Minggu, 30 Agustus 2015

Puisi-puisi di tahun 1973



          Sutirman Eka Ardhana
            Puisi-puisi di tahun 1973

SAMAS, DI SUATU HARI YANG PANAS

Laut tiba-tiba bercahaya seperti emas
Ada sebaris lintasan melintas sayup-sayup
di permukaan air.
Sepasang camar hilang dalam kilatan
buihan ombak
Ombak-ombak berkejar ke pantai, lalu
mendekap ke pasir-pasir hitam
Juga pada kaki-kaki telanjang yang terjuntai
dan pada tangan-tangan yang rindu ingin menggapai
Tiba-tiba ada sesuatu yang dingin menjalar
Aku terdiam, karena di laut seolah-olah ada
sesuatu yang melagukan, dan derunya ombak
menggulung bagaikan sebuah nyanyian
tentang cinta
Pasir-pasir jadi panas, karena mentari pun panas
Dan hati-hati jadi resah, tangan-tangan pun gelisah
                                         (untuk: Yusni)                     
                                     Samas, Desember 1972



DARI JENDELA INI KUDENGAR SUARA-MU

Dari jendela ini kudengar suara-Mu
lewat alunan-alunan merdu di puncak menara.
Di luar, suara-Mu juga kudengar membahana
pada segala kesibukan yang ada
menyelusuri lorong-lorong dan segala penjuru-Mu
membisikkan pada sekalian yang ada
dan pada warna-warna merah yang kian menepi
dalam senja.
Semuanya tengadah, seribu puja-puji syukur
dan doa-doa duka terpanjat pada-Mu,
lalu sesuatu yang damai ada di hatiku.

                               Yogya, Januari 1973





SEWAKTU MENTARI DI PUCUK DAUN KELAPA

sewaktu mentari di pucuk daun kelapa
kilatan cahaya membias di atasnya
sehelai daun jatuh ke dalam kolam
lalu bayang-bayang mengambang
bayang-bayang daun, bayang-bayang mentari
dan bayang-bayangku sendiri
aku tertegun, kurasa ada yang timbul, lalu tenggelam
ah, rinduku kian dalam

                               Yogya, Feb 1973


MALAM-MALAM YANG SEPI

                     (buat: Ibunda)
Malam-malam yang sepi
Malam-malam yang kelam
Ada sepiku yang dalam
Dan rinduku pada pepohonan cemara
sepanjang jalanan kota yang diam, dan
kebun-kebun para dengan sederetan kenangan
pada masa kanakku yang silam

Malam-malam yang sepi
Malam-malam yang kelam
Ada puisi-puisiku bersemayam

                           Yogya, April 1973



PANTAI KRAKAL

            angin meluruh di atas laut
angin meluruh pada rumput-rumput
angin meluruh dalam hati
angin meluruh dalam puisi
duka meluruh dalam kalbuku
demikian manis senja dekati istirah
cahayanya semburat di atas air-air dan batu-batu karang
mewarnai pasir-pasir dan wajah-wajah dena
oi, lautlah yang tahu
apa yang sedang bergejolak dalam hatiku
bagai ombak-ombak yang membadai menghempaskan diri
pada pasir-pasir dan batu-batu karang
bagai derunya yang tak kenal lelah
dan dukaku yang tak sudah-sudah

                                  1973 



RINDUKU LAHIR KETIKA

Rinduku lahir ketika cahaya meremang dalam senja
dari beranda sepi membumbung tinggi
pada mega-mega yang mewarnai ujung utara
sampai ujung selatan kota

            Rinduku datang ketika malam mengelana
            pada sepi-sepi yang duka
            pada pepohonan cemara sepanjang jalanan kota
            pepohonan para yang dingin dan diam

Rinduku lahir ketika
malam-malam kian kelam

                             Yogya, Juni 1973



SUATU SENJA

Matahari menjingga, kelam dalam kalbu
yang membiru rindu akan masa lalu
seorang gadis berlenggang di ujung jalan
kota yang sepi, manis bagai lembayung senja.

Angin berisik di dedaunan, bawakan nyanyian sendu
masa lalu yang duka dalam kenangan
burung-burung senja terbang tinggi dan sayup
dalam tatapan, tinggal bayangan

                        Pekanbaru, November 1973



 
BENGKALIS YANG SEPI

Bengkalis yang sepi
pautkan haruku
jung-jung nelayan
dalam duka

Bengkalis yang sepi
cernakan sajakku
cemara-cemara biru
dalam rindu

                          Bengkalis, Nov 1973


JUNG

Jung yang mungil
     memukau suara laut
            di silir senja hari
                  Jung yang mungil
                       kau bawa dukaku
                             ke laut biru

                          Bengkalis, Nov 1973



RINDU

Bilangan ke berapa kita jumpa
Dan mulai bicara
Sedangkan mega-mega
Telah jauh dari kita

                      Bengkalis, Nov 1973


 

 

POHON-POHON PARA

pohon-pohon para di sinar matahari
rinduku telah lama kupautkan
kudengar kicauan murai bernyanyi
menyambut pagi dalam tatapan

pohon-pohon para di sinar matahari
laguku senantiasa ada bersama
penyadap-penyadap tergesa memburu pagi
hari yang ranum dan penuh duka

pohon-pohon para di sinar matahari
pandangku belum juga hilang
pada dedaunan yang risiknya tak pernah sepi
dalam hati senantiasa kukenang

                        Bengkalis, November 1973



NYANYIAN PENYADAP PARA

duhai, terima kasihku burung murai
yang membangunkanku dari mimpi-mimpi
dan pelukan anak isteri

pagiku berseri datang sudah
menyongsong matahari
diburu langkah-langkah tergesaku
dan di tanganku, sebilah pisau penyadap
menari-nari, berkelok-kelok
di perut-perut para

duhai, darahku mengalir di sekujur tubuh
bersama cairan getah yang mengalir
dan menetes satu-satu

tiap pagi kubawa deritaku di kebun-kebun para
karena inilah nyanyian hidupku senantiasa
memburu matahari, mempesiang diri
hari yang ranum, dilumuri duka
keluhan hidup dan rumah tangga

hoi, angin tolonglah aku mengusir mendung
dari atas kebun-kebun para
getahku belum lagi terkumpul semua

duhai, mendung janganlah mempertebal diri
janganlah ganggu aku
janganlah buat anak isteriku jadi menangis
tersedu-sedu karena lapar
tolonglah, aku sudah terlalu menderita

                            Bengkalis, November 1973



SONETA DI KEBUN PARA

ada lagu
di kebun para
memburu rindu
menghibur duka

ada langkah yang tergesa
di pagi sepi
memburu matahari
memikul derita

inilah hidup
yang sayup
dan redup

demi hati
sendiri
dan anak isteri

                         Bengkalis, Nopember 1973



SELAT BENGKALIS

seperti ada suara yang berlagu merdu
ketika bulan di atasnya menjingga
ketika nelayan-nelayan menurunkan perahu
mengayuhnya membawa derita

dihiburnya saat-saat duka, hari-hari bekerja
bagi nelayan-nelayan tua
memburu hidup, mempertaruhkan nyawa
atas nama cinta dan beban keluarga

ahai, seperti ada suara yang berlagu merdu
ketika nelayan-nelayan mengayuh pulang perahu
dan orang-orang di kota pun saling termangu
menatapnya dengan segala rindu

                           Bengkalis, November 1973