Kamis, 06 Oktober 2011

MENGENAL DAN MEMAHAMI FILM (II


MK: SINEMATOGRAFI
Pertemuan 2

MENGENAL DAN MEMAHAMI FILM
(II)

          Film Noncerita
Seperti halnya film cerita, film noncerita kini juga bias dikategorikan dalam berbagai jenis. Tetapi pada awalnya film noncerita hanya dikenal punya dua jenis, yakni film faktual dan film documenter.
Film faktual adalah suatu jenis film noncerita yang pada umumnya menyajikan fakta. Sekarang film faktual dapat dilihat dalam bentuk film berita (news reel) dan film dokumentasi.
Film berita meletakkan titik berat penyajiannya pada segi pemberitaan suatu peristiwa atau kejadian yang faktual. Contoh film berita dewasa ini dapat kita saksikan di tayangan-tayangan berita dalam siaran televise. Film berita ditayangkan setelah terlebih dulu melalui proses pengolahan.
Sedangkan film dokumentasi adalah film faktual yang hanya merekam suatu peristiwa atau kejadian tanpa melalui proses pengolahan lagi. Film dokumentasi merekam peristiwa dengan apa adanya. Contoh film dokumentasi ini misalnya dokumentasi mengenai kejadian perang, dan dokumentasi upacara kenegaraan.

Film Dokumenter
Film dokumenter adalah film noncerita yang selain mempunyai unsur fakta tetapi juga mengandung unsur subyektifitas pembuatnya. Subyektifitas di dalam film dokumenter merupakan pendapat, pandangan, sikap atau opini terhadap peristiwa yang direkam.
Dengan demikian peran pembuatnya (produser/sutradara) memiliki arti penting bagi keberadaan serta keberhasilan proses pembuatan film dokumenter. Dalam film dokumenter, faktor manusia (pembuat) mempunyai peran yang besar dan penting. Sebab persepsi tentang suatu kenyataan atau realitas yang ada sangat bergantung pada pembuatnya.
Sejarah keberadaan film dokumenter diawali pada tahun 1920-an. Hal itu ditandai dengan dengan munculnya pemikiran tentang pembuatan film dokumenter tersebut. John Grierson dari Inggris merupakan tokoh yang pertama kali memperkenalkan istilah film dokumenter. Istilah itu diperkenalkan Grierson ketika ia membicarakan atau membahas sebuah film karya Robert Flaherty (Amerika Serikat) berjudul “Moana”, yang diproduksi pada tahun 1926.
Grierson kemudian sangat berperan penting dalam mengembangkan pembuatan film dokumenter di Inggris dan Kanada. Ketertarikan Grierson terhadap film dokumenter karena menurutnya film dokumenter merupakan perlakuan yang kreatif terhadap suatu peristiwa.
Joris Ivens, seorang pembuat film dokumenter kenamaan dari Belanda berpendapat bahwa film dokumenter memiliki kekuatan utama yang terletak pada rasa keotentikannya. Dengan kata lain, film dokumenter bukanlah merupakan suatu cerminan pasif dari kenyataan, melainkan adanya proses penafsiran terhadap kenyataan itu sendiri.
Selain jenis faktual dan film dokumenter, di dalam ‘keluarga besar’ film noncerita masih terdapat jenis-jenis lain, seperti film pariwisata, film iklan, film pendidikan, dan lain-lain.

Film Eksperimental
Film eksperimental merupakan film yang proses pembuatannya tidak menggunakan kaidah-kaidah pembuatan film yang semestinya. Misalnya, kaidah-kaidah yang pasti ditemukan dalam setiap pembuatan film cerita maupun film noncerita.
Tujuan pembuatan film eksperimental ini biasanya hanya untuk melakukan eksperimentasi-eksperimentasi serta mencari cara-cara penyampaian baru melalui media film.

Film Animasi
Film animasi merupakan film yang dibuat dengan menggunakan atau memanfaatkan gambar-gambar (lukisan) ataupun benda-benda tidak bergerak lainnya. Benda-benda tidak bergerak itu misalnya boneka, baik itu boneka manusia maupun boneka binatang, yang bisa dihidupkan atau digerakkan dengan proses animasi.
Prinsip pembuatan film animasi (teknik animasi) tidak berbeda dengan teknik pembuatan film yang menggunakan subyek benda-benda bergerak atau hidup, yakni memerlukan 24 gambar (bisa juga kurang) perdetiknya dalam menciptakan ilusi gerak.

Kenapa Film Diproduksi?
Kebanyakan produser atau pembuat film berpandangan bahwa film merupakan suatu komoditi bisnis yang besar, menggiurkan dan menguntungkan. Karena, setelah selesai diproduksi atau dibuat, maka film (terutama film cerita) bias dibisniskan atau dipasarkan dengan berbagai cara ke publik. Pemasaran film itu ke publik atau masyarakat luas tentu saja dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dari publik itu sendiri, yang kemudian dari perhatian besar dari publik itu akan dihasilkan suatu keuntungan bisnis.
Meskipun begitu, tidak semua produser atau pembuat film yang semata-mata hanya berpikir pada segi bisnis dan keuntungan saja. Sebab tidak sedikit juga produser atau pembuat film yang masih mau mengedepankan dorongan kultural atau idealisme.
Pertimbangan komersial atau bisnis akan terlihat nyata pada film-film cerita. Hal ini terjadi dikarenakan proses pembuatan film cerita memang menggunakan modal yang relatif besar. Kebanyakan produser tentu tidak ingin modal besar yang sudah dikeluarkan untuk proses produksi film tersebut hilang sia-sia.
Selain itu bila dilihat dari aspek ekonomi dan teknologi, maka produksi film memang harus dikelola sebagai suatu usaha industri. Hal seperti ini harus dilakukan, karena selain menggunakan atau melibatkan modal yang besar, pembuatan film juga melibatkan tenaga kerja yang banyak. Tenaga-tenaga kerja yang dilibatkan itu pun dari berasal dari berbagai latar belakang keahlian.
Disamping itu, kerja produksi film membutuhkan tujuan maupun sistem kerja yang tertata dan jelas, perencanaan yang matang, serta jadwal kerja yang pasti pula. Manajemen kerjanya harus benar-benar rapi dan terkoordinasi. Masing-masing bagian dalam manajemen kerja produksi film tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Bagian satu dengan lainnya saling berkaitan dan berhubungan.
Untuk sampai ke publik, film yang diproduksi harus terlebih dulu melalui suatu proses mata rantai yang panjang. Setelah selesai diproduksi, film terlebih dulu akan dibawa ke bagian distribusi. Bagian distribusi ini bertugas untuk mengedarkan dan memasarkan film tersebut. Setelah di bagian distribusi (peredaran), film kemudian baru masuk ke tahapan pertunjukan di bioskop-bioskop (ekshibisi).
Dari proses perencanaan film sampai ke pemutaran di bioskop-bioskop, setidaknya dilibatkan lebih dari 200 profesi pekerja. Dari para kreator di proses produksi, pengedar film, pembuat poster film, tukang putar film (proyeksionis) sampai ke penjual karcis bioskop.
 Dalam proses pembuatan film, para produser yang bekerja dengan system industri berusaha membangun studio-studio film. Segala aktivitas pembuatan film, dari pra produksi sampai ke pelaksanaan syuting dan tahap penyelesaian akhir dikerjakan di studio film tersebut.

Mengapa Film Ditonton?
Menurut Marseli Sumarno (Dasar-dasar Apresiasi Film), ada tiga alasan mengapa film ditonton, yakni alasan umum, alasan khusus dan alasan utama.
Alasan umum – Film berarti bagian dari kehidupan modern dan tersedia dalam berbagai wujud, seperti di bioskop, dalam tayangan televisi, bentuk kaset video, dan piringan laser (laser disc).
Sebagai bentuk tontonan, film memiliki waktu putar tertentu. Rata-rata satu setengah jam sampai dengan dua jam. Selain itu, film bukan hanya menyajikan pengalaman yang mengasyikkan, melainkan juga pengalaman hidup sehari-hari yang dikemas secara menarik.
Alasan khusus – Karena ada unsur dalam usaha manusia untuk mencari hiburan dan meluangkan waktu. Selain itu, karena film tampak hidup dan memikat, disamping menonton film dapat dijadikan bagian dari acara-acara kencan dalam kehidupan manusia.
Alasan utama – Seseorang menonton film untuk mencari nilai-nilai yang memperkaya batin. Setelah menyaksikan film, seseorang memanfaatkannya untuk mengembangkan suatu realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas nyata yang dihadapi.
Jadi, seperti kata Marseli, film dapat dipakai penonton untuk melihat hal-hal di dunia ini dengan pemahaman baru. – (sea-2)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar