Kamis, 06 Oktober 2011

SEJARAH PERFILMAN INDONESIA (I)


MK: SINEMATOGRAFI
Pertemuan 3

SEJARAH PERFILMAN INDONESIA
(I)

            PERJALANAN dan perkembangan dunia perfilman di tanah air kita menarik untuk disimak. Sesungguhnya sejarah pengenalan seni hiburan yang populer disebut film ini di Indonesia tidak berjarak terlalu jauh dengan yang berlangsung di Barat (Eropa dan Amerika). Bahkan bangsa Indonesia (Hindia Belanda) lebih dulu mengenal dunia pertunjukan film dibandingkan dengan Italia.
Kemunculan atau kelahiran bioskop pertama di dunia terjadi pada 28 Desember 1895 di Paris. Ketika itu tempat yang dijadikan bioskop untuk memutar film tersebut adalah sebuah kafe di salah satu ruang bawah tanah. Budaya menonton film dengan membeli karcis atau tiket masuk diperkenalkan pada waktu yang sama. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya di tahun 1905, tempat pemutaran film (bioskop) bermunculan dan berkembang di Amerika Serikat. Kala itu tempat pemutaran film tersebut dikenal dengan sebutan nickelodeon.
 Lantas, kapan negeri kita mulai mengenal pertunjukan hiburan yang kemudian dikenal dengan nama film tersebut?
Di dalam surat kabar Bintang Betawi terbitan hari Rebo tanggal 5 Desember 1900 terdapat iklan yang menginformasikan tentang adanya “pertoenjoekan besar jang pertama”. Sebagian dari isi iklan yang dipasang De Nederlandsche Bioscope Maatschappij itu menyatakan:
“Ini malem 5 Desember PERTOENJOEKAN BESAR JANG PERTAMA dan
 teroes saban malem di dalem satoe roemah di Tanah Abang  Kebondjae
 (MANAGE) moelain poekoel TOEDJOE malem.”

Pertunjukan besar yang dimaksudkan dalam iklan pada surat kabar Bintang Betawi itu adalah ‘tontonan gambar-gambar idoep’. Iklan pada surat kabar tersebut edisi Jumat 30 November 1900 antara lain menyatakan akan adanya ‘tontonan amat bagoes jaitoe gambar-gambar idoep’. ‘Tontonan gambar-gambar idoep’ itulah yang kini populer dengan sebutan film.
Melihat pada apa yang diinformasikan surat kabar Bintang Betawi edisi 5 Desember 1900 lewat iklan tersebut jelaslah jika tontonan film di negeri kita sudah dimulai pada tanggal 5 Desember 1900. Jadi, rentang waktu keberadaan tontonan film di negeri kita dengan keberadaan bioskop pertama di dunia tahun 1895, hanya berjarak lima tahun saja.
Tempat pemutaran film (bioskop) di Amerika Serikat muncul dan berkembang mulai tahun 1905. Sedang di negeri kita tempat pemutaran film di sebuah bangunan rumah (bioskop) itu sudah ada sejak tahun 1900. Melihat dari data ini, jelaslah Batavia (sekarang Jakarta) telah lebih dulu memperkenalkan tempat pertunjukan film dibandingkan kota-kota di Amerika Serikat.

Pembuatan Film
Sejarah pembuatan film di negeri kita sudah diawali sejak tahun 1910. Tapi film-film yang diproduksi saat itu adalah film-film non-features. Pemerintah Hindia Belanda di masa itu mendatangkan sejumlah ahli dan pekerja pembuat film dari Negeri Belanda untuk membuat film dokumenter tentang apa dan bagaimana Hindia Belanda. Film-film non-features yang dibuat dimaksudkan untuk mengenalkan keberadaan Hindia Belanda kepada masyarakat di Negeri Belanda.
Enambelas tahun kemudian, tepatnya di tahun 1926, film feature atau film cerita baru diproduksi di Hindia Belanda. Sejarah perjalanan pembuatan film cerita di Hindia Belanda diawali dengan diproduksinya sebuah film berjudul “Loetoeng Kasaroeng”. Jika sejarah kelahiran bioskop diawali di Batavia, maka sejarah kelahiran film cerita di negeri kita diawali di kota Bandung pada tahun 1926. Film cerita bisu pertama produksi Java Film Company yang mengangkat tentang legenda di bumi Priangan itu merupakan karya bersama seorang Belanda bernama L. Heuveldorp dan seorang Jerman bernama G. Kruger.
Di tahun 1927, Kruger membuat perusahaan film sendiri bernama Krugers Filmbedriff. Film-film yang diproduksinya antara lain Eulis Acih, Karnadi Tangkap Bangkong dan Atma de Visser.
Bandung memang merupakan kota kelahiran film-film cerita. Setelah film  Loetoeng Kasaroeng, F.Carli yang tinggal di Bandung juga tergerak untuk ikut membuat film dengan mendirikan Cosmos Film yang kemudian berubah menjadi Kinowerk Carli. Film yang dibuat Carli itu berjudul Karina’s Zelfop-offering (Pengorbanan Karina). Film garapan Carli ini berkisah tentang kisah cinta antara seorang opsir Belanda (asing) dengan seorang gadis keturunan bangsawan di Jawa. Dan, yang menarik sebagian besar syuting film ini berlokasi di Yogyakarta. Film garapan Carli lainnya adalah De Stem des Bloeds (Panggilan Darah).
Berbeda dengan Heuveldorp dan Kruger yang di dalam film Loetoeng Kasaroeng lebih mengutamakan pemain-pemain pribumi, maka film garapan Carli ini menggunakan pemain hampir seluruhnya orang asing atau Indo-Belanda (peranakan Belanda). Salah seorang di antaranya isteri Carli sendiri, Annie Krohn, yang berperan sebagai pemeran utamanya.
Bandung kembali membuat catatan dalam sejarah perkembangan film dengan datangnya Wong Bersaudara dari Shanghai, China, ke kota tersebut pada tahun 1928. Ketika berada di Shanghai, Wong Bersaudara yang terdiri dari Nelson, Joshua dan Othnil memang sudah bergerak di dalam usaha produksi film. Salah satu film yang diproduksi Wong Bersaudara dengan perusahaan filmnya Halimun Film di tahun 1928 itu berjudul Lily van Java. Film yang bercerita tentang kehidupan salah satu keluarga Cina peranakan.
Kedatangan Wong Bersaudara ke Bandung, ternyata telah menggugah minat dua warga Cina perantauan (peranakan), yakni Tan Koen Hian dan The Teng Chun untuk terlibat dalam usaha produksi film. Keduanya lalu membuat perusahaan film di Batavia (sekarang Jakarta). Tan Koen Hian tahun 1929 mendirikan perusahaan film Tan’s Film. Di tahun 1929 itu Tan’s Film memproduksi film berjudul Njai Dasima. Sedangkan The Teng Chun tahun 1931 mendirikan Cino Motion Pictures Corporation.

Film Bicara
Era film bisu di dunia berakhir pada tahun 1927. Berakhirnya era film bisu ini ditandai dengan pembuatan film bicara (film suara) pertama di tahun 1927 yang berjudul Jazz Singer. Film bicara pertama ini diputar atau dipertontonkan pertama kali untuk umum pada 6 Oktober 1927 di New York, Amerika Serikat.
Dua tahun kemudian, tepatnya di akhir tahun 1929, panggung pertunjukan film di Hindia Belanda ditandai dengan masuknya dua film bicara dari Amerika Serikat. Kedua film bicara itu berjudul Fox Follies dan Rainbow Man.
Masuknya film bicara produksi Amerika Serikat itu tentu saja mempengaruhi perusahaan film di Hindia Belanda untuk ikut memproduksi film bicara. The Teng Chun dengan perusahaan filmnya Cino Motion Pictures Corporation (CMPC) pada tahun 1931 dengan peralatan rekaman suara yang sederhana mencoba membuat film bicara berjudul Roos van Cikembang. Sebelumnya CMPC memproduksi San Pek Eng Tay.
Setelah itu diproduksi pula sejumlah film lainnya seperti film Indonesia Maleise garapan Wong Bersaudara (1931) dan film Terpaksa Menikah kerjasama Kruger dengan Tan Khoen Hian (Tan’s Film) yang diproduksi tahun 1932. 
Perkembangan berikutnya terjadi di tahun 1934, ketika seorang Indo-Belanda bernama Albert Balink yang berprofesi sebagai wartawan koran berbahasa Belanda De Locomotif membuat film berjudul Pareh di Bandung. Balink tidak sendirian, tapi mengajak Wong Bersaudara dan Mannus Franken seorang pembuat film dokumenter dari Belanda. Film Pareh yang diproduksi perusahaan film Java Pasific Film dan dibintangi Rd. Mochtar dan Soerkarsih ini merupakan film Indonesia pertama yang mendapat perhatian luas dari masyarakat pecinta film, meskipun dari segi pemasaran masih dipandang tidak terlalu berhasil.
 Cino Motion Pictures Corporation kemudian berganti nama The Java Industrial Film Co (JIF) dan pada tahun  1935 memroduksi film berjudul Lima Siloeman Tikoes. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat keturunan Cina di Batavia.
Jika film Pareh dinyatakan sebagai film Indonesia pertama yang mendapat perhatian luas dan dipuji dari segi kualitas dan ceritanya, maka film Terang Boelan yang diproduksi tahun 1937 merupakan film pertama yang terlaris dan sukses secara bisnis di pasaran. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat pecinta hiburan film ketika itu.
Film Terang Boelan digarap oleh Albert Balink bersama Wong Bersaudara dan mengajak pula seorang wartawan pribumi, Saeroen, di bawah bendera perusahaan film Algeemene Nederlands Indische Film Syindicaat (ANIF) yang didirikan di Batavia. Film yang penuh dengan nuansa romantisme, tari dan nyanyi ini dibintangi Miss Roekiah dan Rd. Mochtar. Miss Roekiah sebelumnya adalah seorang penyanyi keroncong di panggung tonel (panggung sandiwara), sedangkan Rd. Mochtar adalah bintang yang ketika itu sedang digandrungi lewat penampilan sebelumnya di film Pareh.
Kesuksesan film Terang Boelan yang berkisah tentang kehidupan masyarakat asli di pulau-pulau Laut Selatan ini kemudian menjadi pemicu perusahaan-perusahaan film yang ada di saat itu untuk memproduksi tema yang sama, dengan tujuan meraih kesuksesan dari segi pemasaran. Apalagi film Terang Bulan tidak hanya sukses di dalam negeri sendiri, tapi juga meraih sukses ketika ditayangkan di Malaya (Malaysia) dan Singapura.
Setelah film Terang Boelan, dunia perfilman di negeri kita ketika itu mengalami masa-masa menggembirakan. Masa-masa itu (1939-1942) oleh Misbach Jusa Biran disebut sebagai masa panen pertama perfilman Indonesia.
Di dalam Selintas Kilas Sejarah Film Indonesia (terbitan Badan Pelaksana FFI 1982) Misbach Jusa Biran menyatakan – Film Terang Boelan memperlihatkan bukti yang amat jelas kepada para pemilik  modal bahwa usaha pembuatan film bisa menjadi bisnis yang hebat. Maka sejak tahun 1939 mulai bermunculan perusahaan-perusahaan film baru. Semuanya berpedoman kepada pola resep yang dipakai oleh film Terang Boelan. Pasangan Roekiah-Rd. Mochtar yang namanya menjulang ke langit popularitas, juga menjadi modal dalam mendapatkan bintang bagi masing-masing perusahaan. Sejak saat ini kedudukan bintang dalam film Indonesia merupakan unsur yang amat penting, “star system” dimulai. Seperti juga Roekiah, maka semua bintang baru khususnya ditarik dari dunia tonel. Termasuk pemain panggung yang paling cemerlang saat itu, seperti Fifi Young, Tan Tjeng Bok, Rd. Ismail, Astaman dan Ratna Asmara. Bahkan kemudian semua orang panggung diangkut pula ke dunia film untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja dari produksi yang mendadak meningkat.
Tapi masa panen pertama perfilman Indonesia itu, menurut Misbach Jusa Biran, hanya berusia singkat, karena harus mendadak terhenti pada awal tahun 1942. Hal itu terjadi setelah Jepang menduduki Indonesia dan menyingkirkan kekuasaan Belanda pada Maret 1942, pemerintah pendudukan Jepang kemudian menutup semua perusahaan film.

Masa Pendudukan Jepang
Menurut Ryadi Gunawan, sejak pemerintah pendudukan Jepang berkuasa di negeri ini, kehidupan sejarah perfilman kita mengalami suasana yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Semua perusahaan film yang ada, yang sebagian besar merupakan milik orang-orang Cina, disita dan ditutup oleh pemerintah pendudukan Jepang melalui Jawa Eiga Kosha (Java Motion Picture Corporation) yang dibentuk pada bulan Oktober 1942. (Lihat – Sejarah Perfilman Indonesia, Prisma 4, 1990).
Masih menurut Ryadi Gunawan, setelah kejadian itu, untuk melaksanakan kebijaksanaan perfilman oleh pemerintah pendudukan Jepang, dibentuk dua lembaga yang berbeda fungsinya untuk menangani perfilman. Kedua lembaga itu adalah Nichi’ei/Nippon Eigasha (Japan Motion Picture Company) yang bertugas memproduksi film, dan Eihai/Eiga Haikyusha (Motion Picture Distributing Company) yang bertugas memasarkan film. Setelah terbentuknya kedua lembaga itu pada bulan April 1943, maka Jawa Eiga Kosha dibubarkan dan segala tugasnya diambil alih oleh kedua lembaga itu.
Di dalam perjalananya, Nichi’ei/Nippon Eigasha ternyata hanya memproduksi beberapa film pendek yang berisi propaganda Jepang, seperti Berdjoeang, Keseberang, dan Amat Heiho. Sedangkan Eiga Haikyusha hanya memasarkan film-film propaganda yang datang dari Jepang sendiri.  

Masa Kemerdekaan
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dunia perfilman kita memasuki babak baru, di mana semangat kemerdekaan dan rasa nasionalisme yang tinggi sangat mewarnai cerita-cerita film. Pada masa-masa inilah muncul sejumlah tokoh perfilman nasional, di antaranya dua nama terkemuka Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik.
Perkembangan dunia perfilman di tanah air kita setelah masa kemerdekaan itu oleh Misbach Jusa Biran dibagi dalam beberapa masa. Pertama, masa perang (1942-1949). Misbach memasukkan tahun 1942 karena menurutnya sejak 1942 sampai 1945 merupakan masa pendudukan Jepang, sedang 1945 sampai 1949 disebutnya sebagai masa Revolusi Fisik atau Perang Kemerdekaan. Kemudian kedua, masa bangkit dan hancur (1950-1957). Ketiga, masa penyemaian konsep ideologi (1957-1966). Dan keempat, masa perletakan landasan-landasan (sejak 1967).
Sejak masa perletakan landasan-landasan itu hingga hari ini dunia perfilman Indonesia terus mengalami masa-masa yang menarik untuk disimak dan dikaji. Pada masa-masa ini dunia perfilman Indonesia mengalami pasang surut dan naik-turun baik dari segi produksi, kuantitas dan kualitas. Sejumlah bintang dan sineas terpandang muncul di masa-masa ini. Dan, setelah era reformasi, dunia perfilman Indonesia diwarnai pula dengan munculnya sejumlah sineas dan bintang muda yang mengusung suara-suara kebebasan dalam berkarya. – (sea-3)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar