PASAR
KEMBANG
Wajah Yogya yang Buram
(1)
Oleh:
Sutirman Eka Ardhana dan Heniy Astiyanto
MALAM
baru saja turun di Yogya. Jalan Pasar Kembang yang membentang dari timur ke
barat di sebelah selatan Stasiun Kereta Api Tugu itu tampak ramai. Pemakai
lalu-lintas dengan kendaraannya masing-masing bagai saling memburu malam yang
dinginnya mulai terasa. Kendaraan-kendaraan itu kemudian membelok ke selatan
dan hilang di jalan Malioboro.
Tak
hanya di jalanan. Kesibukanpun terlihat di sebelah utara jalan, di deretan
warung-warung dan kios-kios penjual pakaian bekas. Seorang lelaki muda
merangkul wanita yang juga muda dengan rambut tergerai sebahu menyeberang dari
selatan dan masuk ke sebuah warung.
Sementara
di selatan jalan, lagu It's Only Make
Believe, sebuah lagu lama yang dinyanyikan Conway Twitt berkumandang dari sebuahn pub. Tak jelas siapa yang
menyanyikannya. Mungkin penyanyi di pub itu atau pengunjung pub yang sengaja
mendendangkan suaranya di depan para tamu lainnya. Tapi yang jelas, suara
lelaki yang menyanyikan lagu itu merdu juga.
Beberapa
belas meter di sebelah barat pub, tiga wanita muda tampak sedang bercanda
gembira. Dandanan mereka tampak menor.
Salah seorang di antaranya, yang rambutnya sebatas tengkuk mengenakan T-Shirt
warna merah dan celana panjang model mutakhir berwarna gelap dengan tas
tergantung di pundak kirinya. Entah apa yang dijadikan bahan canda mereka.
Sekitar
sepuluh meter dari ketiga wanita itu, di sebelah barat, seorang lelaki separuh
baya berteriak, "Nik, kamu mau ke mana? Nanti kalau ada tamu yang mencari
bagaimana?"
"Tidak
ke mana-mana kok, Pak. Cuma mau lihat suasana di jalan saja. Sebentar lagi saya
sudah masuk ke dalam," jawab wanita yang mengenakan T-Shirt warna merah
dan celana panjang yang ternyata bernama Nik itu.
Tak
seberapa jauh di sebelah barat lelaki yang berteriak itu terdapat sebuah gang
yang masuk ke selatan. Di mulut gang ada sebuah gapura kecil, dan dua lelaki
berusia sekitar empatpuluh tahunan berdiri di depannya. Tampaknya ada yang
sedang mereka tunggu.
Betul
juga. Seorang lelaki muda yang datang dari arah timur berhenti depan gapura.
Lantas dengan cekatan, salah seorang dari dua lelaki yang sedang bersandar di
tiang gapura itu mendekat.
"Mas,
mau cari hiburan di dalam? Kalau mau, mari saya carikan. Jangan khawatir,
pokoknya yang ada di dalam Pasar Kembang ini ditanggung memuaskan. Ada yang
baru datang, Mas. Dari Semarang dan Jepara. Pokoknya, ditanggung siip!"
kata-kata dari mulut lelaki itu keluar beruntun.
Tak
jelas apa yang dikatakan lelaki muda itu. Tapi kemudian ia melangkah masuk ke
dalam gang diikuti lelaki yang mencegatnya di depan gapura. Dan beberapa menit
kemudian, tubuh lelaki muda itupun hilang di balik tikungan gang, yang di
dalamnya tergelar sosok lain dari warna kehidupan.
***
GANG
yang terkesan agak sempit itu memang menuju ke kawasan yang oleh lelaki di
depan gapura tersebut disebut "Pasar Kembang".
Pasar
Kembang, inilah sebuah 'perkampungan' yang tak kalah populernya dengan
Malioboro. Di Yogya, siapa yang tak kenal Malioboro, jalan yang penuh
kebanggaan itu? Wajah Yogya yang asri, penuh damai, penuh pesona dan penuh
keramahan, semua tercermin di Malioboro.
Nama
Pasar Kembang sejak puluhan tahun lalu terlanjur mematrikan kesan 'kelam' buat
Yogya. Di kawasan ini pulalah, desah kehidupan Yogya yang 'hitam' menggeliat
bersama aktivitas kehidupan lainnya.
Kita
selama ini seakan mempunyai kesepakatan untuk memandang dan berpendapat bahwa
kehidupan yang hitam merupakan perilaku sosial yang menyimpang dari norma-norma
sosial yang ada. Dan, pelacuran atau bisnis seks, merupakan salah satu dari
perilaku sosial yang menyimpang itu.
Ada
ahli yang mengatakan, pelacuran atau prostitusi merupakan bentuk budaya manusia
yang tergolong tua. Bahkan ada pula yang bilang, penyelewengan seks dengan
beragam bentuk dan caranya, berusia sama tuanya dengan lembaga perkawinan yang
dikenal dan dihormati manusia hingga kini.
Di
Yogya, bukanlah berlebihan bila ada yang mengatakan, bentuk penyelewengan seks
sudah muncul bersamaan dengan lahirnya kota ini sekitar duaratus tahun lebih
yang lalu. Tapi, munculnya Pasar Kembang sebagai kawasan khusus yang
menyediakan wanita untuk 'komoditi jasa' yang pelayanan seksnya dihargai dengan
lembaran uang itu baru terlihat pada beberapa puluh tahun terakhir.
Jalan
Pasar Kembang memang berada di kawasan Pasar Kembang. Tetapi, yang disebut
kawasan Pasar Kembang, yang terletak persis di seberat barat jalan Malioboro
itu, merupakan 'perkampungan' yang arealnya terdapat di wilayah kampung
Sosrowijayan Kulon. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar