Sabtu, 26 September 2015

Fotografi Jurnalistik (2) -



Pertemuan ke-2

Memahami Profesi Fotografer/Wartawan foto


            FOTOGRAFER adalah sebutan bagi seseorang yang bekerja sebagai ‘juru foto’, baik di media massa (pers), institusi-institusi tertentu, studio foto, maupun yang bekerja secara perorangan.
Sejak tahun 1800-an, ketika fotografi terus memainkan perannya yang sangat berarti bagi kehidupan manusia, sejak itu pula profesi fotografer mulai menapakkan kakinya dan menanamkan eksistensinya dalam kehidupan. Seiring perkembangan zaman dan teknologi, dari waktu ke waktu, profesi fotografer semakin diakui keberadaannya. Bahkan kini, profesi fotografer sudah mendapat tempat yang sejajar dengan profesi-profesi lainnya, seperti guru, advokat, notaris, dokter dan lainnya.
Sebagaimana halnya fotografi yang kini telah merambah ke berbagai bidang kehidupan manusia, profesi fotografer pun kini telah memainkan perannya yang besar dan sangat berarti dalam berbagai bidang kehidupan manusia tersebut. 

                                   Salah satu resiko kerja wartawan. (www.wartanews)

Sejak fotografi diyakini telah menjadi media atau alat untuk memvisualisasikan ide, maka fotografi pun semakin diyakini pula telah menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dalam aktivitas penyampaian gagasan. Bila gagasannya untuk mengemukakan nilai-nilai estetika atau hal-hal yang bernuansa keindahan, maka ia akan menjadi fotografi seni. Apabila gagasannya berkaitan dengan kepentingan bisnis atau komersial, maka ia disebut fotografi komersial.
Kemudian bila gagasannya berkaitan dengan mendokmentasikan sesuatu atau menyampaikan informasi yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa aktual, ia pun menjafi  fotografi jurnalistik. Sedangkan bila gagasannya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian dan semacamnya, maka ia menjadi fotografi ilmiah.
Jadi, sebagai media penyampaian gagasan atau ide, maka fotografi bisa dibagi dalam empat bidang garap, yaitu: 1) fotografi seni (art); 2) fotografi komersial; 3) fotografi jurnalistik; 4) fotografi ilmiah.
Dengan demikian, sesuai bidang garapnya tersebut, maka fotografer pun dikelompokkan  pada empat kelompok, masing-masing: 1) fotografer seni; 2) fotografer komersial; 3) fotografer jurnalistik (wartawan foto/jurnalis foto); 4) fotografer ilmiah.
Melihat pada empat kelompok tersebut, maka sangatlah jelas bahwa bidang garap atau ‘lapangan kerja’ bagi profesi fotografer kini tersedia amat luas.
Namun yang paling menonjol, karena memiliki keterkaitan dan hubungan sangat erat dengan kebutuhan serta dinamika kehidupan manusia sekarang ini adalah fotografi komersial dan fotografi jurnalistik. Sedang khusus untuk fotografi seni (art), sesuai dengan kepentingan dan peruntukannya maka karya-karyua dari fotografi seni itu sekarang bisa masuk ke fotografi komersial dan fotografi jurnalistik.

          Fotografer Komersial

Sekarang ini lahan garap fotografi komersial atau bidang kerja yang bisa dimasuki fotografer komersial sangatlah luas dan beragam. Haruslah diakui, bahwa dewasa ini tidak ada satu pun bidang usaha atau bisnis yang tidak memerlukan ‘jasa’ atau ‘uluran tangan’ fotografi. Dengan kata lain, tidak ada usaha atau bisnis yang sukses tanpa dukungan fotografi, atau tanpa keterlibatan profesi fotografer.
Lahan garap fotografi komersial yang luas dan merupakan ‘ladang kerja’ potensial bagi profesi fotografer itu di antaranya: fotografi periklanan, fotografi fashion, fotografi pemandangan dan wisata, fotografi arsitektur, fotografi industrial, fotografi pernikahan, wisuda, dan nbanyak lainnya lagi.

          Fotografer Periklanan

Fotografi perikalanan adalah fotografi yang mengkhusukan spesialisasinya pada dunia periklanan. Dunia periklanan memberikan lahan yang sangat luas dan lebar bagi para fotografer untuk mengembangkan kemampuan dan kreasinya. Hal ini dikarenakan, tidak ada satu usaha pun yang tidak menggunakan media periklanan dalam memperkenalkan produknya kepada masyarakat. Fotografi memiliki peran sangat besar dan penting bagi dunia atau media periklanan dalam menyuguhkan sebuah karya iklan yang mampu menarik perhatian masyarakat.
Hampir semua produk iklan memerlukan jasa fotografi. Misalnya, produk iklan busana, makanan, minuman, kerajinan, peralatan elektronik, mobil, perhiasan, rumah, apartemen, dan lain sebagainya, memerlukan dukungan kerja fotografi. Karya-karya fotografi itu diyakini memiliki daya tarik yang sangat tinggi bagi masyarakat, sehingga tertarik terhadap produk yang ditawarkan.
Karena prinsip utama iklan adalah menarik perhatian masyarakat sehingga kemudian tertarik untuk memilikinya, maka seorang fotografer yang ingin menggeluti dunia fotografi periklanan haruslah memiliki wawasan atau pengetahuan mengenai ilmu ekonomi terutama yang berhubungan dengan teori-teori pemasaran. Selain menguasai prinsip-prinsip pemasaran, fotografer periklanan juga harus memiliki kepekaan yang cukup tinggi terhadap nilai-nilai estetika.
Pengetahuan tentang nilai-nilai estetika tersebut sangat penting, karena foto-foto iklan tidak hanya punya nilai inmformasi bisnis tapi juga harus sarat dengan nuansa keindahan. Karena nuansa keindahan itu akan lebih menggoda emosi seseorang yang melihat sajian foto dalam produk iklan tersebut.

          Fotografer Fashion

Salah satu jenis fotografi komersial yang memiliki daya tarik serta pesona cukup tinggi adalah fotografi fashion atau busana. Meskipun layak dikelompokkan di dalam kategori fotografi periklanan, namun karena ‘penggarapan’ foto-foto fashion memiliki kekhususan yang tersendiri dibanding produk iklan lainnya, maka fotografi fashion menjadi bidang garap yang tersendiri.
Foto-foto fashion  dewasa ini tidak lagi befrbentuk foto-foto produk, tapi telah berkembang menjadi suatu aliran dalam dunia fotografi yang mengutamakan atau mengedepankan segi artistik atau nilai-nilai estetika yang tinggi. Dalam fotografi fashion, obyek pemotretannya tidak hanya mode busana, tapi juga model yang mengenakan busana atau fashion tersebut. Karena itulah di dalam fotografi fashion, nilai-nilai artistik yang dikedepankan haruslah mewakili rancangan fashion atau busana itu sendiri yang menawarkan ide maupun konsep-konsep cemerlang, disamping ttata make-up dan rambut model (pergawati yang memeragakannya), tata gaya, tata ruang serta tehnik fotografi, dan llain-lainnya yang menghadirkan nilai-nilai keindahan.
Di dalam foto fashion, detail busana sangatlah penting untuk ditampilkan. Detail busana yang ditampilkan dimulai dari bahu hingga ke ujung kaki model yang mengenakannya. Wajah model serta latar-belakang dari posisi model itu berada juga memiliki peran arau fungsi yang sangat esensial dalam menonjolkan busana yang dikenakan hinga menghadirkan pesona tinggi.
Dalam bekerja, fotografer fashion tidak bisa bekerja secara sendiri tanpa dukungan pihak lain. Untuk menghasilkan foto fashion yang baik, sang fotografer harus selalu berhubungan dengan perancang mode (desaigner), fashion stylist yang menata keserasian mode busana yang dikenakan modelnya. Selain itu juga akan bekerjasama dengan make-up artis yang  membuat seorang model menjadi terlihat cantik dan penuh pesona.
Fotografer apa pun  pasti akan bekerja berdasarkan konsep dan ide. Jadi, fotografer tidak semata-mata bertumpu pada kemampuan atau keterampilannya dalam tehnik fotografi semata. Karena itulah fotografer fashion dalam melaksanakan kerja profesinya juga bekerja berdasarkan konsep, ide serta fashion itu sendiri.
Konsep dan ide di dunia fotografi fashion sekarang ini sangat cemerlang. Konsep-konsep dan ide-ide cemerlang itu telah membuat batas antara  sebuah foto porno, art nude san foto-foto yang menghadirkan nilai-nilai kesopanan serta etika sudah tidak terlihat lagi.
Konsep dan ide fotografi fasion kebanyakan memang terkesan mengarah pada kecenderungan mengeksploitasi seks. Hal seperti ini terjadi, d barangkali dikarenakan seks memang dipandang atau diyakini sebagai sumber inspirasi dalam kehidupan yang tidak pernah ada habisnya.

          Fotografer Pemandangan dan Wisata

Indonesia merupakan negeri yang kaya dengan obyek wisata serta kaya akan pemandangan alam yang indah. Kekayaan obyek wisata dan panorama alam yang indah tersebut membuat Indonesia selalu didatangi para turis atau wisatawan dari  berbagai penjuru dunia.
Kekayaan obyek wisata dan keindahan alam yang ada itu merupakan ‘lahan potensial’ bagi para fotografer yang memang ingin mengkhususkan dirinya pada fotografi pemandangan dan wisata ini. ‘Lahan subur’ ini tentu memberikan nilai komersial yang menarik bagi para fotografer. Dengan kata lain, kekeyaan obyek wisata dan keindahan alam yang dimiliki negeri kita itu merupakan ‘tambang emas’ yang tidak akan pernah habis digali.
Keindahan panorama alam yang merupakan ‘tambang emas’ itu berupa keindahan pemandangan daratan (pandscape), keindahan pemandangan pantai dan laut (seascape), keindahan pemandangan gunung atau pegunungan dan dataran tinggi (mountainscape), serta keindahan pemandangan alam bawah laut (unerwater world). Keindahan alam ini diperkaya lagi dengan banyaknya obyek wisata yang bertebaran di seluruh pelosok tanah air.
Foto-foto yang merekam panorama keindahan alam itu bisa dijadikan ‘komoditi’ yang menguntungkan. Misalnya, bisa dijadikan kartu pos maupun souvenir-souvenir yang menarik bagi wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik.
Sekalipun fotografi pemandangan dan wisata masuk dalam kategori fotografi komersial, namun karena foto-foto pemandangan dan wisata juga sarat dengan tampilan nilai-nilai estetika yang tinggi, maka dapat juga masuk ke dalam kelompok fotografi seni. Disamping itu, karena foto-foto pemandangan dan wisata merupakan foto-foto yang mampu ‘bercerita’ kepada khalayak penikmatnya, maka dapat pula menghiasi media-media massa cetak.
Seorang fotografer pemandangan dan wisata adalah seseorang yang dituntut untuk memiliki kepekaan maupun rasa seni yang tinggi. Selain itu, hal yang harus dipahami oleh setiap fotografer pemandangan dan wisata adalah pemandangan-pemandangan indah yang akan menjadi obyek jepretan komeranya itu memiliki sejumlah unsur penting, seperti tanah (hamparan padang, gurun, perbukitan dan gunung), air (laut, pantai, danau atau telaga, danm sungai), tumbuhan (pepohonan, hamparan hutan, rumput) dan langit (awan serta cuaca).

          Fotografer Arsitektur

‘Ladang kerja’ yang menarik lainnya bagi fotografer komersial adalah fotografi arsitektur. Sesuai dengan namanya maka fotografi arsitektur akan mengambil obyek pemotretannya karya-karya arsitektur.
Obyek kerja fotografer arsitektur ini cukup bervariasi atau beragam. Diantaranya, bangunan-bangunan perkantoran, mall, kondominium, apartemen, rumah, bangunan masjid, candi, gereja, bangunan keraton atau istana, jembatan layang, rumah-rumah tradisional, dan banyak lainnya lagi.
Nilai jual bagi foto-foto arsitektur tersebut cukup tinggi, dikarenakan banyak diperlukan oleh kalangan arsitek. Fotografi arsitektur tidak hanya menghasilkan foto-foto tentang beragam bentuk bangunan saja, akan tetapi yang paling utama adalah mampu menghadirkan informasi mengenai dunia arsitektur yang diperlukan oleh kalangan arsitek tersebut.
Foto-foto arsitektur tidak hanya penting dalam upaya perkembangan dunia arsitektur, tapi juga dimanfaatkan oleh para arsitek, organisasi-organisasi profesi arsitek maupun lembaga-lembaga terkait untuk kegiatan-kegiatan seperti kompetisi arsitektur dan lain-lainnya lagi.
Foto-foto arsitektur juga memiliki peran besar bagi studi arsitektur. Selain itu foto-foto arsitektur dapat digunakan untuk portfolio dan promosi oleh kalangan arsitek, perancang interior, kontraktor, sub-kontraktor, sampai pemasok eleman bangunan maupun elemen interior. Nilai jual lainnya, foto-foto arsitektur dapat pulka dijadikan media promosi. Misalnya, pengelola hotel. Restoran, pusat-pusat perbelanjaan, apartemen dan lain-lainnya lago, bisa menggunakan foto-foto dengan obyek bangunannya dalam promoso usahanya ke masyarakat.

Wartawan Foto
Fotografer yang bekerja di bidang jurnalistik selalu disebut dengan wartawan foto atau jurnalis foto, belakangan ini sering juga disebut pewarta foto. Karena bekerja di bidang jurnalistik, maka tugas wartawan foto adalah mencari dan kemudian menyampaikan informasi (berita) tentang suatu peristiwa ke publik melalui karya foto (fotografi).
Kebanyakan media pers cetak, seperti surat kabar, tabloid dan majalah, memiliki wartawan foto secara khusus. Tugas utama wartawan foto itu bukan menulis atau membuat berita, melainkan ia hanya bertugas memotret suatu peristiwa, kemudian karya foto yang memiliki nilai atau pesan informasi itu disampaikan ke publik. Karena itulah, hingga hari ini di media pers cetak, masih dikenal istilah wartawan tulis dan wartawan foto.
Akan tetapi seiring perkembangan dan kemajuan teknologi sekarang ini, terutama yang berkaitan dengan teknologi kamera (peralatan fotografi), pemisahan antara wartawan tulis dengan wartawan foto itu semakin kabur. Kini, ada semacam ketentuan baru dalam kerja kewartawanan, bahwa dewasa ini setiap wartawan (jurnalis) haruslah memiliki kemampuan memotret. Terlebih kini peralatan kamera (peralatan untuk memotret) bukan lagi peralatan yang sulit untuk dimiliki.
Dewasa ini seiring dengan kecanggihan teknologi komunikasi, peralatan kamera pun telah menjadi bagian yang menyatu dalam beragam bentuk dan model peralatan komunikasi. Padahal, dalam kehidupan modern sekarang ini, siapa pun kini dapat dipastikan memiliki beragam bentuk peralatan komunikasi tersebut, seperti hand-phone dan sejenisnya yang lain. Jadi kini, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa hampir setiap orang yang tidak mau ketinggalan dengan kehidupan 'komunikasi modern' selalu membawa 'kamera' dalam setiap aktivitas kehidupannya.
Jika setiap orang kini bisa membawa 'kamera' kemana pun dalam aktivitas diri, tentunya para wartawan yang bergelut dalam kerja menyampaikan informasi tersebut haruslah memiliki kualitas dan kapasitas yang lebih dari sekadar 'membawa kamera'.
Jelaslah, bahwa kini setiap wartawan tak hanya dituntut memiliki kemampuan menulis berita saja, tetapi juga harus memiliki keterampilan dalam memotret. Sehingga ketika dalam aktivitas kerja profesinya, peristiwa yang akan diinformasikannya ke publik tak hanya sekadar informasi berita, tetapi dilengkapi dengan informasi foto, yang akan membuat informasi itu menjadi lebih menarik dan lengkap.   
Untuk lebih jelasnya, sebaiknya perlu dipahami lebih detail lagi apa yang sesungguhnya yang disebut wartawan, yang wartawan foto juga termasuk di dalamnya.
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan wartawan?
Wartawan  adalah sebutan untuk seseorang yang melakukan kerja jurnalistik. Kerja jurnalistik yang dimaksud tidak hanya terbatas di media pers cetak seperti surat kabar atau pun majalah, tetapi juga di media elektronik, maupun sejenisnya yang lain.
Di dalam Pasal 1 ayat 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers disebutkan bahwa wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Sebelumnya pada Pasal 1 ayat 1-nya disebutkan secara jelas bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai salah satu organisasi profesi kewartawanan di dalam Peraturan Dasar organisasinya menyatakan bahwa yang disebut dengan wartawan adalah yang melakukan profesi kewartawanan sebagaimana di maksud di dalam Pasal 7 ayat 4 (Pasal 7 ayat 3 PD PWI). Sedang Pasal 7 ayat 4-nya menyebutkan, kewartawanan adalah kegiatan yang sah berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran fakta dan pendapat dalam bentuk berita, ulasan, gambar dan karya jurnalistik lain bagi media massa.
Dulu, wartawan hanya dikelompokkan dalam dua kelompok, kelompok wartawan media cetak dan kelompok wartawan media elektronik (televisi dan radio). Tapi seiring perkembangan teknologi dengan munculnya media online, sekarang kelompok wartawan bertambah lagi dengan wartawan media online.
Wartawan media cetak dapat pula dibagi menjadi dua bagian, yakni wartawan tulis dan wartawan foto. Wartawan tulis memiliki tugas dan kewajiban membuat berita atau melaporkan secara tertulis hasil kerja kewartawanannya. Misalnya, hasil liputan terhadap suatu peristiwa, atau pun hasil wawancara dengan nara sumber. Sementara wartawan foto, tugas utamanya adalah melaporkan informasi melalui foto (karya fotografi).
Floyd G. Arpan, guru besar Ilmu Pengetahuan Pers Universitas Indiana, AS, dalam bukunya “Toward Better Communications” membagi wartawan dalam dua golongan. Pertama, wartawan yang bertugas mencari berita atau mengumpulkan berita (data serta informasi). Kedua, wartawan yang membuat atau mengerjakan berita.
Akan tetapi di Indonesia, pada umumnya wartawan di berbagai surat kabar atau media pers lainnya adalah wartawan yang mencari berita, sekaligus membuat atau menulisnya.
Seseorang yang menjadi wartawan berarti ia masuk ke dalam kesibukan ‘ dunia yang penuh tantangan’. Memutuskan diri untuk bekerja dalam dunia kewartawanan  berarti seseorang sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi segala resiko, tantangan dan hambatan, serta kesulitan yang siap menghadang di depan.
Kerja kewartawanan tidak hanya cukup memerlukan kemampuan atau keterampilan dalam menulis serta membuat berita saja. Disamping kterampilan dalam merangkai kata demi kata, dan memiliki kemampuan berbahasa yang baik, kerja kewartawanan memerlukan pula keberanian moral, serta keteguhan sikap.
Pekerjaan mencari berita dan kemudian membuatnya bukanlah hal yang mudah, sebagaimana dibayangkan sementara orang. Disamping kerja mencari berita itu menguras tenaga, pikiran dan perasaan, seorang wartawan selain dituntut mampu mempergunakan seluruh inderanya juga dipaksa untuk dapat memainkan ‘mata hati’nya. “Mata hati’ itu memiliki peran penting, dalam menentukan sikap bagaimana harus menulis atau menyampaikan suatu informasi yang diperoleh, atau juga menentukan apakah sesuatu itu layak atau tidak untuk dipublikasikan ke publik.
Janganlah menjadi wartawan yang mencari (meliput) berita atau peristiwa yang bila ditinjau dari dimensi persepsi hanya sekadar berita dari hasil penginderaan, penglihatan dan pendengaran saja dengan tidak menyertakan aspek emotif di dalamnya.
Wartawan yang hanya mampu mencari atau membuat berita seperti itu, oleh Daniel Lev dijuluki sebagai teknolog dalam hal tulis menulis, tetapi bukan seorang jurnalis (wartawan).
Hasil kerja wartawan yang ‘teknolog’ itu hanya sekadar informasi semata bagi publik pembaca, akan tetapi tidak membawa dampak-dampak positif. Wartawantipe ini lebih pantas pula disebut sebagai ‘wartawan tukang’. Karena pekerjaannya hanya sekadar ‘tukang’ pembuat berita.
Padahal media pers di era seperti sekarang ini memerlukan wartawan yang bukan hanya sekadar ‘wartawan teknolog’ atau ‘wartawan tukang’. Pers sekarang memerlukan wartawan yang mampu mengajak masyarakat tergugah, tergerak dan terbakar semangatnya untuk berpartisipasi dalam gerak perkembangan, kemajuan dan pembangunan di segala bidang melalui pemberitaan-pemberitaannya. Wartawan harus mampu menggugah masyarakat untuk berpartisipasi dalam gerak ‘pembangunan kehidupan’ di bidang apa pun, seperti pembangunan di bidang agama, hukum, ekonomi, pertanian, industri, kelestarian lingkungan, sosial-budaya, politik, dan sebagainya.
Untuk mampu menjadi wartawan (jurnalis) dan bukan hanya ‘wartawan teknolog’, wartawan haruslah bisa mendalami serta menghayati suatu perkembangan yang ada di dalam kehidupan masyarakat serta melihatnya dengan ‘mata hati’ yang dalam. Dengan kata lain, wartawan harus mampu mengkorelasikan suatu permasalahan atau gejala sosial dengan berbagai aspek.
Wartawan bukanlah profesi yang sederhana. Bahkan, Jakob Oetama menyebut dan mengelompokkan wartawan sebagai kelompok avant-garde. Menurutnya, wartawan menjadi komunikator di antara kelompok-kelompok masyarakat yang majemuk. Menjadi komunikator antara pemerintah dan masyarakat. Menjadi penggerak dan pengecam (Lihat “Apa Maunya Wartawan?” dalam Drs T. Atmadi (ed.), Bunga Rampai Catatan Pertumbuhan dan Perkembangan Sistem Pers Indonesia, Pantja Simpati, Jakarta, 1985).

Wartawan Profesional
Menjadi wartawan yang baik dan professional tentu merupakan idaman setiap wartawan pemula. John Hohenberg dalam bukunya “The Professional Journalist” mengemukakan, wartawan yang baik atau professional adalah wartawan yang dapat bergerak cepat, tepat dan sigap namun tenang. Ia cepat mengerti peristiwa (sumber informasi), tidak hanya melihat peristiwa apa yangt terjadi, tetapi juga meneliti mengapa hal itu terjadi dan bagaimana pula kelanjutannya nanti.
Kemudian ia memiliki pandangan luas, tegas dan praktis, berpandangan mendalam, selalu berhati-hati tapi tidak bimbang. Memiliki cara berpikir bebas tapi bertanggjungjawab, selalu sistematis tapi bukan teks book. Dan yang terpenting, ia bekerja lebih banyak dibanding berita atau tulisan yang dibuatnya.
Sedang Floyd G. Arpan memberikan lima syarat kepada wartawan untuk bisa menjadi wartawan yang professional. Kelima syarat itu meliputi: menguasai bahasa, mengetahui jiwa kemanusiaan, berpengetahuan luas, punya kematangan pikiran dan punya ketajaman pikiran (Lihat – Floyd G. Arpan, Wartawan Pembina Masyarakat, Binacipta, Bandung, 1970).

1.      Penguasaan Bahasa
Bagi setiap wartawan atau jurnalis, penguasaan terhadap bahasa memang merupakan syarat yang utama. Sebab tanpa menguasai bahasa, maka wartawan tidak akan mampu menulis atau membuat berita dengan baik. Untuk itu, wartawan harus memahami bahasa, mengetahui atau mengerti tentang segala aspek bahasa, serta pemakaiannya dan kaya akan perbendaharaan kata.
2.      Mengetahui Jiwa Kemanusiaan
Semula ada kesan, keharusan mengetahui jiwa kemanusiaan sebagai sesuatu yang berlebihan bagi wartawan. Karenanya muncul pertanyaan – “Apakah wartawandiharuskan juga belajar dan membaca buku tentang Ilmu Jiwa dan memperdalam psikologi?”
Sesungguhnya keharusan mengetahui jiwa kemanusiaan itu bukanlah hal yang berlebihan. Meski dipandang ‘berat’, tapi setiap wartawan mempunyai kewajiban untuk mengetahui dan mengerti tentang Ilmu Jiwa tersebut. Sebab, pengetahuan jiwa kemanusiaan akan sangat penting dan sangat mendukung keberhasilan kerja kewartawanan setiap wartawan.
Dalam tugas dan kerjanya sehari-hari, wartawan selalu berjumpa atau berhadapan dengan masyarakat dari segala macam lapisan maupun status sosial. Sejak dari lapisan masyarakat kelas atas, sampai ke lapisan paling bawah. Dari pejabat tinggi, sampai ke pengemis, dan pelacur di jalanan.
Di dalam kerjanya, wartawan akan selalu menghadapi reaksi-reaksi yang muncul dari tengah-tengah masyarakat. Misalnya, reaksi seorang menteri, pejabat pemerintahan, pengusaha terpandang, seniman terkemuka, artis film kenamaan, koruptor, penjahat kelas kakap, sampai ke pekerja seks komersial (PSK) murahan, ketika berhadapan dengan wartawan yang memerlukan sesuatu keterangan atau mewawancarainya.
Banyak wartawan (terutama yang pemula) gagal dalam usahanya mengorek atau memperoleh keterangan dari seseorang yang dikehendakinya. Kegagalan itu terjadi bukan dikarenakan persoalan yang wajar (misalnya yang bersangkutan tidak ada), tetapi lebih banyak disebabkan si wartawan tidak berhasil memahami atau mengerti bagaimana kejiwaan orang yang dihadapinya tersebut.
3.      Berpengetahuan Luas
Syarat terpenting lainnya bagi wartawan adalah berpengetahuan luas. Wartawan dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas, tidak saja pada bidang atau permasalahan kerja yang dihadapi, tetapi juga pada masalah-masalah umum lainnya.
Salah satu cara paling efektif bagi wartawan, rajin mengikuti perkembangan dunia dan rajin pula membaca buku-buku pengetahuan yang bermutu. Wartawan tidak hanya cukup lena dengan buku-buku tentang jurnalistik atau komunikasi saja, tetapi harus juga berusaha mendalami buku-buku pengetahuan lainnya. Seperti buku-buku tentang masalah kesehatan (kedokteran), hukum, ekonomi, politik, kebudayaan, seni, sosiologi, pertanian, lingkungan hidup, psikologi, ruang angkasa, agama, dan lain-lainnya.
Apabila seorang wartawan mendapat spesialisasi sebagai wartawan hukum atau wartawan kriminalitas, tentunya ia harus mempersiapkan diri dengan pengetahuan tentang beragam permasalahan hukum, undang-undang maupun kriminologi. Sehingga ketika si wartawan akan mewawancarai seorang ahli hukum atau praktisi huku, persiapan yang memadai sudah ada di tangannya.
4.      Kematangan Pikiran
Kematangan pikiran atau kedewasaan pandangan diperlukan bagi setiap wartawan. Sehingga wartawantersebut tidak bekerja secara sembrono, asal-asalan dan seenaknya. Wartawan harus punya landasan-landasan yang jernih mengenai etika, moral dan tanggungjawab terhadap perkembangan tatanan nilai serta budaya masyarakat di sekitarnya.
Melalui kematangan pikiran, wartawan akan dapat meraih kepercayaan dari public pembacanya tentang seberapa jauh kualitas berita yangt disajikan. Suatu berita yang disajikan secara sembrono, asal-asalan atau penuh kesewenang-wenangan akan menggoyahkan kepercayaan pembaca terhadap kualitas atau mutu berita tersebut.
5.      Ketajaman Pikiran
Ketajaman pikiran tidak bisa ditinggalkan begitu saja oleh wartawan. Wartawan yang baik atau professional harus tajam pikirannya, cerdas, sigap dan lincah menghadapi berbagai permasalahan yang ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Di dalam melakukan aktivitas kerjanya, wartawan akan menemui berbagai permasalahan atau persoalan di dalam masyarakat yang sangat kompleks dan memerlukan jalan pemecahan cukup pelik.
Banyak permasalahan begitu sukar untuk bisa diketahui atau diteliti sebagai bahan pemberitaan yang menarik bagi pembaca. Permasalahan itu ditutupi sekian banyak ‘tabir’ dan hambatan, sehingga tidak begitu saja mudah diketahui dan diungkap ke permukaan. Misalnya, dalam melacak kasus korupsi atau manipulasi yang melibatkan sejumlah pejabat pemerintahan, wartawan akan menghadapi banyak hambatan yang bersifat birokrasi dan terselubung.
Untuk mengatasinya, wartawan haruslah memiliki ketajaman pikiran guna menelusuri secara teliti dan cermat, sehingga akhirnya kasus manipulasi itu dapat terungkap secara utuh. +++
                                                      (Sutirman Eka Ardhana)


  
 Suplemen: Pertemuan ke-2
KASSIAN CEPHAS
Orang Yogya, Fotografer Pribumi Pertama


            SEJARAH fotografi di Indonesia diawali pada tahun 1841. Di tahun itu, Juriaan Munich, seorang pegawai kesehatan Belanda ditugaskan oleh Kementerian Kolonial Kerajaan Belanda untuk datang ke Batavia (sekarang Jakarta). Munich datang dengan membawa kamera dauguerreotype.
            Tugas Munich di Batavia adalah untuk mengabadikan tanaman-tanaman serta kondisi alam yang ada di Indonesia dengan kameranya. Kamera dauguerreotype yang merupakan teknologi fotografi terbaru di masa itu telah digunakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk mendata semua hal yang berkaitan dengan Hindia Belanda.
            Misalnya tentang kondisi atau keadaan suatu wilayah, perilaku adat istiadat dan budaya masyarakatnya, dan banyak hal lainnya lagi. Foto-foto itu bisa menjadi sumber informasi sekaligus bahan pijakan dalam menentukan strategi dan  kebijakan kolonialnya di Hindia Belanda (Indonesia).
            Sepanjang 100 tahun keberadaan fotografi di Indonesia, yaitu sejak 1841 sampai 1941, penggunaan kamera atau alat fotogradi tersebut nyaris sepenuhnya berada di tangan orang Belanda ( Eropa), kemudian sebagian kecil orang keturunan Cina (Tionghoa) dan Jepang. Dari hasil penelitian Pemerintah Kolonial Belanda diketahui sejak tahun 1850 hingga 1940 di Hindia Belanda terdapat 540 studio yang tersebar pada 75 kota besar dan kecil. Kemudian sepanjang tahun itu pula terdata sebanyak 315 fotografer berdarah Eropa, 186 orang Tionghoa, 45 orang Jepang, serta empat orang pribumi Indonesia. Dan, salah seorang fotografer pribumi itu adalah Kassian Cepas.

            Orang Yogya
            Kassian Cephas adalah fotografer pribumi yang pertama di Indonesia. Sayang sekali namanya berpuluh-puluh tahun tenggelam dan nyaris tak dikenal di negerinya sendiri, sebagai seseorang yang memiliki peran dan jasa besar dalam sejarah keberadaan fotografi di negeri ini.
Kalau saja pada bulan Juni 1999 tidak diselenggarakan pameran foto-foto karya Kassian Cephas di Keraton Yogyakarta, nama Kassian Cephas mungkin tidak diketahui banyak orang di Indonesia. Bahkan, para penggemar dunia fotografi di negeri ini pun pasti merasa asing  bila mendengar namanya. Padahal selain sebagai orang pribumi yang pertama berprofesi sebagai fotografer professional, seorang sejarawan Belanda, Gerrit Knaaf, di dalam bukunya “Cephas, Yogyakarta : photography in the service of the Sultan” menyebut Kassian Cephass sebagai salah seorang  pionir modernitas di Indonesia.
            Siapa sesungguhnya Kassian Cephas? Kassian Cephas adalah seorang pribumi asli Jawa yang lahir di Yogyakarta pada 15 Februari 1844 dari pasangan Kartodrono dan Minah. Tapi kemudian ia diangkat sebagai anak angkat oleh pasangan keluarga Adrianus Schalk dan Eta Philipina Kreeft. Ia pun kemudian sempat disekolahkan ke Belanda.
            Dalam usia relatif muda, di tahun 1860-an Cephas mengenal dunia fotografi. Bahkan di tahun-tahun itu juga ia mulai belajar menjadi fotografer professional. Kariernya sebagai fotografer professional diawali dengan magang pada Isidore van Kinsbergen, fotografer Belanda yang pada tahun 1863-1875 bertugas di Jawa Tengah.
            Kariernya sebagai fotografer professional semakin melejit ketika di tahun 1888 ia membantu Isaac Groneman yang membuat buku-buku tentang kebudayaan Jawa. Buku-buku karya  Isaac Groneman yang seorang dokter itu di antaranya “In den Kedatonte Jogjakarta” dan “De Garebeg”s te Ngajogjakarta”. Di dalam buku-buku itu terdapat sejumlah foto karya Kassian Cephas.


            Fotografer Keraton
            Pada masa Kesultanan Yogyakarta diperintah Sri Sultan Hamengku Buwono VII, Kassian Cephas diangkat sebagai fotografer keraton. Dalam kedudukannya sebagai fotografer keraton, ia dapat memotret berbagai peristiwa budaya atau momen-momen khusus yang diadakan di dalam keraton.

            Ketika pada tahun 1889-1890 pemerintah kolonial Belanda melalui Archaeologische Vereeniging atau Archeological Union (AVAU) di Yogyakarta melakukan proyek penelitian di komplek Candi Prambanan (Candi Loro Jongrang), Kassian Cephas dipercaya untuk membantu pemotretan.

            Saat AVAU melakukan penggalian dasar Candi Borobudur, Kassian Cephas juga dilibatkan. Selama proyek penggalian dasar candi itu berlangsung, ia menghasilkan sedikitnya 300 lembar foto. Dari hasil jerih payahnya itu ia memproleh honor sebesar 3000 gulden. Padahal dana keseluruhan untuk proyek penggalian dasar Candi Borobudur itu hanya sebesar 9000 gulden.

            Karya-karya foto Kassian Cephas di masa itu sering dijadikan souvenir-souvenir berharga oleh kalangan elite Belanda. Terutama foto-fotonya tentang Keraton Yogyakarta, Sultan, keluarga dan kerabat Sultan, para abdi ndalem, serta beragam ritual budaya dan kesenian. Dan, karya-karyanya itu terhimpun dalam souvenir album berjudul “Souvenir von Jogjakarta”.
Kassian Cephas, sang pionir modernitas fotografi di Indonesia ini meninggal dunia pada tahun 1912, dengan meninggalkan warisan karya-karya fotografi yang tak ternilai harganya. Dan, hampir semua karyanya itu tersimpan di Negeri Belanda.
                                                                                 (Sutirman Eka Ardhana)


ket. gambar: Kassian Cephas (paling atas). Lainnya, karya-karya Kassian Cephas, seperti Sri Sultan Hamengku Buwono VII, dll. (sumber foto: fotografernet.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar