Minggu, 03 Januari 2016

"Tak Kan Melayu Hilang di Jawa, Tak Kan Jawa Hilang di Melayu"



Peribahasa Jawa dan Melayu Riau:
"Tak Kan Melayu Hilang di Jawa,
Tak Kan Jawa Hilang di Melayu"
Sutirman Eka Ardhana

I
            "TAK kan Melayu hilang di dunia". Rangkaian kata-kata atau ungkapan ini sangat dikenal dan populer di seantero dunia Melayu, baik itu di Indonesia maupun Malaysia, Brunei, Thailand Selatan (Patani) dan lain-lainnya. Bagi masyarakat Melayu, serangkai kata-kata tersebut sangat penuh arti. Tak sekadar kata-kata bijak, kata-kata indah, kata-kata harapan, tapi juga kata-kata atau ungkapan yang menunjukkan semangat perjuangan masyarakat Melayu dalam memperjuangkan, menjaga, mempertahankan dan menunjukkan eksistensi jati dirinya.
            Dalam konteks tulisan ini, saya ingin menampilkan kata-kata penuh arti itu ke khasanah wilayah yang terbatas dan lokal, yakni: Tak kan Melayu hilang di Jawa, dan tak kan Jawa hilang di Melayu. Rangkaian kata-kata atau ungkapan ini rasanya bukanlah sesuatu yang berlebihan. Karena kalau kita ingin melihat kembali riwayat perjalanan budaya kedua kelompok budaya ini, budaya Jawa dan budaya Melayu, maka jelaslah terlihat bahwa pada awalnya kedua budaya tersebut berada dalam satu kesatuan budaya (etnis).
            Di dalam catatan sejarah (berdasar temuan di sejumlah prasasti yang ada), pada abad ke-7 dan ke-8, Sumatera (untuk mewakili identitas Melayu) dan Jawa diperintah oleh Wangsa Syailendra dan Wangsa Sanjaya (dua wangsa bersaudara). Sumatera (kawasan Melayu) diwakili oleh Kerajaan Sriwijaya, sedangkan Jawa diwakili Kerajaan Mataram Kuno. Kedua kerajaan berdiri sendiri-sendiri, tetapi berada dalam kesatuan budaya yang sama.

            Pada menjelang akhir abad ke-8, bentuk "kesatuan" di dalam Wangsa Syailendra mulai digoyang oleh kepentingan 'politik dan kekuasaan'. Kondisi itu akhirnya membuat Wangsa Syailendra meninggalkan Kerajaan Mataram Kuno, dan memfokuskan perhatian kekuasaannya hanya di Sumatera (Sriwijaya). Sedangkan di Jawa (Mataram Kuno), Sanjaya yang juga berdarah Wangsa Syailendra meneruskan kepemimpinan Wangsa Syailendra dengan membangun wangsa sendiri yakni Wangsa Sanjaya.
            Bisa diduga, perpecahan Wangsa Syailendra di akhir abad ke-8 itu telah memunculkan dua kekuatan 'politik', yang kemudian berkembang menjadi kekuatan 'budaya'. Masing-masing kelompok berusaha membangun identitas dirinya. Identitas diri itu diperlukan untuk membedakan satu sama lain. Dan, bisa diperkirakan juga, mulai saat itulah muncul identitas budaya yang agak berbeda antara Sumatera (Sriwijaya) dengan Jawa (Mataram Kuno). Akan tetapi, meskipun berbeda, tak bisa dipungkiri di sana-sini masih terdapat banyak persamaan, karena keduanya memang berasal dari satu induk budaya yang sama.
            Identitas budaya yang dibangun Wangsa Syailendra di Sumatera (Sriwijaya) itulah  yang kemudian (dengan perkembangan dan dinamikanya) berkembang menjadi budaya  yang kini disebut budaya Melayu. Dan, masyarakatnya kemudian dikenal juga dengan sebutan masyarakat Melayu. Sementara di Jawa (Mataram Kuno), Wangsa Sanjaya membangun identitas budaya yang hingga kini dikenal dengan nama budaya Jawa. Masyarakatnya pun dikenal dengan sebutan masyarakat Jawa.
            Sejak masa itu nama Jawa dan Melayu, termasuk bentuk budayanya, seakan tak bisa terpisahkan. Ini bisa terlihat bagaimana kerajaan-kerajaan atau daerah-daerah yang ditundukkan Sriwijaya selalu menyebut tentara atau prajurit Sriwijaya dengan sebutan tentara Jawaka, atau tentara dari Jawa.
            Menurut Prof. DR. Slamet Mulyana, kepopuleran nama Jawa (Jawaka), disebabkan kekuasaan Rajakula Syailendra semenjak abad ke-8 di Sumatera dan Semenanjung (Semenanjung Melayu). Karena Rajakula  Syailendra berasal dari Jawa Tengah, sudah pasti bahwa Raja Syailendra di Sriwijaya seperti Balaputra disebut Maharaja yang berasal dari Jawa. (Sriwijaya, LKIS, 2011).
            Ternyata pula, sejak tahun 1200-an, sebutan Jawa itu diberikan kepada Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Marcus Paulus dari Venesia dalam bukunya "Lukisan Tentang Pemandangan Negeri-negeri Timur" (kisah perjalanannya pada tahun 1296), menyebut Pulau Sumatera dengan nama "Jawa Kecil", dan Pulau Jawa dengan "Jawa Besar". (Shaleh Saidi, Melayu Klasik Khasanah Sastra Sejarah Indonesia Lama, Larasan Sejarah, 2003).
            Pada abad ke-16, orang-orang Portugis masih meneruskan sebutan dari Marcus Paulus itu dengan menyebut Pulau Sumatera sebagai Jawa Kecil dan Pulau Jawa sebagai Jawa Besar. Bahkan pada masa-masa itu , Bahasa Melayu awalnya lebih dikenal dengan sebutan Bahasa Jawi (Jawa). Menurut para ahli, nama pertama adalah Bahasa Jawi. Setelah itu baru dikenal sebutan nama kedua, Bahasa Melayu.
            Kita tidak sedang membicarakan perihal sejarah. Tetapi, mengetengahkan sepenggal sejarah kemunculan dan perjalanan pertautan budaya Jawa dan budaya Melayu ini sangatlah penting untuk mengetahui lebih jauh tentang latar belakang adanya persamaan-persamaan di antara kedua budaya tersebut. Termasuk persamaan-persamaan tentang arti dan makna peribahasa sebagai bagian dari ragam seni dan budaya yang ada di dalam budaya Jawa dan budaya Melayu. Dan, untuk budaya Melayu, dalam pembicaraan kali ini khusus terfokus pada budaya Melayu Riau.
II
            Apa yang dimaksud dengan peribahasa?
            Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu-Zain, 1994) disebutkan, peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang menyatakan suatu maksud, keadaan seseorang, atau hal yang mengungkapkan kelakuan, perbuatan atau hal mengenai diri seseorang. Peribahasa mencakup ungkapan, pepatah, perumpamaan, ibarat, dan tamsil. Dan, di dalam suatu peribahasa itu terdapat unsur sistem budaya masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, norma dan suatu aturan dalam masyarakat. (Wikubuku).
            Menurut Sabaruddin Ahmad, peribahasa ialah kiasan yang dilahirkan dengan kalimat-kalimat yang pendek, menjadi buah bibir orang yang banyak. Dan, pepatah yang merupakan bagian dari peribahasa itu ialah kiasan tepat dan langsung. Kalimat-kalimatnya menyatakan yang biasa saja, tapi tak dapat disangkal lagi. (Sabaruddin Ahmad, Seluk Beluk Bahasa Indonesia, UP dan Percetakan Saiful, Medan, 1953).
            Dari dua pengertian tentang peribahasa tersebut, hal yang menarik untuk diketengahkan atau dikatakan bahwa di dalam peribahasa itu terdapat unsur sistem budaya masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, norma dan suatu aturan dalam masyarakat. Dalam hal ini sistem budaya masyarakat yang ada pada budaya Jawa dan budaya Melayu Riau.
            Karena adanya latar belakang kesamaan budaya antara budaya Jawa dengan budaya Melayu, maka banyak peribahasa, pepatah-petitih, atau ungkapan-ungkapan Jawa yang memiliki kesamaan, arti, tujuan dan maknanya dengan peribahasa, pepatah-petitih atau ungkapan Melayu Riau.

III
            Marilah kita lihat dan cermati peribahasa-peribahasa Jawa dan Melayu Riau berikut ini.
·               Aja dumeh. (Jawa)
Artinya: jangan sok atau mentang-mentang. Terjemahan bebasnya jangan sombong,  jangan suka memamerkan apa yang dimiliki untuk menekan, meremehkan, menghina atau merendahkan martabat orang lain. Misalnya: aja dumeh sugih (jangan mentang-mentang kaya), dan menggunakan kekayaannya itu untuk berbuat semena-mena, sebab harta kekayaan itu tidak lestari dan sewaktu-waktu dapat hilang.

            Peribahasa yang maksud dan artinya sama terdapat dalam peribahasa Melayu Riau di bawah ini.
·         Di atas gunung ade gunung, di atas langit ade langit. (Melayu Riau).
                   Artinya: di atas gunung ada gunung, di atas langit ada langit. Peribahasa ini jelas memiliki kesamaan arti dan tujuan agar tidak sok, tidak mentang-mentang dan tidak sombong. Karena kekayaan, kehebatan dan kelebihan yang dimiliki seseorang bukanlah segala-galanya. Karena bisa jadi ada yang lebih kaya, lebih hebat, dan lebih sempurna.  

·          Aja turu awan mundhak dadi kancane setan. (Jawa)
Artinya: jangan tidur siang nanti jadi temannya setan. Peribahasa ini biasa digunakan untuk menasihati mereka yang malas, terutama anak-anak muda yang enggan bekerja. Prinsipnya, peribahasa ini berisi nasihat agar siang hari digunakan bekerja demi meningkatkan kesejahteraan dalam hidup, bukan sebaliknya untuk bermalas-malasan. 

            Peribahasa yang maksud dan tujuannya sama, walau penekanannya agak berbeda, juga terdapat dalam peribahasa Melayu Riau di bawah ini, yang sama-sama bicara tentang perlunya bekerja.
·         Bejalan sedai pagi, mencai sedai mudo. (Melayu Riau)
Artinya: berjalan sedari atau selagi pagi, mencari sedari muda. Peribahasa ini juga berisi nasihat tentang perlunya bekerja dan berusaha sedari usia masih muda, ketika tenaga masih prima dan kuat. Jadi waktu muda hendaknya janganlah digunakan untuk bermalas-malasan, sebaliknya digunakan untuk bekerja atau berkarya. Kerja keras ketika muda bisa membawa seseorang pada kehidupan yang sukses di hari tuanya.

·          Ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining raga saka busana. (Jawa)
Artinya: nilai pribadi seseorang akan dinilai dari ucapan (kata-katanya), sedangkan nilai penampilan dilihat dari pakaian yang dikenakan. Peribahasa ini juga berisi nasihat tentang bagaimana kita harus berbicara, berperilaku dan bersikap. Karena cara berbicara dan berpenampilan atau berpakaian, bisa dijadikan alasan penilaian tentang seberapa tinggi kualitas seseorang. Jadi peribahasa ini menekankan pentingnya kita untuk berbicara, bersikap dan berpenampilan baik kepada siapa pun, kalau ingin dihormati atau disegan.

            Peribahasa yang arti, maksud dan tujuannya hampir sama atau senada juga ada dalam peribahasa Melayu Riau berikut ini. Peribahasa yang sama menekankan atau mengingatkan tentang pentingnya berbicara, berperilaku dan bersikap secara baik.
·          Betukang ade kiatnye, becakap ade adatnye. (Melayu Riau)
Artinya: bertukang ada caranya, bercakap ada adatnya. Secara luas peribahasa ini dapat diartikan bahwa upaya untuk meraih keberhasilan, keberuntungan dan kebaikan dalam kehidupan itu ada tata caranya. Misalnya, bila ingin disukai, dihormati, atau disegani banyak orang maka haruslah berperilaku, bersikap dan berbicara dengan baik dan benar. Berperilaku dan bersikap ramah, santun, dan berbicara lembut, tentu membuat banyak orang akan menanamkan kesan simpati, suka, hormat dan semacamnya.   

·         Berbudi bawa leksana. (Jawa)
      Artinya: berwatak ucapan (perkataan) dan perbuatannya sama. Peribahasa ini memiliki arti tentang perlunya bersikap konsisten antara ucapan dan perbuatan, tidak munafik, siap bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan, dan tidak ingkar janji. Hal tersebut merupakan sifat kepemimpinan yang baik di Jawa, atau sifat kepemimpinan yang harus dimiliki oleh para pemimpin atau calon pemimpin.

            Perihal tentang bagaimana seharusnya sifat kepemimpinan itu juga terdapat di dalam peribahasa Melayu Riau, seperti berikut ini.
·   Rajo beso asal beasal, rajo sakti bedaah puteh. (Melayu Riau)
      Artinya: raja besar asal-berasal, raja sakti berdarah putih. Peribahasa ini menekankan pada keberhasilan seorang raja atau pemimpin sangat tergantung dari asal usulnya. Bila raja atau pemimpin itu berasal dari keturunan raja atau seseorang yang memang memiliki sifat kepemimpinan yang baiki, maka pastilah ia juga akan menjadi seorang raja atau pemimpin yang baik, dan bisa memimpin. Sakti diartikan sebagai kehebatan atau kemampuan dalam memimpin, dan bisa mensejahterakan rakyat. Berdarah putih, diartikan sang raja atau pemimpin itu memang berjiwa bersih, tak akan mau korupsi atau mengkhianati tugas dan tanggungjawabnya sebagai raja atau pemimpin.

·          Desa mawa cara, negara mawa tata. (Jawa)
      Artinya: desa mempunyai adat sendiri, negara mempunyai hukum sendiri. Peribahasa ini merupakan salah satu pandangan kalangan tradisional di Jawa yang menghargai adanya pluralitas. Di masing-masing daerah (lingkungan) mempunyai adat istiadat atau kebiasaannya sendiri-sendiri. Demikian pula negara memiliki tata aturan hukumnya sendiri dalam menata tatanan kehidupan masyarakatnya. Dan, tata aturan hukum itu selalu bersumber pada adat-istiadat serta nilai-nilai moral yang ada di tengah-tengah masyarakatnya.

            Di dalam peribahasa Melayu Riau juga terdapat peribahasa yang arti, maksud dan tujuan memiliki pengertian yang sama, walau fokus penekanannya agak berbeda. Peribahasa Melayu Riau berikut ini juga menyatakan hal yang serupa atau senada.
·          Asing galang telotak, asing biduk dielo. (Melayu Riau)
Artinya: lain galang terletak, lain biduk ditarik. Peribahasa ini mengingatkan tentang pentingnya berpandai-pandai dalam menyesuaikan atau menempatkan diri ketika berada di tempat lain. Karena di tempat lain itu, bisa jadi adat-istiadat dan budayanya berbeda. Artinya, seseorang harus bisa menyesuaikan diri tempat atau lingkungannya yang baru. Baik lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan kerja. Karena sangat mungkin di lingkungannya yang baru memiliki adat istiadat yang berbeda dengan tempat tinggal sebelumnya. Demikian pula bila berada di lingkungan kerja yang baru, bukan tidak mungkin di tempat kerja baru itu memiliki tata aturan yang berbeda dengan tempat kerjanya dulu.
·          Gemi nastiti ngati-ati. (Jawa)
Artinya: hemat teliti dan berhati-hati. Peribahasa ini merupakan nasihat tentang bagaimana setiap orang mengelola kehidupannya dengan baik. Misalnya, hidup dengan hemat, teliti dan hati-hati, serta waspada dalam setiap tindakan. Disamping cermat dan sigap dalam menghadapi berbagai persoalan atau tantangan kehidupan.

            Peribahasa yang berbicara tentang pentingnya sikap kehati-hatian atau mawas diri dalam melakukan sesuatu juga terdapat di dalam peribahasa Melayu Riau. Walau berbeda fokus penekanan masalahnya, tetapi peribahasa Melayu Riau berikut ini juga menyatakan hal yang serupa atau senada, yakni tentang perlunya kecermatan, ketelitian dan kerja keras dalam meraih sesuatu tujuan mulia.
·         Dapat lomak dengan pait, kombang negoi dengan popou. (Melayu Riau)
                  Artinya: datangnya nikmat dari kepahitan, berkembangnya negeri dari kerja keras. Peribahasa ini mengingatkan tentang pentingnya sikap ketelitian, kehati-hatian dan sikap kerja keras untuk mencapai suatu tujuan yang mulia. Tujuan atau cita-cita mulia itu bisa dicapai bila bekerja dengan tiliti, cermat, hati-hati dan sungguh-sungguh. Hidup akan sukses bila dilakukann dengan sungguh-sunggguh, kerja keras, cermat, teliti, hati-hati dan penuh kewaspadaan.

IV
            Beberapa peribahasa Jawa dan peribahasa Melayu Riau ini, setidaknya bisa mewakili gambaran atau cerminan banyaknya persamaan arti, maksud, tujuan dan makna antara peribahasa Jawa dengan peribahasa Melayu (Melayu Riau). Dan, setidaknya semakin memperkuat ungkapan "Tak kan Melayu hilang di Jawa, dan tak kan hilang Jawa di Melayu". ***

            * Sutirman Eka Ardhana: lahir di Bengkalis, Riau, 27 September 1952, pecinta sastra, redaktur Majalah Sastra Sabana dan mengajar di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

** Tulisan ini terhimpun di dalam buku "SRAWUNG KAWRUH".

1 komentar: