MENCARI JATI DIRI DI TANAH KELAHIRAN
KEDUA
Sutirman
Eka Ardhana
Hidup adalah pengembaraan,
mengembara dari gelisah ke gelisah, dari sunyi ke sunyi, dari rindu ke rindu.
Dan, sebagai "anak pulau", hidup bagi saya juga ibarat sebuah jung atau sampan yang menyeberangi selat
demi selat, laut demi laut, serta menyinggahi dermaga demi dermaga, pulau demi
pulau.
"Jung"! Ya, "Jung".
Inilah judul puisi yang pertama kali saya tulis bersama empat judul puisi
lainnya. Jung adalah perahu atau
sampan kecil yang digunakan nelayan mencari ikan di laut atau selat. Selain
itu, jung juga merupakan alat
transportasi rakyat dari pulau ke pulau.
Malam itu, suatu malam menjelang
purnama pada 1968, Saya, berdua dengan seorang sahabat karib dan teman sekelas
di kelas tiga SMP Negeri I Bengkalis, Surya Dharma, duduk di ujung boom atau pelabuhan. Malam itu kami
berdua datang ke ujung boom, bukan
sekadar untuk merasakan betapa lembutnya belaian angin Selat Bengkalis yang
memisahkan Pulau Bengkalis dengan daratan Pulau Sumatera, atau sengaja menunggu
purnama yang akan menyemburatkan cahayanya cahayanya di atas permukaan air
laut. Tapi, kami berdua sengaja datang mencari inspirasi untuk menulis syair.
Ya, menulis syair. Menulis puisi!
Saya dan sahabat saya itu sedang
tergoda pada salah satu acara di Radio Singapura (harap dimaklumi, ketika itu
warga di kota saya lebih akrab dengan siaran Radio Malaysia dan Radio Singapura
daripada dengan radio nasional sendiri). Di Radio Singapura setiap minggu
sekali ada satu acara yang secara khusus menerima kiriman syair. Setiap minggu
banyak sekali syair yang masuk, dan sebagian besar pengirimnya (hampir
seluruhnya) berasal dari Malaysia dan Singapura sendiri. Dari sekian banyak
syair itu akan dipilih beberapa judul (sekitar tiga dan empat judul) yang
dikategorikan "terbaik". Selain dibacakan di udara, syair terbaik itu
juga mendapatkan hadiah berupa ringgit (dolar) Singapura. Tak hanya itu saja,
menurut sang penyiar, syair terbaik itu akan diserahkan ke pencipta lagu untuk
dijadikan syair atau lirik lagu. Dan, layaknya seniman profesional, malam itu
kami berdua datang ke ujung boom
mencari inspirasin untuk menulis syair yang akan dikirimkan ke Radio Singapura.
Ada lima judul puisi atau syair yang
saya tulis di ujung boom malam itu.
Saya ingat, tiga judul sudah selesai seluruhnya, salah satu di antaranya
berjudul "Jung". Dua puisi
lainnya berjudul "Hanya Teman Biasa" dan "Menunggu Malam"
baru berupa konsep penuh coret-coretan, yang kemudian saya selesaikan di rumah.
Dua hari kemudian kelima syair itu
saya kirimkan ke Radio Singapura. Tak lama menunggu, dua minggu kemudian salah
satu dari kelima syair itu pun mengudara di Radio Singapura. Syair atau puisi
yang berjudul "Hanya Teman Biasa" dinyatakan sebagai salah satu syair
terbaik minggu itu dan berhak mendapatkan hadiah.
Saya sesungguhnya mengunggulkan
serta mengharapkan "Jung" dan "Menunggu Malam" yang bisa
mengudara di Radio Singapura itu. Tapi, tampaknya redaktur di acara Radio
Singapura itu menilai puisi "Hanya Teman Biasa" yang lebih layak dan
mengena bila dijadikan lirik lagu.
***
Perkenalan saya dengan dunia sastra
sudah diawali sejak kecil meskipun baru sebatas berkenalan dengan pantun.
Pantun Melayu, yang disebut sebagai salah satu bentuk puisi lama itu, sudah
merasuk ke dalam denyut kehidupan, sejak saya mulai mengenal arti dan makna
kata-kata.
Di bangku sekolah, terutama saat di
SMP, perkenalan dan pemahaman saya tentang dunia sastra agak sedikit meluas.
Melalui pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, saya mulai mengenal Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji
(1808-1873), yang merupakan sastrawan Melayu Riau terkemuka itu. Terlebih lagi,
saya berulang kali disuruh maju ke depan kelas untuk membacakan Gurindam Dua Belas tanpa boleh melihat
teks tulisannya. Menghafal Gurindam Dua
Belas seakan-akan merupakan sesuatu yang wajib. Kemudianj, saya pun mulai
mengenal nama sastrawan seperti Suman Hs, Amir Hamzah, Chairil Anwar, hingga ke
novelis N.H. Dini.
Suman Hs adalah sastrawan atau
pengarang Pujangga Baru yang berasal dari Bengkalis, kota kelahiran saya itu.
Bagi saya, sungguh sesuatu yang luar biasa, dari kota kecil yang terpencil
sunyi di pulau kecil bernama Bengkalis itu, pada masa jauh sebelum kemerdekaan
telah muncul seorang pengarang yang memperkenalkan nama Bengkalis melalui
karyanya. Salah satu roman karya Suman Hs yang terkenal dan menjadi kesukaan
saya adalah Menangkap Pencuri Anak
Perawan.
Tentang N.H. Dini, saya punya
catatan khusus tentang novelis dan cerpenis kelahiran Semarang ini. Kalau ada
yang bertanya karya prosa apa yang sangat berkesan dan berarti bagi saya, saya
akan menjawab, "Novel Menangkap
Pencuri Anak Perawan karya Suman Hs dan kumpulan cerpen Dua Dunia karya N.H. Dini."
Di kota saya, Bengkalis, hanya ada
satu toko buku (waktu itu). Tokonya kecil dan sederhana. yang terletak di
deretan toko-toko kecil, tak begitu jauh dari kawasan boom atau pelabuhan. Toko buku kecil itu hanya menjual buku
pelajaran sekolah, buku tulis dan perlengkapan sekolah lainnya. Tapi, suatu
hari pada 1968, saya melihat beberapa novel dan kumpulan cerpen terpajang di
etalasenya. Entah mengapa, saya hanya tertarik pada kumpulan cerpen Dua Dunia karya N.H. Dini yang
diterbitkan oleh salah satu penerbit di Bukittinggi, Sumatera Barat (CV
Nusantara). Menangkap Pencuri Anak
Perawan dan Dua Dunia merupakan dua
karya sastra yang pertama kali saya baca secara utuh di luar karya puisi Gurindam Dua Belas serta sejumlah puisi
karya Amir Hamzah dan Chairil Anwar.
Karya-karya sastra itu hanya saya
baca, saya kagumi, dan semua pesan ceritanya saya resapi dalam-dalam. Jujur
saya akui, karya sastra itu memang mampu menanamkan rasa cinta dan suka
terhadap sastra, tetapi belum membuat saya gelisah untuk mencoba terlibat di dalamnya.
Kalau boleh berterus terang dan
berkata jujur, sesungguhnya acara pengiriman syair di Radio Singapura itulah
yang pertama kali membuat saya gelisah berhari-hari dan membakar semangat untuk
menulis. Menulis! Ya, menulis syair atau puisi! Acara di radio itu pula yang
membuat saya rela berjam-jam duduk duduk di ujung pelabuhan, berdingin-dingin
memandang laut, memandang riak gelombang yang keemasan diterpa cahaya purnama,
dan memandang jung-jung menjauh dan
hilang di kegelapan malam, demi mencari inspirasi untuk menulis puisi.
"Jung" dan "Hanya
Teman Biasa" memang telah mengawali pengembaraan sekaligus kegelisahan
saya dalam bergelut dengan dunia sastra. Dan, "Jung" pulalah yang
telah membawa saya untuk berlayar dan mengembara ke tempat yang lebih jauh lagi
***
Setamat SMP saya meninggalkan kota
kelahiran, Bengkalis. Saya berangkat ke Jawa dengan tujuan untuk melanjutkan
sekolah. Sebelum sampai di Yogya, saya "berhenti" di Kebumen, sebuah
kota kabupaten di Jawa Tengah. Tiga tahun saya tinggal di kota ini, yakni tahun
1969 sampai 1971.
Tahun pertama tinggal di Kebumen,
gairah menulis yang telah muncul semasa masih di Bengkalis seakan padam. Saya
tidak berbuat apa-apa. Baru di tahun kedua, keinginan atau gairah untuk menulis
itu kembali muncul. Ini semua berkat saja baik sahabat saya, Yunus Esbe (alm),
asal Yogyakarta, yang setiap kali datang dari Yogya selalu membawakan majalah Basis, dan sejumlah buku sastra.
