Sabtu, 03 Agustus 2013

Bulan di Atas Surau Oleh: Sutirman Eka Ardhana

Bulan di Atas Surau
Oleh: Sutirman Eka Ardhana



WAJAH bulan menyembul separuh di atas surau. Separuhnya lagi seperti sedang bersembunyi di balik dedaunan pohon karet. Daun-daun pohon karet yang meninggi di belakang surau itu bagai sedang saling berangkulan. Sedang di dalam surau, gema takbir berkumandang dengan merdunya. Sejak sehabis sembahyang Magrib, gema takbir itu tak henti-hentinya dikumandangkan para jemaah, tua maupun muda. Baik lelaki maupun perempuan.


Aku sedang berdiri di depan surau memandang wajah bulan yang tersembul separuh di balik dedaunan karet, seraya mendengarkan gema takbir yang berkumandang merdu dari dalam surau itu. Kucoba mengingat-ingat, kalau-kalau ada di antara para jemaah pelantun takbir itu yang kukenal suaranya. Ah, ternyata tidak. Tak ada satu pun yang kukenal. Semua terasa asing di telingaku.
Di mana Fikri, sahabat karibku semasa belajar mengaji di surau ini dulu?
Aku berharap mendengarkan suaranya di antara lantunan takbir itu. Suaranya yang merdu bertahun-tahun kurindukan. Di antara para murid atau santri yang belajar mengaji pada Pak Haji Dullah, hanya Fikri yang bersuara merdu ketika mengumandangkan takbir di setiap malam Lebaran tiba. Sepertinya kesemarakan bertakbir di malam Lebaran itu menjadi berkurang bila tak ada lantunan takbir yang merdu dari Fikri.
Juga di mana Khusnul, perempuan lembut bermata teduh yang suaranya pun sangat merdu dalam setiap kali melantunkan suara takbir itu?
Di mana, anak perempuan yang dulu didambakan Emak jadi menantunya, tapi kemudian kukecewakan? Di mana, perempuan yang setiap kali namanya kukenang, menimbulkan penyesalan di hatiku?
Di mana mereka? Ya, di mana Fikri dan Khusnul? Apakah mereka tidak ada di antara para jemaah yang sedang melantunkan takbir di dalam surau itu? Andaikan ada, kenapa aku tak mendengar suara mereka? Apakah suara mereka sudah berubah, tak semerdu dulu lagi? Bisa saja berubah. Kenapa tidak? Bukankah kemerduan suara Fikri, juga Khusnul itu ada pada dua puluh tahun lebih yang lalu? Ya, dua puluh tahun lebih sudah tak mendengarkan kemerduan suara mereka. Beruntun tanya seperti saling berdesakan dan bergebalau di hatiku.
Aku baru saja tiba di kampung. Aku pulang berserta isteri dan anak-anakku merayakan Lebaran bersama Emak. Sudah beberapa kali Lebaran aku tak pernah pulang. Karena kerinduan kepada Emak, kuputuskan tahun ini berlebaran di kampung. Sekaligus juga ingin melepas kerinduan kepada sesama kawan sepermainan atau kawan semasa belajar mengaji di surau dulu. Di antaranya yang ada dalam rinduku itu tentu saja Fikri, juga Khusnul.
Sehabis berbuka puasa dan sembahyang Magrib di rumah, kuputuskan untuk pergi ke surau. Aku tahu, seperti dulu setiap malam Lebaran, suasana di surau pasti lebih semarak dibanding malam-malam lainnya. Semarak dengan suara gema takbir yang dikumandangkan para jemaah atau santri-santri yang belajar mengaji di surau. Lantunan takbir yang memuji kebesaran Allah itu bagai menyelusup di celah-celah dedaunan pohon karet, dan daun-daun pohon senduduk yang tumbuh berjajar di sepanjang tepian parit. Lalu, suara takbir itu menyeruak lembut ke rumah-rumah penduduk. Dan, suasana seperti itu bertahun-tahun kurindukan.
"Saya mau ke surau, Mak," kataku kepada Emak.
"Mau sembahyang?" tanya Emak cepat.
"Ya, mau Isya dan bertakbiran di sana. Siapa tahu jumpa kawan-kawan lama di surau," jelasku.
"Mau jumpa....," timpal Emak, tapi kemudian kata-katanya terhenti begitu isteri dan anak-anakku datang.
Aku tahu, kata-kata Emak itu sesungguhnya akan bersambung. Tapi karena ada isteriku di dekatnya, ia pun tak melanjutkannya.
"Sudah ya Mak, saya ke surau dulu," kataku sambil berpikir tentang kata-kata Emak yang terputus itu.
"Ya, berangkatlah. Jangan pulang malam-malam. Kasihan isteri dan anak-anakkau ditinggal lama. Kau kan baru sampai, badan tentu masih penat," seru Emak.
"Baiklah, Mak," anggukku.
Emak benar. Badanku sebenarnya lumayan penat. Perjalanan dari Yogya sampai ke kampungku cukup memenatkan.
Tapi keinginan untuk menikmati suasana malam Lebaran di surau yang sudah lama kurindukan itu terlalu besar untuk dikalahkan oleh kepenatan badan.
Jemaah terus berdatangan ke surau. Aku benar-benar merasa asing, karena sepertinya tak ada seorang pun para jemaah yang berjalan di dekatku itu kukenal. Tak ada satu pun yang mengenalku, walau aku sudah mencoba tersenyum dengan beberapa yang kebetulan menoleh ke arahku. Hanya beberapa orang saja yang terlihat tersenyum dan menganggukkan kepala kepadaku. Sebagian besar mereka memang anak-anak muda, yang lahir jauh di belakangku. Kupikir wajar juga jika mereka tak mengenalku. Mereka mungkin mengira aku ini tamu yang sedang berkunjung, atau pendatang baru di kampung ini.
Aku masih berdiri di depan surau. Aku sengaja ingin masuk belakangan, dengan harapan ingin mencari atau bertemu lebih dulu dengan orang-orang yang masih kukenal. Ya, aku berharap di depan surau ini bertemu dengan kawan-kawan lamaku dulu seperti Fikri, dan juga Khusnul yang namanya masih saja terngiang di ingatanku.
Aku sedang memandang ke arah dedaunan karet yang menyembunyikan separuh wajah bulan itu, ketika di dekatku berjalan sepasang lelaki dan perempuan melangkah ke tangga surau. Lelaki itu mengenakan krak atau tongkat penyangga di tangan kanannya. Sedang yang perempuan menggandeng tangan kirinya.Mungkin isterinya.
Lelaki itu sudah berada sekitar tiga langkah di depanku, ketika ia menoleh ke belakang, ke arahku. Aku terkesiap. Walaupun cahaya penerangan di depan surau itu tak begitu terang, aku dapat melihat agak jelas wajahnya. Wajah itu seperti pernah kukenal. Ketika pandangan kami bertatapan, aku mencoba tersenyum. Dan, lelaki itu menghentikan langkahnya. Ia memandangku beberapa saat. Pandangannya dalam. Aku pun demikian, memandangnya dalam-dalam dengan dada berdebar.
Lelaki itu kemudian membalikkan badannya, dan berjalan ke depanku. Pandangannya masih tetap di wajahku. Serius. Aku juga memandangnya serius. Tak syak lagi! Lelaki ini sangat kukenal! Dia pasti.....
Ketika aku baru akan berteriak menyebut namanya, lelaki itu sudah terlebih dulu berseru nyaring.
"Ha.....engkau pasti Ardhan, kan?! Pasti! Pasti, tak salah lagi! Engkau Ardhan!" serunya gembira.
Beberapa jemaah di depan surau, yang terkejut mendengar suara lelaki itu langsung memandang kami.
"Dan, engkau pasti Fikri!" seruku, kerasnya.
Tanpa membuang waktu, aku langsung mendekat dan memeluknya erat-erat. Memeluk dengan penuh kerinduan. Betapa tidak. Fikri adalah sahabatku dalam suka dan duka. Sahabat sepermainan. Sahabat sepengajian.
"Beginilah aku sekarang, Ar. Kaki kananku sudah cacat. Tinggal separuh lagi. Diamputasi," katanya setelah kami saling bertanya tentang keadaan masing-masing, tentang keluarga, anak-anak, dan lain-lain.
"Kenapa bisa sampai begitu, Fik?" tanyaku.
"Beberapa tahun lalu, aku terpaksa bekerja di sebuah panglong atau perusahaan penebangan hutan. Ketika bekerja di hutan itu, aku mendapatkan musibah kecelakaan. Aku tertimpa kayu yang ditebang. Ada cabang kayu yang lumayan besar menimpa kaki kananku ini. Kakiku remuk. Karena lukanya yang parah, akhirnya ya diamputasi di rumah sakit. Dan, seperti inilah sekarang. Ke mana-mana harus pakai krak ini," urainya. Pedih hatiku mendengar kata-kata Fikri itu. Sahabat karibku, yang kemerduan suaranya ketika melantunkan adzan dan takbir sangat kukagumi, ternyata harus menjalani perjuangan hidup yang keras. Ia harus bekerja menjadi buruh penebang kayu di hutan demi menghidupi keluarga, isteri dan anak-anaknya. Pandanganku lalu beralih ke perempuan di sampingnya. Dan, wajah perempuan itu juga tak asing lagi buatku. Dia tentu saja Nurul, isterinya. Seketika aku hanyut dalam keharuan. Kalau saja cahaya separuh bulan yang tersembul di balik di dedaunan, di atas surau, sampai ke wajahku, maka akan terlihat jelas bagaimana aku menahan keharuan itu.
Baru saja aku akan berkata lagi, agar segera beralih dari keharuan itu, tiba-tiba ada suara yang mengejutkan datang dari arah belakang.
"Hei, Bang Fikri, kenapa tak masuk ke surau. Isya sebentar lagi," kata seorang lelaki di belakang aku dan Fikri. Suara itu seperti pernah kukenal.
Aku pun membalikkan badan dan memandang ke arah lelaki itu. Lelaki itu juga memandangku. Dia datang berdua dengan seorang perempuan. Perempuan di sampingnya tampak tersenyum. Ya, Tuhan! Senyum itu rasanya begitu sangat kukenal. Juga lelaki itu, wajahnya belum hilang dari ingatanku.
"Dan, ini..... kalau tak salah, pasti Bang Ardhan. Ya, ini Bang Ardhan, kan?! Bila sampai di kampung, Bang? Sudah berapa hari di sini?" beruntun tanya keluar dari mulut lelaki itu. Terus terang, aku terkesiap, sehingga tak mampu menjawab rentetan pertanyaannya itu. "Masih ingat dengan saya kan, Bang? Atau sudah lupa? Saya Hamid. Dan ini, isteri saya, Khusnul. Masih ingat kan Bang, sama Khusnul?" lagi tanyanya seraya menunjuk ke arah perempuan di sampingnya itu.
Ya Tuhan, bagaimana aku bisa melupakan keduanya. Hamid, yang keponakannya Pak Haji Dullah, guru mengajiku di surau itu, dulu juga begitu dekat denganku. Di mana ada aku dan Fikri, pasti di situ ada juga Hamid. Dan Khusnul, tak ada alasan untuk melupakannya dalam ingatanku. Dulu, dia gadis yang baik, dan teramat baik buatku. Di mataku, dia perempuan sempurna. Sangat sempurna. Terlebih lagi, dialah dulu perempuan yang didambakan Emak untuk menjadi pendamping hidupku. Emak sangat menyukainya. Sangat menginginkannya dijadikan menantu. Dan, Khusnul pun tahu akan itu, karena Emak pernah mengatakan kepadanya. Bahkan, Emak dulu sempat merencanakan akan melamarnya. Kalau saja ketika itu aku tak bilang agar Emak jangan buru-buru melamarnya, Ayah dan Emak pasti sudah melamar Khusnul. "Apa kabar, Bang? Pulang bersama keluarga? Maaf ya Bang, jangan bersalaman dulu, sudah wudlu dari rumah," kata-kata lembut Khusnul mengejutkan lamunan sesaatku.
Aku tergagap sesaat. "Minal aidzin wal faizin ya, Bang. Maaf lahir dan batin. Apalagi saya merasa dulu banyak berbuat salah dan khilaf kepada Bang Ar," sekali pun pelan dan ceria, kata-kata ini seperti menyayat di hatiku.
"Sama-sama, Nul. Abanglah mestinya yang dulu banyak salah dengan Khusnul........," kata-kataku terhenti, aku seperti kehilangan kemampuan untuk berkata lagi.
Kata-kataku terputus, karena suara muadzin melantunkan adzan sudah menggema nyaring dari dalam surau.
"Yuk kita masuk ke surau, Isya segera dimulai," kata Hamid, merangkulkan tangannya ke pundakku.
"Hamid dan Khusnul ini yang sekarang menjadi ustadz dan ustadzah di surau ini," timpal Fikri.


Wajah bulan separuh itu terlihat di atas surau, ketika kami melangkah masuk menuju ke tangga surau.
* Yogyakarta, Ramadhan 1434 H
Catatan Redaksi: (Suara Karya, Sabtu, 3 Agustus 2013)
Sutirman Eka Ardhana, lahir di Bengkalis, Riau, 27 September 1952. Sejak 1972 menetap di Yogyakarta. Menulis cerpen, puisi dan novel. Karya-karyanya yang sudah terbit di antaranya novel Surau Tercinta (Navila, 2002), Dendang Penari (Gita Nagari, 2003), Gelisah Cinta (Binar Press, 2005). Kumpulan puisi Risau (Pabrik tulisan, 1976), Emas Kawin (Renas, 1979), dan puisi-puisinya terhimpun pada sejumlah antologi puisi. *** 
 
 
 

2 komentar:

  1. Halo, Pak Sutirman. Saya ingin meminta izin untuk mencantumkan cerpen Bapak ini untuk buku pelajaran bahasa Indonesia SMA. Sekiranya Pak Sutirman berkenan?

    BalasHapus