lelaki
itu ternyata tetangganya Bambang. Dan, ia pun kemudian menawarkan diri untuk
mengantarkanku dengan sepedanya. Aku pun tak menolak tawaran itu.
“Kenapa
sampai malam, Fir? Jam berapa tadi berangkatnya?” beruntun tanya pun meluncur dari mulut Bambang, ketika aku sudah
berada di mulut pintu rumahnya.
Setelah
duduk di ruang tamu, barulah kuceritakan semuanya.
“Apa?!
Kau bertemu Ristianti? Bertemu di jembatan itu? Ah, yang benar, Fir? Jangan
ngarang-ngarang cerita,” ada keterkejutan besar di tanya Bambang ini.
“Sungguh,
Bang! Aku bertemu dengannya di jembatan itu. Ia mengatakan, sengaja menjemput
kedatanganku di jembatan itu. Karena ia dulu berjanji akan menjemputku di situ.
Tapi anehnya, kok ia masih seperti belasan tahun lalu? Dan, tadi ia memintaku
untuk datang ke rumahnya besok,” jelasku berusaha meyakinkan.
Bambang
terdiam beberapa saat. Tampak ia menarik napasnya dalam-dalam.
“Tapi,
rasanya itu tidak mungkin terjadi, Fir,” suara Bambang melemah.
“Kenapa
tidak?”
“Karena
ia sudah meninggal dunia sekitar tujuh tahun lalu.”
“Apa??!
Meninggal?!” aku terhenyak, tak percaya.
“Ya,
Risti sudah meninggal, akibat kecelakaan lalulintas. Ia tertabrak truk yang
blong remnya, persis di dekat jembatan itu. Ia meninggal dalam kesendirian.
Karena sampai akhir hayatnya ia masih tetap sendiri. Masih tetap melajang.
Tetap setia dengan janjinya untuk menunggu kaudatang lagi.”
Aku
benar-benar terhenyak. Bingung. Tak tahu harus berkata apa-apa lagi.
Yogya, 2009-2010
(Terhimpun di dalam buku kumpulan cerpen "Langit Biru Bengkalis".)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar