Minggu, 19 Agustus 2012


            BULAN DI MALAM LEBARAN

            Cerpen: Sutirman Eka Ardhana

PESANTREN tempatku belajar mengaji Al-Quran setiap sore itu sebenarnya lebih pantas disebut sebagai madrasah biasa. Bangunannya sederhana, tidak terlalu besar, dan ruangannya pun hanya ada tiga lokal. Setiap lokal idealnya hanya untuk 35 sampai 40 orang. Tapi kenyataannya, di pesantrenku, setiap lokal dijejali murid atau santri sampai 50 orang lebih.  Pengajarnya pun hanya tiga orang, Ustadz Nurdin dibantu isterinya, Ustadzah Syarifah, dan Ustadz Maksum.
Di kampungku, Pesantren Al-Islam itu satu-satunya sekolah agama. Para santri di pesantren ini hanya diberi pelajaran tentang agama. Tentu saja pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan Islam. Seperti membaca Al-Quran, tafsir Al-Quran, pengetahuan tentang hadist, fiqih, tarikh, dan lainnya.
Selama bulan Ramadhan, kegiatan di pesantren berlangsung sampai malam hari. Ada buka puasa bersama, dilanjutkan sholat tarawih berjamaah yang diisi pula dengan ceramah-ceramah keagamaan, serta tadarus Al-Quran.
Menurut cerita beberapa tetua di kampung, dulu, setelah mendengar banyak cerita tentang pesantren di Jawa, orang-orang di kampungku pun rindu punya pesantren. Karenanya, ketika ada yang mendirikan sekolah agama, warga kampung beramai-ramai sepakat menyebutnya sebagai pesantren. Mereka tak mau menyebutnya hanya sebagai madrasah.
Seperti pernah diuraikan Ustadz Nurdin, kalau di Jawa, yang dinamakan pesantren atau seringpula disebut pondok pesantren adalah suatu komplek yang di dalamnya tidak hanya terdapat bangunan untuk mengaji saja, tetapi juga terdapat masjid, rumah kyai, dan asrama para santri. Bahkan terdapat juga warung-warung yang menyediakan berbagai macam kebutuhan santri.
Tetapi di komplek pesantrenku yang sederhana itu, yang ada hanyalah bangunan untuk belajar mengaji dan sebuah surau. Tak ada rumah kyai. Tak ada asrama santri. Rumah Ustadz Nurdin berada di luar komplek pesantren. Jaraknya dari pesantren sekitar 500 meter. Biasanya, dari rumahnya yang tak terlalu jauh itu, Ustadz Nurdin berangkat ke pesantren dengan mengayuh sepeda.
Sedang para santri, hampir seluruhnya berasal dari kampungku yang tempat tinggalnya masih berdekatan dengan komplek pesantren. Hanya ada beberapa santri saja yang berasal dari kampung tetangga.
“Kalau di Jawa, santri-santri seperti kalian ini namanya santri kalong,” kata Ustadz Nurdin suatu ketika di depan para santri.
“Santri kalong? Santri apa itu, Ustadz?” aku mencoba memberanikan diri bertanya.
“Santri di pondok pesantren itu biasanya terbagi dalam dua kelompok, yakni santri mukim dan santri kalong. Santri mukim itu sebutan untuk para santri yang tinggal atau menetap di asrama santri yang ada di pesantren. Biasanya, santri mukim ini berasal dari kampung-kampung atau daerah-daerah yang jauh dari lokasi pondok pesantren. Sedang santri kalong adalah santri-santri yang berasal dari kampung-kampung di sekitar pesantren, yang bolak-balik dari rumahnya ke pesantren, dan tidak tinggal di asrama santri,” jelas Ustadz Nurdin.
“Kenapa disebut kalong, Ustadz? Padahal, kalong kan sejenis dengan kelelawar yang binatang malam itu?” tanyaku lagi.
Para santri lainnya tertawa mendengar pertanyaanku.
“Saya sendiri pun sampai hari ini masih belum tahu, kenapa santri-santri yang tidak tinggal di pesantren disebut santri kalong,” jawab Ustadz Nurdin seraya tersenyum.
Sejak diperkenalkan oleh Ustadz Nurdin, istilah ‘kalong’ dan ‘kelelawar’ menjadi populer sebagai bahan gurauan di kalangan para santri, terutama santri remaja. Arifin yang rambutnya keriting misalnya, selalu dijuluki kelelawar keriting. Marwan yang badannya gelap sering dipanggil kekelawar keling. Dan, santri-santri perempuan yang cantik, mendapat julukan kelelawar cantik.
***
DAN, malam ini, ‘kelelawar cantik’ itu berdiri di depanku. Ya, Zamilah yang ‘kelelawar cantik’ itu sudah berada sekitar satu meter di depanku, selang beberapa menit aku bersama Furqon, teman kentalku, keluar dari surau setelah selesai mengikuti acara takbiran bersama menyongsong datangnya Idul Fitri esok pagi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap malam Lebaran tiba, seusai sholat Isya para santri dipimpin langsung oleh Ustadz Nurdin bersama-sama melantunkan kumandang takbir.
Furqon mencuil lenganku, memberi tanda kalau ada Zamilah. Dadaku berdegup ketika Zamilah tersenyum. Betapa tidak. Baru saja sehabis buka bersama di serambi surau senja tadi, aku dan Furqon membicarakan dirinya, kini dia sudah berada di depanku. Tersenyum pula. Senyum itu terlihat jelas, selain karena bantuan cahaya lampu di teras surau, juga berkat cahaya bulan yang sedang berada persis di atas surau.   
“Ke mana rencanamu di hari pertama Lebaran besok? Tak ada rencana bersilaturahim ke rumah Pak Haji Mahmud, ayahnya Zamilah itu?” inilah pertanyaan Furqon sehabis berbuka tadi.
“Aku takut, Fur. Nanti aku diusirnya lagi seperti dulu. Kau masih ingat kan, bagaimana malam itu ia begitu marah kepadaku, hanya karena aku mengantarkan Zamilah pulang dari acara malam Israq Mi’raj di pesantren,” dan, aku ingat inilah jawabanku tadi.
“Kenapa kaujadi penakut seperti ini? Kenapa menjadi lemah tak berdaya? Ayo, cinta itu harus diperjuangkan! Ibaratnya, sekali pun ada lautan api yang menghadang, kauharus tetap menyeberanginya. Tunjukkan kepada Pak Haji Mahmud itu bahwa kau benar-benar jatuh cinta pada anak gadisnya, Zamilah itu,” kata Furqon lagi.
Lamunanku mendadak buyar, dan aku tergagap, ketika tiba-tiba Zamilah berkata, “Kenapa ni, diam terpaku seperti itu? Terkejutkah dengan kehadiran Milah di sini?”
Aku pun seketika bagaikan kehilangan kata-kata, tak tahu harus berkata apa. Seakan-akan di kerongkonganku ada batu tajam yang menyekat, membuat aku seperti sulit untuk berkata, walau hanya sepatah kata sekali pun. Untunglah Furqon, cepat memahami hal itu. “Bagaimana tak terkejut, Mil. Kami baru saja membicarakan tentang Milah. Dia ni menanyakan, kenapa Milah sekarang semakin sombong……,” ujar Furqon seraya telunjuk jari tangannya tertuju kepadaku.
“Siapa bilang Milah sombong. Buktinya, sekarang Milah ada di sini. Ada di depan Bang Arman dan Bang Furqon,” kata Zamilah lembut, dan dalam waktu bersamaan dari cahaya lampu di teras surau, maupun cahaya bulan di atas surau, terlihat jelas senyumnya juga begitu lembut, sejuk.
Kegugupanku mulai reda. Suara degup di dadaku pun terasa kembali beraturan. Aku pun mulai menyusun kata-kata.
“Mau ke mana, Milah?” serangkai tanya singkat inilah yang mampu terucap dariku setelah kegugupan dan degup di dada itu benar-benar mereda.
“Tak ke mana-mana. Milah sengaja ke sini, mau jumpa Bang Arman,” ucapnya dengan senyum tak juga hilang.
Aku terkesiap mendengar kata-katanya. Betapa tidak. Kata-kata yang diucapkannya itu di luar dugaanku. Ingin jumpa denganku?! Hah, ada apa gerangan?  Beruntun tanya seketika muncul di benakku. Dadaku kembali berdegup. Tapi tidak begitu kencang.
Spontan aku mengarahkan pandangan ke Furqon. Furqon tampak tersenyum seraya mengernyitkan mata kirinya.
“Ada apa Milah? Sepertinya serius betul,” tanyaku sambil menahan degup di dada.
“Tampaknya, ada hal yang menggembirakan ni…..,” timpal Furqon.
Tak bisa kupungkiri, dadaku berdegup juga menunggu jawaban Zamilah.
“Bang Furqon bisa meninggalkan kami sekejap. Milah hanya ingin bercakap berdua dulu dengan Bang Arman. Setelah selesai nanti, Bang Furqon bisa segera kemari lagi,” Zamilah kemudian berkata begini kepada Furqon.
“Alahmak, ada masalah penting dan rahasia rupanya, sehingga orang lain pun tak boleh tahu,” seru Furqon cepat.
“Sudahlah, menjauhlah dulu Fur,” pintaku pula.
Seraya meninggalkan tawa, Furqon pun melangkah meninggalkan kami.
“Ada apa Milah?” tanya ini kuulang lagi setelah Furqon menjauh.
“Milah hanya ingin menyampaikan pesan dari Abah,” ujarnya.
“Pesan dari Abah? Abahnya Milah?”
“Ya, dari Abah Milah.”
Pesan apa?! Koq?! Dadaku berdegup lagi.
“Abah berpesan, agar besok Bang Arman datang ke rumah. Terserah Bang Arman, mau datang sesudah sholat Ied, siang, petang atau malam,” kata Milah kemudian, sebelum aku sempat bertanya lagi.
Aku terdiam sesaat. Pesan Pak Haji Mahmud itu mengejutkan dan menggelisahkanku. Ada apa ini?! Sementara di sekitar bangunan surau, para santri tampak sibuk mempersiapkan diri untuk pulang. Di sisi selatan surau, Furqon tampak pula sedang berbincang-bincang dengan beberapa santri lainnya. Dan, di atas surau, yang juga di atas pesantren, bulan masih mengirimkan cahaya indahnya.
“Kenapa Abah berpesan begitu, Mil?! Apa Abah akan memarahi abang lagi?” tanyaku bernada heran.
“Baiklah, agar Bang Arman tak penasaran dengan pesan Abah itu. Milah kasi bocoran. Tapi, bocorannya sedikit saja ya, Bang. Begini, Bang Ar masih ingat ketika sehabis malam Israq Mi’raj itu, kan? Ketika Bang Ar dimarahi habis-habisan oleh Abah, gara-gara mengantar Milah pulang sampai ke depan pintu rumah itu. Nah, ternyata menjelang Ramadhan tiba, Abah dapat informasi bila Bang Arman mengantarkan Milah pulang malam itu karena disuruh oleh Ustadz Nurdin, dan bukan karena keinginan Abang sendiri. Tak tahu siapa yang memberitahu informasi itu. Mungkin juga Ustadz Nurdin sendiri yang memberitahukannya. Setelah tahu, bahwa Bang Ar mengantarkan Milah karena menjalankan perintah Ustadzs Nurdin, Abah sepertinya menyesal telah marah sama Abang. Karena itulah Abah ingin bertemu dengan Bang Arman di saat Lebaran besok,” jelas Zamilah.
***
PESANTREN dan juga surau sudah mulai menyepi, tak seramai tadi. Di dalam surau hanya tinggal lima orang santri saja. Mereka secara bergantian masih tetap mengalunkan gema takbir. Zamilah sudah pulang bersama santri-santri putri yang lain, sekitar setengah jam lalu. Ustadz Nurdin, serta ustadz-ustadz lainnya juga sudah pulang.
Aku dan Furqon masih duduk di bangku panjang, di bawah pohon jambu merah, tak jauh di depan surau. Furqon sesekali menyenandungkan gema takbir dengan lirih. Sedangkan aku, tak henti-hentinya memandang ke arah bulan, walau posisinya sudah bergeser, tak lagi tepat di atas surau seperti tadi. Cahaya bulan di malam Lebaran itu telah mendorong semangatku untuk pagi-pagi sesudah sholat Idul Fitri segera ke rumah Pak Haji Mahmud, ayahnya Zamilah. Cahaya bulan itu telah membuat hidupku kembali bergairah. ***
                                                                                          Yogya, Agusus 2012
BIODATA

                Sutirman Eka Ardhana, lahir di Bengkalis, Riau, 27 September 1952. Sejak 1972 menetap di Yogyakarta. Menulis cerpen, puisi dan novel. Karya-karyanya yang sudah terbit di antaranya novel Surau Tercinta (Navila, 2002), Dendang Penari (Gita Nagari, 2003), Gelisah Cinta (Binar Press, 2005), kumpulan cerpen “Langit Biru Bengkalis” (Surat Emas Pustaka, 2010), kumpulan puisi Risau (Pabrik tulisan, 1976), Emas Kawin (Renas, 1979), dan puisi-puisi terhimpun pada sejumlah antologi puisi di antaranya Tugu, Dermaga I, Dermaga II, Merapi Gugat, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia, dllnya. *

           *** Dimuat Harian "SUARA KARYA", edisi Sabtu, 18 Agustus 2012.