Minggu, 02 Desember 2012

Gelisah Faisal
Cerpen Sutirman Eka Ardhana

DESA itu seperti sedang disergap malam. Suara burung gagak di pucuk pepohonan ikut mencekam. Dan, di kejauhan, di jalanan menuju desa, sebuah truk menembus gelap malam.
Sekitar duapuluh orang berseragam dan bersenjata lengkap terguncang di dalam truk. Mereka semua bersiaga. Mata-mata mereka berkeliling, ke kiri-kanan jalan, ke depan dan  belakang truk, bagai mencari-cari sesuatu yang dicurigai di balik-balik gerumbul semak, di balik-balik rimbun pepohonan, di balik gelap malam.
Lampu truk itu menyorot tajam ke depan. Cahayanya yang terang seakan melalap apa saja yang ada di jalan. Mata pengemudinya senantiasa lurus ke depan, seperti mata elang, seakan tak pernah berkedip sedikitpun. Akan halnya, di samping sopir truk itu, Sersan Satu Faisal sedang bergelut dengan perasaan dan kenangannya.
Tujuh tahun lamanya sudah ia tidak pernah melewati jalan ini. Padahal dulu setiap hari ia melewati jalan ini, pergi dan pulang sekolah. Setiap hari ia pulang-pergi dari desanya ke kota kabupaten. Dulu, untuk sampai ke kota, ia memerlukan waktu sekitar satu jam dari desanya, dengan mengendarai sepedamotor tua.
Sepedamotor tua itu merupakan hadiah dari ayahnya ketika ia naik ke kelas tiga SMA. Sebelumnya ia harus bersepeda dulu sampai ke desa tetangga, kemudian menitipkan sepedanya di sebuah warung, baru melanjutkan perjalanan dengan menumpang angkutan colt penumpang.
Sebagai seorang pendidik, ayahnya sangat berharap agar setamat SMA ia bisa melanjutkan kuliah sampai ke perguruan tinggi. Tapi harapan ayahnya tak pernah kesampaian. Dua bulan menjelang tamat SMA, ayahnya yang merupakan tumpuan keluarga mendadak sakit dan meninggal. Niat untuk kuliah pun diurungkan.
Ia pun kemudian merubah niatnya. Keinginan untuk kuliah dikuburnya dalam-dalam. Niat yang kemudian muncul adalah mencari kerja, dan pergi dari desanya, merantau ke tempat lain untuk mencari pengalaman hidup. Tangis ibu dan adik perempuan semata wayangnya yang waktu itu masih duduk di kelas dua SMP tak kuasa membendung tekadnya. Ia tetap pergi.
Dengan berbekal uang hasil penjualan sepedamotor tua miliknya, ia berangkat ke ibukota provinsi. Di kota provinsi ia berkenalan dengan seseorang yang berasal dari Semarang, Jawa Tengah. Lelaki separuh baya yang baru saja menjengguk keluarganya di kota provinsi itu mengajaknya ikut ke Semarang. Tentu saja ajakan itu diterimanya dengan sukacita. Jalan untuknya pergi merantau jauh sudah terbuka.
Setelah setahun di Semarang dan tinggal di rumah lelaki yang mengajaknya itu, ia tertarik pada pembukaan pendaftaran bintara TNI Angkatan Darat. Kebetulan lelaki yang diikutinya juga memberikan dorongan agar ia mendaftar. Ia pun mendaftar untuk jadi tentara. Keinginannya dikabulkan Tuhan. Ia diterima. Ia ditempatkan pada salah satu batalyon infantri di Jawa Tengah. Pendidikan demi pendidikan kemiliteran diikutinya. Tanpa terasa sudah enam tahun ia menjadi tentara, dan kini berpangkat Sersan Satu.
Kini ia kembali ke desa ini. Tapi bukan kembali untuk melepas rindu. Ia kembali demi tugasnya sebagai militer. Daerah ini, termasuk desa kelahirannya, sedang menjadi daerah konflik. Ada kelompok perlawanan di sini. Kelompok perlawanan yang ingin memisahkan diri dengan negara. Dan, kelompok perlawanan itu harus ditumpas.
Tiba-tiba sebatang dahan kayu roboh dan melintang di tengah jalan. Sopir truk menginjak rem keras-keras. Sersan Faisal terkejut. Suara gemuruh dahan kayu yang jatuh dan bunyi rem yang diinjak mendadak telah membuyarkan lamunannya.
Jalanan jadi gelap. Pekat. Tidak ada setitik sinar pun yang menjatuhkan cahayanya di jalan itu.
Faisal yang diberi tugas menjadi komandan patroli memerintahkan anak buahnya untuk segera turun dari truk, dan memeriksa apa yang melintang di jalan. Empat orang bergerak cepat dan taktis ke depan. Sementara lainnya mengawasi sekeliling.
“Hanya sebatang dahan kayu kering,” seru salah seorang yang bergerak ke depan.
Jalan yang menuju ke desa itu seperti tidak punya suara kehidupan. Satu-satunya yang terdengar hanya deru mesin truk yang memecah sunyi malam.
Di jok truk, Faisal kembali dilamun masa lalu. Membayang wajah ibu dan adik perempuannya, Nuraini. Wajah yang bertahun-tahun dirindukannya.  Ia pun digelisahkan dengan beragam kata-kata di dalam hatinya. Pasti Emak sudah semakin tua. Semakin renta. Dan Nuraini, tentu sudah gadis dewasa. Bahkan mungkin sudah bersuami.
Kemudian membayang pula wajah Rohana. Membayang senyumnya yang lembut. Membayang tatap matanya yang teduh. Rohana, gadis sedesanya yang manis, tempat hati dan cinta remajanya ditambatkan. Gadis yang sudah memaut hatinya sejak kelas dua SMA. Sekitar dua tahun ia menjalani hari-hari penuh cinta dengan Rohana, sampai akhirnya ia berangkat ke Jawa.
Faisal ingat, ketika ia berpamitan akan merantau dulu, Rohana menangis terisak-isak. Menangis sedih. Menangis pilu. Wajahnya basah oleh air mata. Dan, isaknya sungguh mengharukan. Sampai-sampai ia pun ikut meneteskan air mata.
“Kalau Bang Faisal pergi, bagaimana dengan Rohana? Bagaimana dengan diri Rohana, Bang?” kata Rohana ketika itu di antara isak-isak tangisnya.
“Sudahlah Ana, jangan menangis. Abang mau pergi merantau. Mau pergi merubah nasib di rantau orang. Jagalah diri Ana baik-baik,” Faisal ingat kata-kata inilah yang dulu diucapkannya kepada Rohana.
Ah, Rohana, bagaimana dia sekarang? Apakah dia masih seperti dulu? Masih setia menunggu? Atau sekarang, sudah ada lelaki lain yang menjadi pendamping hidupnya? Faisal digelisahkan beruntun tanya di hatinya.
Pratu Hamdan yang mengemudikan truk agak memperlambat laju truk.
“San, kita sudah memasuki kawasan pemukiman penduduk,” kata Hamdan seraya kakinya memijak rem karena jalanan di depan dilihatnya berlubang-lubang.
Faisal tersentak. Kata-kata Hamdan itu telah menyadarkannya dari lamunan panjang. Ia melihat ke kiri dan kanan jalan. Rumah-rumah penduduk yang disaput gelap terlihat sedang dipagut sunyi.
“Mengapa desa ini jadi begini sunyi? Mengapa jadi sunyi sekali? Padahal hari masih sore, belum terlalu malam lagi. Ah, desa ini seperti tidak berpenduduk saja,” Faisal seperti berkata dengan dirinya sendiri.
“Bukankah beberapa hari lalu ada penghadangan dan kontak senjata di sini. Dan, beberapa penduduk desa ini ikut jadi korban, tertembak. Di antara korbannya, ada dua orang perempuan,” ujar Hamdan.
Faisal terhenyak.
“Jangan-jangan kedua perempuan itu Emak dengan Nuraini. Atau Rohana……”
Faisal dicabik gelisah. Gelisah yang dahsyat.  Sementara di kejauhan terdengar lagi suara burung gagak mengoyak malam.***
                                                                 (Pembuka dari sebuah kisah - 2012)

(Dimuat tabloid TeRAS edisi minggu terakhir November 2012)
Gelisah Faisal
Cerpen Sutirman Eka Ardhana

DESA itu seperti sedang disergap malam. Suara burung gagak di pucuk pepohonan ikut mencekam. Dan, di kejauhan, di jalanan menuju desa, sebuah truk menembus gelap malam.
Sekitar duapuluh orang berseragam dan bersenjata lengkap terguncang di dalam truk. Mereka semua bersiaga. Mata-mata mereka berkeliling, ke kiri-kanan jalan, ke depan dan  belakang truk, bagai mencari-cari sesuatu yang dicurigai di balik-balik gerumbul semak, di balik-balik rimbun pepohonan, di balik gelap malam.
Lampu truk itu menyorot tajam ke depan. Cahayanya yang terang seakan melalap apa saja yang ada di jalan. Mata pengemudinya senantiasa lurus ke depan, seperti mata elang, seakan tak pernah berkedip sedikitpun. Akan halnya, di samping sopir truk itu, Sersan Satu Faisal sedang bergelut dengan perasaan dan kenangannya.
Tujuh tahun lamanya sudah ia tidak pernah melewati jalan ini. Padahal dulu setiap hari ia melewati jalan ini, pergi dan pulang sekolah. Setiap hari ia pulang-pergi dari desanya ke kota kabupaten. Dulu, untuk sampai ke kota, ia memerlukan waktu sekitar satu jam dari desanya, dengan mengendarai sepedamotor tua.
Sepedamotor tua itu merupakan hadiah dari ayahnya ketika ia naik ke kelas tiga SMA. Sebelumnya ia harus bersepeda dulu sampai ke desa tetangga, kemudian menitipkan sepedanya di sebuah warung, baru melanjutkan perjalanan dengan menumpang angkutan colt penumpang.
Sebagai seorang pendidik, ayahnya sangat berharap agar setamat SMA ia bisa melanjutkan kuliah sampai ke perguruan tinggi. Tapi harapan ayahnya tak pernah kesampaian. Dua bulan menjelang tamat SMA, ayahnya yang merupakan tumpuan keluarga mendadak sakit dan meninggal. Niat untuk kuliah pun diurungkan.
Ia pun kemudian merubah niatnya. Keinginan untuk kuliah dikuburnya dalam-dalam. Niat yang kemudian muncul adalah mencari kerja, dan pergi dari desanya, merantau ke tempat lain untuk mencari pengalaman hidup. Tangis ibu dan adik perempuan semata wayangnya yang waktu itu masih duduk di kelas dua SMP tak kuasa membendung tekadnya. Ia tetap pergi.
Dengan berbekal uang hasil penjualan sepedamotor tua miliknya, ia berangkat ke ibukota provinsi. Di kota provinsi ia berkenalan dengan seseorang yang berasal dari Semarang, Jawa Tengah. Lelaki separuh baya yang baru saja menjengguk keluarganya di kota provinsi itu mengajaknya ikut ke Semarang. Tentu saja ajakan itu diterimanya dengan sukacita. Jalan untuknya pergi merantau jauh sudah terbuka.
Setelah setahun di Semarang dan tinggal di rumah lelaki yang mengajaknya itu, ia tertarik pada pembukaan pendaftaran bintara TNI Angkatan Darat. Kebetulan lelaki yang diikutinya juga memberikan dorongan agar ia mendaftar. Ia pun mendaftar untuk jadi tentara. Keinginannya dikabulkan Tuhan. Ia diterima. Ia ditempatkan pada salah satu batalyon infantri di Jawa Tengah. Pendidikan demi pendidikan kemiliteran diikutinya. Tanpa terasa sudah enam tahun ia menjadi tentara, dan kini berpangkat Sersan Satu.
Kini ia kembali ke desa ini. Tapi bukan kembali untuk melepas rindu. Ia kembali demi tugasnya sebagai militer. Daerah ini, termasuk desa kelahirannya, sedang menjadi daerah konflik. Ada kelompok perlawanan di sini. Kelompok perlawanan yang ingin memisahkan diri dengan negara. Dan, kelompok perlawanan itu harus ditumpas.
Tiba-tiba sebatang dahan kayu roboh dan melintang di tengah jalan. Sopir truk menginjak rem keras-keras. Sersan Faisal terkejut. Suara gemuruh dahan kayu yang jatuh dan bunyi rem yang diinjak mendadak telah membuyarkan lamunannya.
Jalanan jadi gelap. Pekat. Tidak ada setitik sinar pun yang menjatuhkan cahayanya di jalan itu.
Faisal yang diberi tugas menjadi komandan patroli memerintahkan anak buahnya untuk segera turun dari truk, dan memeriksa apa yang melintang di jalan. Empat orang bergerak cepat dan taktis ke depan. Sementara lainnya mengawasi sekeliling.
“Hanya sebatang dahan kayu kering,” seru salah seorang yang bergerak ke depan.
Jalan yang menuju ke desa itu seperti tidak punya suara kehidupan. Satu-satunya yang terdengar hanya deru mesin truk yang memecah sunyi malam.
Di jok truk, Faisal kembali dilamun masa lalu. Membayang wajah ibu dan adik perempuannya, Nuraini. Wajah yang bertahun-tahun dirindukannya.  Ia pun digelisahkan dengan beragam kata-kata di dalam hatinya. Pasti Emak sudah semakin tua. Semakin renta. Dan Nuraini, tentu sudah gadis dewasa. Bahkan mungkin sudah bersuami.
Kemudian membayang pula wajah Rohana. Membayang senyumnya yang lembut. Membayang tatap matanya yang teduh. Rohana, gadis sedesanya yang manis, tempat hati dan cinta remajanya ditambatkan. Gadis yang sudah memaut hatinya sejak kelas dua SMA. Sekitar dua tahun ia menjalani hari-hari penuh cinta dengan Rohana, sampai akhirnya ia berangkat ke Jawa.
Faisal ingat, ketika ia berpamitan akan merantau dulu, Rohana menangis terisak-isak. Menangis sedih. Menangis pilu. Wajahnya basah oleh air mata. Dan, isaknya sungguh mengharukan. Sampai-sampai ia pun ikut meneteskan air mata.
“Kalau Bang Faisal pergi, bagaimana dengan Rohana? Bagaimana dengan diri Rohana, Bang?” kata Rohana ketika itu di antara isak-isak tangisnya.
“Sudahlah Ana, jangan menangis. Abang mau pergi merantau. Mau pergi merubah nasib di rantau orang. Jagalah diri Ana baik-baik,” Faisal ingat kata-kata inilah yang dulu diucapkannya kepada Rohana.
Ah, Rohana, bagaimana dia sekarang? Apakah dia masih seperti dulu? Masih setia menunggu? Atau sekarang, sudah ada lelaki lain yang menjadi pendamping hidupnya? Faisal digelisahkan beruntun tanya di hatinya.
Pratu Hamdan yang mengemudikan truk agak memperlambat laju truk.
“San, kita sudah memasuki kawasan pemukiman penduduk,” kata Hamdan seraya kakinya memijak rem karena jalanan di depan dilihatnya berlubang-lubang.
Faisal tersentak. Kata-kata Hamdan itu telah menyadarkannya dari lamunan panjang. Ia melihat ke kiri dan kanan jalan. Rumah-rumah penduduk yang disaput gelap terlihat sedang dipagut sunyi.
“Mengapa desa ini jadi begini sunyi? Mengapa jadi sunyi sekali? Padahal hari masih sore, belum terlalu malam lagi. Ah, desa ini seperti tidak berpenduduk saja,” Faisal seperti berkata dengan dirinya sendiri.
“Bukankah beberapa hari lalu ada penghadangan dan kontak senjata di sini. Dan, beberapa penduduk desa ini ikut jadi korban, tertembak. Di antara korbannya, ada dua orang perempuan,” ujar Hamdan.
Faisal terhenyak.
“Jangan-jangan kedua perempuan itu Emak dengan Nuraini. Atau Rohana……”
Faisal dicabik gelisah. Gelisah yang dahsyat.  Sementara di kejauhan terdengar lagi suara burung gagak mengoyak malam.***
                                                                 (Pembuka dari sebuah kisah - 2012)

(Dimuat tabloid TeRAS edisi minggu terakhir November 2012)

Senin, 26 November 2012

Pertemuan ke-9 MEMPRODUKSI FILM (II)



Pertemuan ke-9

MEMPRODUKSI FILM (II)

Produksi
Tahapan produksi merupakan tahapan yang diisi dengan kegiatan-kegiatan syuting (shooting) atau proses pengambilan (perekaman) gambar adegan demi adegan sesuai skenario film. Aktivitas di dalam tahapan produksi ini merupakan tanggungjawab Departemen Penyutradaraan.
Sebelum kegiatan syuting dilakukan, haruslah terlebih dulu ditetapkan tentang dialog, perlunya musik, dan efek suara. Ketiga hal ini merupakan hal penting bagi tata suara film.
Dialog - Dialog di dalam cerita film haruslah direkam. Proses perekaman dialog dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, rekaman langsung (direct sound). Kedua, rekaman tidak langsung (after recording).
Rekaman langsung adalah rekaman langsung pada saat syuting dilakukan. Dialog-dialog para pemainnya saat memainkan perannya di dalam syuting film tersebut direkam secara langsung.
Rekaman tidak langsung adalah proses perekaman suara atau dialog yang dilakukan di dalam studio. Jadi, dialog-dialog para pemain yang diucapkan saat syuting tidak direkam, karena suara atau dialog-dialog itu nantinya tidak akan digunakan di dalam film. Suara atau dialog yang digunakan adalah yang direkam di studio.
Biasanya suara yang direkam adalah suara pengisi suara.
Musik – Musik punya peran sangat penting bagi keberhasilan sebuah film. Elemen musik dapat memperkuat makna dari suatu adegan di dalam film tersebut. Misalnya, adegan orang yang sedang bersedih atau sebaliknya sedang berbahagia, dapat dengan segera masuk ke emosi penonton berkat bantuan dari elemen musik tersebut.
Musik film terdiri dari dua jenis, yaitu illustrasi musik (music illustration), dan theme song.
Illustrasi musik bias didapatkan dari instrumen musik maupun bukan instrumen musik yang sangat berperan dalam memperkuat dalam memperkuat suasana pada cerita film tersebut.
Sedangkan theme song adalah lagu yang menjadi bagian dari identitas film.
Efek Suara – Efek suara adalah suara yang muncul dari sejumlah aktivitas di dalam film, seperti suara pintu rumah ditutup, suara orang berjalan, suara benda jatuh, dan lainnya.
Hampir semua departemen atau unsur terlibat dalam proses produksi (syuting). Tapi yang dominan adalah departemen penyutradaraan, departemen kamera, departemen artistik, dan departemen suara. Meski semua departemen berperan, departemen penyutradaraan memiliki tugas dan peran paling utama. Semuanya berpusat pada departemen penyutradaraan. Departemen penyutradaraan melalui komando sutradara memberikan berbagai ‘arahan’ kepada departemen-departemen yang terlibat dalam proses syuting.
Kerjasama dan saling keterpaduan merupakan hal paling prinsip dalam proses produksi film. Dalam setiap kali proses syuting, para pekerja di masing-masing departemen yang terlibat harus saling memadukan atau menyamakan langkah, demi tercapainya hasil syuting yang baik sesuai dengan konsep maupun keinginan sutradara. Dan, semuanya mengacu atau berpedoman kepada script breakdown sheet. 
Masing-masing departemen harus melihat pada script breakdown sheet atau lembaran-lembaran yang berisi semua informasi mengenai setiap adegan di dalam film. Misalnya, untuk tanggal 1 Desember, di dalam script breakdown sheet tertera lokasi syuting berada di tengah kebun yang penuh pepohonan rimbun, waktunya siang hari, pemeran yang muncul di adegan itu (ada nomor adegan) adalah tokoh utama lelaki dan tokoh utama perempuan, serta sejumlah keterangan lainnya.
Dengan informasi di dalam script breakdown sheet seperti itu, maka setiap departemen yang berperan harus menyesuaikan tugas-tugasnya sehingga memenuhi hal-hal yang diperlukan sesuai informasi yang ada. Departemen artistik harus menyusun atau menata lingkungan lokasi syuting sesuai dengan kondisi yang diinginkan skenario. Penata busana dan penata rias (yang terlibat di dalam departemen artistik) harus mempersiapkan kostum pemeran dan tata riasnya sesuai dengan kondisi yang tertera di dalam script breakdown sheet.
Meskipun di dalam script breakdown sheet terdapat scene number (scene no) atau nomor adegan, aktivitas syuting tidak harus terpaku dengan urutan nomor adegan tersebut. Jadi, apabila syuting atau pengambilan gambar adegan nomor 15 sudah selesai, kegiatan syuting berikutnya tidak harus untuk adegan nomor 16. Bisa jadi kegiatan syuting berikutnya justru untuk adegan nomor 25, 30, dan lainnya lagi. Artinya, urutan proses syuting atau pengambilan gambar tidak harus mengikuti alur cerita yang ada di dalam naskah skenario, tapi selalu berpedoman kepada kesamaan lokasi.
Demi efektivitas kerja, urutan aktivitas syuting lebih mengutamakan pada kesamaan lokasi. Misalnya, adegan nomor 15, 25, 30, 31, 34, dan 40 berada pada lokasi yang sama atau berdekatan, karenanya aktivitas syuting pun dilakukan untuk nomor-nomor adegan tersebut.
Peralihan syuting dari satu adegan ke adegan lain atau pergantian adegan, selalu ditandai dengan clopper boards yaitu papan berengsel yang diketukkan ketika syuting suatu adegan dan dialog akan dimulai. Sebelum merekam adegan, kamera terlebih dulu terarah pada clopper boards tersebut. Di dalam clopper boards tertera informasi mengenai scene, take, sound, date, ext, dan int. Informasi-informasi itu tertera dalam kolomnya sendiri-sendiri. Jadi, setiap pengambilan adegan akan dimulai, seseorang yang bertanggungjawab terhadap clopper boards harus terlebih dulu mengetukkan clopper boards itu.
Di dalam kolom scene tertera tulisan mengenai nomor adegan sesuai skenario; di kolom take tertulis nomor bagian adegan yang disyuting (diambil gambarnya), misalnya scene 15, take 2; pada kolom sound (sound effects) tertera efek suara yang diperlukan, misalya desau angin, suara kicau burung, dan lainnya; kemudian pada kolom ext dan int tertera sesuai lokasi syuting di luar ruangan atau di dalam ruangan.
Selama proses syuting berlangsung ada petugas-petugas yang secara khusus bertugas membuat laporan harian (sesuai jadwal syuting), seperti script supervisor yang membuat laporan kondisi adegan per-adegan (script continuity report), asisten kamera membuat laporan mengenai shot demi shot yang direkam kamera (camera report), dan sound recordist yang membuat laporan tentang kondisi tata suara (sound sheet report).
Ada beberapa istilah yang sering muncul dalam proses syuting, di antaranya:
Action – Kata-kata ini diteriakkan sutradara sebagai perintah bahwa syuting dan adegan akan dimulai.
Camera right – Perintah sutradara kepada pemain untuk berputar atau bergerak, sesuai dengan sudut pandang kamera.
Cut – Perintah sutradara ketika proses pengambilan gambar selesai. Dengan perintah ini, maka aktivitas kamera dan sound berhenti.
Cut and hold – Perintah sutradara agar akting pemain dihentikan, tetapi pemain tetapmasih ada di posisinya semula. Dengan perintah ini, sutradara ingin terlebih dulu memeriksa kondisinya, apakah semua sudah sesuai atau belum.
Roll (Roll em) – Aba-aba dari asisten sutradara agar kamera dan peralatan lainnya siap, karena sutradara sudah siap.
Wrap – Perintah atau aba-aba bahwa aktivitas syuting di hari itu sudah selesai. 

 Pascaproduksi
Aktivitas penting dalam tahapan pascaproduksi ini adalah melakukan proses editing, seperti mengedit gambar, melakukan mixing, dan lain-lain. Sebelum melakukan proses editing, editor tentu sudah terlebih dulu melakukan pembicaraan (diskusi) dengan sutradara mengenai apa dan bagaimana film tersebut. Untuk mempermudah tugasnya, dalam melakukan kerja editing, editor akan berpegangan pada laporan-laporan seperti script continuity report, camera report, dan sound sheet report.
Setelah semuanya selesai, janganlah lupa buat laporan secara lengkap mengenai proses produksi film, dan laporan keuangan. ***   (sutirman eka ardhana)



Suplemen:

How To Start Your First Amateur Movie?

KENAPA harus membuat film? Karena film adalah bentuk seni yang menggabungkan berbagai unsur seni lainnya, seperti fotografi, acting, komputer grafis, desain grafis dan masih banyak lagi. Dengan membuat film, kita hampir bisa mempelajari hal-hal tersebut sekaligus.
Membuat film akan memberikan apresiasi yang lebih luas akan dunia gambar bergerak ini. Anda akan lebih menghargai film-film kelas 2 yang selama ini selalu dimaki-maki apabila Anda telah merasakan betapa sulitnya membuat film. Kita akan semakin berdecak kagum menyaksikan film-film terbaik yang dibuat oleh sineas-sineas kelas dunia. Tapi di atas semua itu, membuat film itu adalah kegiatan yang sangat menyenangkan!
Tidak seperti film-film Hollywood yang melibatkan budget besar dan konsep-konsep “penaklukan dunia”, kita dapat membuat film sendiri tanpa tekanan dari pihak mana pun. Terima kasih pada kemajuan teknologi, dengan sebuah handycam dan komputer rumah serta software yang tepat, sebuah “gambar bergerak yang bercerita” dapat diproduksi.
Lupakan segala kekurangan yang ada; betapa buruknya akting para pemain, suara yang tidak jelas terekam, dan jutaan movie mistakes yang terjadi dalam satu adegan saja. It’s your first. It’s amateur. It’s cheap. Pertanyaannya adalah, apakah Anda menikmati saat-saat membuatnya? Kalau ya, maka ini adalah sebuah hobi yang sehat!

First thing first: Main Rules to produce your first amateur movie:
1.      Anda harus enjoy dalam seluruh proses pembuatannya.
2.      Jangan mengharapkan hasil yang berlebihan.
3.      Jangan sekali-sekali menyakiti siapa pun atau binatang apa pun! (Karena merekamnya dalam kamera akanmembahayakan diri Anda sendiri).

What Makes the World Go Round The Idea
Mencari ide untuk sebuah film itu susah-susah gampang.  Untuk film pertama kita, beranjaklah dari hal-hal yang sederhan. Sederhana itu penting, karena bercerita lewat media gambar untuk pertama kalinya tidaklah gampang. Kesederhanaan ide akan mempermudah proses story telling film Anda.
Cobalah pikirkan bahwa Anda ingin menyampaikan sesuatu pada teman dekat, keluarga, atau bahkan musuh Anda. Bagaimana Anda mengatakannya? Cobalah menuliskannya dalam sebuah paragraph deskripsi. Atau apakah Anda memiliki lelucon yang menurut Anda sangat lucu? Ingin mengejek kehidupan seorang teman? Ingin mencurahkan uneg-uneg yang selama ini mengganggu Anda?
Ide yang mudah untuk diraih adalah dengan mengacu pada film favorit Anda. Suka The Sound of Music? Buatlah film musikal dengan keluarga Anda. Atau Anda adalah penggemar Die Hard? Buat film pendek mengenai penyanderaan bos Anda oleh teroris, yang berakhir dengan otak beliau berserakan di lantai. Tentu hal ini akan sangat menghibur rekan-rekan di kantor Anda (tapi tentu tidak dengan sang bos!).
Cobalah tuliskan semua ide itu dalam sebuah konsep visual. Ide bisa dating dari mana saja, tapi terutama dari rasa iseng, cinta, kesedihan, lelucon, dan kemarahan. Kalau biasa menulis di diary, kenapa tidak mencoba memfilmkannya?
Hal-hal yang perlu diingat dalam mencari:
-         Jangan mencari ide yang sulit untuk direalisasikan atau divisualisasikan.
-         Jangan takut untuk meniru ide lain selama film ini hanya untuk dikonsumsi secara pribadi dan oleh kerabat Anda tanpa harus membayar sepeser pun.
-         Carilah ide tentang sesuatu yang benar-benar Anda ketahui hingga tidak terlalu membingungkan pada saat diproduksi nanti.

The blue print of movie: A Script
Setelah ide brilian Anda ditemukan, maka cobalah untuk menuliskannya menjadi naskah.
Untuk menghindari jalan cerita yang melenceng, beranjaklah dari kerangka karangan. Setelah itu, mengaculah pada kerangka tersebut untuk mengembangkan naskah Anda.
Tidak perlu menggunakan format yang baku, cukup seperti format drama yang Anda pelajari di sekolahan. Tetapkanlah seting (tempat), pemeraqn (jika ada), properti (jika dibutuhkan) serta beberapa alternatif sudut pengambilan kamera yang mendasar.

Beberapa sudut pengambilan kamera dan efeknya:
-         Wide shoot: pengambilan gambar secara luas ini bertujuan menunjukkan tempat kejadian. Gaya ini juga memberikan ruang bagi objek untuk bergerak.
-         Medium shoot: pengambilan gambar yangmemberikan kesan intim antara satu objek  dengan objek lain, dimana keterngan tempat hanya mendapat porsi sekunder di sini.
-         Close-up: pengambilan jarak dekat yang sangat intim. Pengambilan gambar ini ingin melibatkan penontonnya terhadap emosi yang ingin disampaikan.
-         High angle: mengambil gambar dengan posisi kamera berada di atas objek. Hal ini biasanya dilakukan untuk membuat objek menjadi seimbang dengan lingkungannya (tidak menjadi perhatian utama lagi).
-         Low angle: dilakukan untuk membuat objek tampak penting dan tampak lebih besar dibandingkan dengan lingkungannya.
-         Eye level: sudut kamera sejajar dengan objek ini ditujukan untuk mewakilkan sudut pandang penonton, sehingga tingkat keterlibatan penonton pun terbangun.

Naskah haruslah memberikan gambaran visual terhadap cerita. Jika diceritakan sang tokoh utama merasa malu, cobalah gambarkan gerak-gerik tersipu, atau tambahkan dialog yang menjelaskan hal itu. Tapi awas, jangan sampai menjelaskan suatu hal dua kali tanpa ada tujuan tertentu.
Contoh sederhana: ketika seorang wanita mendengarkan sebuah gosip ketika ia berbelanja di pasar, ia kemudian mengulang cerita yang ia dengar kepada tetangganya. Hal tersebut sangat tidak efektif. Kita bercerita pada penonton dua kali mengenai hal yang sama, sementara dengan waktu yang terbuang kita bisa menceritakan lebih banyak hal.
Dalam contoh kasus di atas, setelah peristiwa gosip di pasar, kita bisa langsung berpindah pada adegan dimana tetangganya sedang tertawa karena mendengar kisah itu.

Hal-hal yang perlu diingat dalam menulis naskah:
-         Tetaplah mengacu pada tujuan dan ide awal, kecuali selama penulisan muncul ide baru yang lebih brilian (setidaknya bagi Anda).
-         Ingatlah selalu, menulis naskah berarti menulis naskah kembali. Tidak ada naskah yang tidak mengalami revisi. Naskah yang baik tentu saja naskah yang lahir dari berkali-kali evaluasi.
-         Jangan terlalu memberikan visualisasi yang baku karena karena akan menghambat proses kreatif penyutradaraan.

Dalam film amatiran, naskah tidak menjadi kebutuhan baku yang harus dipatuhi. Tapi untuk menumbuhkan disiplin, ada baiknya jika kita mempelajari format naskah yang baik dan benar, dan berpegang teguh pada hal itu selama syuting. Karena menulis naskah adalah pekerjaan yang dapat Anda tekuni secara serius menjadi karir. Tapi santai saja, dalam proyek film pertama kita, yang penting adalah have fun with it!
Sumber: Adri Martin, How to Start Your First Amateur Movie?, Movie
               Monthly, edisi 23/Mei 2004.

Pertemuan ke-8 MEMPRODUKSI FILM (I)



Pertemuan ke-8

MEMPRODUKSI FILM (I)

PROSES pembuatan film mempunyai tiga tahapan penting. Ketiga tahapan penting itu meliputi: praproduksi, produksi dan pascaproduksi.  
Untuk kelancaran atau keberhasilan produksi film, maka masing-masing tahapan harus dilalui secara tuntas dan berurutan. Sebelum masuk ke tahapan produksi, tahapan praproduksi harus diselesaikan atau dituntaskan terlebih dulu. Segala hal atau materi yang diperlukan di tahapan awal ini harus diselesaikan, sebelum kemudian melangkah masuk ke tahapan berikutnya. Hal ini sangat penting, sebab keberhasilan kerja di tahapan produksi sangat tergantung dengan keberhasilan kerja di tahapan praproduksi.

Praproduksi
Sebelum aktivitas praproduksi berlangsung, hal penting yang harus disiapkan terlebih adalah naskah cerita atau skenario cerita. Berbagai hal yang berkaitan dengan naskah cerita (skenario) harus tuntas terlebih dulu. Misalnya, tema cerita sudah ditentukan, asal mula naskah juga sudah dipastikan.
Asal mula naskah merupakan suatu hal yang penting untuk diselesaikan terlebih dulu. Asal mula naskah bisa berasal dari novel, cerita bersambung di koran atau majalah, cerpen, dan lainnya. Bila naskah cerita berasal dari novel, cerita bersambung dan cerpen, tentu harus ada kesepakatan terlebih dulu dengan penulis atau pengarangnya, apakah ia setuju jika karyanya itu difilmkan. Jika setuju tentu dilanjutkan dengan kesepakatan-kesepakatan (perjanjian) berikutnya. 
Bila persoalan asal mula naskah sudah selesai, maka tahapan berikutnya tentu proses mengalihkan cerita di naskah itu ke dalam skenario film. Tahapannya adalah mencari siapa penulis skenarionya.
Kemudian sejumlah aktivitas lainnya di tahapan praproduksi ini di antaranya mempersiapkan dan menyusun anggaran, mempersiapkan kru, menyusun tim produksi, mempersiapkan pemeran (pemain), membuat script breakdown, membuat jadwal syuting (shooting), dan lain-lain.
Persiapan utama lainnya yang harus memperoleh prioritas dalam tahapan praproduksi ini adalah menyediakan kantor produksi dengan segala sarananya, menyediakan peralatan syuting seperti kamera dan penunjangnya, serta mempersiapkan lokasi syuting.
Pemilihan lokasi syuting haruslah ditentukan dengan pertimbangan telah tersedianya sejumlah persyaratan yang diperlukan, seperti akses ke lokasi, keamanan, kondisi masyarakat sekitar dan lainnya.
Lantas, apa yang dimaksud dengan script breakdown?
Script breakdown merupakan uraian tiap adegan sesuai naskah skenario. Uraian tiap adegan itu dilengkapi sejumlah informasi yang diperlukan dalam syuting (shooting).
Uraian-uraian dan informasi-informasi itu ditulis atau disusun pada lembaran-lembaran kertas yang disebut script breakdown sheet.
Script breakdown sheet memuat sejumlah informasi yang meliputi – date, script version date, production company, breakdown page no, title/no of episodes, page count, location or set, scene no, int/ext, day/night, description, cast, wardrobe, extras/atmosphere, make up/hair do, extras/silent bits, stunts/stand ins, vehicles/animals, props-set dressing-greenery, sound effects/music, security/teachers, special effects, estimated no. of set ups, estimated production time, special equipment, production notes.
Berikut penjelasan tentang uraian atau informasi yang ada pada lembaran script breakdown sheet:
1.      Date – Di sini, cantumkan tanggal saat script breakdown sheet ini diisi.
2.      Script version date – Di sini tanggal yang dicantumkan adalah tanggal versi skenario yang dipakai untuk menyiapkan shooting.
3.      Production company – Cantumkan nama dan nomor telepon dari rumah produksi (production house) yang memproduksi film.
4.      Breakdown page no – Cantumkan nomor halaman dari lembar breakdown yang dibuat. Biasanya nomor halaman ini sama dengan nomor adegan. Kecuali bila dalam satu adegan dibutuhkan lebih dari satu lembar breakdown.
5.      Title/no of episodes – Di sini tuliskan judul film yang diproduksi. Jika yang diproduksi adalah film seri, film miniseri, atau sinetron, cantumkan juga nomor episode.
6.      Page count – Di sini cantumkan panjang atau porsi dari adegan dalam skenario yang diurai. Biasakan membagi tiap halaman skenario menjadi delapan bagian. Bila adegan yang diurai hanya mempunyai panjang 2/8 halaman, maka tulislah angka 2/8.
7.      Location or set – Di sini cantumkan lokasi sesuai dengan skenario. Hal ini perlu untuk mempermudah identifikasi antara satu adegan dengan adegan lainnya. Tapi perlu juga diingat, bahwa lokasi syuting bias saja berubah dari yang tertera di dalam skenario.
8.      Scene no – Cantumkan nomor adegan sesuai yang tercantum di dalam skenario.
9.      Int/ext – Bagian ini menandakan di mana suatu adegan terjadi. Int adalah untuk interior, artinya adegan dilakukan di dalam ruangan. Sedangkan ext adalah untuk exterior, yaitu adegan yang di luar ruangan.
10.  Day/night – Cantumkan waktu adegan. Day untuk siang hari. Night untuk malam hari.
11.  Description – Gambarkan kejadian spesifik yang ada di dalam adegan untuk mempermudah ingatan. Dengan cara ini tidak perlu lagi membuka-buka skenario untuk mengingat-ingat apa yang terjadi did ala, adegan.
12.  Cast – Tuliskan semua pemeran yang melakukan dialog (speaking parts), termasuk peran pendukung. Semuanya diurut sesuai pentingnya peran.
13.  Wardobe – Bagian ini khusus untuk mencatat pakaian yang dikenakan oleh pemeran adegan. Dan catatan ini diperlukan apabila ada pakaian khusus yang dipakai oleh pemeran, yang penyediaannya perlu biaya dan waktu khusus.
14.  Extras/atmosphere – Cantumkan jumlah orang-orang (crowd) yang dibutuhkan untuk mendukung suasana dalam sebuah adegan. Cantumkan berapa perempuan dewasa, anak perempuan, bayi, laki-laki dewasa, dan sebagainya. Catat juga apakah crowd serupa terdapat pada adegan-adegan lain, sehingga bisa dikelompokkan secara berkelanjutan.
15.  Make up/hair do – Cantumkan catatan khusus tentang tata rias dan tata rambut (hair do) untuk tiap peran dan crowd. Contohnya, - 3: efek penuaan di wajah 20 tahun lebih tua dibandingkan scene # 35. – Artinya, cast nomor 3, harus dirias dan ditata rambutnya sehingga menghasilkan wajah 20 tahun lebih tua disbanding penampilannya di scene 35.
16.  Extras/silent bits – Yang termasuk bagian ini adalah para pemeran yang tidak melakukan dialog yang tidak tergabung dalam crowd. Perlu dicatat adalah usia, penampilan fisik, tinggi badan, perawakan tubuh, dan sebagainya.
17.  Stunts/stand ins – Untuk melakukan beberapa adegan, dibutuhkan pemeran pengganti untuk adegan berbahaya (stunt) atau pemeran pengganti dengan mempertahankan wajah si pemeran utama (stand in).
18.  Vehicles/animals – Apabila ada kendaraan (vehicles) yang nanti tampak dalam gambar (frame), catat segala informasi tentang kendaraan tersebut di bagian ini, termasuk tahun, warna, jumlah, dan posisi kendaraan. Apabila film membutuhkan hewan (animals), pastikan apakah dibutuhkan pula pawang atau pelatih hewan. Jangan lupa siapkan transportasi dan akomodasi untuk pawang maupun pelatih hewan.
19.  Props, set dressing, greenery – Ketiganya merupakan bagian dari pekerjaan Departemen Artistik. Props adalah semua benda yang dipakai atau dibawa oleh cast dan extras. Props diurus oleh props master yang mesti memastikan bahwa props adegan satu dengan lainnya tetap sama. Set dressing merupakan tata lokasi (set) di mana lokasi syuting diatur dan dihias oleh seorang set dresser. Greenery adalah semua tanaman yang dipinjam, disewa atau dibeli karena tidak tersedia di lokasi.
20.  Sound effects/music – Beberapa adegan mungkin membutuhkan efek suara tertentu (sound effects) seperti suara sirene di kejauhan atau gemuruh kereta api yang melintas. Atau adegan di dalam film itu mungkin juga membutuhkan alunan musik, baik sebagai latar belakang maupun untuk dinyanyikan. Catat semuanya di bagian ini.
21.  Security/teachers – Untuk kelancaran syuting di suatu lokasi terkadang dibutuhkan juga bantuan tenaga keamanan (security). Untuk pemeran anak-anak terkadang dibutuhkan juga peran tenaga pengajar (teachers), misalnya untuk mengajari anak-anak tersebut berdialog dan lain-lainnya. Catatkan semuanya itu di bagian ini.
22.  Special effects – Catatkan di bagian ini semua keperluan akan efek khusus, seperti: ledakan, penghancuranj, peledakan, tata rias khusus, dan sebagainya.
23.  Estimated no. of  set ups – Di bagian ini cantumkan perkiraan tentang beberapa sudut pengambilan gambar (set up) untuk sebuah adegan. Untuk menentukan berapa set up yang dibutuhkan maka perlu berkoordinasi dengan sutradara.
24.  Estimated production time – setelah memastikan jumlah set up, perkirakan waktu yang diperlukan untuk menyiapkan set up dan merekam gambar setiap set up. Tuliskan total waktu untuk semua set up di bagian ini.
25.  Special equipment – Catat peralatan syuting khusus yang diperlukan, seperti steadycam, under water camera, car mounting, atau lensa tele.
26.  Production notes – Di sini dicatat semua keperluan yang belum tercatat pada bagian-bagian sebelumnya, serta membutuhkan waktu, tenaga dan biaya khusus.
                          (Lihat – Heru Effendi, Mari Membuat Film – Panduan
                            Menjadi Produser, Panduan)             
                                                   ***
                                                                                                            (SEA)

Minggu, 19 Agustus 2012


            BULAN DI MALAM LEBARAN

            Cerpen: Sutirman Eka Ardhana

PESANTREN tempatku belajar mengaji Al-Quran setiap sore itu sebenarnya lebih pantas disebut sebagai madrasah biasa. Bangunannya sederhana, tidak terlalu besar, dan ruangannya pun hanya ada tiga lokal. Setiap lokal idealnya hanya untuk 35 sampai 40 orang. Tapi kenyataannya, di pesantrenku, setiap lokal dijejali murid atau santri sampai 50 orang lebih.  Pengajarnya pun hanya tiga orang, Ustadz Nurdin dibantu isterinya, Ustadzah Syarifah, dan Ustadz Maksum.
Di kampungku, Pesantren Al-Islam itu satu-satunya sekolah agama. Para santri di pesantren ini hanya diberi pelajaran tentang agama. Tentu saja pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan Islam. Seperti membaca Al-Quran, tafsir Al-Quran, pengetahuan tentang hadist, fiqih, tarikh, dan lainnya.
Selama bulan Ramadhan, kegiatan di pesantren berlangsung sampai malam hari. Ada buka puasa bersama, dilanjutkan sholat tarawih berjamaah yang diisi pula dengan ceramah-ceramah keagamaan, serta tadarus Al-Quran.
Menurut cerita beberapa tetua di kampung, dulu, setelah mendengar banyak cerita tentang pesantren di Jawa, orang-orang di kampungku pun rindu punya pesantren. Karenanya, ketika ada yang mendirikan sekolah agama, warga kampung beramai-ramai sepakat menyebutnya sebagai pesantren. Mereka tak mau menyebutnya hanya sebagai madrasah.
Seperti pernah diuraikan Ustadz Nurdin, kalau di Jawa, yang dinamakan pesantren atau seringpula disebut pondok pesantren adalah suatu komplek yang di dalamnya tidak hanya terdapat bangunan untuk mengaji saja, tetapi juga terdapat masjid, rumah kyai, dan asrama para santri. Bahkan terdapat juga warung-warung yang menyediakan berbagai macam kebutuhan santri.
Tetapi di komplek pesantrenku yang sederhana itu, yang ada hanyalah bangunan untuk belajar mengaji dan sebuah surau. Tak ada rumah kyai. Tak ada asrama santri. Rumah Ustadz Nurdin berada di luar komplek pesantren. Jaraknya dari pesantren sekitar 500 meter. Biasanya, dari rumahnya yang tak terlalu jauh itu, Ustadz Nurdin berangkat ke pesantren dengan mengayuh sepeda.
Sedang para santri, hampir seluruhnya berasal dari kampungku yang tempat tinggalnya masih berdekatan dengan komplek pesantren. Hanya ada beberapa santri saja yang berasal dari kampung tetangga.
“Kalau di Jawa, santri-santri seperti kalian ini namanya santri kalong,” kata Ustadz Nurdin suatu ketika di depan para santri.
“Santri kalong? Santri apa itu, Ustadz?” aku mencoba memberanikan diri bertanya.
“Santri di pondok pesantren itu biasanya terbagi dalam dua kelompok, yakni santri mukim dan santri kalong. Santri mukim itu sebutan untuk para santri yang tinggal atau menetap di asrama santri yang ada di pesantren. Biasanya, santri mukim ini berasal dari kampung-kampung atau daerah-daerah yang jauh dari lokasi pondok pesantren. Sedang santri kalong adalah santri-santri yang berasal dari kampung-kampung di sekitar pesantren, yang bolak-balik dari rumahnya ke pesantren, dan tidak tinggal di asrama santri,” jelas Ustadz Nurdin.
“Kenapa disebut kalong, Ustadz? Padahal, kalong kan sejenis dengan kelelawar yang binatang malam itu?” tanyaku lagi.
Para santri lainnya tertawa mendengar pertanyaanku.
“Saya sendiri pun sampai hari ini masih belum tahu, kenapa santri-santri yang tidak tinggal di pesantren disebut santri kalong,” jawab Ustadz Nurdin seraya tersenyum.
Sejak diperkenalkan oleh Ustadz Nurdin, istilah ‘kalong’ dan ‘kelelawar’ menjadi populer sebagai bahan gurauan di kalangan para santri, terutama santri remaja. Arifin yang rambutnya keriting misalnya, selalu dijuluki kelelawar keriting. Marwan yang badannya gelap sering dipanggil kekelawar keling. Dan, santri-santri perempuan yang cantik, mendapat julukan kelelawar cantik.
***
DAN, malam ini, ‘kelelawar cantik’ itu berdiri di depanku. Ya, Zamilah yang ‘kelelawar cantik’ itu sudah berada sekitar satu meter di depanku, selang beberapa menit aku bersama Furqon, teman kentalku, keluar dari surau setelah selesai mengikuti acara takbiran bersama menyongsong datangnya Idul Fitri esok pagi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap malam Lebaran tiba, seusai sholat Isya para santri dipimpin langsung oleh Ustadz Nurdin bersama-sama melantunkan kumandang takbir.
Furqon mencuil lenganku, memberi tanda kalau ada Zamilah. Dadaku berdegup ketika Zamilah tersenyum. Betapa tidak. Baru saja sehabis buka bersama di serambi surau senja tadi, aku dan Furqon membicarakan dirinya, kini dia sudah berada di depanku. Tersenyum pula. Senyum itu terlihat jelas, selain karena bantuan cahaya lampu di teras surau, juga berkat cahaya bulan yang sedang berada persis di atas surau.   
“Ke mana rencanamu di hari pertama Lebaran besok? Tak ada rencana bersilaturahim ke rumah Pak Haji Mahmud, ayahnya Zamilah itu?” inilah pertanyaan Furqon sehabis berbuka tadi.
“Aku takut, Fur. Nanti aku diusirnya lagi seperti dulu. Kau masih ingat kan, bagaimana malam itu ia begitu marah kepadaku, hanya karena aku mengantarkan Zamilah pulang dari acara malam Israq Mi’raj di pesantren,” dan, aku ingat inilah jawabanku tadi.
“Kenapa kaujadi penakut seperti ini? Kenapa menjadi lemah tak berdaya? Ayo, cinta itu harus diperjuangkan! Ibaratnya, sekali pun ada lautan api yang menghadang, kauharus tetap menyeberanginya. Tunjukkan kepada Pak Haji Mahmud itu bahwa kau benar-benar jatuh cinta pada anak gadisnya, Zamilah itu,” kata Furqon lagi.
Lamunanku mendadak buyar, dan aku tergagap, ketika tiba-tiba Zamilah berkata, “Kenapa ni, diam terpaku seperti itu? Terkejutkah dengan kehadiran Milah di sini?”
Aku pun seketika bagaikan kehilangan kata-kata, tak tahu harus berkata apa. Seakan-akan di kerongkonganku ada batu tajam yang menyekat, membuat aku seperti sulit untuk berkata, walau hanya sepatah kata sekali pun. Untunglah Furqon, cepat memahami hal itu. “Bagaimana tak terkejut, Mil. Kami baru saja membicarakan tentang Milah. Dia ni menanyakan, kenapa Milah sekarang semakin sombong……,” ujar Furqon seraya telunjuk jari tangannya tertuju kepadaku.
“Siapa bilang Milah sombong. Buktinya, sekarang Milah ada di sini. Ada di depan Bang Arman dan Bang Furqon,” kata Zamilah lembut, dan dalam waktu bersamaan dari cahaya lampu di teras surau, maupun cahaya bulan di atas surau, terlihat jelas senyumnya juga begitu lembut, sejuk.
Kegugupanku mulai reda. Suara degup di dadaku pun terasa kembali beraturan. Aku pun mulai menyusun kata-kata.
“Mau ke mana, Milah?” serangkai tanya singkat inilah yang mampu terucap dariku setelah kegugupan dan degup di dada itu benar-benar mereda.
“Tak ke mana-mana. Milah sengaja ke sini, mau jumpa Bang Arman,” ucapnya dengan senyum tak juga hilang.
Aku terkesiap mendengar kata-katanya. Betapa tidak. Kata-kata yang diucapkannya itu di luar dugaanku. Ingin jumpa denganku?! Hah, ada apa gerangan?  Beruntun tanya seketika muncul di benakku. Dadaku kembali berdegup. Tapi tidak begitu kencang.
Spontan aku mengarahkan pandangan ke Furqon. Furqon tampak tersenyum seraya mengernyitkan mata kirinya.
“Ada apa Milah? Sepertinya serius betul,” tanyaku sambil menahan degup di dada.
“Tampaknya, ada hal yang menggembirakan ni…..,” timpal Furqon.
Tak bisa kupungkiri, dadaku berdegup juga menunggu jawaban Zamilah.
“Bang Furqon bisa meninggalkan kami sekejap. Milah hanya ingin bercakap berdua dulu dengan Bang Arman. Setelah selesai nanti, Bang Furqon bisa segera kemari lagi,” Zamilah kemudian berkata begini kepada Furqon.
“Alahmak, ada masalah penting dan rahasia rupanya, sehingga orang lain pun tak boleh tahu,” seru Furqon cepat.
“Sudahlah, menjauhlah dulu Fur,” pintaku pula.
Seraya meninggalkan tawa, Furqon pun melangkah meninggalkan kami.
“Ada apa Milah?” tanya ini kuulang lagi setelah Furqon menjauh.
“Milah hanya ingin menyampaikan pesan dari Abah,” ujarnya.
“Pesan dari Abah? Abahnya Milah?”
“Ya, dari Abah Milah.”
Pesan apa?! Koq?! Dadaku berdegup lagi.
“Abah berpesan, agar besok Bang Arman datang ke rumah. Terserah Bang Arman, mau datang sesudah sholat Ied, siang, petang atau malam,” kata Milah kemudian, sebelum aku sempat bertanya lagi.
Aku terdiam sesaat. Pesan Pak Haji Mahmud itu mengejutkan dan menggelisahkanku. Ada apa ini?! Sementara di sekitar bangunan surau, para santri tampak sibuk mempersiapkan diri untuk pulang. Di sisi selatan surau, Furqon tampak pula sedang berbincang-bincang dengan beberapa santri lainnya. Dan, di atas surau, yang juga di atas pesantren, bulan masih mengirimkan cahaya indahnya.
“Kenapa Abah berpesan begitu, Mil?! Apa Abah akan memarahi abang lagi?” tanyaku bernada heran.
“Baiklah, agar Bang Arman tak penasaran dengan pesan Abah itu. Milah kasi bocoran. Tapi, bocorannya sedikit saja ya, Bang. Begini, Bang Ar masih ingat ketika sehabis malam Israq Mi’raj itu, kan? Ketika Bang Ar dimarahi habis-habisan oleh Abah, gara-gara mengantar Milah pulang sampai ke depan pintu rumah itu. Nah, ternyata menjelang Ramadhan tiba, Abah dapat informasi bila Bang Arman mengantarkan Milah pulang malam itu karena disuruh oleh Ustadz Nurdin, dan bukan karena keinginan Abang sendiri. Tak tahu siapa yang memberitahu informasi itu. Mungkin juga Ustadz Nurdin sendiri yang memberitahukannya. Setelah tahu, bahwa Bang Ar mengantarkan Milah karena menjalankan perintah Ustadzs Nurdin, Abah sepertinya menyesal telah marah sama Abang. Karena itulah Abah ingin bertemu dengan Bang Arman di saat Lebaran besok,” jelas Zamilah.
***
PESANTREN dan juga surau sudah mulai menyepi, tak seramai tadi. Di dalam surau hanya tinggal lima orang santri saja. Mereka secara bergantian masih tetap mengalunkan gema takbir. Zamilah sudah pulang bersama santri-santri putri yang lain, sekitar setengah jam lalu. Ustadz Nurdin, serta ustadz-ustadz lainnya juga sudah pulang.
Aku dan Furqon masih duduk di bangku panjang, di bawah pohon jambu merah, tak jauh di depan surau. Furqon sesekali menyenandungkan gema takbir dengan lirih. Sedangkan aku, tak henti-hentinya memandang ke arah bulan, walau posisinya sudah bergeser, tak lagi tepat di atas surau seperti tadi. Cahaya bulan di malam Lebaran itu telah mendorong semangatku untuk pagi-pagi sesudah sholat Idul Fitri segera ke rumah Pak Haji Mahmud, ayahnya Zamilah. Cahaya bulan itu telah membuat hidupku kembali bergairah. ***
                                                                                          Yogya, Agusus 2012
BIODATA

                Sutirman Eka Ardhana, lahir di Bengkalis, Riau, 27 September 1952. Sejak 1972 menetap di Yogyakarta. Menulis cerpen, puisi dan novel. Karya-karyanya yang sudah terbit di antaranya novel Surau Tercinta (Navila, 2002), Dendang Penari (Gita Nagari, 2003), Gelisah Cinta (Binar Press, 2005), kumpulan cerpen “Langit Biru Bengkalis” (Surat Emas Pustaka, 2010), kumpulan puisi Risau (Pabrik tulisan, 1976), Emas Kawin (Renas, 1979), dan puisi-puisi terhimpun pada sejumlah antologi puisi di antaranya Tugu, Dermaga I, Dermaga II, Merapi Gugat, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia, dllnya. *

           *** Dimuat Harian "SUARA KARYA", edisi Sabtu, 18 Agustus 2012.