Saya kembali gelisah. Kembali
gelisah untuk menulis. Saya kembali mencoba menulis puisi. Ketika itu sebuah
mingguan terbitan Bandung yang terpajang di kios koran menarik perhatian saya.
Di mingguan itu (saya lupa namanya) terdapat rubrik sastra yang memuat cerpen
dan puisi. Kemudian, puisi-puisi saya pun sering muncul di mingguan tersebut.
Kegelisahan untuk kembali menulis
itu membuat saya dikirim oleh sekolah untuk mengikuti lomba mengarang tingkat
SMTA se-Kabupaten Kebumen. Hasilnya sungguh menggembirakan. Saya menang di
tingkat kabupaten. Lantas kemudian, saya dikirim ke Semarang untuk mengikuti
lomba mengarang tingkat SMTA se-Jawa Tengah mewakili Kabupaten Kebumen.
Setamat sekolah di Kebumen, saya
mengembara di Yogyakarta. Saya mengawali pengembaraan di Yogya pada 1972.
Yogya, dengan segala desah dan warna kehidupannya telah membuat mata kehidupan
saya menjadi terbuka lebih lebar dan luas. Yogya, dengan segala senandung,
lenggang-lenggok dan liukan kehidupannya telah membuat pengembaraan saya
menjadi lebih berarti. Saya menemukan sesuatu di sini, menemukan sesuatu yang
sangat berarti bagi kehidupan.
Di Yogya saya menemukan banyak hal
yang sebelumnya sulit didapatkan. Di kota ini seorang "anak pulau"
seakan menemukan lagi jung baru yang
bisa membawa gelisahnya mengembara ke mana-mana, dan "berlayar" ke
"pulau-pulau" yang sebelumnya tak pernah mampu diraih. Saya menemukan
berbagai prasarana dan sarana yang bisa mendukung kegelisahan serta semangat
untuk menulis menjadi semakin menyala. Di sini tersedia beragam media yang bisa
menampung semua kegelisahan itu, dan salah satu di antaranya mingguan Pelopor Yogya.
Setelah beberapa bulan tinggal di
Yogya, saya pun mulai berkirim karya ke Pelopor
Yogya dan terlibat di dalam komunitas Persada Studi Klub (PSK) yang diasuh
Umbu Landu Paranggi itu. Umbu dengan PSK-nya, tidak hanya membuat seorang
"anak pulau" menemukan dunia baru dalam kehidupannya yang sebelumnya
sunyi dan terpencil jauh dari kehiruk-pikukan. Tapi juga lewat
'perbincangan-perbincangan malam' di sepanjang Malioboro, telah membuat
mengenal arti dan makna kehidupan yang lebih luas, membuatnya lebih memahami
arti keberagaman dan perbedaan, serta membuatnya mampu menghormati
keanekaragaman budaya yang ada.
Pada 1973 saya sempat pulang
sebentar ke kota kelahiran, Bengkalis. Di luar dugaan, saya menemukan kembali
buku tulis yang berisi tulisan puisi "Jung" serta empat puisi lainnya
yang ditulis di ujung boom itu. Buku
tulis itu sudah lusuh dan terhimpit di buku-buku bekas lainnya di lemari tua.
Puisi-puisi itu saya bawa ke Yogya.
Dan, khusus untuk puisi "jung" sengaja saya tulis ulang. Kemudian,
saya kirimkan ke Pelopor Yogya untuk
dimuat di lembaran PSK. Dan, untuk mengesankan Umbu kalau puisi itu merupakan
karya yang baru, saya mengubah waktu penulisannya menjadi Nopember 1973. Puisi
"Jung" itu pun kemudian dimuat pada Pelopor Yogya edisi 3 Februari 1974.
Jung
Jung yang mungil
memukau suara laut
di silir senja hari
Jung yang mungil
kau bawa dukaku
ke laut biru
Bengkalis, Nop. 1973
Dengan "Jung" saya berlayar
sampai ke Yogya, yang kemudian saya yakini menjadi kota kelahiran kedua. Karena
di kota ini, melalui pergulatan yang penuh kesan dan sarat arti di Persada
Studi Klub, saya berproses dalam menemukan jati diri. ***
Yogya,
April 2007
(Tulisan ini terhimpun di dalam buku
"ORANG-ORANG MALIOBORO",
Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta, 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar