Rabu, 09 September 2015

Puisi-puisi tahun 1974



          Sutirman Eka Ardhana
            Puisi-puisi tahun 1974

KURINDUKAN SUARA

kurindukan suara angin di kebun para
yang menggelisahkan dedaunan
dan risiknya kudengar bagai lagu-lagu cinta
menggelora di setiap dada anak-anak muda

kurindukan suara langkah-langkah penyadap duka
yang tergesa memburu pagi dan matahari
dengan beban dan derita memberat di pundaknya
demi cinta dan anak isteri

kurindukan suara lembut ayah bunda
yang senantiasa bercerita tentang dukanya keluarga
dan kebun-kebun para tumpuan cinta
pautan hati dan hidup di hari tua

                           Yogya, Juli 1974



RINDU ITU ADALAH

Rindu itu adalah biru
birunya air laut 
yang menghampar di depan pelabuhan
tempat kita mula jumpa

            Rindu itu adalah kisah-kisah lalu
            yang tiba-tiba saja datang
            berdua di bawah rimbun-rimbun cemara
            menyelusuri jalanan-jalanan tua

                                Yogya, Oktober 1974



SESAAT SEBELUM KUPULASKAN MATA

sesaat, sebelum kupulaskan mata dan tidur
hanya Engkau yang serasa menyenyumi di pelupuk mata
demikian salju wajahMu, meluluhkan keluhku
dan atas nama dosa, ku menyerah di haribaanMu

lalu bayang-bayang peristiwa yang telah lampau
serasa masih juga hadir dan lewat di sini
hari-hari kelam serta kelabu seperti ada
kembali, menyentakkan rasa haru biruku

sesaat, sebelum kupulaskan mata dan tidur
kulihat diriku yang sebenarnya
di setiap pojok kamar dan benda-benda
serta pada suara-suara sajak yang sayup menyapaku di luar
                                       Yogya, 1974



STASIUN TUGU YOGYA

orang-orang saling memandang ke depan
sekelilingnya, kupu-kupu yang terbang
dan jam di tembok pun berdentang
mereka pun saling memandang
diri mereka sendiri-sendiri

suara kereta pun melengking dari jauh
menyentak dan membangunkan segala bimbang
lalu, kereta pun datang
penumpang-penumpang turun, saling pandang
dan di sini pertemuan pun lalu terjadi

                             Yogya, 1974




DUKA ADALAH YANG MENYAPAKU SETIAP WAKTU

Duka adalah yang menyapaku setiap pagi
bagai sahabat setia, mengucapkan salam
ketika waktu dan matahari
saling berpacu memburu hari

Duka adalah yang menyapaku setiap malam
menganggukkan kepala dan tak mau pergi
sedangkan sepi dan kelam
semakin gila merasuk diri

Duka adalah yang menyapaku setiap waktu
bagai laut senantiasa menderu
dan bernyanyi mengusik diri
aku pun semakin tidak mengerti

                             Yogya, 1974


SAJAK PAGI HARI

Waktu pun telah kembali semula
seperti kemarin, ketika burung-burung gereja
di jendela bernyanyi menyambut pagi
dan matahari yang mempersiang diri

Ada suara kereta dari jauh
yang melengking menyimak hening
dan kembali kota jadi riuh
dengan suara-suara saling beriring

Duh, bunga-bunga di halaman telah berganti
saling mekar dan mewangi
sedangkan beban dalam hidup ini
senantiasa kian bertambah lagi

                            Yogya, 1974
           

           
            DARI DALAM KAMAR INI

            dari dalam kamar ini, telah kutatap udara luar
risik daun-daun, dan burung-burung yang samara
sayup, di antara suara tak sampai
gelisah dalam hujan yang renyai

di atas kota pun mega-mega telah jadi lena
didera langkah-langkah tak kenal lelah
dengan angin yang menyapa setiap tembok dan tabir jendela
di mana rinduku senantiasa singgah

dan dari kejauhan kudengar ada suara kereta
menggelisahkan dedaunan, menyibak sepi
ketika hening dan sunyi yang merangkul kota
membawa sajak yang kutulis ini

                           Yogya, 1974
            LANGIT TELAH RUNTUH DI SINI

            Langit telah runtuh di sini
            Menimpa atap-atap rumah. Lorong-lorong jadi gelap
            Ou, malapetaka apa yang tiba?!
            Siapa gerangan yang berdosa?!
            Orang-orang riuh meratapi nasibnya.

            Langit telah runtuh di sini
            dan jalanan pun jadi sepi
            Gadis-gadis tak pernah lagi lewat di situ
            Lantas mereka telah pergi ke mana?!
            Angin tak pernah mengatakannya.

            Langit telah runtuh di sini
            Ketika aku sedang sendiri
            Tuhan!
            Aku belum sempat berdoa.

                                    Yogya, 2014

                        (Buku kumpulan puisi "Risau", 1976)


            AKAN SIA-SIALAH

            Akan sia-sialah
            Tak menangkap matahari. Yang sendiri
            Dalam perjalanan
            Ke sudut sepi.

            Akan sia-sialah
            Membiarkan matahari. Dipeluk bumi
            Dan sunyi
            Senantiasa di sini.


                                    Yogya, 2014

                        (Buku kumpulan puisi "Risau", 1976)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar